Disclaimer:
Naruto [Masashi Kishimoto] and Sword Art Online [Reki Kawahara]
My Love is You
Hurt/Comfort, Family, Drama, Friendship, Romance and etc.
Rate : M
Warning! : OOC, OC, Typo(s), AU, AR, AT and many more!
Author tidak mengambil keuntungan materi apapun dari fanfiksi yang dipubilsh.
.
.
Chapter 1 Penenang Hati
.
.
"Mungkin kesalahan terbesarku adalah mengenalkanmu kepada orang lain."
Nasi sudah menjadi bubur, mungkin itulah pribahasa yang layak diterima pemuda berdarah Uzumaki ini. Memendam perasaan teramat dalam hingga berbulan-bulan lamanya terhadap seorang gadis yang selama ini telah menemani hari-harinya, membantunya, bahkan mengerjakan apa saja yang ia perintahkan. Hampir setengah tahun bersama, Naruto hanya dapat memperhatikan gadis itu dari jauh.
Matanya, rambutnya, paras cantiknya, dan aura keibuan itu bersinar terang menyilaukan pandangan matanya. Namun sayang, lidahnya selalu saja berkeluh saat hendak mengungkapkan perasaan cinta. Ia tahu jika gadis bernama Asuna itu tidak hanya membutuhkan seorang pemuda yang dapat menjadi sandaran baginya, tetapi juga dapat melindungi dirinya dari segala bahaya yang mengancam. Mungkin inilah salah satu faktor yang membulatkan tekad Naruto untuk belajar ilmu bela diri lebih dalam lagi.
Kala ini ia baru saja sampai di akademik perguruan ilmu bela diri milik keluarga Uchiha. Memanggul tas dan memegang kopernya, ia melihat-lihat ke sekeliling perguruan itu.
"Eeeeh, kenapa lambangnya kipas semua, ya?" Ia terheran saat melihat gambar kipas di perguruan itu.
"Selamat datang, Naruto-kun," sapa seseorang dari kejauhan.
Naruto segera menoleh ke arah asal suara lalu memperhatikan siapa gerangan yang menyapanya. Ia kemudian berjalan mendekati sosok itu. Sosok itu pun ikut berjalan mendekati Naruto.
"Aku Itachi, aku yang akan membimbing dirimu untuk mengasah kemampuan bela diri."
Sosok itu memperkenalkan dirinya kepadanya Naruto seraya tersenyum kecil untuk menyambut kedatangan sang Uzumaki ini.
"Kau sudah siap untuk berlatih, Naruto? Kita akan segera memulai pelatihannya."
Itachi kemudian memanggil muridnya untuk mengantarkan Naruto ke kamar yang telah disediakan untuk setiap murid baru yang datang. Tanpa banyak basa-basi, ia segera meninggalkan Naruto setelah menyambut kedatangan murid barunya itu. Tentu saja hal itu membuat Naruto terkejut karena baru saja sampai sudah harus mengikuti teori ilmu bela diri.
Akhirnya, mau tidak mau ia harus mengikuti semua aturan yang ada di perguruan itu. Dan lambat laun seiring berjalannya waktu, akhirnya Naruto pun mulai mengerti tata cara ilmu bela diri yang benar.
Di akademik, Itachi benar-benar mengarahkan kemampuan Naruto untuk dapat menguasai taijutsu dengan handal. Dan usut punya usut, ternyata ayah dari Naruto adalah sahabat lama dari pemilik perguruan ilmu bela diri yang tak lain adalah Fugaku.
Diketahui jika Fugaku dan Minato adalah teman semasa kecil dan juga merupakan sahabat yang selalu seiring-sejalan. Pertemuan Naruto dan Itachi disinyalir sebagai pertemuan keluarga sekaligus titik tolak untuk sang Uzumaki agar berdiri di atas kakinya sendiri, bukan lagi di atas nama sang ayah.
"Asuna, apa kabarmu di sana?"
Hari demi hari pun dilaluinya di perguruan itu, namun hatinya tidak dapat berbohong jika ia memikirkan Asuna yang ditinggalkannya. Biasanya setiap hari ia selalu melihat dara bersurai cokelat keemasan itu, namun tidak untuk beberapa hari ini.
