Cinta. Berbicara tentang cinta memang tak ada habisnya. Kupikir cinta tak lebih dari seekor hewan buas, atau bisa kusebut predator. Dan tentu saja akulah sang mangsanya yang lemah. Lihatlah cara Cinta mengawasiku dan menatapku dengan sorot mata yang tenang itu. Perlahan Cinta mendekatiku. Mengendap-endap tanpa suara. Seketika menjerat dan menerkamku. Sekuat apapun akumelawan dan mencoba untuk melakukan penolakan terhadap hatiku sendiri, aku tak akan pernah bisa lepas. Tatapan tenang luar biasa yang Cinta hadirkan mampu membuat pertahananku runtuh seketika. Cinta memang Tuhan ciptakan dengan mata yang buta arah, bukan? Bisa menuju siapapun, terjatuh di manapun, dan kapanpun―sesukanya. Sia-sia melakukan perlawanan. Tubuhku terlalu lemah untuk sekedar melawan kekuatan Cinta yang terlampau besar. Pada akhirnya, aku mati di tangannya yang penuh dengan racun memabukkan.


Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

WARNING: Simple, Ringan, OOC, AU, Twoshoot/Threeshoot XD, DLDR! EYD payah. And maybe typo(s)

ShikaIno's Fanfiction

Romance

Enjoy! Happy Reading~


My Last One


"Argh... ada apa denganku?" aku setengah berteriak dan menjambak rambutku sendiri saat lagi-lagi aku tak berhasil menyingkirkan wajah tampannya yang selalu berlarian di benakku. Mengolok-olokku seolah dia adalah iblis yang diutus Tuhan untuk mengganggu hidupku. Kugelengkan kepalaku frustasi. Aku benar-benar tak habis pikir. Sejak pertemuan pertama kami malam itu, hatiku menjadi lebih kacau. Otakku tak bisa mengalihkan fokusnya. Selalu saja membentuk satu objek seorang pria rupawan dengan senyuman sejuta watt-nya―oke ini berlebihan. Tapi, sungguh. Senyumannya mampu membuatku lupa diri. Setengah mati kucoba membuang kelebatan itu, namun semakin akuberusaha, semuanya semakin terasa menyiksaku. Bayangannya selalu datang dan datang lagi. Manik hitam legamnya. Bibirnya yang merah. Caranya tertawa. Hidungnya yang mancung. Tatapan matanya yang meneduhkan. Detail-detail itu, semuanya entah mengapa bisa kuhapal dengan jelas dalam sekali temu.

"Itu tandanya kau sedang jatuh cinta, Ino," sahut sahabatku datar tanpa mengalihkan atensinya dari novel yang tengah dibacanya.

"Hah? Jatuh cinta? Jangan bercanda, Sakura!" kutatap wajah sahabatku itu dengan horror. Bisa-bisanya dia menyimpulkan begitu.

Sakura menyimpan novel detektifnya di atas meja nakas yang terletak di samping tempat tidurku. Saat ini aku dan Sakura berada di dalam kamarku. Sakura sengaja menginap karena orangtuanya mendadak harus mengunjungi desa di mana nenek dan kakeknya berada. Kesempatan untuk bercerita juga dengannya perihal pertemuan pertamaku dengan pria yang mengusik hidupku itu.

"Kau itu bodoh atau bagaimana? Tentu saja itu sudah jelas, bukan? Kau masih terbayang-bayang wajahnya, walaupun kau sudah menepisnya berulang kali," ujar Sakura sambil menghela napas pelan.

Aku mengerutkan keningku dan menggeleng pelan, "kupikir itu tidak mungkin. Sakura, aku tidak mungkin menjatuhkan hatiku begitu cepat kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal."

Sakura mengacuhkan jawabanku dan menjentikkan jemarinya di depan keningku, membuatku meringis kecil, "sudah berapa hari pria itu ada di dalam pikiranmu?" katanya.

Aku mencoba mengingat-ngingat. Menengadahkan kepalaku menatap langit-langit kamarku seolah jawabannya tertera dengan jelas di atas sana. "Kalau tidak salah semenjak aku mengenalnya. Sebelum bertemu dengannya pun aku sudah lancang memimpikannya, tapi sungguh, aku tidak pernah menginginkan hal ini."

Senyum Sakura melebar tatkala kutatap wajahnya dengan tatapan bingung. "Nah! See? You're already falling in love, Ino-chan!" jawab Sakura dengan nada riang dan keyakinan yang besar.

"T-Tidak mungkin!" mataku melebar mendengar vonis mengerikan dari Sakura. Meskipun demikian, diam-diam aku membenarkannya juga. Jika kutelusuri lebih dalam. Sepertinya memang benar apa yang Sakura tuduhkan. Aku tengah jatuh cinta. Beberapa kali aku berusaha mengelak, rasa abstrak yang menggebu-gebu itu semakin kencang kurasakan. Kini apakah yang kurasakan benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama? Sejak dulu, aku tak pernah percaya dengan titel 'Cinta Pada Pandangan Pertama'. Normalnya, kau harus beberapa kali bertemu atau paling tidak mengetahui tentang seseorang, baru kau bisa menyimpulkan itu cinta atau bukan, begitu 'kan? Tapi, anehnya, sekarang dengan mudahnya aku bisa menjatuhkan hatiku kepada seseorang yang asing. Jatuh cinta pada sosok yang bahkan tak pernah kukenali sebelumnya benar-benar terjadi.

