Chapter 1 : How To Break A Heart

Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi

Warning : BL, FutureAU, EYD acakadul (?), typo bertebaran, OOC parah dan banyak lagi kekurangannya. Disini nggak ditentukan pribadi Akashi, tapi aku suka gaya absolut dan caranya menyapa teman dengan nama kecil dalam mode ORE-SHI jadi minna bisa bayangkan sendiri /pow

Genre : Romance, drama, hurt/comfort, friendship

Rate : T for safe

DLDR. Simple, kan?

Kalau boleh memilih, aku ingin menghapus semuanya dan memulainya dari awal. Namun jika saja hidup semudah berucap, akankah kita bertemu dan berpisah seperti saat ini?

Erase•

"Aku akan berangkat ke Amerika. Orangtuaku sudah menemukan calon tunangan yang memenuhi standar mereka."

Ia menghentikan langkah kecilnya. Bagus. Aktivitas paginya kacau. Sebuah kalimat berhasil membuat dirinya berantakan.

"Maaf, Kuroko. Aku bukannya tak bisa melawan, tapi kupikir kita memang harus mengakhiri semuanya. Jujur, aku mulai lelah dengan hubungan sejenis. Aku selalu berharap punya banyak anak."

Dan kalimat kedua yang panjang itu menambah keruh pandangannya pada wujud yang kian memburam di depan sana.

"Kau boleh menghapus semua ingatan tentangku. Aku juga akan melakukan hal yang sama." keheningan menggantung, menyuarakan berbagai rasa yang tak terkatakan. "—tolong bersikap seperti biasa jika kita bertemu lagi di hari pernikahanku nanti."

Sungguh. Kalau boleh memilih ia lebih baik dipukuli sampai setengah terkatung dan kemudian segera mendapat amnesia permanen. Ia rela semuanya terhapus. Ingatan selama 3 tahun ini, ia rela menghapus semuanya—kalau memang bisa.

"Aku mengerti." tak ingin tampak lemah, tentu saja. Ia masih seorang lelaki meski ketertarikannya berubah. "Kalau begitu, terimakasih untuk waktunya, Kagami-kun."

"Gila, matamu sembab, Tetsu!"

Kuroko meraba area bawah matanya dengan punggung telunjuknya. Ia menarik napas kemudian membuangnya lembut. Berarti yang kemarin itu bukan mimpi, eh?

"Kau kenapa? Apa vanilla milkshake-mu jatuh di jalan? Novelmu hilang? Nigou melarikan diri? Oi, jawab aku!" pemuda berkulit tan dihadapannya mulai menepuk-nepuk pipi licin si pemilik manik safir dihadapannya, mulai kesal karena tidak diacuhkan. "Hei, Tetsu!"

Hening.

"Tetsu-kun~~~"

Serangan dadakan terjadi dalam hitungan detik. Gadis bermahkota merah muda lembut itu menubruk sosok biru yang masih tertegun damai. Awalnya si gadis sintal senang-senang saja mendapati si baby blue dalam dekapan mautnya, namun beberapa saat berlalu ia mulai heran.

"Tetsu-kun?"

Momoi Satsuki memanggilnya, berharap si pemuda meresponnya dengan gumaman 'sesak, Momoi-san' seperti biasanya. Tapi nihil. Kuroko bungkam terus-terusan.

"Oi, Satsuki. Lepaskan Tetsu."

Dengan aksi pengerucutan bibir yang menggemaskan, Momoi melepaskan rangkulannya atas komando Aomine Daiki. Dan responnya ketika itu adalah pekikan tertahan yang membuat gadis itu menutup mulut dengan jemari lentiknya.

—apa yang terjadi?

"Tetsu?" Aomine memanggil kembali, mencari kesadaran si baby blue. Yakin ini benar-benar Kuroko Tetsuya?

"Dai-chan, apa yang kau lakukan pada Tetsu-kun?!"

"Demi Mai-chan, aku tidak melakukan apapun padanya, bodoh!"

Momoi sudah melakukan pemeriksaan cepat terhadap bagian tubuh Kuroko. Tangan dan kakinya tidak terluka, tak ada goresan atau lebam-lebam. Kali ini wajahnya dicek paksa. Tidak ada yang aneh selain tatapan kosong dan sembab yang menggantikan kantung matanya—ataupun kulit yang kian memucat dari entitas manis itu. Lalu kenapa ia tak sedikitpun mengindahkan sapaan teman-teman dekatnya ini?

"Ogiwara bilang Tetsu sudah seperti itu dari hari Minggu." Aomine mendengus. "Anak ini mendadak aneh setelah pulang dari rumah kantokunya."

"Etoo—maksudnya rumah Riko-san?"

