Thousand Years
NCT
Lee Taeyong
Jung Jaehyun
Johnny Seo
Rated M
BoyxBoy
Ketika kisah cinta Bella-Edward kembali terulang dalam sejarah keluarga Cullen. Cinta segitiga yang menyakitkan. Jika ingin, ia tak ingin memilih. Jika boleh, ia tak ingin jatuh cinta.
.
.
.
"Dad,"
Taeyong sudah berulang kali melihat ayahnya mengoleskan selai coklat ke rotinya. Berulang kali hingga rasanya Taeyong bisa muntah jika roti itu benar-benar masuk ke tenggorokannya. Secinta itu pada coklat, Taeyong tetap tak mau bunuh diri dengan makan roti buatan ayahnya.
"Kau harus makan banyak, Tae. Ini hari pertamamu sekolah."
"Tapi tidak dengan selai sebanyak ituuuuu~"
Suara tawa yang terdengar lembut itu terdengar dari belakang tubuhnya. Taeyong segera membalikkan tubuhnya, siap untuk mengadu.
"Mom, tolong hentikan Dad."
Lagi, hanya sebuah kekehan yang lolos sebelum sebuah kecupan manis jatuh di puncak kepalanya.
"Sayang,"
"Oke, aku berhenti."
Taeyong menghela nafasnya lega ketika ayahnya akhirnya menaruh pisau roti di atas meja makan. Dengan cepat Taeyong menjauhkan pisau roti itu dari jangkauan sang ayah, untuk berjaga-jaga kalau ayahnya melakukan tidakan konyol seperti tadi.
"Biar Mom buatkan yang baru."
Taeyong tersenyum manis lalu mengangguk.
Pagi itu, kediaman keluarga Jung berbeda dari biasanya. Sangat jarang sang kepala keluarga bisa duduk di meja makan bersamanya di pagi hari. Ya, karena memang tak ada yang pernah sarapan selain Taeyong.
Keluarga Jung adalah keturunan Cullen paling bontot, kalian bisa menganggapnya begitu. Selain itu, keluarga Jung adalah yang kedua dalam keluarga Cullen, dimana Kim Jaejoong melahirkan seorang anak lelaki manis yang sekarang sudah tumbuh remaja. Sejarah Bella-Edward terulang kembali setelah beratus-ratus tahun lamanya. Dan semenjak sejarah Bella-Edward tercatat dalam bangsa Vampir, anggota keluarga Cullen terus bertambah. Dan hingga yang terakhir adalah Jung Yunho, yang mengubah Kim Jaejoong, manusia biasa menjadi immortal -Vampir-.
Sejarah itu benar-benar kembali terulang. Kisah cinta yang terlarang antara Vampir dan manusia biasa. Dan nyatanya sekali lagi terbukti, bahwa apapun tak bisa menghalangi kekuatan cinta. Jung Yunho dan Kim Jaejoong bersatu pada akhirnya.
Jung Taeyong, terlahir sebagai Half-human-Half-Vampire mengulang sejarah Renesmee. Tapi tidak seperti Renesmee, meski dinyatakan terlahir sebagai Half, Taeyong sama sekali tak menunjukkan bahwa dirinya memiliki darah Vampir dalam tubuhnya.
Ia benci darah binatang. Sangat. Ia akan selalu memuntahkan darah itu kembali saat cairan merah pekat itu baru menyentuh ujung lidahnya. Beruntung baginya Jaejoong adalah seorang chef dulunya sebelum berubah menjadi Vampir. Meski tak lagi memakan makanan layaknya seorang manusia, Jaejoong masih bisa memasakkan anaknya itu makanan yang layak.
Taeyong juga tak takut dengan matahari. Disaat keluarga Cullen berkumpul di sebuah Villa, sekedar untuk merayakan perayaan hari pernikahan Carlisle dan Esme, Taeyong memilih berbaring di padang rumput dekat sebuah sungai. Ia akan jatuh tertidur hanya dengan mendengar gemercik aliran air sungai itu.