Yang aku tahu pria itu mengaku bahwa dirinya adalah penggemarku. Ah, penggemar? Bagaimana bisa wanita biasa-biasa saja sepertiku yang jauh dari hiruk pikuk dunia luar ini memiliki seorang penggemar? Biar kuberitahu. Aku ini penulis amatiran yang hanya berani menerbitkan tulisan-tulisannya di situs jejaring sosial. Sudah hampir tiga tahun aku aktif di dunia yang kusenangi ini. Tapi, baru kali ini aku dikejutkan dengan kehadiran seorang penggemar pria sepertinya. Awalnya kami hanya berinteraksi lewat sosial media saja. Aku pun menanggapi pesan-pesan darinya sewajarnya, kupikir orang semacam pria ini banyak. Tak jelas modusnya apa. Aku patut berhati-hati. Bisa saja dia hanya mengaku-ngaku seorang penggemar, padahal dia orang jahat, 'kan? Who know? Oke, aku memang selalu penuh dengan pikiran negatif terhadap orang asing. Belum tentu juga apa yang kupikirkan itu memang sesuai dengan kenyataannya.

Awalnya biasa saja. Aku tak pernah menaruh perhatian lebih padanya. Saat itu aku lebih fokus kepada pemulihan hatiku paska patah hati. Namun, suatu hari tepatnya hari Kamis malam. Pria itu memberiku pesan singkat, meminta alamat rumahku. Tentu saja aku bingung. Menimbang-nimbang apakah aku harus memberikan alamat rumahku pada orang asing ini? Akhirnya setelah bergelut dengan pikiranku, aku memberikan alamat rumahku padanya. Yah lagipula aku tak sendirian di rumah, ada orangtuaku. Jadi jika pria itu macam-macam aku bisa langsung teriak saja, bukan? Oh, Tuhan. Tak bisakah aku berhenti berpikiran negatif kepada oranglain?

Lalu, semua prasangkaku berbalik 180 derajat saat aku dan pria itu bertemu secara langsung. Saat kedatangannya ke rumahku yang anehnya membuat hatiku tak menentu. Pertemuan pertama kami membuat hatiku bergejolak, seperti ada rindu yang terpendam lama di dalam sana. Seolah aku dan dia telah mengenal satu sama lain sejak dulu. Padahal ini benar-benar pertemuan pertama kami. Dan aku baru saja patah hati. Namun, ketika melihatnya dan berada di dekat pria yang asing bagiku ini, aku bisa melupakan patah hatiku. Aku bisa melupakan pria brengsek yang telah pergi meninggalkanku hanya karena wanita lain. Hah, rasanya mengingat hal itu membuatku naik pitam. Ingin sekali melemparkan seloyang besar kue tart tepat di wajah mantan kekasihku itu. Berani-beraninya pria dingin tak berperasaan itu mengoyak-ngoyak perasaanku dan mencampakan aku seenak jidatnya.

Tunggu... kenapa jadi membicarakan orang tidak penting seperti Sai, sih?

"Ino, cinta itu datang tanpa aba-aba. Kautahu 'kan? Kehadirannya selalu mengejutkan," ujar Sakura setelah tercipta jeda beberapa detik di antara kami berdua. Mengaburkan lamunanku.

Konsentrasiku benar-benar buyar. Aku tahu kehadiran cinta memang selalu diliputi dengan misteri-misteri seperti novel kesukaan si jidat lebar itu. Tapi... Jatuh cinta... Haruskah aku percaya dengan hal yang bernama cinta kembali? Setelah berulang-ulang aku gagal dan hanya mendapatkan kekecewaan? Hey, lagipula pria itu hanya seorang penggemar saja. Kenapa aku mengharapkan lebih darinya? Bodoh sekali, mana mungkin pria sepertinya yang nyaris sempurna bisa melihat aku sebagai seorang wanita―maksudku lebih dari seorang idolanya.

"Tenanglah, kaupikir semua pria seberengsek Sai mantan kekasihmu itu? Tidak, Ino. Pikiran negatifmu itu harus disterilisasikan. Kauharus segera move-on!" ujar Sakura yang seakan mengerti kegamangan hatiku, dia mendekatkan tubuhnya kepadaku dan menepuk pundakku beberapa kali disertai dengan cekikikannya yang menyebalkan.

Sai Shimura... Hey, Sakura asal kautahu. Tentu saja aku sudah berhasil move-on darinya, dan yang membuatku bangga adalah aku dapat melupakannya dalam tempo yang begitu cepat. Kupikir hanya membuang-buang waktuku saja jika harus berkubang dan menangisi kepergian pria labil macam Sai. Aku percaya ini adalah skenario Tuhan yang paling baik untukku. Tuhan nampaknya memberikanku kesempatan untuk bertemu pria yang lebih baik darinya di luar sana, seorang pria yang benar-benar tulus mencintaiku. Dan entah mengapa aku berharap pria yang Tuhan pilihkan untukku dan bisa menjadi pendampingku kelak itu adalah pria bernama Shikamaru Nara―itu namanya, pria yang mengaku fans beratku. Bodoh, 'kan? Aku benar-benar terserang virus cinta.

"Aku mengerti, sudah jangan bahas pria menyebalkan itu lagi. Sekarang aku sedang bingung. Besok Shikamaru mengajaku pergi nonton bioskop. Aku harus bagaimana? Apa kutolak saja ya? Aku belum memberinya jawaban."

Semuanya Salahku. Aku yang pertama memancingnya, kubilang ada film bagus yang ingin kutonton. Tapi ternyata pancingan spontan miliku itu malah membuatnya mengajakku untuk menonton berdua.

"Kau kelewatan, Yamanaka Ino!" ujar Sakura, "kau mau menolak ajakan berapa orang pria lagi? Sudah kubilang tidak semua pria sama dengan mantan-mantanmu yang kurang ajar itu. Lagipula, feeling-ku mengatakan Shikamaru itu pria baik-baik. Kalau seperti ini aku jadi meragukan kenormalanmu sebagai seorang wanita," lanjut Sakura.