"Ya. Seharusnya kita tanya pada si Bakagami dulu tentang apa yang terjadi. Biasanya Tet—"

"Apa aku berbuat salah?"

Kedua manik dengan warna kontras bergulir gesit pada satu titik, dimana iris azure bening memandang nanar pada beberapa pasangan sepatu dibawahnya. Aomine dan Momoi tak ingin mencoba menginterupsi. Mereka ingin si manis bercerita sampai lega, sampai ia tak berlaku seperti manekin kerasukan lagi.

"Aku—terlalu berharap. Selama 3 tahun ini aku begitu ceroboh—"

Kembali, Aomine dan Momoi melotot kaget. Kali ini apa? Dengan wajah sedatar papan penggilasan dan mata yang kehilangan fokusnya, si bayangan menitikkan bulir bening yang terproduksi oleh proses lakramasi. Heh, meracau dan menangis seperti sekarang membuktikan dengan jelas kalau seorang Kuroko Tetsuya tidak baik-baik saja.

"Tetsu-kun..." Momoi menggapai wajah hampa si pemuda, kemudian menangkupnya lembut. "Coba ceritakan apa yang terjadi, Tetsu-kun tidak bisa seperti ini terus." lanjutnya parau menahan sedih. Kuroko ini favoritnya, jelas ia ikut terluka jika kesayangannya merasakan sakit. "Apakah terjadi sesuatu dengan Kagamin?" simpulnya cepat.

Kuroko tidak menjawab dengan verbal, airmatanya yang masih membuat jejak transparan masih responsif untuk menanggapi kalimat Momoi. Gadis itu menatap cemas, kemudian menoleh pada sahabatnya yang juga menyiratkan kebingungan di mata navy miliknya. Namun satu yang mereka tahu, penyebabnya si macan Seirin pastinya.

"Bodoh." Tangan si pemuda eksotis terangkat, beranjak menepuk pucuk kepala Kuroko. "Jangan menahan semuanya sendirian, kau punya kami."

"Benar, Tetsu-kun." Momoi menenggelamkan wajah Kuroko ke pundaknya sembari mengusap punggungnya yang tertekuk lesu. "Kami akan dengarkan semuanya. Tetsu-kun boleh menangis sampai bosan, kami ada disini."

"Amerika?!"

Sosok baby blue itu mengangguk pelan. Ia melempar tatapannya menembus kaca besar yang menjadi salah satu komponen dari café itu, memandangi para pejalan kaki yang melintasi jalur penyebrangan dengan berbagai ekspresi, sambil menyesap robusta hangatnya. Dari seleranya hari ini saja cukup untuk membuat Aomine dan Momoi mengernyit heran. Sejatinya Kuroko paling benci kopi, apapun jenisnya. Rasa pahit dan efek yang harus ia rasakan saat kafeinnya memicu sekresi asam klorida berlebih di lambungnya membuatnya menafsirkan kalau tak ada minuman sehat yang rasanya senikmat vanilla milkshake. Dan sekarang apa? Pemuda bersurai biru lembut itu meneguk tiap tetesnya dengan khidmat, bukankah itu adalah usaha membunuh dirinya sendiri?

"Oi, bodoh! Kau mau perutmu kambuh lagi?!" Aomine mencoba menggamit cangkir keramik itu, namun Kuroko lebih cekatan bergerak mundur untuk berkelit.

"Tetsu-kun, jangan memaksakan diri..." Momoi berusaha membujuk, mengesampingkan keterkejutan yang mendera hatinya sesaat silam.

"Kagami-kun akan dijodohkan dengan wanita yang standarnya tinggi."

Alih-alih menghentikan aksi 'bunuh diri', Aomine dan Momoi malah terperangah karena ucapan Kuroko.

"Ia menyuruhku menghapus segala hal tentangnya. Ia juga akan melakukan hal yang sama dalam waktu dekat." Kuroko menahan napas. "Ia lelah dengan—hubungan kami."

Wow. Sekejam itukah bocah bodoh beralis ganda itu? Batin Momoi dan Aomine bersamaan. Namun mereka tahu persis bahwa Kuroko, satu-satunya manusia yang jarang sekali berbohong di antara grup mereka, Kiseki no Sedai.

"Aku yakin aku salah perhitungan selama ini." senyap memang. mereka berdua mendengar dengan seksama, tak ingin menyela atau Kuroko akan berhenti bicara. "Mungkin aku terlalu posesif atau—mungkin aku terlalu pendiam."

—dan mereka juga mengenali entitas dengan kepribadian super polos itu.