Kala ini hanya rindu menggebu yang menemaninya selama masa pelatihan ilmu bela diri di perguruan milik keluarga Uchiha. Berkat Anko, kakak sepupunya itu, Naruto berhasil menemukan perguruan ilmu bela diri yang tidak hanya melatih raga namun juga jiwanya.
.
.
.
Esok siangnya…
Anko telah mengutus empat orang pengawal untuk menjaga rumah Naruto karena akan ditinggal dalam waktu yang cukup lama. Anko sendiri tidak dapat berlama-lama tinggal di rumah Naruto karena ia datang ke kota hanya untuk melakukan praktik ujian akhirnya. Sehingga setelah ujian praktiknya itu berakhir, ia mengantarkan Asuna terlebih dahulu pulang ke desa sebelum ia benar-benar meninggalkan kota. Sesuai dengan apa yang telah Naruto pesankan kepadanya, karena sang pemuda Uzumaki ini sangat mencemaskan keadaan Asuna jika ditinggal sendirian di rumah sebesar itu.
Sesampainya di desa Asuna, Anko diminta untuk mampir terlebih dahulu, namun Anko tidak dapat mengiyakan karena tak lama Kakashi pun datang, kekasihnya itu.
"Maaf, Asuna. Lain kali saja, ya?" Anko tersenyum sambil memeluk Asuna sebagai salam perpisahan.
"Baiklah, Kakak. Terima kasih atas selama ini," sahut Asuna dengan lembut.
Anko pun tiba-tiba tertawa keras. "Hahaha, kau ini. Aku tidak melakukan hal apapun, lho. Hanya saja suatu kesalahan terjadi yang membuat Naruto batal untuk menci—"
"Sssttt!" Asuna langsung menutup mulut Anko.
"Kakak, jangan kuat-kuat. Nanti adik-adikku mendengarnya," bisik Asuna yang terlihat malu.
Tak lama setelah keduanya melakukan salam perpisahan, ibu Asuna dan kedua adiknya pulang dari pasar. Asuna kemudian memperkenalkan Anko kepada keluarganya.
"Hai, Kak Anko. Rambut mu pendek sekali," celetuk Yui adik Asuna.
Tiba-tiba saja raut wajah Anko menjadi merah merona sesaat setelah mendengar ucapan Yui, adik di bawah Asuna yang berbeda umur tujuh tahun.
"Yui, kau tidak boleh berbicara seperti itu!" Asuna memperingatkan adiknya.
"Maaf, Kakak. Yui hanya bercanda." Yui kemudian tersenyum kepada kakaknya dan juga Anko.
"Tidak apa, Yui." Anko membelai rambut Yui seraya membalas senyuman.
"Terima kasih, Nak. Telah mengantarkan Asuna pulang hingga selamat," ucap Samui, ibu Asuna kepada Anko.
"Ya, Bibi. Baiklah kalau begitu aku mohon pamit. Oh iya, ini buat Yui dan si kecil Mina." Anko memberikan beberapa lembar uang pecahan besar kepada Yui dan Mina.
"Wah! Banyak sekali. Terima kasih, Kakak," ucap Yui riang.
"Terima kasih," sahut Mina dengan lugunya.
"Kak Anko, jangan seperti itu. Aku jadi malu."
Asuna merasa tidak enak hati karena Anko memberi adiknya uang yang cukup banyak. Ia begitu terharu dengan perbuatan Anko yang begitu baik hingga hampir membuatnya menitikkan air mata.
"Tak apa, Asuna. Nanti juga kau akan menjadi adik iparku. Hahahaha." Anko berceloteh dan kemudian ia tertawa lagi.
Sontak saja ucapan yang terlontar dari mulut Anko mengagetkan ibu dan juga adik-adik Asuna.
"Bibi, Asuna, Yui dan Mina, aku pamit. Sampai bertemu kembali," ucap Anko menutup perjumpaan dengan keluarga Asuna.
Anko pun kemudian berjalan menuju mobil kekasihnya, Kakashi.
"Dadaah, Kak Anko!" teriak Yui.