Ucapan menyebalkan Sakura itu segera membuatku menoleh cepat ke arahnya yang masih bersungut-sungut dengan topik argumen 'kenormalanku sebagai seorang wanita'. Bisa-bisanya sahabatku yang satu ini meragukanku.

"Apa maksudmu? Aku masih wanita normal. Aku akan selalu normal tentu saja, bodoh!" bantahku dengan suara yang agak tinggi. Kesal. Sungguh. Meskipun akutahu Sakura hanya bercanda, tapi tetap saja emosiku tersulut.

"Hahaha... Kalau begitu, sekarang kauterima saja ajakan Shikamaru. Bukti bahwa Yamanaka Ino adalah wanita normal," cibir Sakura. Matanya mengerling genit padaku.

Aku tak menyahut lagi. Menghela napas panjang. Lagi-lagi aku kalah berdebat dengan Sakura, sahabatku yang paling cerewet. Sebagai ganti membalas perkataannya, aku hanya menganggukan kepalaku lemah. Tanda aku menyetujui sarannya. Dan menerima ajakan pria bernama Shikamaru itu.

"Yeay! Akutahu kau pasti tidak akan menolak ajakannya. Yah, hanya saja kau itu terlalu banyak berpikir. Kau selalu menakutkan hal yang belum tentu terjadi. Ino, dengar, berteman dengannya bukan suatu hal yang salah, bukan? Jika kau ternyata benar mencintainya, perjuangkanlah. Entah kenapa aku merasa dia punya sesuatu di balik topeng penggemar itu. Dalam hal yang baik tentu saja, nah sekarang kau kirim pesan padanya. Ayo!"

Hm... Sesuatu apa? Sudahlah. Kubilang, aku tak mau berharap dan berekspektasi terlalu tinggi tentang Shikamaru. Yah, ikuti saja skenario yang Tuhan berikan. Ikuti saja, mengalir apa adanya. Aku yakin semua skenarionya tak ada yang meleset dan selalu berakhir indah. Yang harus kulakukan sekarang adalah meneguhkan hatiku untuk mengiyakan ajakan Shikamaru, dan menyiapkan pakaian untuk kencan besok. Eh? Kencan? Oh, bukan... Ino, ini hanya acara nonton bioskop biasa. Bukan kencan!

"Oke-oke..." dengan tangan bergetar kuraih ponselku dan mengetik deretan huruf merangkai sebuah kalimat.

To: Shikamaru Nara

From: Yamanaka Ino

Besok kutunggu kau jam sebelas siang di rumahku. See you!


Pagi ini aku bangun terlalu awal. Kulihat Sakura yang semalam tidur di sampingku sudah tak tahu pergi kemana. Mungkin dia sedang di kamar mandi atau mencari makan―aku tak mau peduli. Kulirik jam beker yang ada di atas meja nakas dengan mata memicing. Benar, kan? Masih terlalu pagi untuk jadwalku bangun. Jarum jam masih menunjukan pukul delapan tepat. Kuputuskan untuk kembali tertidur. Namun, sebelum aku berhasil menarik selimut tebalku dan kembali tertidur, aku dikejutkan dengan kehadiran Sakura yang tiba-tiba saja menarik selimutku dengan cukup kasar. Membuatku sedikit meringis.

"Apa sih?" tanyaku dengan sebal. Mengganggu saja.

"Apa katamu? Hey, kau tidak lupa, 'kan? Nona Ino yang cantik?" ejek Sakura.

Aku tidak mengerti apa yang Sakura maksud. Aku mencoba untuk tidak peduli dan melanjutkan acara tidurku.

"Ino, hari ini hari Sabtu. Kau tidak berencana menghabiskan malam minggumu hanya di kamar sumpekmu dan tiduran saja, 'kan?" bisik Sakura tepat di telingaku.

"Sakura, aku masih ngantuk. Biarkan aku tidur sebentar lagi," sahutku.

"Tidak, tidak! Kau harus bangun, Ino!" teriak Sakura sambil mengguncang-guncang bahuku keras. Membuatku segera menyudahi kegiatan tidurku. Mau tak mau, aku bangkit dari tempat tidurku dan menatap tajam manik emerald milik Sakura.

"Kau menyebalkan sekali sih, jidat lebar! Katakan, apa maumu?" teriaku frustasi.

"Ck, pemalas. Kau pasti lupa kalau hari ini ada kencan dengan Shikamaru jam sebelas nanti! Cepat mandi sana! Kasihan dia kalau harus menunggumu lama," balas Sakura yang kini mendorong-dorong tubuhku untuk masuk ke dalam kamar mandi.

"Kencan? Shikamaru? Oh, Tuhan. Aku benar-benar lupa, Sakura," seketika rasa kantukku menguap begitu saja. Tergantikan dengan debaran-debaran yang lagi-lagi muncul dari jantungku. Aku tersenyum miris dan segera melesat ke dalam kamar mandi. Sebelum kututup pintu kamar mandiku, aku sempat mendengar Sakura mengumpat di luar sana. Tapi kuhiraukan saja.

Beberapa menit kemudian aku selesai dengan kegiatan mandi, dan berganti pakaian. Agak kesulitan juga, aku sudah lama tidak pergi keluar dengan lawan jenis. Untung saja ada Sakura yang dengan senang hati dan terlalu bersemangat untuk memilihkan baju apa yang cocok untuk kukenakan.

"Bagaimana? Apa ini cukup? Aku tidak terlalu suka pakaian yang terbuka atau minim," tanyaku pada Sakura sambil memutar-mutar tubuhku di depan cermin berukuran besar.

Sakura menaikan kedua ibu jarinya dan tersenyum lebar, "sempurna! Kau cantik," katanya, berhasil membuatku tersipu malu dan menyenggol bahu Sakura pelan.