Stop. Momoi bisa ikutan hancur melihat Kuroko yang saat ini meremat ujung kemeja biru mudanya dengan pundak bergetar. Ia mengambil inisiatif untuk bangkit, membuat Aomine memantau pergerakannya yang berhenti dibelakang tubuh teman manisnya. Momoi merangkul leher pemuda itu lembut dan berhati-hati, seakan sedikit saja massa yang ia salurkan pada tubuh ini akan membuatnya remuk seketika. Perlahan ia merengkuh pemuda itu sambil terpejam kuat-kuat, tak ingin favoritnya menderita lebih jauh.

"Kalau Kagamin memang tidak tahan dengan Tetsu-kun karena itu, sudah pasti ia sudah memutuskan Tetsu-kun jauh-jauh hari, ne?" katanya pelan. "Ini sama sekali bukan salah Tetsu-kun."

"Satsuki benar, Tetsu." manik safir itu bergerak pada asal suara. Aomine mendengus kasar. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Bakagami jelas berkata begitu agar kau membencinya dan bisa cepat melupakannya."

Kali ini Kuroko diam lagi. Namun kini matanya telah menyiratkan kehidupan kembali, meskipun bekas-bekas sekaan kasar dan bengkak di area sana belum kunjung mengempis. Begitukah? Jadi Kagami melakukan itu untuknya?

"Tapi meskipun begitu, tidak berarti kau boleh kembali berharap dan mencarinya lagi, Tetsu."

Aih. Ucapan Aomine serasa membuatnya naik ayunan. Setelah dialungkan tinggi-tinggi, Kuroko harus siap dengan kemungkinan jatuh berdebam seperti sekarang. Rasanya kaget, sakit juga.

"Kenapa, Aomine-kun?"

Dan akhirnya gumaman polos itu lolos dengan mantap dari bibir semerah delima masak milik Kuroko Tetsuya.

"Jelas ada alasan yang rumit untuk mengakhiri hubungan kalian. Bukan hanya berdasar kata jenuh atau semacamnya. Tapi jelas ia ingin berpisah karena tak ingin membuatmu terluka lebih jauh di kemudian hari."

Ucapan yang super sekali, Aomine Daiki.

"Yang bisa kau lakukan sekarang hanya belajar menerima dan memulai langkah baru, Tetsu."

"Nee, bagaimana jika Tetsu-kun memulainya denganku?"

"Oi, jangan membuatnya makin sulit, Satsuki."

"Aku menawarkan perasaan yang lebih menjanjikan, Aomine-kun!"

"Diamlah. Kau membuat Tetsu—hee? Kau tersenyum?"

Momoi menunduk sedikit untuk melongok raut wajah Kuroko, sementara Aomine sudah menaikkan sebelah alisnya melihat perubahan mimik temannya. Bibir merah si pemuda memang membentuk lengkung. Tidak begitu berdiameter namun bisa dipastikan kalau ia merasa lebih baik sekarang.

"Terimakasih, semuanya."

Lembayung sore telah merambati horizon oranye di atas sana, menyisipkan suara kepakan burung yang terbang bergerombol untuk pulang sebagai alunan musik khas senja. Bunyi gesekan sepatu pantopel berbeda ukuran terdengar damai ketika mereka berjalan beriringan, mereka semua tenang sekarang.

"Jam 7 nanti aku harus kembali ke markas pusat. Ada kasus di sektor 6 dan anak buahku meminta bantuan untuk menyelidikinya." Aomine menghela napas. Momoi hanya tersenyum riang menjawabnya.

"Aku sih, tidak punya jadwal membuat desain. Bosku sudah menerima semua konsep yang telah aku buat untuk beberapa acara pernikahan, jadi aku punya waktu tenang sekarang." ia makin mengeratkan gelayutannya pada lengan Kuroko. "Tetsu-kun mau kubuatkan makan malam?"

"Anoo—beberapa orangtua dari TK tempatku mengajar memasak kare untukku, Momoi-san. Aku hanya tinggal menghangatkannya."

"Nee~ kalau begitu aku akan mengompres wajahmu, ya? Biar sembabnya cepat hilang."

"Etoo..."

"Berhentilah mencari perhatian Tetsu, Satsuki. Ia belum merubah orientasi seksualnya secara total, tahu?"

"Ugh, Dai-chan menyebalkan! Aku ini sedang usaha!"

"Usahamu sia-sia sekarang. Ayo cepat pulang."

"Menyebalkan! Uhm, Tetsu-kun? Sepertinya kita harus berpisah disini."

"Tak apa, Momoi-san. Terimakasih untuk hari ini, Aomine-kun, Momoi-san."

Aomine nyengir, niatnya mengejek dengan gestur. "Pastikan kau tidak akan menangis lagi setelah sampai rumah."