"Dadaaah." Mina pun ikut melambaikan tangannya ke arah Anko.
"Arigatou, Anko-nee," ucap Asuna dengan pelan sambil merangkul kedua adiknya.
Mobil itu pun perlahan-lahan menghilang dari pandangan mata Asuna dan keluarga. Melaju pergi meninggalkan kenangan indah sebagai seorang teman. Perpisahan itu datangnya pasti, namun kenangan akan selalu membekas di hati.
.
.
.
Malam harinya…
"Kakak," Yui mendekati kakaknya.
"Iya, Yui. Ada apa?" tanya Asuna.
"Kakak, mata Yui sakit. Lampu di rumah kita masih gelap, Yui belajarnya perih," adu sang adik.
Perkataan adiknya membuat hati Asuna menjadi teriris. "Besok kita ke kantor listrik, ya? Membayar semua hutang tagihan listrik kita." Asuna berusaha menenangkan sang adik.
"Tapi, Kak. Ibu bersama Yui dan Mina sudah membayar listrik, lho," sanggah Yui.
Asuna pun tampak bingung mengapa sudah membayar listrik tapi lampu belum hidup. Tiba-tiba ibunya datang dan memberi tahu alasannya kepada Asuna.
"Asuna, sisa ikan sebanyak tiga kontainer yang kemarin Naruto kirimkan sudah ibu jual. Tapi uang hasil menjual dua kontainer ikan ibu belikan beras dan membayar semua tunggakan uang sekolah Yui dan Mina dan membeli peralatan tulis mereka, karena sebentar lagi Yui naik kelas enam dan Mina naik kelas dua."Sang ibu menjelaskan.
Mendengar penjelasan itu Asuna menjadi mengerti. "Jadi kita hanya belum membayar denda atas tunggakan listrik kita ya, Bu?" tanya Asuna kepada ibunya.
"Iya, Asuna. Uang dari hasil penjualan satu kontainer ikan dapat melunasi tunggakan listrik kita tapi sayang tidak bersama dendanya," jawab ibunya.
Asuna pun menoleh ke arah adiknya. "Baiklah, Yui. Besok sepulang sekolah temani kakak membayar denda listriknya, ya?" kata Asuna kepada adiknya.
"Baik, Kak!" sahut Yui yang masih tampak bersemangat di antara cahaya lilin yang temaram itu.
.
.
.
Pagi harinya…
Sang ibu mendapat upahan bekerja di kebun karet yang berada di belakang rumahnya. Sang ibu bekerja mengambili getah karet yang dikumpulkan lalu dijual oleh sang pemiliknya. Tidak banyak memang upah yang diberikan si pemilik kebun karet, tapi itu cukup membeli lauk pauk untuk dimakan bersama ketiga anaknya.
Sementara Asuna seusai mengantar adiknya bersekolah, ia ikut membantu tetangganya berjualan sarapan di pasar. Dan setelah jam sepuluh pagi, Asuna pamit pulang untuk menjemput adik-adiknya di sekolah. Dengan menggoes sepedanya, ia bersama kedua adiknya pergi ke kantor PLN dan melunasi denda atas tunggakan listrik di rumahnya. Tapi sesuatu terjadi saat ia mengantri untuk membayar denda listrik itu.
"Asuna," Seseorang menyapa dirinya.
Asuna yang tengah merangkul kedua adiknya itu menoleh ke asal suara dan melihat dengan jelas sosok yang tengah berada di hadapannya itu.
"Kirito?"
Seakan masih tidak percaya atas kehadiran Kirito di kantor PLN yang ada di desanya, Asuna berusaha memastikan jika yang dilihatnya adalah benar Kirito, pemuda yang pernah bertemu dengannya di rumah Naruto kala itu.
Pemuda yang memang benar adalah Kirito itu pun lalu duduk di samping Asuna. "Kau ada urusan apa datang ke sini, Asuna?" tanya Kirito kepada Asuna.
Tampak wajah berbinar yang terpancar dari roman Kirito saat melihat Asuna, ia seperti melihat kekasihnya hidup lagi.
"Aku … aku ingin membayar denda tagihan listrikku," jawab Asuna dengan sedikit ragu.