Sekali lagi aku mematut diriku di depan cermin, sedikit heran dengan penampilanku. Aku setuju dengan apa yang Sakura katakan, aku cantik. Tapi, untuk apa aku berdandan seperti ini? Apakah aku berniat untuk menarik perhatian Shikamaru? Apakah Shikamaru akan suka dengan penampilanku ini? Apakah Shikamaru akan jatuh cinta kepadaku? Sekelumit pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban berkelebatan di dalam otaku.

Dalam pantulan itu, rambut pirang panjangku hanya kuikat ponytail. T-shirt casual berbelahan dada rendah berwarna putih gading dengan corak jalinan kuntum lavender yang dipadupadankan dengan celana jeans melekat di tubuhku dengan indah. Sneakers Converse tinggi berwarna senada dengan pakaian yang kukenakan hadiah pemberian Ibu tampak begitu melengkapi penampilanku hari ini. Tak lupa dengan make-up natural yang Sakura oleskan pada wajahku dan sedikit lipgloss merah muda membuatku lebih percaya diri. Meskipun penampilanku jauh dari kata feminim, tapi aku suka dengan gayaku ini. Aku lebih nyaman seperti ini.

Berkali-kali kutarik napasku dan mengeluarkannya, kupejamkan kelopak mataku, berusaha meredakan gemetar yang menderaku.

"Kau gugup?" Sakura memandangiku cemas saat aku membuka kelopak mataku.

"Hm, sangat," aku memainkan jemariku dan terus merapalkan mantra-mantra ajaibku―yang hanya bisa kumengerti sendiri―jika aku tengah dilanda rasa gugup.

Sakura tertawa kecil, meraih jemariku dan menggenggamnya. "Kau pasti bisa, hey ini hanya kencan bukan suatu hal yang harus kaukhawatirkan, hm?" ujarnya menyemangatiku.

Kuhirup oksigen dalam-dalam dan mencoba tersenyum tulus kepada Sakura, kuanggukan kepalaku mantap. "Iya... tapi sensasinya sungguh luar biasa, Sakura. Aku tak pernah merasakan yang seperti ini," ujarku pelan.

"Tenanglah, senatural mungkin, oke? Nanti saat berhadapan dengannya, kau jangan kaku. Jadilah dirimu sendiri. Nikmati saja Ino, jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Bayangkan saja yang indah-indah, akhir pekanmu hari ini pasti akan sangat mengejutkan. Tidak ada salahnya mencoba, 'kan? Kau tidak bisa terus-terusan menghindari perkenalan dengan seorang pria," balas Sakura.

Sakura benar. Sampai kapan aku menutup hatiku untuk berkenalan dengan seorang pria? "Jangan berani mencintai jika kau tak mau terjatuh" begitulah slogan yang kulihat di salah satu acara televisi favorite-ku. Baiklah, kuharap ini awal yang baik untukku.


Berkali-kali kulirik arlojiku. Tak terasa waktu yang dijanjikan hampir dekat. Aku harap-harap cemas. Menanti-nanti dengan tak sabar kehadiran Shikamaru.

Kring Kring Kring...

Belum reda rasa cemasku. Aku dikejutkan dengan bunyi ponselku yang berdering nyaring. Nama Shikamaru Nara tertera di layar ponselku. Membuat hatiku semakin berdebar saja. Aku melirik Sakura yang ada di sampingku, dia mengangguk dan dengan pelan kutekan tombol answer.

"Halo?" ucapku pelan.

"Ino, kau sudah siap?" tanya suara lembut Shikamaru di seberang sana.

"Ya, tentu saja. Kau di mana sekarang?" jawabku terlalu cepat.

"Ah, kau sudah siap ya? Maaf Ino... Sepertinya hari ini kita tidak bisa pergi, ada sesuatu hal mendadak yang harus kukerjakan. Maaf Ino. Kau pasti kecewa padaku," balas Shikamaru. Aku dapat mendengar ada nada penyesalan di sana.

Seketika tubuhku rasanya lemas. Acara hari ini batal? Begitu? Sia-sia semua ini. Untuk apa aku melakukan make-over jika pada akhirnya Shikamaru membatalkan acaranya begitu saja. Dan aku tak habis pikir mengapa dia tidak menghubungiku lebih awal. Tidak di jam yang dijanjikan seperti ini.

"Oh, tidak apa-apa. Kalau kau tidak bisa tidak apa-apa, aku baik-baik saja, aku tidak kecewa. Mungkin hal itu lebih penting dari acara ini... iya aku mengerti, tak usah khawatir."

Bohong. Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Aku sangat kecewa.

Sakura berbisik kepadaku, menanyakan apa yang terjadi. Aku hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepalaku lemah. Jujur saja, aku hampir menangis. Kenapa aku begitu kecewa, ya?

"Ino? Kau yakin? Maafkan aku. Ini di luar perkiraanku. Ah, maaf aku harus menutup teleponnya. Sekali lagi maafkan aku."

Tut tut tut...

Terputus sudah.

Sambungan telepon Shikamaru terputus sebelum aku sempat membalas ucapannya. Bodoh! Ternyata semua pria sama saja.

"Apa yang dikatakan Shikamaru?" tanya Sakura kemudian.

Aku menarik napasku dalam-dalam, berusaha menahan tetesan airmata yang siap meluncur dari kelopak mataku. "Batal. Dia bilang ada hal penting yang harus dikerjakannya sekarang. Aku merasa dibodohi, Sakura."

"Begitukah? Sayang sekali. Sudahlah jangan cemberut seperti itu, masih ada lain waktu 'kan? Dia pasti akan menggantinya lain hari," balas Sakura berusaha untuk menenangkanku.