Kuroko mengangguk sesaat setelah tersenyum tipis. Kedua temannya melangkah menjauh dalam pandangannya.

"Sampai jumpa, Tetsu-kun! Jangan lupa kalau aku selalu menyukaimu, ya!" teriak Momoi dari seberang sembari melambaikan tangan heboh. Kuroko hanya tersenyum simpul menyahuti. Ia melambai singkat kemudian berbalik, melangkah sendiri menuju apartemennya yang berada dua blok dari ujung jalan sini.

Pemuda bermanik biru itu merosot saat bersandar pada pintu yang baru saja ditutupnya. Ia terengah, mencengkeram kemeja yang sengaja tak ia kancingkan, tepat di bagian ventrikulusnya berada. Ini salahnya. Tubuhnya memang lemah sedari dulu, ia sadar akan hal itu dan berlagak putus asa dengan ambil resiko minum kopi berkafein tinggi. Dulu Kagami selalu mengamuk padanya kalau ia sok-sokan jadi pria dewasa dengan menyeruput kopi Starbucks Venti miliknya. Ia akan marah-marah karena harus menggotong Kuroko sebelum berangkat kerja dan adegan penyelamatan itu selalu berakhir di peraduan milik Kuroko, menyebabkan keduanya sama-sama bolos kerja. Ah, kilas balik memang manis. Ia tersenyum miris.

Ia menahan napas. Perkataan Aomine kembali ia bantah secara tak langsung. Ia sadar betul sekarang airmatanya menitik kembali. Menyadari betapa lemah dirinya tak pernah membuatnya sedih, hanya saja disaat rentan selalu ada Kagami untuknya. Tapi kali ini berbeda, ia harus menerima kenyataan. Mungkin ia bisa tersenyum seperti tadi pada teman-temannya, namun biarkan ia menangis lagi jika sendiri. Ini satu-satunya jalan yang membuatnya sedikit lebih lega lagi selain jujur pada yang lainnya.

kalau boleh memilih, aku ingin menghapus semuanya dan memulainya dari awal. Namun jika saja hidup semudah berucap, akankah kita bertemu dan berpisah seperti saat ini?

Kuroko mengelap jejak kasat mata itu dengan punggung tangannya kasar. Ia menepuk-nepuk pipinya kemudian. Ia harus kuat! Banyak yang mengkhawatirkannya, ia tak ingin membuat teman-temannya cemas lagi. Dengan semangat itu ia bangun sambil bertumpu pada lututnya, berjalan tergopoh-gopoh setelahnya. Ia melupakan Nigou dari kemarin, entah kemana anjing manis itu bermain yang jelas teringat padanya mulai membuat Kuroko panik.

Ia melongok ke balkon apartemennya, tempat dimana Nigou sering ketiduran dengan damai. Namun nihil. Siberian Husky itu tak ada disana. Kuroko tak kehabisan akal, diliriknya pintu menuju dapur. Ia berjalan cepat tanpa mengindahkan sakit di dekat ulu hatinya. Nigou adalah anjing pintar yang ia latih sampai benar-benar mahir. Biasanya jika ia lapar ia akan merambahi bufet bawah tempat biskuitnya berkumpul. Dengan kesimpulan itu Kuroko membuka daun lemari kecil itu, ia harus terkecewakan lagi.

Mengapa semua yang berharga baginya mendadak menghilang?

Ia berusaha tenang. Mengambil segelas air putih dingin di kulkasnya tentu akan menjernihkan otak. Dengan segera ia mengambil botol plastik yang isinya tinggal setengah kemudian menenggaknya tanpa ampun. Sekali teguk, dua kali, tiga kali—ia terhenti.

Oh, sial.

Ini kan limun soda bekas Kagami.

Ia merosot. Menertawakan betapa menyedihkan keadaannya saat ini. Diputuskan pacar mentah-mentah, ditinggal anjing kesayangan dan parahnya, tidak bisa move on sama sekali dan terus saja mendapatkan kilas balik dari berbagai hal. Siapapun tahu yang namanya menatap ke depan itu tak ada yang singkat, tapi Kuroko memang butuh lupa dengan cepat. Ia malu pada dirinya sendiri dan teman-temannya. Sungguh, selemah inikah dirinya?

"Nigou—" panggilnya parau ketika merangkak bangkit seraya menggelayuti kitchen set di atasnya. Pikiran buruk mulai menyerangnya. Bagaimana kalau Nigou tersesat? Bagaimana jika Nigou kelaparan? Bagaimana bila Nigou ditangkap petugas pengumpul hewan liar dan memasukkannya kedalam kandang sempit? Tidak. Tidak boleh. Ia harus segera mencari Nigou!

