"Hati-hati Wonwoo-ya. Ingat, jangan lupa bawa kertas itu besok!"
"Iya, kau sudah 17 kali mengatakan itu Lee Jihoon."
Jihoon mendengus, menutup pintu flat sederhananya begitu Wonwoo berlalu sembari membawa kertas karton yang merupakan tugas kelompok mereka untuk besok. Pemuda berkacamata itu menuruni tangga flat menuju ke lantai dasar, merapatkan sweater biru dongker yang dipakainya ketika angin dingin khas malam menghembus ke arah tubuhnya. Jam menunjukkan pukul 11 malam, hanya ada dirinya saja di sepanjang trotoar saat ini.
Asap kecil nampak keluar dari belahan bibirnya. Wonwoo menundukkan kepalanya untuk memeriksa sejenak nama-nama kelompok yang ada di balik kertas. Jalanan benar-benar sepi, sampai-sampai ia bisa mendengar suara langkah kakinya sendiri di sepanjang jalanan ini.
Bruk!
Langkah Wonwoo pun terhenti saat ia mendengar suara tepat di hadapannya. Kepalanya terangkat untuk melihat asal suara itu—
Dan sepasang mata rubahnya membulat seketika.
"A.. Ampuni aku Tuan—aku—"
"Pengkhianat. Tidak ada ampun untukmu."
Wonwoo terpaku. Di hadapannya, nampak sesosok lelaki tinggi berpakaian serba hitam tengah menyodorkan pistolnya pada lelaki lain yang ambruk tepat di bawah kakinya. Keadaannya begitu mengenaskan dengan luka lebam serta darah dari mulutnya.
Ingin rasanya Wonwoo pergi—
Tapi kenapa kakinya terasa begitu berat?
"Tuan.. Aku—"
Dor!
"Sudah kubilang. Tidak ada tempat untuk pengkhianat."
Lelaki itu tewas, tepat setelah peluru yang ditembakkan dari pistol sang lelaki tinggi mengenai jantungnya. Wonwoo masih terpaku dengan jantung yang berdebar kencang. Tangannya bergetar hebat, membuat gulungan kertas karton di tangannya jatuh—
Dan membuat lelaki tinggi berpakaian serba hitam itu menatapnya.
"Kau melihatnya?" Suara berat—yang tak seberat milik Wonwoo—lelaki itu menyapa gendang telinganya. Ia mendekat pada Wonwoo yang kini sudah mulai berkeringat dingin karena ketakutan.
Wajahnya nampak rupawan dan tegas dengan kulit kecoklatan.
Tapi auranya begitu dingin dan.. membunuh.
Ya, membunuh.
"K.. Kau.. Kau membunuh—"
"Ya, kenapa? Aku adalah ketua klan Mafia. Itu adalah hukuman untuk bawahan yang diam diam mengkhianatiku."
Lelaki itu semakin mendekat, tetapi Wonwoo sama sekali tak bergerak mundur dan tetap terpaku. Jemari besar lelaki itu bergerak mengusap pipi putihnya. Wonwoo bersumpah jemari itu terasa dingin dan hangat secara bersamaan—
Tapi semakin menambah rasa takutnya.
"Jeon Wonwoo?" eja lelaki itu saat mendapati nametag yang ada di sweater Wonwoo. Jemarinya bergerak semakin liar, bahkan kini bertengger di tengkuknya yang sensitif. Wonwoo menggigit bibirnya dan mengepal tangannya kuat.
"Kau masih bersekolah, huh?" tanya lelaki itu. "Ah.. rupanya saksi mataku kali ini adalah anak sekolah. Tapi ngomong-ngomong, siapapun itu.. aku tidak akan membiarkannya tetap hidup."
Wonwoo menelan salivanya. Tubuhnya semakin bergetar hebat. Apakah ini tandanya dia akan mati di tangan lelaki ini?
Ya Tuhan, selamatkan aku..
Lelaki itu mendekatkan bibirnya pada salah satu telinga Wonwoo tanpa melepas usapan di tengkuknya. Wonwoo ingin sekali menghindar, tapi tidak bisa.
"Tapi karena kau manis.." bisik lelaki itu tepat di telinga Wonwoo. "..aku tidak akan membunuhmu karena sudah melihat perbuatanku." ia menghembuskan sedikit nafasnya. Jantung Wonwoo berdegup semakin kencang karenanya, keringat dinginnya pun mengalir semakin deras.
"Tapi ada satu syarat." lanjutnya. Seringai tipis tercipta di ujung bibirnya, meski Wonwoo tak melihatnya ia yakin lelaki itu pasti menyeringai. Bibirnya semakin mendekat, bahkan kini disertai kecupan—yang membuat Wonwoo harus menggigit bibirnya hingga berdarah.
"Kau harus menikah denganku saat ini juga, Jeon Wonwoo."
TBC.
Author bacot;
Halo/?
Oke saya ga akan banyak ngomong karena saya gatau harus ngomong apa. Saya hanya membawakan ide yang tiba-tiba muncul setelah saya menonton anime School Days. Emang ga nyambung, tapi entah kenapa ide ini melintas begitu saja dan kebetulan saya lagi gemas dengan Meanie x'D
Ah saya kira ini sangat dikit untuk sebuah prolog x'D tapi saya harap kalian suka. Ah/? Saya juga sebenarnya tidak terlalu mengharapkan review karena saya menulis untuk kesenangan saya sendiri/?
Tapi ngasih kritik atau saran sedikit bolehlah. Saya sangat senang kalo ada yg bersedia ngasih kritik atau saran.
Sincerely, kaxo.