Dan Taeyong tak mempunyai kekuatan khusus seperti sang ayah yang bisa mengendalikan 4 elemen (api, tanah, air dan udara), ataupun sang ibu yang dapat mengetahui setiap kebohongan. Taeyong ingin seperti Edward, bisa membaca pikiran setiap orang (dan sering menjahilinya dengan mengatakan apa isi otaknya), atau seperti Renesmee yang bisa mengungkapkan perasaannya hanya dengan kontak fisik. Meski Carlisle bilang ia punya hadiah yang terbaik disaat usianya genap 20 tahun, Taeyong tak sabar. Ia harus menunggu setidaknya dua tahun lebih agar tahu ia memiliki kekuatan apa.
Atau tahu apakah ia bisa menjadi Vampir dan hidup lama (mustahil untuk dirinya menjadi immortal, meski tidak menampik kemungkinan hal itu terjadi), atau hanya remaja biasa yang akan menua dan meninggalkan kedua orang tuanya.
Tapi Taeyong tak terlalu memusingkan hal itu. Ia hanya perlu menunggu hingga usianya 20 tahun, bukan? Atau jika ternyata ia tak bisa menjadi Vampir, ia hanya perlu mencari pasangan Vampir untuk mengubahnya seperti ibunya.
Begitu mudah, tak ada yang harus Taeyong khawatirkan.
.
.
.
"Nah, kita sampai."
Sebenarnya Taeyong sudah menolak berkali-kali saat ayahnya bilang akan mengantarkannya ke sekolah. Alasan pertama, setahu Taeyong remaja seusianya pada umumnya tak lagi diantar oleh orang tuanya ke sekolah. Kedua, mobil sport yang dibawa ayahnya itu terlalu mencolok ketika berhenti di depan gerbang sekolah.
"Beritahu Dad kalau ada yang mengganggumu. Dad akan-"
"Menghisap darahnya? Oh ayolah, Dad alergi dengan darah manusia. Dad kan vegetarian."
Yunho terkekeh. Ia mengusak surai hitam milik Taeyong. Sayang sekali ia tidak bisa melihat surai putih keunguan Taeyong lagi. Padahal Taeyong terlihat manis dengan model rambutnya yang dulu. Hanya karena peraturan sekolah yang menyebalkan. Yunho lupa bahwa sejak dulu peraturan ketat di setiap sekolah negeri Seoul tak pernah berubah, bahkan setelah beberapa dekade.
"Hati-hati, sayang. Telepon Han-ahjussi jika kelasmu sudah selesai. Ia yang akan menjemputmu."
Taeyong mengangguk semangat sebelum mengecup pipi Yunho dan berjalan keluar dari mobil itu.
Voila! Seperti yang Taeyong duga. Saat kakinya menginjak tanah, semua pandangan tertuju padanya. Pasti karena ia baru saja keluar dari mobil sport koleksi ayahnya itu. Harusnya ia menyuruh Han-ahjussi saja yang mengantarnya dengan mobil sedan biasa.
Hidup hanya bertiga dalam satu atap, jarang berkumpul dengan keluarga Cullen karena jarak yang cukup jauh, dan hidup terpencil di daerah pegunungan membuat Taeyong tak begitu menyukai keramaian. Meski Taeyong tumbuh layaknya manusia biasa, tapi Taeyong bahkan tak pernah berkomunikasi dengan manusia biasa lainnya. Hanya Vampir, Vampir, dan Vampir.
"Hei, manis. Kau murid baru disini?"
Bahunya tersentak ketika merasakan beban lain. Ia menoleh cepat dan menemukan sosok asing tengah merangkulnya. Oke, mungkin semuanya adalah sosok asing untuknya. Tapi, siapa pemuda ini tiba-tiba merangkulnya?
"Aku Ten. Ten Chittaphon Leechaiyapornkul."