Tidak masalah jika tidak ada hari lain untuk mengganti acara yang batal ini. Hanya saja aku sedikit kecewa dengan pembatalan mendadak ini. Meskipun seperti kata Shikamaru, ini diluar perkiraannya. Tapi, tetap saja kecewa itu ada. Pasti ada.


Lama bergelut dengan pikiran acakku. Tiba-tiba saja aku dan Sakura dikejutkan dengan bunyi klakson sepeda motor yang berasal dari arah depan rumah. Aku dan Sakura saling melemparkan pandangan. Kemudian kami bangkit dari kursi yang sebelumnya kami duduki. Berjalan ke luar pintu rumahku. Dan betapa terkejutnya aku, saat manik aquamarine-ku bersibobrok dengan manik hitam legam milik pria tampan yang ada di depan rumah itu.

Shikamaru Nara―dia ada di depan rumahku sekarang dengan sepeda motor besarnya sambil tersenyum jahil ke arahku.

Bodoh! Apa yang direncanakannya? Membuat kejutan, eh?

Kau berhasil, Tuan.

"Kau terkejut?" ujar Shikamaru ketika aku berhasil menghampirinya.

"Tentu saja, kau hampir membuatku menangis," ah kenapa aku bicara begitu sih?

"Serius? Kau hampir menangis? Kenapa?" tanyanya penasaran.

Aku menggigit bibir bawahku, mengantisipasi agar tak ada isakan yang lolos dari bibirku. Kutarik napasku dalam-dalam, memilah kata apa yang tepat untuk sebuah jawaban. "Itu..."

"Sudahlah, ayo cepat kalian pergi. Sudah siang loh, nanti keburu panas," sambung Sakura memotong pembicaraanku.

Ah, kau penyelamatku, Sakura. Betapa leganya aku, dengan begitu aku tak perlu menjelaskan perihal ini kepada Shikamaru.

"Ah iya, benar apa yang dikatakan temanmu itu..." Shikamaru tampak berpikir sejenak.

"Sakura, namaku Sakura Haruno."

"Oh, salam kenal, Sakura," katanya yang hanya dibalas senyuman oleh Sakura, "nah, sekarang naiklah, Ino!" lanjut Shikamaru kepadaku sementara aku menganggukan kepalaku dan duduk di belakangnya.

"Sakura, kami pergi dulu. Sampaikan pada ibuku jika dia pulang nanti, ya?" kataku kepada Sakura. Ibu dan ayahku pagi-pagi sekali sudah pergi entah kemana tanpa memberi pesan. Mereka sudah biasa begitu, sih. Jadi aku sudah tak heran lagi.

"Baiklah, nanti kusampaikan. Hati-hati di jalan."

Tak lama kemudian motor milik Shikamaru pun melesat. Meninggalkan kawasan rumahku. Dan perasaan itu datang lagi. Entahlah, yang jelas aku selalu merasa nyaman berada di dekat Shikamaru. Aku selalu terbius dengan aroma tubuhnya yang harum ini. Terlalu nyaman dan membuatku terbuai. Sampai rasanya aku tak tahan ingin memeluknya. Eh? Apa? Lupakanlah yang tadi itu.

"Ino, kau sudah siap berpetualang denganku? Tapi sebelum itu kau harus pegangan. Nanti kau bisa jatuh, kalau kau jatuh aku tidak mau tahu," ujar Shikamaru.

"Iya, iya. Aku pegangan, kau jahat sekali sih. Membiarkan aku jika aku terjatuh," balasku setengah sebal.

Shikamaru tertawa rendah, kemudian dia menghentikan motornya sejenak. "Tunggu sebentar, aku punya sesuatu untukmu," katanya.

Aku mengerutkan keningku tak mengerti. Sesuatu apa?

"Ini, untukmu. Kau suka ini 'kan?" ujar Shikamaru yang kini menggenggam dua batang cokelat di tangan kanannya yang sebelumnya ada di dalam tas kecil miliknya.

"Untukku? Kau tahu dari mana kalau aku suka cokelat?" tanyaku penuh selidik.

Lagi-lagi Shikamaru tertawa, "sudah kubilang aku ini penggemarmu. Aku tahu apa yang kau sukai," katanya.

"Kau seorang stalker?" Tuduhku.

"Bukan, aku hanya mendapatkan semua itu dari data-data yang beredar saja," balasnya.

"Iya, tetap saja. Kau itu stalker, Tuan jenius," kataku.

"Hahaha... Aku tidak jenius, ah sudahlah. Pegangan, kita mulai perjalanan menyenangkan kita."

Dan dengan itu, motor besar milik Shikamaru kembali melaju dengan kecepatan sedang sementara kedua tanganku dengan canggung memegang pinggiran pinggangnya.


Sesuai rencana awal, sesampainya di lokasi tujuan, kami segera memeriksa jadwal tayang film bioskop yang berada di salah satu Mall di kawasan Tokyo ini. Sebelumnya kami menyempatkan membeli makanan dan minuman ringan di sebuah supermarket di basement. Makanan dan minuman itu kami selundupkan ke dalam tas masing-masing. Sedikit sulit, karena aku membeli―lebih tepatnya dibelikan oleh Shikamaru―makanan berat (berhubung aku memiliki penyakit maag, telat makan nasi sedikit saja tidak bisa). Kau tahu 'kan? Bahaya jika ketahuan membawa makanan dari luar oleh petugas bioskop, bisa-bisa cemilan kami disita. Terkadang peraturan larangan membawa makanan dan minuman dari luar cukup membuatku jengkel―mungkin banyak yang berpendapat sama sepertiku juga. Harga yang disuguhkan di cafetaria dalam bioskop lebih mahal dua atau tiga kali lipat dibandingkan dengan supermarket atau warung-warung yang ada. Sayang bukan?