Peduli amat dengan perutnya yang begah dan menjerit-jerit minta diobati. Peduli amat dengan mata sembab yang membuatnya malu terlihat. Peduli amat. Ia harus menemukan Nigou!

Pintu keluar diraih. Ia melangkah laju dengan hati kalut. Semenit setelahnya ia masih baik-baik saja sampau pandangannya tiba-tiba...

—buram?

"Ugh." desisnya saat menguatkan pejaman matanya. Apa-apaan ini? Dulu waktu maagnya kambuh ia tidak pernah merasa mual ataupun pening kepala. Tunggu, kapan terakhir kali ia sakit seperti ini?

"Nigou—ugh."

Kuroko hampir tersungkur di hadapan pot batu berisikan aglaonema di samping pintu lift. Gawat, tubuhnya mulai limbung diluar kendalinya. Kuatkan dirimu, Tetsuya! Tidak ada lagi Kagami Taiga yang akan membopong dan menjadi sandaranmu! Sulutnya dalam hati memanas-manasi diri sendiri. Terus terpikir akan Nigou namun ia benar-benar sudah mencapai batas. Tanpa pikir panjang ia belajar egois sesaat, mengejar kemungkinan untuk segera minum obat yang sempat Kagami bawa seminggu yang lalu. Ia heran kenapa bisa lingkungan apartemennya begitu lengang, namun ia tak ingin terlalu peduli.

Sampai. Ia kembali lagi ke pintu apartemennya. Ia segera berlari ke jendela balkon, mencari kotak putih yang bertengger di dekat teralisnya. Bagaimana kacaunya kondisi kamar ataupun berserakannya lantai karena ulahnya mengacak-acak isi kotak P3K, ia tak perduli lagi. Tidak sabaran, ia merobek plastik kaplet berperisa mint dan melahapnya tanpa minum. Gila, baru segini saja tremor di tangannya malah merambat ke seluruh tubuh. Ia menggigil hebat, tapi ia tak ingin menyerah sekarang. Nigou belum ditemukan, ia juga belum sempat menulis surat wasiat untuk sepupu jauhnya agar menjaga semua koleksi novelnya dengan baik. Bangun! Ia harus bangun!

"Aku lupa memberitahu Kuroko kalau Nigou ada padaku. Sudah tentu ia panik karena anak ini hilang begitu saja."

"Uuuh~ kenapa Ogiwara-kun tidak menitipkan anak manis ini padaku?"

"Guk! Guk!"

"Karena ia tahu kau akan memberi Nigou racun berbentuk biskuit tulang, Satsuki."

"Dai-chan menyebalkan!"

Kuroko menoleh cepat. Suara itu—Nigou dan teman-temannya!

"Oi, Tetsu? Kau ada di dalam—eh? Pintunya tidak terkunci."

"Tetsu-kun~~~ Lihat siapa yang datang~~"

Kuroko meringis. Rasa lemas menjalar ke sendi kakinya. Ia beringsut menyeret tubuhnya ke pagar balkon, berharap benda itu dapat membantunya bangkit tegak.

"Ma—suk."

"Kuroko?"

"Argh—"

"Tetsu—hati-hati!"

"TETSU-KUN, AWAS!"

Kuroko limbung total. Pandangannya memburam sempurna. Gelap. Hanya itu yang bisa ia tangkap selain audio penuh histeris yang dijeritkan seluruh kawannya. Ia ambruk ke belakang, dimana tak ada penyangga yang lebih tinggi selain pagar balkon berketinggian 1 meter.

"Ada orang jatuh dari lantai 11! Panggil polisi!"

"Panggil ambulans!"

"TIDAK! TETSU-KUN—!"

"TETSUYA!"

Terlambat.

Kuroko Tetsuya dinyatakan tewas dalam usia 23 tahun.

"Tetsu-kun, bangunlah... Kumohon—bukalah matamu."

"Tolong tenangkan dirimu, Momoi-san."

"Oi, Midorima! Lakukan sesuatu! Buat apa kau menyandang gelar dokter bedah terbaik se-Jepang, hah?!"

"Kau pikir aku melakukan apa selama 3 hari ini? Dia bisa bertahan sampai tahap ini saja sudah dianggap mukjizat oleh dunia medis, nanodayo!"

"Kuro-chin~ kalau kau bangun aku akan membuatkanmu vanilla cheesecake, nee~"

"Berhentilah berbicara tentang makanan, Atsushi. Tetsuya tidak menginginkan itu saat ini."

"Hiks-ssu. Lalu apa yang harus kita lakukan, Akashicchi?"