Yui yang melihat kedatangan Kirito menjadi sedikit rishi karena ia takut Kirito adalah orang jahat sama seperti pria yang mengambili barang-barang yang ada di rumahnya. Mina sendiri tampak berlindung di balik Asuna, sepertinya Mina merasa takut atas kehadiran Kirito.
Karena merasa semua adiknya ketakutan melihat kedatangan Kirito, Asuna lalu memperkenalkan Kirito kepada kedua adiknya.
"Haha, maafkan aku adik-adik kecil."
Kirito memegang kepalanya, merasa malu karena kehadirannya membuat adik-adik Asuna menjadi ketakutan. Ia kemudian membantu membayarkan denda listrik rumah Asuna bahkan membayarkannya.
"Kirito-kun—"
"Taka pa, Asuna."
Asuna merasa tidak enak hati karena Kirito telah membantunya membayarkan denda. Namun karena melihat kejadian itu, Yui dan Mina akhirnya dapat menerima kehadiran Kirito yang diketahui merupakan teman kakaknya, Asuna.
Setelah itu, Kirito mengantarkan ketiganya pulang ke rumah dengan membawa sepeda buntut yang diletakkan di atas mobil Kirito. Sepanjang perjalanan Kirito mengajak Asuna berbicara yang di tanggapi sinis oleh kedua adiknya. Maklum saja, anak kecil selalu merasa risih dengan kehadiran orang baru walaupun mereka dapat menerimanya.
.
.
.
Sementara di akademik, Naruto tiba-tiba mendapat pukulan keras dari lawannya saat berlatih tarung dengan seorang teman yang sama-sama pemula.
"Kau tak apa, Naruto?" tanya teman Naruto yang bertarung bersamanya.
"Tak apa." Naruto tampak kesakitan sambil memegang perutnya.
Itachi pun mengambil kendali. "Baik, latihan bertarung pada hari ini kita akhiri saja. Kalian beristirahatlah dan asah kemampuan kalian sendiri," perintah Itachi kepada para murid barunya.
Para muridnya pun mengiyakan. Setelah semuanya bubar, Itachi mendekati Naruto.
"Kau tak apa, Naruto?" tanya Itachi yang tampak khawatir.
"Tak apa, Itachi-nii, aku fikir aku hanya kehilangan konsenterasi saja," jawabnya dengan lesu.
Itachi pun membantu Naruto berjalan ke pinggir arena latihan. "Duduklah dan minumlah teh herbal ini." Itachi menawarkan teh kepada Naruto.
"Terima kasih, Itachi-nii," sahut Naruto sambil mengambil teh yang ditawarkan Itachi.
"Aku pikir kau akan menang, Naruto. Di babak pertama kau mampu menjatuhkan lawanmu, tapi di detik-detik terakhir pada babak kedua kau bisa terkena pukulan itu aku menjadi bingung. Apakah kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Itachi lebih dalam lagi.
Naruto pun tampak termenung, ia teringat dengan Asuna. Wajah dan senyuman Asuna selalu terbesit di alam pikirannya. Bahkan Asuna pula yang mengobarkan semangat di jiwa Naruto sehingga ia membulatkan tekad untuk menjadi penjaga dari gadis bersurai panjang itu. Bukan seorang satpam tapi penjaga dari segala macam kesedihan yang melanda diri Asuna, karena Asuna telah berhasil membuat Naruto merasa lebih berarti setelah kesepian panjang melanda jiwanya.
"Naruto," Itachi menegur Naruto yang sama-sama sedang duduk di pinggir arena latihan itu.
Naruto pun tersadar akan panggilan itu. "Maaf, Itachi-nii. Nanti sore aku ingin berlatih berdua bersamamu. Apakah kau keberatan?" tanya Naruto kepada Itachi.
"Hah. Tentu saja tidak, Naruto. Aku sangat senang mendapat murid dengan semangat nyang berkobar sepertimu," jawab Itachi sambil tersenyum.
Naruto pun tersenyum menyeringai mendengar jawaban dari Itachi tersebut. Akhirnya perbincangan mereka pun berakhir setelah membuat kesepakatan untuk berlatih bersama. Tak lama, Itachi pun berlalu pergi meninggalkan Naruto.