Dahi Taeyong mengernyit. Bukan, bukan karena senyuman berlebihan yang dikeluarkan pemuda yang sedikit lebih pendek darinya. Hanya saja, nama pemuda itu terdengar aneh di telinganya. Nama keluarga Vampir memang lebih aneh dari nama yang dimiliki pemuda itu. Tapi nama pemuda itu bukan nama kebanyakan yang dimiliki oleh orang Seoul.
"Kau pasti bingung ya dengan namaku?"
Heol. Taeyong hampir jantungan. Ia pikir pemuda asing ini bisa membaca pikirannya.
"Aku perantau, dari Thailand. Mencari kebebasan di negara lain, mungkin? Aku juga tak tahu."
Taeyong tak begitu mengerti. Ia baru saja turun dari mobil ayahnya. Berjalan beberapa langkah memasuki gerbang sekolah barunya dengan diikuti seluruh tatapan aneh itu, kemudian seseorang merangkulnya. Mengenalkan namanya, dan berbicara sangat akrab seolah ia sudah mengenal lama Taeyong. Apakah setiap manusia memang seperti ini?
Hei Taeyong, kau juga manusia. Ingat.
"Jadi, siapa namamu?"
Ah! Apa benar tak apa jika Taeyong memberitahu namanya? Andai saja ia memiliki kemampuan Edward untuk membaca pikiran. Paling tidak Taeyong harus memastikan bahwa pemuda bernama Ten ini tidak bermaksud jahat padanya. Tapi dari mukanya, Taeyong pikir pemuda ini orang baik.
"Jung Taeyong."
"Woah, kau orang Korea asli?! Kukira kau half! Matamu yang bulat membuatmu terlihat bukan seperti kebanyakan orang Korea yang pernah kutemui."
Taeyong berpikir. Haruskah ia tersenyum? Bagaimana Taeyong menanggapi Ten?
"Ya! Kau mengganggu siapa lagi, huh?!"
Taeyong kembali terkejut, kali ini karena rangkulan di bahunya mengendor hingga tak terasa lagi. Dan bukan hanya itu saja, ia juga dikejutkan dengan kehadiran sosok lainnya yang tiba-tiba muncul beberapa senti di depan wajahnya. Membuat Taeyong terhuyung ke belakang, mengambil langkah mundur.
"Ya tokki sialan! Kau menakuti Taeyong!"
Taeyong mengerjapkan matanya beberapa kali. Memperhatikan dengan seksama sosok baru di depannya. Ia cukup tinggi, lebih tinggi dari postur miliknya. Mata bulat dan gigi kelincinya itu, ah, tak salah Ten menyebutnya tokki.
"Kau murid baru ya? Aku tak pernah melihatmu di sekitar sini. Ya, sebagai wakil ketua osis aku tahu semua seluk-beluk tentang murid disini. Tak ada yang memiliki mata bulat dan iris hitam yang bersinar sepertimu. Dan pipi kemerahan itu, sungguh, kupikir hanya kau yang memilikinya disini. Ah! Juga pakaianmu. Tak ada yang memakai baju penghangat berlapis hingga seperti hampir tenggelam di dalamnya."
Dalam hati, Taeyong merutuki ibunya yang memaksanya untuk memakai baju tebal itu. Taeyong tahu ia tak seperti Vampir yang tahan dingin. Ia sangat mudah kedinginan. Tapi tidak separah ini kan seharusnya? Lagipula ini sudah pertengahan musim dingin.
"Kau tak sopan, Doyoung! Perkenalkan dirimu dulu sebelum men-judge ia seperti itu!"
"Hei, aku tak men-judgenya!"
"Tapi kau menatapnya seperti akan menelannya hidup-hidup tokki."
Tokki, maksud Taeyong sosok selain Ten itu hanya memutar bola matanya. Sebelum sebuah tangan terulur di depannya.
"Kim Dongyoung. Kau bisa memanggilku Doyoung saja, aku tak terlalu suka dengan Dongyoung. Terlalu aneh untuk diucapkan. Ya, aku pernah menyuruh ibu untuk mengganti namaku. Tapi ia selalu menolaknya. Menyebalkan."
