Ia merapikan kerah dan dasinya—sempurna.

"Apa sih yang dia lakukan?" katanya ketika menoleh pada jendela kamar yang terbuka, melihat dengan alis mengangkat penghuni sebelah rumah begitu sibuk dan mondar-mandir.

Setelah memakai kaos kaki, ia berjalan mendekat jendela kamarnya dan mengetuk jendela kamar rumah sebelah yang berdekatan. Ia, dengan tatapan menuntut, berkata untuk dibukaan kala orang yang ia lihat sibuk di dalam melihatnya agak terkejut.

Srak!—jendela terbuka.

"Sudah rapi sekali. Aku bahkan belum berganti pakaian," kata orang itu memeluk kardus berukuran sedang.

"Ada rapat pengurus OSIS untuk festival musim gugur. Hei, minggir!"

"S-Sasuke, aku sedang repot!" walau berkata menentang juga, orang itu tetap menyingkir dari jendela.

Dengan satu hentakan, Sasuke sudah ada di rumah sebelah, tepatnya di sebuah kamar mungil yang terlihat berantakan dan agak penuh dengan kardus. Ia menyingkirkan kardus yang menghalangi jalannya dengan sesekali menendang kardus yang kosong—"Hati-hati!" atau menggesernya perlahan ketika pemiliknya mengomel agar ia bisa duduk di atas ranjang.

Sasuke mengintip salah satu kardus yang ada di dekatnya dan melihat beberapa coklat yang biasa di sembunyikan orang itu dan menggeleng heran dengan kebiasaan aneh itu.

"Aku mungkin agak lama membereskan ini," kata orang itu sambil meletakan kardus yang tadi dipelukan ke meja sedangkan ia diam-diam menyelipkan dua batang coklat yang tadi ke saku celananya, "Jadi, bisa tolong katakan pada Sensei kalau aku telat? Sasuke?"

Sasuke meng-hem-kan lalu matanya berkeliling, "Memang kau mau ngapain, Hinata? Seperti mau pindah saja." Ia sedang mencari sesuatu hal aneh yang biasa disembunyikan sahabatnya.

"Memang."

Saat itu, ia tidak tahu apa artinya. Rasanya sangat tipis; antara ancaman kekosongan atau kemarahan. Itu tipis rasanya.

.

Antara Garis Tipis by Mei Anna AiHina

Naruto © Masashi Kishimoto

Based on Reply 1997/1994 Korean drama

AU, drama detected, semi-M for condition, OOC, misstypo, etc

Hope you like ^_^

Bab 1: Tempat dan Hati yang Berpindah

.

.

.

Hinata tersandung kotak dan mengaduh. Ia berharap bisa segera menyingkirkan kardus-kardus ini segera kalau saja sahabatnya itu tidak bersikap kekanakan dan tidur-tiduran di atas ranjangnya. Ia benar-benar tidak habis pikir apa yang ada di kepala Sasuke, "Bukankah kau bilang ada rapat? Kenapa tidak pergi sekarang?"

Niatnya sih tidak ingin mengusir, tapi dari suara yang ia keluarkan memang terkesan mengusir, lagipula ia sedang repot dengan segala hal ini. Semua berawal dari seminggu yang lalu, ketika kakak sepupunya menikah dan pindah dari rumah dan ayahnya bertemu teman lama. Ayah ditawari untuk pindah rumah saja dan ayah setuju untuk membeli rumah baru yang pas untuk mereka; ayahnya, ia dan adiknya. Dan ia begitu terkejut ketika tadi malam ayah berkata akan pindah dan mereka harus selesai lusa karena rumah sudah dibeli pemilik baru. Tentu ia kesal karena begitu terburu-buru, tapi ia tahu ayah pasti berpikir panjang untuk kesejahteraan mereka. Lagipula, rumah ini terlalu besar untuk mereka bertiga.

Dan saat melihat Sasuke seperti ini, ia seperti melihat refleksi dirinya kalau saja ia tidak memikirkan perasaan ayahnya dan segala kenangan di rumah ini yang kadang membuat ayahnya sedih.

Hinata menatap Sasuke yang memunggunginya sedang berpura-pura tidur, biasanya itu dilakukan Sasuke untuk membuat kakak sepupunya, Neji, dulu yang memergoki Sasuke, kesal hingga berteriak untuk tidak lagi menyelinap ke kamarnya. Tapi sekarang, ia tahu ada sesuatu.

"Sasuke?" dan bukan kebiasaan Sasuke tidak menyahut panggilannya. Apa Sasuke marah karena ia tidak memberitahu terlebih dulu? "Baik, aku minta maaf karena tidak bilang lebih awal. K-kau tahu, aku … tidak bermaksud," dan lagi-lagi Sasuke tidak merespon. Dan sungguh, ia tidak biasa didiamkan seperti itu oleh Sasuke. Rasanya asing. Entah mengapa, itu membuatnya ingin sekali-kali cengeng. Ia tidak pernah cengeng atau menangis. Dan sebenarnya, ini hanya masalah kecil. Tapi ia tidak bisa.