Sasuke, aku seperti nmelihatmu, bisik Itachi saat berjalan meninggalkan Naruto.
.
.
.
Siang itu Asuna dan kedua adiknya telah sampai di rumah bersama Kirito yang kebetulan berada di kantor PLN setempat, tempat di mana Asuna membayar denda tagihan listrik rumahnya, yang kemudian Kirito mengantarkan Asuna pulang dengan mobil pribadinya sendiri.
"Asuna, apakah lain kali aku boleh mampir ke sini lagi?"
Kirito bertanya kepada Asuna dengan ragu dan tampak nervous sekali sambil menggaruki kepalanya yang tidak gatal itu.
Asuna hanya tersenyum. "Silahkan, Tuan."
Tatapan Asuna yang lembut membuat Kirito mengingat almarhumah kekasihnya. Kau mirip sekali dengannya, Asuna. "Hm, baiklah. Sampai nanti, Asuna."
Kirito pun kemudian berpamitan disambut lambaian tangan dari Asuna. Entah mengapa Kirito seperti berat untuk meninggalkan gadis ini.
Sebenarnya Kirito ingin berlama dan mampir terlebih dahulu di rumah Asuna, tapi ia mempunyai tugas untuk membantu sang paman mengaudit kinerja para pegawai PLN setempat. Sehingga ia pun tidak dapat berlama-lama.
Dengan langkah bahagia Kirito berjalan menuju mobilnya. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mungkin itulah pribahasa yang tepat untuk menggambarkan hati Kirito saat ini. Tanpa perlu bersusah payah, takdir menggiring langkah kakinya untuk menemukan rumah Asuna di desa. Namun rupanya kebahagiaannya itu tidak sama seperti yang kedua adik Asuna rasakan, Yui dan Minna tampak diam melihati kepergian pemuda yang menyukai kakaknya itu.
.
.
.
Sore harinya…
Ketiga anak beserta ibunya bercengkerama berempat. Mereka duduk di sebuah gubuk reyot yang ada di belakang rumahnya. Sang ibu menggunakan daster abu-abu, Asuna mengenakan baju terusan yang simpel berwarna krim dan Yui menggenakan pakaian mainnya yang berwarna merah muda. Sementara Mina masih dengan baju tanpa lengan yang berwarna hijau lumut. Mereka sedang bercerita tentang masa lalu keluarganya.
"Ibu." Yui menyapa sang ibu yang tengah menjahit pakaian adiknya yang sobek.
"Kenapa, Yui?" Sang ibu bertanya dengan tatapan kasih kepada anaknya.
"Ibu, sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana rupa ayahku. Bisakah ibu ceritakan?"
Yui meminta sang ibu menceritakannya, sontak saja Asuna yang sedang menguncir rambut Mina menjadi terkejut.
"Mengapa kau menanyakan hal yang demikian, Yui?!" tanya Asuna.
Asuna sedikit kesal karena keingintahuan sang adik. Yui tidak memperdulikan ucapan sang kakak, ia hanya ingin mengetahui cerita tentang ayahnya. Sedangkan Mina tampak diam mendengarkan.
"Huufft."
Sang ibu menghela napasnya, mungkin sudah waktunya untuk menceritakan siapa sebenarnya sang ayah dari ketiga putrinya itu. Walaupun sebenarnya Asuna sudah mengetahui akan hal itu.
"Dahulu saat ibu berumur dua puluh lima tahun, ibu menikah dengan ayahmu yang usianya lima tahun lebih muda. Awalnya ibu percaya batasan umur bukan sebuah penghalang cinta di antara kami berdua. Tapi setelah kelahiran Asuna, ayah kalian menjadi berubah. Kesemua waktu yang ibu lewati hanya sampai di masa kakak kalian hingga berumur tujuh tahun saja, beberapa bulan setelah kelahiranmu, Yui.
"Ayahmu, Akasuna Sasori mulai meninggalkan ibu di sini sendiri. Ya ibu pikir dia tak akan kembali lagi, tapi ternyata dia berusaha merajuk diumurmu yang keempat dan akhirnya lahirlah Mina. Dan sampai sekarang ibu tidak tahu di mana keberadaan ayahmu." Sang ibu menceritakan masa lalunya.