Haruskah ia menjabat tangannya?
Taeyong menatap tangan yang terulur di depannya ragu-ragu. Berpikir sesaat, sebelum akhirnya mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan yang sudah sekian detik dianggurkan itu.
"Ju- Jung Taeyong."
Satu lagi yang membuatnya berbeda dari Vampir lainnya. Ia punya jantung yang berdetak, dan hati yang berdenyut. Suhu tubuhnya juga hangat, bukan dingin seperti kedua orang tuanya atau semua keluarga Cullen.
Salah satu alasan kenapa Yunho mau mengirimkan Taeyong ke sekolah biasa. Selain karena sebagian penduduk di kaki gunung curiga dengan remaja penghuni rumah besar di puncak gunung yang tak pernah pergi ke sekolah.
"Kau sudah tahu kelasmu nanti?"
"Duh, kau ini bodoh sekali sih tokki? Bukankah tahun lalu kau yang mengantarku ke ruang Konseling untuk menanyakan informasi kelasku? Katanya wakil ketua osis. Makanya kurang-kurangilah ciuman di ruang osis dengan si ketua osis. Kalau para anggota osis tahu ruangan yang sering kalian buat rapat jadi tempat mesum mungkin mereka aka-"
"Mati saja kau Chittaphon!"
Dahi Taeyong mengernyit. Apa itu tadi? Kelinci jadi-jadian sedang mengejar cabe Thailand?
Oh, Mom… benarkah pagi Taeyong harus berjalan seperti ini?
.
.
.
"Hei, John!"
Pemuda bongsor itu tersenyum tipis sebelum menerima lemparan kaleng minuman tepat di depan wajahnya. Ia berjalan dan duduk di meja sebelum membuka minuman kaleng tersebut.
"Aku tak menyangka kau rela menjadi bocah sekolahan lagi!"
Johnny terkekeh sebelum menyikut sosok yang berada di kursi hadapannya.
"Katakan itu padamu yang setiap hari memakai seragam dan menjalani hari membosankan di belakang meja kayu ini."
Sosok yang disikutnya memutar bola matanya malas. Sebelum mencondongkan tubuhnya ke depan Johnny dan berbisik, "Setidaknya aku tak memalsukan umurku, dasar om-om mesum."
Tawa si bongsor meledak. Ia bahkan mengguncang-guncangkan sosok yang lebih kecil darinya itu dengan kencang. Yang ada di kelasnya itu melihat seperti sosok itu bisa membunuh yang lebih kecil kapan saja.
Si murid baru yang masuk tanpa memberi salam. Seenaknya merebut salah satu kursi yang sudah ada pemiliknya (meski pemiliknya belum datang) hanya untuk duduk bersama Yuta, sosok yang hampir terbunuh dengan aksi anarkis si bongsor.
Semua yang ada di kelas melemparkan tatapan aneh dan sedikit terganggu pada sosok asing yang tiba-tiba masuk ke kelas itu. Murid baru di tahun terakhir? Mungkin si bongsor itu dikeluarkan dari sekolahnya yang lama karena seorang pengacau. Dan karena orang tuanya ingin ia tetap melanjutkan sekolah, jadinya ia dimasukkan ke sekolah ini. Setidaknya itu yang ada di hampir setiap pikiran murid lainnya di kelas itu.
"Hei, kau pemilik bangku ini?" si bongsor dengan nametag Johnny Seo itu bertanya pada salah satu murid yang sedari tadi hanya berdiri di dekat meja yang ia duduki dan sekarang menunduk ketakutan.
"Baik-baik dengannya, John. Ia tetap mantan teman sebangkuku."
Ucapan Yuta ditanggapi dengan anggukan kepala Johnny yang kemudian turun dari meja yang ia duduki dan berjalan mendekati murid yang tubuhnya sudah bergetar ketakutan.