"S-Sasuke?"

Karena sudah tidak tahan dengan keadaan dan sikap Sasuke, ia menghampiri ranjangnya yang ditiduri Sasuke dengan susah payah karena harus melewati kardus-kardus. Ketika ia sudah di sana dan duduk di pinggir ranjang, ia menggoncangkan Sasuke pelan, "Sasuke?"

Napas itu begitu teratur dengan mata terpejam. Hinata berpikir ia sangat konyol. Berpikir kalau Sasuke marah (benar-benar) padanya adalah hal yang aneh. Itu jarang terjadi, yah yang ia tahu mereka selalu bisa membuat hubungan persahabatan mereka baik-baik saja; walau terkadang Sasuke berbuat hal yang mengesalkan ia bisa memaklumi. Jadi, mungkin Sasuke juga bisa.

"Kau benar-benar membuatku khawatir," kata Hinata pada Sasuke yang tertidur. Ia lega sekarang. Ia pun segera menarik selimut yang sebelumnya sudah ia lipat untuk menyelimuti Sasuke. Masih ada waktu sejam sebelum sekolah dan ia akan membiarkan Sasuke tidur lagi diranjangnya. Ia menunduk sedikit untuk melihat wajah itu lalu tersenyum, "Segera maafkan aku ya?"

Setelah Hinata meninggalkan kamarnya untuk berganti pakaian dan menyiapkan makanan, ia tidak tahu seseorang dikamarnya membuka mata dari tidur yang tidak benar-benar nyata.

"Perhatikan jalanmu, Kak."

Baru saja adiknya, Hanabi, berkata demikian setelah ia berganti pakaian ia tersandung kardus lagi. Ia mau mengeluh siapa yang meletakan benda itu ditengah jalan, tapi ia tahu itu tidak akan berguna karena keadaan mereka memang seperti ini.

Selagi ia mengelus tulang keringnya, Hanabi mendahuluinya ke ruang makan dengan menyapa ayah mereka terlebih dahulu. Ia juga menyapa ayahnya yang sepertinya baru tiba setelah memindahkan barang ke rumah baru mereka dengan di cicil sedikit-sedikit.

"Apa aku tidak masuk sekolah saja hari ini untuk membantu Ayah? Hari ini tidak ada ulangan juga," tawar Hinata setelah duduk di meja makan.

Ayah menggeleng, "Tinggal sedikit, sisanya akan ayah serahkan pada agen pindahan. Oh iya, Neji menelpon kalau istrinya hamil."

"Serius? Aku akan mampir nanti ke apartemen," kata Hinata bersemangat.

"Sebenarnya, tidak perlu. Nanti malam mereka akan datang."

Tiba-tiba suara dibelakangnya menyapa, "Pagi Paman." Dan ia melihat Sasuke dengan rambut sedikit berantakan dan baju serta dasi juga tidak luput dari kusut. Sasuke membungkuk sedikit pada ayah dan meminta Hinata untuk bergeser ke kursi sebelah dan ia memberikan itu; seperti kebiasaan mereka.

"Dasar Bocah Nakal! Kau masuk dari jendela lagi ya? Beruntung kau Neji tidak ada."

"Tadi, ada apa dengan Neji?" tanya Sasuke begitu saja.

Dari ujung meja, Hanabi menyahut, "Istrinya hamil. Wah … aku tidak menyangka untuk kedua kalinya dia mendahuluimu, Kak—Duh! Ayah!"

"Macam-macam saja," kata ayah setelah memukul Hanabi pelan dikepala dengan sendok.

Hinata tertawa pelan melihat itu dan—apalagi? Sasuke memerah? Ada hal yang tidak ia mengerti ya?

"Aku masih tujuh belas!" ia tidak tahu kenapa Sasuke meliriknya sekilas saat mengatakan itu. "Dasar Bocah!"

Hanabi terlihat tidak ingin kalah, "Kau juga masih BOCAH!—"

"Ya! Ya! Kalian berdua Bocah Nakal! Cepat makan!" perintah ayah dengan tegas.

Dengan pelan, mereka berdua berkata, "Hai'…."

"Memang tidak apa-apa tidak ikut rapat OSIS?"

Sasuke hanya berguman tidak jelas ketika mereka berjalan menuju ke sekolah. Hinata pikir Sasuke sudah memaafkannya, tapi sepertinya masih sedikit. Ia akan mencoba merayu.

"Masih marah?"

"Tergantung," jawab Sasuke singkat tanpa menoleh padanya ketika ia berbicara tadi.

"Mau aku traktir? Ada cafe baru di dekat supermark—"

Sasuke berhenti tiba-tiba yang otomatis membuatnya juga berhenti. Sasuke menatapnya sengit hingga ia meringis. Salah ngomong ya?