Ada perasaan getir yang Asuna rasakan karena teringat saat ayahnya merajuk, Yui sedang terkena demam panas sehingga tidak dapat melihat wajah sang ayah.
Yui segera memeluk ibunya itu. "Maafkan Yui, Ibu. Selama ayah tidak ada ibu harus menanggung semua beban kami."
Yui mulai berkaca-kaca dan tak lama air matanya pun mengalir. Mina yang melihatnya ikut sedih lalu memeluk sang ibu dalam diam. Sementara Asuna sendiri bergegas pergi meninggalkan ketiganya karena ia tidak ingin mengingat sang ayah kembali.
Ibu Asuna yang bernama Samui tinggal bersama anak-anaknya di sebuah desa yang bernama desa air. Karena di desa itu banyak aliran sungai dan air terjun yang indah.
Asuna pun berjalan kaki menuju sebuah bendungan sungai yang tak jauh dari rumahnya. Tatapannya menatap dalam ke air sungai itu sambil menitikkan air mata.
"Ayah …,"
Asuna bersedih saat mengingat ayahnya, kenangan semasa kecil membuat Asuna iba dan berusaha melupakan hal itu.
"Andai kau tahu betapa sulit hidup yang aku jalani sekarang," ucapnya pelan sambil memandangi aliran sungai itu di tepi jembatan kecil yang ada di sana.
Terlihat raut duka mendalam di wajah Asuna, ia bertekad tidak akan menikah dengan pria yang lebih muda dari dirinya karena takut akan bernasib sama seperti ibunya yang ditinggal begitu saja.
.
.
.
Lusa kemudian…
"Pergi kalian! Jangan ganggu kami!"
Asuna kedatangan tamu yang tak diundang, seorang lintah darat yang bernama Sugou Nobuyuki.
"Eh, enak saja kau berkata demikian, Cantik. Ibumu masih berhutang sepuluh juta kepadaku. Mana mungkin aku akan pergi dari sini?" ucapnya dengan nada mengejek.
"Nanti akan kubayar utang-utangku, tapi tidak sekarang. Tolong beri kami waktu," pinta Samui, ibu Asuna.
Sugou kemudian melihat ke arah Samui, ibu Asuna. "Hei, Wanita tua! Aku kan sudah bilang kepadamu, berikan saja Asuna kepadaku maka hutang-hutangmu akan lunas. Bukan begitu, Asunaku?" Sugou membelai pipi gadis yang tengah berada di hadapannya.
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Sugou, ternyata Asuna menampar wajah itu.
"Hahahaha. Rupanya kau ingin bermain-main padaku, Asuna. Hei, Kalian! Cepat ikat gadis ini dan bawa dia ke dalam mobilku!" Sugou berseru kepada para banditnya.
Para bandit itu segera mengambil tali untuk mengikat Asuna.
"Asuna, pergilah. Biar ibu yang menghadapi," pinta ibunya kepada Asuna.
"Tapi, Bu." Asuna berusaha mengelak.
"Sudah, Asuna! Cepat pergi!" Sang ibu berusaha melindungi Asuna. Tetapi…
"Mau kemana kau, Cantik?" tanya para bandit yang berjumlah tiga orang itu.
Asuna berusaha mengelak, sementara ibu Asuna mengambil sapu dan mengusir Sugou dari rumahnya. Tapi saat pukulan mengenai Sugou, sapu itu malah dipatahkan.
"Kau benar-benar tidak tahu diri, Samui! Sudah kuhutangkan, malah berani-beraninya kau memukulku. Dasar wanita tua!"
DABB!
Sugou menendang Samui.
"Ibuuu!"
Asuna menjerit sekencang-kencangnya lalu berusaha berlari mendekati sang ibu. Samui jatuh pingsan karena tendangan Sugou yang mengenai perutnya dengan keras. Ia jatuh tersungkur lemas dan tidak berdaya.
"Ibu. Bangun, Ibu! Banguuunn…!"
