Tidaklah mengerti aku, atas semua ini. Aku telah melihatnya. Tidaklah sebuah alasan untuk melihat wanita telanjang. Aku memang melihat sesuatu yang telanjang. Yaitu mereka, memberikan dua koper penuh kertas kepada Ayahku. Waktu sebelumnya mendengar bisikan mereka untuk melumasi motor mereka dengan kertas-kertas itu. Bodohnya lagi kenapa Ayah menerimanya? Itu kan kertas yang tidak tertera halalnya, kenapa dia mau menerimanya? Lepaslah mulutku untuk bercakap menceramahinya. Tapi nestapa aku, ceramahanku hanya sebatas hembusan angin. Untuk apa menyerap omongan tak guna dari bocah ompong usia tujuh tahun? Maksud mereka. Akhir untuk lakon ini menghadapkanku pada takdir yang sering aku jumpai: terpenjara dalam kamarku sendiri.
"Yah, Kakak dikurung lagi," seharusnya aku yang mendesah macam itu. Tapi Adikku telah membacakan puisi singkatnya kepadaku, terhalangi oleh kaca transparan.
"Ucapanku tidak pernah didengar," desahku lalu berucap. Sebuah kenyataan.
"Ayah memang jahat ya kak?" aku memilih mematung. Tidaklah sebuah pertanyaan yang kembali ditanyakan, Ryeon. Definisi jahat untuk (seharusnya) anak seusiaku, ya sebuah kesalahan yang berbentuk kasar. Efek membaca, melihat, dan memahami, menjadikan definisinya berubah khusus untukku.
Ya, Ayah memang jahat, Ryeon. Sudah berulang kali membenturkan kepala dan hatinya, tetapi ia tetap mengelak. Melarikan diri dari padang pasir, meninggalkanku yang mati kehausan sebagai bukti yang dilenyapkan. Apapun itu, tetaplah membekas. Apapun itu jua, aku berterima kasih kepada mulutku yang mau menjadikannya rekan bagi hati dan otakku. Juga Kim Ryeon yang memihakku. Sama seperti Ibu.
Jujur aku katakan, pemandangan ini sudah biasa bagiku. Mungkin juga untuk anak-anak yang terlahir sebagai priayi pada masa yang seharusnya bukanlah feodal. Kami maju dalam medan perang. Lawan kami adalah orang tua kami. Jika dari kekuatan, kami memang kalah. Tetapi dari semangatnya, kami memang menang. Tetapi ia tidak mudah dilenyapkan, dipukul mundur saja kami kehilangan seribu nyawa. Ia egois demi kuasa, ia sombong demi martabat, ia rakus demi harta, ia marah demi sembahyangnya. Tapi dia memiliki sisi humoris. Dia menangis demi kuat, dia takut demi bohong, dan yang kerap kali monolognya berubah menjadi komedi satu babak, ia teriak demi terpaku, dan menjauhi kami. Menjadikannya bangkai pada kubik-kubik air parfum. Oh ya, jangan lupakan parfum-parfumnya berasal dari mayat kami. Terima kasih kepada Tuhan, selalu aku ujarkan. Setidaknya nasibku tidak seperti anak bupati sebelah. Desas-desusnya dia telah dipancung kemarin hanya mengkritik sedikit tentang tindakan orang tuanya. Menjadi sebuah hal yang sangat aku kasihani. Dia orang baik, kebaikannya dijadikan selembar tisu yang mengelap kotoran di sepatunya, lalu terbuang.
Menutup mata sebentar, menghela nafas dan membukanya kembali. Aku telah dewasa ketika kembali aku memutarkan lakon itu. Sudah lama sekali, tubuhku tidak menyapa dirinya. Seandainya dia memiliki kebaikan hati sebiji zarah saja, mungkin kekuasannya masih tetap berjaya hingga sekarang.
Aku tersenyum kecil selagi menatap permadani langit sore berperantara kaca transparan. Aku merindukanmu, Ayah.