"Mau menyogokku ya? Jangan harap Nona Hyuuga!" Sasuke kembali berjalan dan ia tertatih-tatih mengikuti.

Duh, bagaimana ini? "Kok masih marah sih? Tadi kan sudah kujelaskan."

"Bodo'!"

Rasanya Hinata ingin meneriaki wajah itu, tapi tidak mungkin ia lakukan. Lagipula, kenapa hari ini Sasuke begitu kekanakan sih?

"Kau tahu? K-kau harus memaafkanku sekarang," ia harap suaranya baik-baik saja. "Ketika aku marah padamu, aku selalu memaafkanmu begitu cepat. D-dan sekarang kau bersikap seperti ini!" rasanya aneh ketika matanya panas. Apa apa dengannya?

"Karena kau memang diciptakan untuk bersabar padaku. Dan aku … tidak," jawab Sasuke pelan pada kalimat terakhir tanpa melihat kearahnya yang tiba-tiba merasa sesak.

Dengan mendesis pelan ia berkata sesuatu sebelum berjalan cepat mendahului Sasuke, "Egois."

Pertengkaran dalam persahabatan mereka tidak pernah seperti ini. Seperti yang sudah ia katakan, mereka selalu bisa mengakhiri dengan perdamaian, tidak pernah meninggalkan masalah dibelakang. Dan itulah pertama kalinya ia berjalan meninggalkan Sasuke dengan perasaan campur aduk. Ini hanya karena masalah pindah rumah.

Matanya masih panas, namun ia tidak sadar kalau itu akan meneteskan air. Tadinya ia pikir ia menangis, namun ternyata gerimis. Ayah memang sudah memperingatinya, tapi ia lupa tadi, sehingga ia terpaksa akan hujan-hujanan. Sudah berapa coba kekesalannya bila dijadikan suhu dan diukur termometer? Sudah soal Sasuke dan sekarang hujan.

Tadinya ia yang merasa air hujan menitik di kepala dan pundaknya, tiba-tiba hilang dengan bayangan dikakinya menggelap.

"Kita bisa berbaikan?"

Hinata menoleh dan mendapati Sasuke di sampingnya dengan mereka dibawah naungan payung yang sama. Hinata merengut sebal.

"Aku sudah maafin kok. Jadi, bisa kita baikan lagi? Ayolah Hinata!" Sasuke mencoba merayunya padahal ia masih sebal, tapi tetap saja ia mengangguk pasrah.

"Kapan kau akan mengundangku dan Itachi ke pesta pindahanmu?" tanya Sasuke mencoba membangun suasana mereka lagi sedangkan ia hanya mengangguk, pura-pura sebal. "Ya ampun! Masih marah? Ayo Hinata, senyum! Apa aku harus salto hanya memakai boxer(*) agar kau memaafkanku?"

Hinata tidak bisa menahan senyum geli.

"Tidak. Aku tidak akan melakukannya," Sasuke menggeleng seperti membayangkan sesuatu.

"Ya, jangan coba-coba lakukan," sahut Hinata juga membayangkan hal itu dengan tawa.

"Jangan dibayangkan!"

"Hmp … m-maaf."

Dan mereka berjalan ke sekolah bersama di bawah payung yang sama. Seperti masa sebelumnya dan sebelumnya. Pertemuan mereka di rumah yang bersebelahan, pertengkaran mereka yang berujung senyum kekanakan, persahabatan mereka yang sudah sangat lama. Perasaan-perasaan baru kian lama kian berkembang juga dan hanya baru satu pasang mata diantara mereka yang tersadar apa namanya. Satu pasang mata yang merindu untuk menatap perubahan diantara mereka.

"Uhuk!"

Ia mengalihkan pandangan dari menatap sesuatu di sampingnya ketika seseorang berdehem padanya. Ia begitu terkejut dan menegang saat mengetahui itu adalah Tsunade-sensei, Kepala Sekolah, menyapanya. Ia segera membungkuk dan membalas sapaan itu.

"Nah, Uchiha-san, kenapa tadi aku tidak melihatmu dirapat?"

Sial, gerutunya dalam hati. Mau bicara apa dia? Masa ia bilang ia tadi malas setelah mendengar Hinata akan pindah yang berarti mereka harus berjauhan. Padahal tinggal berdekatan cukup sulit baginya bergerak, tapi ketika diberi kenyataan kalau Hinata akan tinggal jauh ia makin merasa sulit. Tidak mungkin ia berkata seperti itu 'kan? Apa yang nanti Kepala Sekolah pikirkan?

"Ehm … sebenarnya—"

"Sensei," Hinata yang ada di sampingnya menyela, "Maaf sebelumnya. Apa bagian Kesiswaan sudah memberi tahu Anda kalau saya pindah rumah dan saya izin telat?"