"Kau mau nonton film apa?" tanya Shikamaru ketika kami mengantri untuk melihat daftar film yang akan diputar hari ini.

"Hm, apa ya? Yang itu saja, dari awal kita memang ingin menonton film itu 'kan?" jawabku.

Shikamaru mengangguk dan akhirnya pilihan kami jatuh pada sebuah film bergenre sci-fi dan action. Film tersebut merupakan seri kedua dari film pertama yang diputar tahun lalu. Sebenarnya aku bukan pecinta film action, tapi karena jalan cerita film pertama yang begitu memukau dan membuatku berdecak kagum, jadilah aku menunggu-nunggu seri lanjutan dari film tersebut. Setelah memesan tiket masuk―yang lagi-lagi dibeli oleh Shikamaru―dan menunggu kurang lebih dua puluh menit, kami akhirnya masuk ke dalam gedung bioskop. Kami mendapatkan tempat duduk di deretan tengah, posisi yang cukup nyaman. Shikamaru duduk di sebelah kananku, sementara empat bangku di sebelah kananku masih kosong. Aku yakin tidak akan ada yang menempati kursi itu sampai akhir film diputar. Karena aku dan Shikamaru nampaknya memilih jadwal film terlalu awal, waktu masih menunjukan pukul dua belas siang saat ini, pengunjung bioskop masih sangat sepi. Beberapa menit kemudian, pencahayaan di bioskop mulai redup, trailer film-film pun memenuhi layar sebelum akhirnya film utama diputar.

Di tengah-tengah pemutaran film tersebut aku dan Shikamaru mulai membuka perbekalan kami, berhubung perutku sudah terasa perih. Kupikir Shikamaru pun merasakan hal yang sama, berhubung ini sudah masuk jam makan siang. Pastilah rasa lapar begitu mendominasi.

"Kau mau?" tanyaku padanya seraya menawarkan bento yang dibeli olehnya untukku.

Shikamaru mengangguk dan kemudian menerima sumpit yang kuberikan kepadanya. Entah kenapa aku menyunggingkan senyuman saat Shikamaru mulai melahap makanan tersebut. Tuhan, tolonglah aku. Sepertinya aku benar-benar sudah masuk ke dalam pesonanya.

"Buka mulutmu," ujar Shikamaru kemudian.

Aku mengerutkan keningku tak mengerti. Tiba-tiba saja pria tampan di sampingku menyuruhku membuka mulut?

"Maksudmu?" aku mengerling ke arahnya, mengabaikan layar di depanku yang tengah menunjukan aksi-aksi menegangkan itu.

"Biar kusuapi," balas Shikamaru santai.

Napasku seakan tercekat saat mendengar kalimat yang dilontarkan Shikamaru. Selama aku berpacaran belum pernah sekalipun pacarku menyuapiku, tapi sekarang Shikamaru dengan gayanya yang santai menawariku untuk disuapi. Padahal dia bukan pacarku.

Aku meneguk salivaku dengan gugup. "Emh, tidak usah. Aku bisa makan sendiri," kataku berbisik.

Seakan tak mengindahkan kata-kataku, Shikamaru masih saja menyodorkan makanan itu ke arah mulutku. Percuma mengelak, aku sudah kalah telak. Sebenarnya bukannya aku tak mau disuapi olehnya, aku hanya gengsi dan malu diperlakukan seperti ini. Pada akhirnya kami saling menyuapi. Tidak bisa kupungkiri, bahwa aku sangat menikmatinya.

Setengah jam kemudian, semua makanan dan minuman yang kami beli sudah habis tak bersisa. Film pun sudah hampir berada di ujung cerita. Pada satu adegan yang begitu mengharukan, entah terbawa suasana atau apa, tiba-tiba saja Shikamaru meraih tangan kananku dan menggenggamnya dengan lembut. Membuatku tak bisa berkonsentrasi pada film. Dari ujung mataku kulirik Shikamaru yang ternyata sedang melihat ke arahku juga. Sejurus kemudian, kehangatan menjalari tubuhku inci demi inci tatkala jemari kami saling bertautan dan Shikamaru memberikan kecupan kecil di punggung tanganku. Tuhan, ijinkanlah aku berharap lebih. Jika bisa, ingin kuhentikan saja waktu. Ingin rasanya lebih lama merasakan kehangatan dan ketenangan yang disalurkan dari tangan besar milik Shikamaru. Oh Tuhan, aku benar-benar jatuh cinta padanya...


"Kau suka film yang tadi?" itu adalah pertanyaan yang kulontarkan kepada Shikamaru setelah kami keluar dari gedung bioskop. Aku berusaha mencairkan suasana yang entah mengapa menjadi canggung dengan sekedar menanyakan tentang film yang baru saja kami tonton.

"Tentu saja. Aku memang menyukai film dengan genre seperti itu," jawab Shikamaru seraya tersenyum lembut kepadaku.

"Oh, iya."

Er... Beberapa kali aku merutuki diriku sendiri yang selalu seperti ini jika sedang berhadapan dengan seorang pria. Kikuk dan tidak tahu apa yang harus kubicarakan. Sebenarnya, aku bukan orang yang anti-sosial, hanya saja aku tidak mengerti berhadapan dengan Shikamaru membuatku seperti ini.

"Ah, ya... Ino, kau suka bagian yang mana?" Shikamaru memandangiku lekat-lekat. Untuk kesekian kalinya, sorot matanya itu membuatku hanyut. Menyihirku sehingga mampu membuatku bungkam untuk sepersekiandetik.

"Lewat sini!" Tangan Shikamaru menunjuk arah selatan. Kami melewati beberapa orang dan toko-toko di Mall ini dengan langkah tenang dan lengang menuju tempat parkiran. Tak ada perbincangan antara aku dan Shikamaru dalam beberapa detik. Sebelum akhirnya aku melontarkan jawaban yang membuatku ingin berkubang di dalam lubang besar sehingga Shikamaru tak dapat menemukanku.

