Malam demi malam selalu dilewatinya di atas atap rumah. Sebatang rokok sesungguhnya tak mampu menjadi pereda kegundahan hati yang acap kali mampir tanpa diundang. Melirik ke belakang, tak ada keberadaan siapa-siapa. Ia ingin sekali seseorang muncul dari balik atap rumah, dan kalaupun ada yang datang itu adalah—

"Dik." Suara ringan agak cempreng itu memanggil. Orang yang dipanggil menoleh. "Belum tidur?"

Ia tak menjawab apa-apa, hanya bergeser memberi ruang kakaknya untuk duduk. Sang kakak meminta sebatang rokok dan pemantik, lalu menyalakannya. Mereka hanya diam, karena sang adik terlalu sibuk pada pikirannya sendiri sampai berakhirnya malam menuju dini hari. Mereka kembali masuk melalui jendela kamar dan tidur di posisi masing-masing. Ia menatap orang di sampingnya, adiknya yang terlelap.

Apa yang kau impikan, Dik? Apakah itu aku? Atau kucing-kucing kesukaanmu? Atau hanya kabut hitam tanpa arti?

Ia ingin adiknya yang ini membuka hati sedikit kepadanya, sebab sang kakak rela memberikan semua yang adiknya butuhkan.

Ia selalu bercicit ikhlas, tapi sang adik malah membalasnya dengan penindasan.

Tak bisakah adiknya mengerti tentang perasaannya? Rasanya jauh lebih menyakitkan daripada pakaian berkilauan kurang bahan yang menusuk mata.