Tsunade-sensei hanya menatap Hinata. Ia kira orang penting seperti itu tidak akan mengurusi hal-hal seperti Hinata.

"Sasuke membantu saya. Maaf untuk kealfaan Sasuke," kata Hinata membungkuk sedikit.

"Baiklah. Tidak apa-apa."

Sasuke bernapas lega.

"Tapi, Uchiha-san, kau harus ikut saya ke kantor. Ada masalah tentang festival yang harus dibicarakan dengan kau sebagai perwakilan."

"Baik."

Tsunade-sensei berjalan di depannya. Kalau seperti ini, ia tidak bisa mengantar Hinata sampai kelas.

"Kau jalan duluan sana," katanya.

"Sebentar."

Ia tidak tahu apa yang ingin Hinata katakan, tapi kejadiannya begitu tiba-tiba saat Hinata berjinjit, meraih sebelah bahunya dan mendekatkan wajah itu kesamping wajahnya, "Kau. Harus—" napas itu menerpa telinganya, pipinya, anak rambut itu, suara itu. Semuanya menggelitik wajahnya, membuatnya tidak bisa fokus. Dan setelah bisikan itu berakhir, ia bingung.

Apa itu … tadi?

"Oke? Awas kalau kabur ya! Dah!"

Hinata melambai dengan senyum yang sama dan berjalan pergi. Ia tahu itu biasa—Sial! Ini bukan yang biasa, efeknya selalu tidak biasa! Memang sudah berapa lama sih mereka bersahabat?

Ia memegang dadanya. Sialan, itu sangat keras!

Apa yang harus ia lakukan?

"Sasuke-kun, apa kau dipanggil Kepala Sekolah?"

"Ya, iya!" Ia cukup terkejut ada seorang teman sekelas, Sakura, yang juga anggota OSIS sudah di depannya.

"Ayo kita kesana bersama."

Sasuke hanya mengiyakan, ia masih terasa mengambang. Terapi syok ini benar-benar deh, ia tidak tahu Hinata bisa melakukan ini. Ia tersenyum. Ia tidak menyangka.

"Aku tidak menyangka!"

Ketika ia datang, beberapa teman sekelasnya telah bergerumul di meja barisan depan dan membicarakan sesuatu. Karena ramai, Hinata jadi tertarik ingin tahu. Ia menyapa semuanya dan bertanya ada apa. Teman sekelasnya yang berambut pirang bernama Ino berbaik hati menunjukan manga yang lagi hot-hot-nya, Naruto.

"Sasuke berpihak ke Konoha lagi. Dia udah balik lagi! Oh My!"

Memang Sasuke kemana saja sampai mereka heboh gitu? Dasar Otaku, Hinata menggeleng heran.

Hinata menuju mejanya yang ada di paling belakang dekat jendela. Ia mengeluarkan novel yang dibelikan Itachi, kakak Sasuke, belum sempat ia baca kemarin dan ingin ia baca sekarang. Kak Itachi membelikannya begitu banyak novel kemarin, kata Sasuke yang membawa buku itu padanya semua adalah diskon, tapi ia tahu beberapa buku yang sekarang ia baca adalah Best Seller. Tapi ia tidak mendebat Sasuke lebih lanjut, ia menerimanya dengan berterima kasih. Itu lumayan untuk koleksi novelnya yang sudah dua rak buku.

Ketika ia sedang membaca, ia mendengar teman-teman yang tadi membicarakan manga berbisik-bisik.

"Lihat-lihat! Bukankah Sasuke-kun mirip Sasuke?"

"Hum-hum! Dan lihat mereka. Bukankah Sakura di Naruto juga menyukai Sasuke? Apa mungkin mereka—"

"Tidak. Lihat tuh!"

Hinata merasakan pergeseran di kursinya dan menatap Sasuke yang baru datang dengan bingung.

"Geser sedikit," kata Sasuke seenaknya.

"A-aku sedang baca, Sasuke," tapi walau berkata menolak, ia tetap menggeser kursinya sedikit untuk Sasuke.

"Aku juga ingin baca buku yang ak—Itachi dan pacarnya belikan untukmu."

"Nah, Sasuke yang ini sudah menyukai orang lain," teman sekelasnya kembali berbisik.

"Mereka bersahabat."

"Benarkah? Kok aku ragu."

"Memang sudah selesai urusannya?" tanya Hinata mencoba mengalihkan perhatian Sasuke. Ia tidak ingin Sasuke mendengar bisikan teman sekelas mereka yang akan berbuntut panjang. Ia juga tidak habis pikir dengan teman-teman sekelasnya. Kenapa mereka berpikir seperti itu?

"Tidak jadi. Sudah, aku juga mau baca," Sasuke menarik paksa itu dan meletakannya di atas meja agar mereka bisa membaca bersama walau terasa sempit dengan bahu bersinggungan.

.