"Aku paling suka bagian dimana saat kau menggenggam tanganku," sontak saja, aku menutup mulutku dengan sebelah telapak tanganku. Kalimat itu refleks keluar dari mulutku. Tak ada yang berhasil menyaringnya dan menahannya. Semuanya seperti di setting otomatis.

"Eh? Apa yang kaubilang tadi, Ino?" Shikamaru menatapku heran.

Bodoh! Ino, kau bodoh! "T-Tidak, maksudku aku suka semua adegan dari film itu. Mmm, kita pulang sekarang?" ajakku seraya tersenyum kaku dan memainkan jemariku. Aku gugup sekali, semoga saja kamuflaseku ini tidak ketahuan oleh Shikamaru.

"Hm, kau suka seperti ini?" tanya Shikamaru seraya menautkan tangannya kepadaku. Membuatku terdiam. Walupun sebenarnya aku sedang berteriak di dalam hati. Tuhan... Tolong aku. Tak bisakah pria bernama Shikamaru ini berhenti memberiku kejutan? Untung saja aku tidak jantungan!

"Aku juga suka menggenggam tanganmu seperti ini," lanjut Shikamaru disertai dengan senyuman sejuta watt-nya.

Debaran jantungku semakin menggila. Senyuman Shikamaru begitu berpengaruh. Senyuman itu yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali aku melihatnya. Aku bahkan bisa merasakan darah mengalir dengan cepat ke atas tubuhku dan membuat wajahku memanas ketika Shikamaru melirikku, memergoki aku yang sedang memerhatikan wajah tampannya itu. Untuk sesaat aku melupakan sekitar dan baru tersadar saat Shikamaru melepaskan tautan tangannya dan terkekeh pelan. "Ternyata kau genit, eh."

Langkahku terhenti. Mataku melebar seakan bola mataku siap meloncat keluar kapan saja. Apa katanya? Genit? Aku? Yang benar saja, aku bukan wanita seperti itu! Ah, aku benar-benar mati kutu berhadapan dengan Shikamaru.

"Apa katamu? Enak saja, aku tidak genit. Kau sendiri, seenaknya saja pegang-pegang tanganku. Kau yang genit," balasku tak mau kalah yang hanya dibalas kekehan saja dari Shikamaru. Sial!

"Sepertinya masih terlalu siang jika kita pulang sekarang. Hm, aku akan mengajakmu ke suatu tempat lagi, dan aku ingin kau melupakan kesedihanmu setelah ini," ujar Shikamaru disela-sela kekehannya.

Tak terasa kami sudah sampai di area parkir dan berada tepat di samping motor milik Shikamaru. Aku diam-diam tersenyum. Ya, Shikamaru tahu aku tengah bersedih karena patah hati. Perasaanku kembali menghangat dengan kata-katanya yang menenangkan. Aku mengangguk pasrah, menyetujui ajakannya. Terserah saja dia membawaku kemana. Aku justru senang bisa lebih lama bersama dengannya.


From: Shikamaru Nara

To: Ino Yamanaka

Ino, terimakasih untuk hari ini. Aku benar-benar senang dan...

acara hari ini sangat sempurna untukku.

Aku tersenyum senang mendapatkan pesan singkat yang dikirim oleh Shikamaru. Sekarang aku sudah berada di rumahku kembali. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Artinya sudah satu jam yang lalu Shikamaru pulang ke rumahnya setelah mengantarku. Dengan cekatan aku membalas pesan dari Shikamaru. Tak ingin berlama-lama aku langsung saja mengetik beberapa kalimat.

From: Ino Yamanaka

To: Shikamaru Nara

Sempurna? Kau terlalu boros hari ini. Maafkan aku ya?

Seharusnya aku yang berterimakasih padamu.

Aku bisa melupakan kesedihanku, aku senang kau ada, Shikamaru.

Terkirim! Setelah kubaca beberapa kali, akhirnya aku memberanikan diri untuk menekan tombol kirim di layar ponselku. Aku kini berbaring di atas tempat tidurku sambil menunggu balasan dari Shikamaru dengan berdebar-debar. Bersabar menunggu... satu menit... dua menit... tiga menit... lima menit... sepuluh menit... Ah, sepertinya tidak akan ada balasan dari Shikamaru. Apakah dia sudah tertidur? Atau, aku melakukan kesalahan? Sehingga Shikamaru tak lagi mau berhubungan denganku? Tidak! Jangan lagi berpikiran negatif, Ino.

Aku mulai membatin kesal dalam hatiku. Apa aku buka saja akun jejaring sosialku? Siapa tahu Shikamaru sedang online dan aku bisa menghubunginya lewat sana. Ah, Tidak. Jangan! Ini terkesan seperti mengejar-ngejarnya, ingat Ino... sewajarnya saja! Hah, pikiranku melayang kemana-mana. Lebih baik sekarang aku tidur saja. Tapi, sekeras apapun aku berusaha untuk memejamkan mataku dan memaksakan diri untuk tertidur, hasilnya nihil. Aku hanya berguling-guling ke kanan, lalu ke kiri.

Uhh... bosan! Aku bosan. Pikiranku masih dipenuhi oleh Shikamaru. Kuraih kembali ponselku yang semula kuletakkan di atas meja nakas. Mataku berbinar saat di layar ponselku tertera satu pesan masuk baru. Penasaran dan kelewat antusias, aku dengan cepat mengklik keypad ponselku dan membuka pesan tersebut.

From: Shikamaru Nara

To: Ino Yamanaka

Iya, kau membuatku bangkrut, Nona.