"Kwon Soonyoung, aku pinjam bangkumu ya. Tak lama kok. Hanya sampai upacara kelulusan saja." Meski nada bicara Johnny terdengar pelan, tapi tetap terdengar ada penekanan di setiap suku katanya.
"Seperti kau bisa bertahan sampai upacara kelulusan saja."
Johnny menyeringai dan kembali ke kursi kosong di samping Yuta setelah sebelumnya menepuk pundak murid dengan nametag Kwon Soonyoung yang terpasang miring.
"Kau memang tahuku sampai ke dalam-dalam."
"Ewh! Gross."
Lagi, tawa keras mengisi seisi kelas yang mendadak hening sejak kejadian Johnny yang seperti akan memukul si murid teladan dengan kacamata tebalnya itu, Kwon Soonyoung. Sebagian menyesal kenapa mereka harus masuk di kelas ini untuk paling tidak delapan sembilan bulan ke depan?
.
.
.
Taeyong pikir bullying terhadap murid baru benar-benar ada, paling tidak itu menurut buku-buku fiksi yang ia baca. Nyatanya, ia sekarang duduk manis di salah satu bangku kantin, di tengah-tengah gerombolan teman barunya.
Total mereka berenam. Selain Ten dan Doyoung yang ternyata menjadi teman sekelasnya (keberuntungan apa lagi yang mau menjauhi Taeyong?), ada Moon Taeil, si ketua osis dan dari tingkat tiga sekaligus kekasih dari Doyoung. Tampaknya ia paling bijak dari yang lain karena sedari tadi ia mencoba melerai pertengkaran kecil antara Ten dan Doyoung. Sedangkan yang lain malah mengomporinya. Yang lain itu maksudnya adalah Mark Lee, pemuda yang ternyata mengambil program akselerasi sehingga ia setahun lebih cepat dari remaja seumurannya. Pemuda yang tampak manis namun sedikit bejat. Taeyong punya bukti yang kuat seperti bagaimana Mark Lee merebut omelet yang ada di piring Donghyuck dan memakannya dengan santai di depan Donghyuck yang meraung-raung karena omelet-nya lenyap. Lalu ada Lee Donghyuck, yang paling muda dan masih berada di tingkat satu. Sebenarnya ia seumuran Mark, tapi karena Mark mengambil akselerasi, Mark sekarang sudah di tingkat dua, sama seperti Taeyong, Ten dan Doyoung. Yang terakhir ada Dong Sicheng, pemuda manis asal China yang duduk di tingkat yang sama dengannya dan tampak diam dengan senyuman manisnya memperhatikan tingkah laku teman-temannya.
"Donghyuck, kau bisa makan omelet punyaku. Aku tak terlalu suka telur."
Wajah cemberut Donghyuck seketika berubah cerah mendengar ucapan Taeyong. ah, bocah ini begitu menggemaskan. Batin Taeyong.
"Taeyong-hyung, aku sayang hyung!"
Taeyong terkejut saat pelukan yang begitu erat menyambutnya. Sepertinya Taeyong harus terbiasa dengan berbagai skinship saat sudah memutuskan untuk masuk ke dunia manusia dan hidup layaknya manusia biasa. Terlebih ketika ia masuk dalam squad ini. Ten menamainya NCT, entah apa artinya, Taeyong tak terlalu menyimak saat bocah Thailand itu menjelaskan.
"Lalu hyung makan apa?"
Itu Mark. Bocah itu baru kembali setelah berlari tiga putaran keliling kantin ketika berkejar-kejaran dengan Donghyuck.
"Aku tak begitu suka nasi."
Tidak, Taeyong tidak membawa kantong darah di tasnya. Heol, Taeyong kan benci darah.
"Mungkin aku akan membeli roti?"
"Kutemani."
Ten ikut beranjak dari kursi dan menarik Taeyong untuk pergi membeli roti.
"Kau menyukai makanan manis ya?"
"Aku maniak, Ten. Kau tak akan percaya itu."