"Tapi aku tidak akan menggunakan kata cantik" sambung Edward. "Tidak kalau kau berdiri di sini sebagai pembandingnya".

Aku separo tersenyum, kemudian mengangkat tanganku yang bebas—tanganku tidak gemetar sekarang—dan meletakkannya di dada Edward. Putih di atas putih, sekali ini kami serasi. Edward bergidik kecil karena sentuhanku yang hangat. Napasnya semakin memburu.

"Aku sudah berjanji kita akan mencoba?" bisik Edward, mendadak tegang.

"Kalau... kalau aku melakukan kekeliruan, kalau aku menyakitimu, kau harus langsung memberitahuku."

Aku mengangguk tenang, mataku tetap tertuju padanya. Aku maju selangkah dan meletakkan kepalaku di dadanya,

"Jangan takut" bisikku, "Kita—(**)

.

Bruk!—buku tertutup keras dan cepat.

"A-apaan ini?!" ledakan suara Sasuke yang keras mengagetkan satu kelas.

"I-ini … aku jamin tidak sampai begitu!" ia mencoba meraih buku itu, tapi Sasuke menarik itu menjauh darinya.

"Jangan coba-coba, Hinata! Kau masih—itu—em … pokoknya jangan baca sebelum kau legal!" Hinata tidak tahu apa yang Sasuke rancaukan dan kenapa Sasuke memerah juga. Ia pun mendengar Sasuke mendesis, "Kenapa juga sih kau membelinya?"

"Itu kan dari Kakakmu," timpalnya.

Dan Sasuke terdiam.

Keesokannya…

Tok-tok!

Diam. Tidak ada yang menyahut.

"Apa kau di dalam, Sasuke?" Itachi menggaruk kepalanya saat di depan pintu kamar mandi dan meringis kala kebutuhan untuk buang air kecil terhambat. Ia tiba-tiba saja terbangun setelah tanpa sengaja meninggalkan pacarnya saat menelepon semalam, tapi sekarang ia ingin buang air kecil. Dan Ia tidak tahu hal apa yang membuat Sasuke bangun juga di pagi-pagi buta seperti ini. "Sasuke?"

Karena berpikir Sasuke tidak ada di dalam, dengan tergesa-gesa ia memutar kenop pintu kamar mandi dan terkejut saat Sasuke duduk di bawah sedang menggosok dan mencuci—apa? Celana dalam? (***)

Itachi menyeringai yang membuat Sasuke kesal, "Woo… jadi mimpi basah lagi?"

"Berisik!"

"Ayolah ayo! Siapa yang kau impikan? Siapa ga—"—Bruk! Pintu tertutup tepat di depan mukanya. Tiba-tiba ia merasakan apa yang selama ini ia tahan. Kakinya merapat dan ia menggedor pintu, "S-Sasuke, buka pintunya!"

Dok! Dok!—"Sasuke! Ba-bagaimana ini? AwAww…."

"Aw," ia merintih pelan ketika keluar dari kamarnya. Sikunya lecet saat ia tadi terpeleset di kamar mandi dan itu menyebabkan ruam merah yang perih.

"Kenapa?" suara yang tiba-tiba muncul dari belakang mengagetkannya.

"S-Sasuke, kau mengejutkanku!" Hinata mengelus dadanya.

"Nah, Gadis Ceroboh, kenapa sikumu seperti itu?" tanya Sasuke mengabaikan keluhan Hinata dan menariknya ke ruang keluarga yang sudah kosong, hanya tingga sofa saja yang sekarang Sasuke menariknya untuk duduk. Sasuke masih menggunakan kaos kaki, pasti lewat jendela lagi.

"Cuma terjatuh."

Sasuke berdiri dan menarik laci yang biasanya diatasnya diletakan TV, "Masih disini 'kan?"

"Ya."

Sasuke kembali duduk disampingnya dengan kotak P3K. Dengan telaten Sasuke mengusap lukanya menggunakan kapas dan cairan antiseptik sebelum di tutup dengan penutup luka. Ia melihat hasilnya yang lumayan bagus, ia mendapatkan suatu gagasan aneh.

"Kau bisa jadi dokter yang baik."

Tiba-tiba Sasuke menepuk kepalanya lalu mengacaknya seolah ia hewan peliharaan dan berkata, "Mana mungkin bisa, Bodoh. Aku terlalu kuat untuk hanya menjadi dokter."

"Tapi kau terlalu pintar dan baik dalam hal ini untuk hanya menjadi Polisi. Apa karena ayahmu?"

Sasuke hanya diam dan menatapnya, membuatnya bingung mau apa. Ia menggaruk tengkuknya, berencana angkat bicara namun Sasuke tersenyum. Ia pikir Sasuke mengalami masalah pada otak itu, tapi Sasuke menatap lurus ke depan lagi dengan tawa.

"A-ada apa?" apa Sasuke menertawakannya?