Keheningan menggantung lagi. Diselingi isak pelan, menyuarakan pedih yang tak menampakan sinyal untuk segera berakhir. Kumpulan manusia dengan warna warninya berada dalam satu ruangan, dimana seseorang terbaring kaku sebagai poros atensinya. Tubuhnya kian memucat, di sampingnya sudah ada elektrokardiogram yang menunjukkan pergerakan lemah dari garis-garis horizontal. Ia sendiri memakai ventilator dan gips di beberapa bagian tubuhnya selama 3 hari ini. Kepalanya terbalut perban yang cukup tebal dan dibubuhi iodine juga. Wajah datarnya tampak pulas dengan damai, namun sayang tubuhnya mengatakan fakta yang cukup menyakitkan.

Ya. Dia memang Kuroko Tetsuya. Mengapa bisa ia bertahan? Jika ia adalah orang awam yang tertimpa naas seperti itu sudah pasti ia akan benar-benar tamat. Namun lain cerita untuk si manik azure ini. Ia memiliki teman yang begitu luar biasa dalam berbagai bidang. Dengan kuasa mereka masing-masing akhirnya Kuroko masih bisa bernapas sampai saat ini.

"Kecil kemungkinan keadaannya akan kembali normal, nanodayo."

"M-maksud Midorin—apa?"

Si dokter bersurai jade itu menghela napas sebagai jawaban substitut. Sang polisi belum sempat melepas segala atribut kehormatannya. Ia datang jauh-jauh dari markas besar hanya untuk mendengar bahwa sahabatnya yang manis itu punya harapan. Dan ini...? Ia hanya mendapat jawaban abstrak dengan dengung hela napas si dokter pembawa asa?

Kesal.

"Kau pikir kami datang tanpa mengindahkan hal penting lainnya hanya untuk jawaban hampamu itu, eh?" tangan kekarnya beranjak menggamit kerah kemeja si dokter. "Tetsu itu teman kita!" lanjutnya sarat emosi.

"T-tahan perasaanmu, Aominecchi—" kali ini si model papan atas melerai, tak ingin pemuda bermata garnet biru itu terusik. "Kita bisa mengganggu Kurokocchi, ssu..."

"Biar dia terganggu! Biar dia bangun dan mengatai kita!" si polisi gagah itu belum mengendurkan cengkramannya. Ia mulai tertunduk, bahunya berguncang pelan. "Sial—"

"Dinginkan kepalamu, Daiki. Kita berada di sebuah rumah sakit, jaga kesopananmu." suara baritone menyahuti, iris beryl merah itu menatap lembut pada sosok di hadapannya dengan setia. "Terlebih, suara dengan frekuensi tinggi dapat mengacaukan pemulihan jaringan otak Tetsuya."

"Benar, nanodayo." sang dokter muda mengamini ucapan si eksekutif di sampingnya. Ia menekan frame kacamatanya yang tak semilipun bergeser. "Kita hanya bisa menunggu keajaiban selanjutnya. Menurut Oha Asa, Aquarius berada di peringkat pertama hari ini."

"Cih. Kupikir setelah jadi dokter kepercayaanmu pada Aho Asa menghilang juga—mengingat dunia medis yang logis tak pernah berhubungan dengan astronomi yang selalu jadi alternatif untuk para bocah ingusan."

"Tapi Midorin pernah memberitahu Dai-chan tentang ramalan Oha Asa tentang keberuntungan Virgo, ne?"

"Sekedar tambahan, lucky itemku hari ini adalah pisau dapur berukuran mini. Kalau kau cukup pintar kau akan mengerti arti dari benda keberuntunganku, nanodayo."

"Dan benda keberuntunganku hari ini adalah Nigou, anjing manis yang selalu pandai mengotori ruang kerjamu. Bagaimana kalau kita tarung sebentar, Midorima?"

"Nigou bukan barang, Aomine-kun."

"Ogiwara, jangan coba-coba jadi wasit. Aku ini polisi yang cukup adil."

"Aominecchi ngelantur, ssu~"

"Nani, nani~~ Kalian berdua ingin kuhancurkan, nee?"

"Bisakah kalian semua diam?"

Mereka paham. Kalau komando itu sudah berkumandang singkat mereka tentu harus melakukannya. Perintah sederhana seperti itu bukan apa-apa, manntan pemimpin mereka hanya meminta keheningan dan mereka mengerti—meski dengan paksaan sepihak.

"Aku minta waktu untuk bersama Tetsuya. Bisakah kalian keluar dulu selama 10 menit?"

Belum ada yang berani menjawab. Antara bingung dan segan masih bercampur aduk di benak masing-masing entitas pelangi itu. Mereka tahu benar motif si eksekutif muda—Akashi Seijuurou, namun sebersit perasaan tak rela dengan nakalnya mampir di dalam hati.