Ten tertawa sebelum mengambil sebungkus roti dan sekotak susu dari stall makanan. Lalu memberikannya pada Taeyong dan menariknya untuk menuju mesin penjual minuman kaleng.
"Kau mau?"
Taeyong menggeleng, ia menggoyangkan sekotak susu yang Ten berikan tadi. Ten membeli lima minuman kaleng sebelum berjalan beriringan dengan Taeyong menuju teman-temannya yang lain.
"Kau sedang kesambet? Tumben sekali traktir."
Ten yang baru saja menaruh minuman kaleng ke depan Doyoung segera menggeser minuman itu hingga ke depan Taeil.
"Tak ada untukmu, nenek sihir."
"Ya! Kau mau mati, huh?!"
Rasanya dua pemuda itu tak pernah berhenti bertengkar.
"Maaf ya, Tae."
Taeyong menoleh ke sampingnya, mendapati Sicheng tengah memasang senyum manis.
"Kenapa kau minta maaf, Sicheng?"
Sicheng mengalihkan pandangannya hingga terarah pada Ten dan Doyoung yang masih bertengkar. Membuat Taeil akhirnya memisahkan mereka dengan duduk di tengah-tengah keduanya.
"Kurasa kau tak nyaman dengan suasana meja kita yang terlalu, kau tahu-berisik?"
Taeyong berpikir sesaat. Apakah ia tak nyaman? Tapi nyatanya Taeyong tak merasa terganggu. Mungkin sedikit terkejut melihat bagaimana Ten dan Doyoung bertengkar. Atau Mark menjahili Donghyuck. Tapi Taeyong tak pernah berpikir merasa terganggu.
"Tidak, kok. Aku malah senang. Ya, kau tahu. Berkat Ten dan Doyoung yang mengenalkan kalian, aku tak kesepian di hari pertamaku bersekolah disini."
"Syukurlah. Kupikir kau terganggu."
Taeyong menggeleng sesaat lalu tersenyum.
"Taaaeee~ ayo makan rotinya! Aaaaa~"
Taeyong hampir tersedak ketika Ten tanpa berkata apa-apa memasukkan roti ke mulutnya.
"Hyung iri ya? Gak bisa suap-suapan seperti Doyoung-hyung dan Taeil-hyung? Makanya cari pacar, hyung."
Ten mendelik dan mungkin saja akan menjambak rambut Donghyuck jika Taeil tak menahannya.
"Ngaca dong bocah! Ingus masih belum lurus aja sok-sok ngehina!"
"Heol, Tae. Kau benar-benar tak merasa terganggu?"
Sepertinya Taeyong tahu kenapa Sicheng bertanya padanya tadi.
.
.
.
"Kau menatapnya seperti akan menerkamnya sekarang juga, John."
Yuta yang sedari tadi bersender pada tembok jalanan sudah bosan, sedari tadi jarak pandangnya hanya dipenuhi sosok besar Johnny yang berdiri tegap dan menatap ke satu sisi.
"Dia sudah berada sedekat ini.."
Yuta memutar bola matanya malas.
"Lalu? Kau akan menghampirinya dan membuatnya takut, begitu?"
Helaan nafas kasar terdengar jelas di indera pendengaran Yuta.
"Aku harus mengejarnya."
Yuta tak perlu heran dengan kegilaan Johnny, si bongsor yang mengaku-ngaku sebagai sahabat sejak kecilnya di depan semua teman-teman klub sepak bola Yuta atau semua gadis-gadis yang mendekati Yuta selama di sekolah tadi. Termasuk dengan Johnny yang berlari menyusul sebuah sedan hitam yang berjalan menjauhi gerbang sekolahnya.
"Bahkan ia tak mengucapkan selamat tinggal. Dasar monster bodoh."
Yuta berjalan menuju motornya, menaiki motor hitam itu dan berlalu dari depan sekolahnya.
.