"Hanya mengenang masa kecil kita. Tidakkah kau berpikir kepang itu begitu lucu?"

Hinata merengut; sebal tiba-tiba, "Kau selalu menarik rambutku, tapi marah-marah bila yang lain memperlakukan rambutku dengan baik dan mengatakan itu bagus."

"Hei, mereka hanya iri padamu!"

Hinata berdecak untuk pertama kalinya, "Dan mulai besok, jangan lagi masuk lewat jendela kamar. Belum tentu tetangga barumu terima dengan sikap anehmu. Juga, sering cuci kaos kakimu."

Sasuke berkata sesuatu dengan pelan. Hinata bertanya apa itu, tapi Sasuke mengatakan kalau ia salah dengar. "Jangan biarkan jendelamu terbuka juga di tempat baru."

Hinata hanya mengangguk sunyi, tiba-tiba ini menjadi menyedihkan. Ruangan menjadi sunyi, ini sangat kosong. Dengan tenang ia melihat kilas masa lalu di rumah ini. Rumah dimana ia dilahirkan, tempat dimana keluarganya berkumpul, mendiang ibunya yang tersenyum saat menyuruh mereka makan, pertemuan pertama dirinya dan Sasuke di umur lima tahun. Begitu banyak kenangan.

Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba Sasuke mengusap pipinya; yang ia tahu ia merasakan matanya panas, pipinya basah dan pelukan hangat yang diberikan Sasuke.

"Hiks," ia menarik bagian belakang seragam Sasuke dan membasahi seragam itu dengan air matanya, "K-kau da-datang kan? Hiks … kau—Sasuke—"

Ia merasakan pelukan itu makin mengerat dan ia tenggelam dalamnya. Begitu hangat, begitu … apa adanya.

"Aku akan mengunjungimu setiap hari." Kata Sasuke. "Janji," tambah Sasuke dengan suara parau.

Seharian itu Sasuke tidak masuk kelas. Ia tidak tahu ada apa, Sakura bilang mereka memang sedang sibuk untuk festival yang tinggal tiga minggu lagi. Saat itu Hinata hanya mengangguk dan mencoba mengerti.

Saat istirahat pertama, Ino dan Sakura mengajaknya makan siang. Ia mengiyakan ajakan mereka dengan senang hati, setidaknya ia tidak akan sendirian selama Sasuke tidak ada; tidak akan ada yang mengambil kotak susunya, tidak akan ada yang menghabiskan tomatnya, tidak akan ada yang … mengusap mulutnya yang kotor karena makannya.

"Hinata, apa kau tidak suka tomat itu?" tanya Ino tiba-tiba, membuatnya agak kaget dari lamunannya.

Hinata menggeleng, "Aku akan menghabiskannya, kok." Bukan ia tidak suka, ia hanya tidak terbiasa menghabiskan itu. Karena selalu ada Sasuke untuk melakukannya.

Lalu, Sakura yang sedari tadi diam, ketika mendapatkan telepon di ponsel itu, Sakura izin pergi dengan alasan rapat OSIS. Hinata saat itu ingin menitip salam untuk Sasuke, tapi mulutnya tidak juga bergerak.

"Dah! Aku duluan ya."

Setelah Sakura pergi, tidak lama mereka berdua juga meninggalkan kantin dan berjalan kembali ke kelas. Beberapa kali Ino mencoba membangun percakapan dengannya, namun ia hanya menanggapi seadanya. Dalam perjalanan kembali ke kelas, ia lebih banyak diam dan menatap langit melalui jendela di lorong. Lagi, dahinya berkerut dan langkahnya terhenti saat melihat kearah pinggir lapangan dari sana. Dua orang yang ia kenal, yang katanya sibuk.

Kenapa mereka berdua ada di sana? Apa yang mereka lakukan?, batinnya bertanya-tanya.

Pun, jawaban itu tidak membutuhkan waktu lama. Sasuke benar-benar tidak muncul, bahkan hanya untuk istirahat kedua. Hinata putuskan untuk tetap di kelas, siapa tahu Sasuke muncul dan mereka bisa berbicara—mungkin hanya mengobrol.

Ia mencoba membaca novelnya, tapi itu semua tidak berhasil. Dan saat itu ia mengakui ia merindukan kehadiran Sasuke. Rasanya aneh saat ini tidak melihat orang itu. Mungkin ini yang orang sebut persahabatan. Nanti, bila Sasuke benar-benar tidak masuk kelas, ia akan mampir ke rumah Sasuke sekalian ingin berterima kasih pada Kak Itachi juga untuk terakhir kalinya melihat rumahnya.

"Apa kau sibuk?"

Hinata mengangkat kepalanya dan mendapati Sakura berdiri dihadapannya dengan wajah ramah. Rambut merah muda itu tergerai sampai bahu.