Haha... tapi tidak apa-apa, yang penting aku bisa seharian penuh bersama dengan penulis terhebat yang pernah ada di dalam kehidupanku.

Kyaaa... Akhirnya Shikamaru membalas pesanku juga. Secepat kilat kubalas kembali pesan dari Shikamaru dengan perasaan senang yang begitu membuncah. Namun, ada sedikit perasaan tak enak juga yang tiba-tiba saja hadir di dalam dadaku.

From: Ino Yamanaka

To: Shikamaru Nara

Maafkan aku, Shikamaru.

Nanti giliranku yang mentraktirmu.

Ah ya, Shikamaru... Jika aku bukan seorang penulis, mungkinkah kau tidak akan sebaik ini kepadaku?

Ponselku bergetar. Menandakan sebuah pesan baru masuk. Tak seperti awal ketika aku harus menunggu lama balasannya, kali ini balasan Shikamaru datang begitu cepat.

From: Shikamaru Nara

To: Ino Yamanaka

Hm, tidak juga.

Ino aku suka dengan caramu mengungkapkan perasaan lewat tulisanmu.

Dan satu hal lagi yang lebih penting sekarang, berjanjilah padaku mulai saat ini kau tidak akan sakit hati lagi! Kau harus bahagia bersamaku, Ino.

Jujur, aku rasanya tidak ingin pulang dan ingin terus bersamamu.

Hah, tapi aneh waktu begitu cepat berlalu. Malam ini aku tidak bisa tidur, dan itu gara-gara ulahmu, Ino.

Lagi-lagi bibirku terangkat ketika membaca pesan dari Shikamaru. Padahal aku hanya penulis amatiran saja. Hah, apa ini artinya aku memiliki harapan? Apakah Shikamaru merasakan hal yang sama denganku? Apakah perasaan kami saling bersambutan? Tapi, jika kupikir-pikir, pria seperti Shikamaru tidak akan dengan bodohnya mengajak seorang wanita kencan dan menghambur-hamburkan uangnya jika dia tidak tertarik kepada wanita itu. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi melihat mayoritas seperti itu, 'kan?

Kembali jemariku menari di layar ponselku. Hanya dengan balas-balasan pesan singkat seperti ini dengan Shikamaru bisa membuatku mabuk, kecanduan, dan merasa damai.

From: Ino Yamanaka

To: Shikamaru Nara

Benarkah? Jangan menggodaku, Shikamaru.

Kalau kau seperti itu, aku menjadi semakin resah, tahu!

Hatiku berdebar-debar jika berhadapan denganmu. Aneh.

Hah, kutarik napasku dalam-dalam. Aku mencoba memancingnya. Kuharap intuisiku tepat dan ini tindakan yang benar. Entahlah, aku tidak mau Shikamaru lepas, dan aku harus memilikinya. Aku mencintainya, bukan karena apa yang dia berikan kepadaku. Tapi, aku merasa nyaman jika bersamanya. Dan aku yakin, dialah yang Tuhan ciptakan untuk melengkapkan aku.

Aku kembali menunggu dengan tenang balasan dari Shikamaru. Tak lama kemudian balasan yang kutunggu-tunggu pun datang.

From: Shikamaru Nara

To: Ino Yamanaka

Resah? Hatimu berdebar-debar?

Memangnya, hatimu sudah kosong saat ini? Apakah jika aku masuk, tidak akan apa-apa?

Kubalas kembali pesannya. "Kau tidak akan tahu, jika kau tidak mencobanya, Tuan. Jika hatiku sudah terisi penuh, aku tidak akan berani seperti ini," mengertilah Shikamaru, meskipun ini terkesan begitu cepat dan tiba-tiba, tapi percayalah, aku tulus mencintaimu. Yah, aku belum berani menyatakan cintaku. Lagipula aku terlalu gengsi untuk mengatakannya duluan. Aku akan menunggunya yang mengatakan itu. Itupun jika benar, Shikamaru memiliki perasaan yang sama denganku. Jika tidak, yah aku harus berusaha berlapang dada dan bersabar.

Lamunanku buyar ketika lagi-lagi ponselku kembali bergetar. Kali ini balasan dari Shikamaru membuatku tercekat dan terkena insomnia parah.

From: Shikamaru Nara

To: Ino Yamanaka

Hmm... Baiklah, aku rasa kau harus bersabar sampai minggu depan.

Aku ingin kau bahagia, seperti saat kau pertama kali lahir ke dunia.

Aku minta padamu untuk selalu percaya padaku, aku bukan seperti pria yang kau kenal selama ini.

Aku bukan seorang penggemar biasa. Karena aku, Shikamaru Nara, pria yang akan membuatmu bahagia. :)

Ya, aku bisa merasakan itu. kau berbeda dengan kebanyakan pria yang kukenal. Aku tak sabar menunggu datangnya minggu depan. Akan ada apa? Apakah Shikamaru akan memberiku sebuah kejutan? Tuhan, kumohon berikan aku kesempatan untuk bisa bersama Shikamaru lebih lama lagi, atau jika boleh untuk selamanya.

.

.

Tbc?


Hallooooo minna . lama tidak bersua ya? Author abal ini kena WB parah... Balik lagi sama ffnya yang abal juga :P

Tadinya ini mau dibuat satu chapter aja, tapi takut bosen bacanya terlalu panjang dan errr... ya gitu deh -_- jadi aku buat 2/3 chapt aja :'D

Semoga suka yaaa, sama ff yang ringan ini :D FYI... ini berdasarkan kisah nyata :'P berasa curhat aja mungkin.

Karakter Ino sama Shika jauh banget dari canon ya? Tapi, aku suka bikin mereka OOC, gpp ya :P

Yaudah deh, makasih ya yang udah mampir :D