"Tuan muda,"
Taeyong yang sedari tadi sibuk menatap layar ponselnya dan sesekali tersenyum membaca pesan-pesan konyol di chatroom barunya menoleh ke arah Han-ahjussi, salah satu Vampir kepercayaan keluarga Cullen yang sudah menjaganya sejak ia bayi.
"Ya, ahjussi?"
"Tak masalah kalau aku menambah kecepatan mobilnya kan?"
"Memangnya kenapa ahjussi?"
Dahi Taeyong mengernyit saat menemukan air muka Han-ahjussi yang mengeras.
"Seseorang mengikuti kita."
Seseorang? Siapa?
Taeyong pernah mendengar Vampire Hunter, Vampir yang senang berburu dan menghisap habis darah manusia. Terkadang para Vampire Hunter akan menyerang Vampir murni seperti keluarga Cullen, Vampires yang sudah berjanji untuk tak melukai manusia. Tapi sepanjang 17 tahun hidupnya, Taeyong tak pernah bertemu dengan satu pun Vampire Hunter.
"Yunho pasti tak akan senang mendengarnya.."
Meski pelan, tapi Taeyong bisa mendengar geraman rendah yang keluar dari bibir Han-ahjussi.
Dad tidak akan senang?
"Jangan menoleh, Taeyong!"
Tubuh Taeyong membeku. Kekuatan Han-ahjussi adalah ultimatum, dimana ketika ia mengeluarkannya, tak ada satu pun yang bisa mengelak.
Tanpa Taeyong sadari, ia menggigit bibir bawahnya. Dan cairan merah pekat itu menetes keluar.
.
.
.
Vancouver, January 2030
"Are you sure?"
Gadis berambut kemerahan itu mengangguk. Tatapan iris biru itu menatap lurus ke iris coklat pemuda yang tengah mengukung tubuhnya di antara tubuh jangkungnya dan tembok berlapis bata.
"Do it."
Semudah ini.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Senikmat ini.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Secandu ini.
Tubuh kurus itu terjatuh begitu saja di atas dinginnya aspal malam. Di samping sepatu kulit berwarna coklat.
"Ini sudah ketiga kalinya hari ini, Jay."
Pemuda itu menggeram marah. Matanya terasa panas.
"Dan ini sudah ketiga kalinya kukatakan untuk berhenti mengikutiku."
Tatapan menyalang itu tak membuat takut sosok yang ditatap, sosok pirang yang berdiri di seberang sana. Iris kuning keemasan yang terlihat indah tapi memuakkan baginya.
"Ikut lah bersamaku. Berhenti menyiksa dirimu seperti ini."
Menyiksa?
"Apa katamu? Menyiksa? HAHAHA! INI SURGA, BRENGSEK!"
"Aku tidak mengubahmu untuk menjadi monster, Jay."
Tangan itu terkepal.
Buagh!
Beberapa bata jatuh menimpa gadis malang yang kebetulan berada di bawahnya.
"Kalau begitu kenapa kau tak membiarkanku mati saja, sialan.."
Sosok pirang itu berjalan mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh pundak yang bergetar itu, namun, sosok itu menghilang dari hadapannya secepat ia menemukan keberadaan sosok itu seminggu yang lalu.
"Maafkan aku, Jay. Kau sudah terlalu tersiksa di masa lalumu. Aku ingin kau hidup bahagia, selamanya."
Mungkin si pirang terlihat seolah ia berkata hanya kepada angin malam yang berhembus. Tapi ia tahu. Carlisle tahu, kalau Jay masih berada di dekatnya dan mendengar ucapannya.
TBC
.
.
I've just rewatched The Twilight Saga with my friends. And.. voila! this fic was born! Pertama kalinya nulis di FFN. Lebih senang berkutat di AO3 sebenarnya, hehe. Ada beberapa dari yang gak kusuka dari FFN. But, nevermind. My bestie told me to post this on FFN. And I didn't even have the confidence to do that. But here it is. Already posted.
So, lanjut atau tidak?