Ia menggeleng sebagai jawaban lalu Sakura mengambil kursi untuk duduk di depannya sehingga mereka berhadapan. Sakura dengan mata hijau itu melihat novel di tangannya dengan tertarik.

"Kau sepertinya sangat suka membaca ya?"

Hinata lagi-lagi hanya menjawab dengan gerak tubuh. Entah kenapa, ia curiga Sakura punya maksud tertentu padanya; tidak mungkin hanya bertanya tentang hobinya ini. Bahkan ia tidak tahu ia menggunakan mata menyelidiknya saat Sakura tersenyum dan menatap keluar jendela.

"Hinata?"

"Ya?" tadi Hinata agak terkejut saat Sakura memanggilnya.

Hinata juga bingung ketika wajah putih milik Sakura merona.

"Aku hanya ingin bertanya sesuatu."

Benar 'kan. Ada sesuatu.

"Kau dan … em … Sasuke-kun sahabat dekat 'kan?"

Hinata menggigit bibirnya. Kenapa Sakura bertanya begitu?

"Aku ingin jujur kalau aku menyukai Sasuke-kun, karena kau sahabatnya. Hanya kau yang mengerti dia," ungkap Sakura.

Saat itu, Hinata kehilangan suaranya.

"Maaf kalau itu mengejutkan. Aku hanya ingin tahu sesuatu, bila kau berkenan."

Apa tiba-tiba ia mengalami radang tenggorokan? Kenapa sulit sekali berkata?

"Apa Sasuke sedang dekat atau memikirkan perempuan lain?" tanya Sakura sekali lagi dengan khawatir tanpa menyadari bagaimana bingungnya dia.

Hinata menggeleng dengan wajah pias; mengartikan kalau dirinya tidak tahu. Apakah Sasuke pacaran? Apakah Sasuke bercerita tentang masalah itu? Dan jawabannya, ia tidak tahu. Lalu, apa ini yang namanya sahabat?

"Jadi, Sasuke-kun tidak sedang pacaran ya? Aku masih punya kesempatan dong," wajah Sakura yang cerah kembali mengartikan jawabannya yang berbeda. "Terima kasih, Hinata-chan."

Setelahnya Sakura pamit pergi dan meninggalkannya yang penuh dengan berbagai rasa di hati.

"Rasanya aku selalu merepotkan pacarmu," ujar Sasuke dalam sambungan telepon. Seseorang di sana berbicara sesuatu dan tertawa membuat ia menggeleng-geleng.

"Dia merasa senang kok. Oh iya, aku pulang malam. Jangan lupa kunci pintu!" seseorang disana memperingati.

"Aku bukan bocah lagi, Itachi," katanya selagi melepas sepatu dan meletakannya di ruangan berisi rak sepatu. "Hei, kau tidak meninggalkan makanan di pendingin?"

Sasuke melempar tasnya ke sofa saat ia sampai di ruang tengah rumahnya. Suara dengungan AC membuat ia jengah dengan kesepian ini; di rumah yang terlalu besar baginya dan juga kakaknya.

"—sup ikan, sushi dan brownis. Aku tidak yakin sup ikan masih enak, mungkin sushi."

Sasuke menyuarakan mualnya sebagai tanda ketidaksukaannya hingga Itachi terkekeh. Sejak Itachi mengerjainya lima tahun lalu dengan sushi isi katak, ia tidak pernah ingin memakan itu lagi. Membayangkannya membuat ia geli.

"Kenapa? Bukankah Paman Hiashi mengundang kita pesta pindahan? Kau bisa makan di sana. Dia pasti memasak bebek peking dan karaage. Kau harus datang untuk mewakili kita."

Ia tidak merespon.

"Oh, Sasuke. Aku harus pergi, atasanku sudah memanggil. Sampai jumpa."

"Ya," lalu sambungan telepon terputus.

Sasuke menghela napas lalu meletakan gagang telepon di tempat asal di meja nakas. Ia memejamkan mata sejenak; mencari kelegaan dalam bernapas dan kebebasan yang tiba-tiba sulit ia raih hari ini. Ia memang sibuk tadi di sekolah karena persiapan festival yang baru selesai lima puluh persen. Itu menyita waktu, tapi bukan itu yang menyebabkannya merasa sesak seperti ini.

Hari ini Hinata akan benar-benar pindah 'kan?

Ia membuka matanya dan segera bangun. Dengan gontai ia menaiki lantai dua rumahnya lalu memasuki kamarnya yang gelap gulita sebelum ia menemukan saklar lampu. Ia akan membersihkan diri dan tidur. Soal undangan makan malam keluarga Hinata, ia mungkin akan beralasan tidak enak badan. Itu alasan paling efektif untuk dirinya saat ini. Dan besok ia baru akan menemui Hinata sehingga ia tidak sepenuhnya melanggar janji.