"Well—" Aomine Daiki, orang pertama yang berani angkat bicara. "Aku hanya tidak ingin Tetsu tersakiti lagi."

Diangguki oleh desainer cantik sekaligus WO bemata pink garnet, Momoi Satsuki. "Kagamin sudah membuat hati Tetsu-kun hancur, Akashi-kun."

"Kalian tidak perlu khawatir," jetset bermanik rubi itu menatap mantap. "Hanya aku yang bisa menangani Tetsuya tanpa takut terhasut isu murahan."

Ah, benar. Sebulan setelah mereka menapaki asa masing-masing, Akashi membuat pernyataan epik yang tidak dapat dilupakan masyarakat se-Jepang. Bermula dari celetukan usil sang narator dalam satu wawancara jenjang karirnya untuk sebuah televisi swasta yang bertanya tentang target dan waktu yang tepat untuk sang Emperor memiliki pendamping dan Akashi tentu menjawab sejujur-jujurnya. Kalimat lontarannya singkat, padat namun mencengangkan, pastinya. Dengan blak-blakan ia berkata bahwa dirinya tidak membutuhkan wanita sebagai partner ranjang dan ia tidak berniat mengubah orientasi seksualnya sampai kapanpun. Seminggu berturut-turut berbagai majalah ilegal dan acara gosip murahan menayangkan potongan wawancara dirinya sebagai sorot utama, namun—jelas tahu, kan, bagaimana Akashi Corporation menanganinya?

"Aku juga bisa, ssu!" si model kelas atas beriris hazel madu mencoba menampik, Kise Ryouta membusungkan dada. "Aku juga orang bebas!"

"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan karirmu setelahnya, Kise-chin?" untuk pertama kalinya juga, si pattisier bertubuh tinggi itu berpendapat dengan bijak. Meski begitu, Murasakibara Atsushi masih berwajah malas ketika menyuarakan pendapat. "Tidak sengaja jalan dengan Sacchin saja sudah repot nee~"

"Murasakibaracchi berisik, ssu!" tukas Kise cepat saat hampir diingatkan tragedi beberapa bulan silam.

"Kau yang berisik, nanodayo! Keluarlah dan berikan spasi untuk mereka berdua!" kecam sang dokter bermata jade, Midorima Shintarou. "Bu-bukan berarti aku peduli pada mereka, nanodayo! Pokoknya cepat keluar!"

"Cih. Kaulah satu-satunya yang paling berisik, Midorima." kembali, Aomine menengahi. "Ayo."

Petugas berkulit eksotis itu melangkah lebih dulu. Ia pikir kecemasannya sudah cukup diketahui Akashi dan tentu saja yang lainnya juga mengerti, simpulnya. Disusul oleh Kise yang cemberut, Murasakibara yang sempat menoleh pada Kuroko dan Midorima yang menahan kacamatanya terus-terusan. Momoi dan Ogiwara masih bertahan, belum ingin keluar.

"Nee, Tetsu-kun..." ucapnya pelan kala mengelus surai si biru lembut. Iris merah mudanya sudah berkaca-kaca duluan. "Cepatlah sadar. Kami selalu ada disini." tutupnya sambil menahan parau.

Ogiwara tak berkata apapun. Arsitek muda itu sudah terlanjur kalut saat mengetahui sahabat kecilnya begitu depresi. Apakah ia belum cukup dipercaya oleh Kuroko sehingga pemilik safir itu tak bercerita padanya? Well, ia benar-benar heran kenapa Kuroko menutup diri namun ia pasti bakal ada kalau teman manisnya butuh dirinya.

"Ayo, Momoi-san." ajaknya menahan pilu. "Kuroko pasti butuh waktu juga."

Si gadis mengangguk pelan. Ikut mengekor pada pemuda bersurai coklat tua didepannya. Bunyi pintu yang tertutup menandakan bahwa di ruangan ini hanya ada Akashi dan si baby blue sendiri. Sesuai permintaannya, ia punya waktu 10 menit bersama Kuroko. Pandangannya melembut, menyiratkan kepedihan. Firasatnya benar. Menerima proyek baru di Tokyo merupakan hal bagus. Alih-alih tugas, ia berpikir untuk mengunjungi pemuda manis ini lebih dulu, bermaksud menyapa dan sedikit bernostalgia. Mungkin jika bertemu nanti ia mendapat kabar baik tentang status kesendirian si pemuda atau apalah yang membuatnya bakal senang hati disini. Namun—apa ini? Bukan kebersamaan seperti ini yang dia inginkan. Terlalu rentan jika ia sebut ini sebagai kilas balik, mengingat Kuroko tidak pernah jatuh berdarah-darah di depannya. Sedikit bersyukur ia berada disana dan mendapati pemuda itu pertama kali—meski dalam keadaan tragis. Haruskah mereka bertemu dengan cara seperti ini? Sungguh tidak adil rasanya.