Ketika ia membuka jas sekolahnya, tiba-tiba angin berhembus dibelakang punggungnya. Angin pertama yang berhembus hari ini ke kamarnya. Ia berbalik dan mendapati jendelanya ternyata masih terbuka. Ia masih bisa melihat jendela kamar bekas Hinata setengah terbuka juga.

Sasuke menatap jendela mereka yang berhadapan. Lalu satu-satu kenangan membangun cerita di depan matanya seperti kilas balik dirinya disana; dari kecil saat ia mendengar tangis Hinata untuk pertama kalinya, ia tahu ia harus melindungi gadis malang yang baru kehilangan seorang ibu. Sasuke berumur lima tahun nekat memanjat dan membuka jendela lalu mengetuk jendela rumah sebelah untuk mengecek. Dan tidak butuh waktu lama untuk seorang gadis mungil dengan wajah merah penuh air mata membukakan jendela itu. Seorang gadis yang berhasil membuat bocah lima tahun sepertinya nekat melompat ke jendela seberang; dari dulu hingga saat ini.

Ya.

Uchiha Sasuke selalu melakukan hal itu sejak hari pertama pertemuan mereka. Ia berjalan ke tengah ruangan kosong yang tertinggal debu. Walau pemiliknya sudah pergi, ia masih bisa merasa aroma sang pemilik kamar mengudara; harum kayu manis dan cokelat. Ia tidak akan melupakan cinnamonrolls yang biasa Hinata bawa ke kamar atau cokelat yang selalu saja terselip di sudut ruangan. Tapi semua itu sudah hilang.

Tiba-tiba ia mendengar ketukan suara di lantai lalu ia menoleh saat ada yang memanggilnya.

"Sasuke?"

Ia lihat gadis itu berdiri di sana di ambang pintu. Gadis pertama yang ingin menjadi temannya di tempat baru.

"Ternyata kau ada di sini. Aku mencarimu di sekolah—"

Gadis yang dulu hanya ia tatap sebagai seorang teman.

Hinata tersenyum lega padanya, "Aku mengawatirkanmu."

Tapi sekarang terasa…

"Sasuke, aku—"

Sesak, "Sakura menembakku."

Hinata tertahan di posisi itu dan menatapnya dengan kebingungan lekat, "Aku ... tahu."

Tiba-tiba ia maju selangkah, "Aku harus bagaimana?" suaranya begitu berat, bahkan terdengar mengambang di telinganya sendiri.

"Kau … menyukainya juga?" Hinata menatap lurus, tapi bukan pada dirinya.

"Aku harus bagaimana?" Sasuke menunggu Hinata yang menolak menatapnya, "Apa aku harus menerimanya?" ia mengulanginya lagi dan menuntut gadis itu lagi, membuat dirinya merasa frustrasi dengan keheningan menyebalkan ini. Sialan.

Sasuke mendekat sedikit lagi dengan tampilan wajah mengeras; dahi mengerut dan sorot mata tajam, "Apa aku harus menerimanya?" dan Hinata lagi-lagi tidak menjawabnya, membuatnya diam-diam mengepalkan tangan. Menghitung detik yang menyiksa.

.

.

.

Mereka tahu mereka harus berpindah pada tempat ini…

Karena tidak ada tempat yang benar-benar tetap…

Pilihannya; berpindah maju…

atau mundur…

.

.

.

Sudah…

"Abaikan. Aku antar kau pulang," putusnya untuk menghalau kekecewaan.

Sekarang … ia tahu apa jawabannya.

To be continued…

A/N: Hayo siapa yang jatuh cinta duluan? Ketauan kali ya :). Aku buat ini tuh karena kangen sama dramanya, kemarin baru nonton yang Reply 1994 dan ngeliat Shi Won and the gank di bus jadi kangen. Pengen nonton lagi, tapi DVD-nya ilang. Hah…

(*) salto make boxer doang itu ada di Reply 1997, itu kocak banget! XD Yoon Jae kalah taruhan sama temennya eh disuruh begitu di lapangan sekolah putri (kalo ngga salah). Haha

(**) Ya, itu penggalan dari novel Breaking Dawn. Padahal mah ngga ada adegan itu, Sasuke aja yang parno. Haha

(***) ini dari Reply 1997, ngeliat adegan ini tuh aneh aja. Ketauan banget Yoon Jae ternyata normal (?) #Wot!

Oh iya, soal Sasuke yang asli (manga) aku lupa chapter berapa. Lagipula aku udah ngga baca Naruto lagi, belum ada waktu, jadi sorry kalo salah ya.

Btw, ini ngga banyak, paling 4 chapter. Mungkin ini fanfic penutup untuk aku. Aku akan jarang posting atau mungkin ngga sama sekali. Ngga tau :")

Cuma, aku mohon doanya ya biar persiapan dan proses UN lancar. Makasih.

Review ya? Dan please, correct me if I wrong. Kalo sempet aja. :)

Bab selanjutnya: Demam di Akhir Musim Panas dan Festival Patah Hati