"Tetsuya." tangannya terangkat. Wajah si manik rubi mendekat untuk berbisik. "Aku sudah pulang. Kau tidak ingin menyambutku?"

Hening menjawab.

"Mungkin kau melupakan satu hal saat dulu kita masih satu wilayah, Tetsuya." Akashi menarik senyum hangat. Langka sekali. "Kau dulu memintaku untuk mempelajari resep Vanilla Raspberry Cake. Berkali-kali kau merajuk padaku untuk minta dibuatkan. Dan karena ketidaksabaranmu, kue itu gagal dan kau semakin ngambek padaku."

Pria bersurai scarlet itu terkekeh elegan, namun tawa kecil itu tak bertahan lama. Tergantikan oleh tatapan sendu seorang Akashi Seijuurou.

"Saat ini aku sudah bisa membuat bermacam-macan dessert vanila, Tetsuya. Kau yakin tak ingin bangun untuk mencicipinya?"

Tangannya menyentuh jemari kaku Kuroko yang bebas dari gips ataupun perban. Organ itu penuh goresan, memucat pula. Tentu saja. Kalau kau mengharapkan seseorang yang jatuh dari lantai belasan untuk bertahan dalam keadaan baik-baik saja sudah tentu itu adalah harapan terbodoh di dunia. Beruntung sekali kenalan dekat Kuroko adalah Generasi Keajaiban dengan pemimpinnya. sang kaisar Akashi Seijuurou. Sedikit banyak asa mustahil itu dapat dicapai meski dengan kemungkinan 1%.

"Aku akan menunggumu. Kali ini aku tak akan melepaskanmu lagi."

Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Akashi, si pria rubi membimbing tubuhnya untuk mengecup kening Kuroko yang masih terbalut kassa. Cukup lama sampai ia memutuskan untuk melepaskan diri dari si pemilik manik biru, ia berbalik keluar ruangan.

Tanpa tahu beberapa detik setelahnya, jemari Kuroko Tetsuya bergerak rigid.

Akhirnya fic kedua diputuskan untuk dipublish juga. Hiks, maaf kalau yang timeless belum dilanjut lagi. Tiba-tiba buntu ide T-T padahal udah ada yang ngereview, Nami juga gak nyangka kalau fic abal itu ada yang baca padahal belum diedit sama sekali pas dipublish /pow

Uhm, sekarang kita bahas fic ini aja deh soalnya kan beda fic beda segmen /ditabok

Ehehe aku juga nggak tau asal fic ini muncul, yang jelas pas dengerin lagu Erase-nya Hyorin sama Joo Young jadi pengen bikin fic aja haha. Lagu kpop sih, tapi yang penting ada ilhamnya kan? #kok

Dan yang jadi judul chap ini ya lagunya Westlife yang judulnya How to Break a Heart juga. Ga begitu nyentuh mungkin, tapi menurut aku liriknya emang dalem. Bikin baper #lebay

Ini tadinya ga pengen bikin multichap tapi rasanya ga enak bikin one shot terlalu panjang -_-a ahahaha

Nami beneran gabisa pake rate T sebenernya. Ini juga susah payah ditahan biar ga nyerempet2 ke rate M khususnya hardcore apalagi /digetok

Disini Kiseki no Sedai tetap dengan kharisma plus cahaya mereka masing-masing dan Kuroko pastinya masih tetap jadi orang biasa yang bertindak sebagai bayangan. Buat aku pribadi kadang bayangan bisa diidentikkan sama seorang guru. Mereka berjasa tapi nggak ada tanda-tandanya, jadi aku bikin my hubby jadi guru TK, soalnya muka dia cocok banget jadi pengasuh ^ω^ moe moe kyuuuunn~ hahaha

Dan untuk pairing...gatau deh Nami suka bgt kalo si biru kesayangan diharemin /plakk

Abisnya Kuroko terlalu manis untuk dinikmati sendiri #MULAIDEHAMBIGUNYA ehehe tapi main pairnya tetep AkaKuro kok.

Ini kok jadi kayak spoiler yak? Hehe gapapa deh #plakk

Yosh, ga banyak cincong deh wahaha kritik dan saran diterima dengan senang hati asal jangan flame2an aja soalnya Nami ga suka main api selain sama si manis Kuroko Tetsuya /pow

Keputusan minna, dilanjut atau dibuang nih ficnya?