Asuna berusaha menepuk pipi ibunya yang jatuh pingsan itu, tapi sayang sang ibu belum juga siuman. Asuna sangat geram dengan tindakan Sugou, sang lintah darat itu. Ia pun kemudian menoleh ke arah Sugou.
"Dasar sampah!"
Asuna mulai geram dan ia bangkit mendekati Sugou, lalu…
Asuna berniat menampar Sugou tapi Sugou menangkis tamparan Asuna dengan tangan kirinya dan malah wajah Asuna yang tertampar oleh tangan kanan Sugou.
"Kakak!"
Yui dan Mina berteriak histeris saat melihat kejadian itu dari jarak jauh, keduanya berlari secepat mungkin untuk mendekati Sugou sambil menggendong belakang tasnya. Mereka berlari untuk menyelamatkan kakaknya seraya mengambili batu. Mereka melempari Sugou dan ketiga bandit itu dengan batu.
"Pergi kalian! Pergi!" teriak Yui dan Mina bersamaan.
Sugou tak tinggal diam, saat kedua anak kecil itu melempari dirinya dengan batu. "Cepat ikat kedua anak itu dan buang mereka ke sungai! Aku sudah tidak tahan meladeni mereka!" perintah Sugou sambil mengusap darah di pipinya yang terkena lemparan batu dari Yui dan Mina.
Dan benar saja tali yang tadinya diambil untuk mengikat Asuna malah mereka gunakan untuk mengikat Yui dan Minna.
Asuna jadi kalang kabut, sang ibu tergeletak dan kedua adiknya akan diikat. Ia pun lalu menjerit.
"Tolooongg! Hentikan!"
Asuna berjalan mendekati sang adik dan berusaha melepaskan kedua adiknya, tapi apa yang terjadi?
BRUGGHH
Asuna terjatuh terkena dorongan kuat dari para bandit itu dan kepalanya membentur sebuah batu.
"Kakaaaakkk!"
Yui dan Minna berteriak dan berusaha melepaskan diri, mereka menangis sambil menjerit histeris melihat kakaknya yang ikut jatuh tersungkur. Namun tiba-tiba…
Seorang pemuda datang lalu memukul ketiga bandit itu dengan kemapuan bela dirinya. Ketiga bandit itu pun jatuh di hadapan pemuda ini. Sugou menjadi terdiam saat melihat kemampuan bela diri pemuda tersebut.
"Siapa kau?!" Sugou benar-benar dibuat takut melihatnya.
Tanpa basa basi, pemuda itu memukul Sugou dengan pukulan yang amat keras, dan kemudian ia mengarahkan tendangannya ke arah kepala Sugou, lalu…
BRAAAKKK!
Sugou terjatuh. Ketiga bandit itu berusaha bangkit untuk menolong bosnya yang sudah terkapar tidak berdaya akibat tendangan dari sang pemuda tersebut.
"Bos, bangun, bos," ucap ketiga bandit itu kepada Sugou.
Sugou tidak dapat bangun lagi, dengan segera ketiga bandit itu menggotong Sugou masuk ke dalam mobilnya.
"Awas kau!" Ancam para bandit itu kepada sang pemuda yang menghajar bosnya sampai terkulai lemah.
Setelah bandit-bandit itu pergi, sang pemuda itu segera menghampiri Asuna yang tampak mengeluarkan darah di kepalanya.
"Asuna! Bangun, Asuna!"
Pemuda itu berusaha membangunkan Asuna tetapi Asuna tidak menjawabnya. Kedua adik Asuna pun hanya dapat menangis melihat sang kakak yang mengeluarkan darah di kepala dan sang ibu yang terbujur lemah, tidak sadarkan diri. Kedua adik Asuna itu lalu memohon kepada sang pemuda untuk menolong ibu dan juga kakak mereka.
"Tolong kami," ucap mereka dengan berlinang air mata.
.
.
.
Satu jam kemudian...
"Ibuuu!" Yui dan Mina mendekati ibunya yang telah sadar dari pingsannya itu.
"Yui, Mina. Di mana kakakmu?" tanya sang ibu kepada kedua anaknya sambil berusaha bangun dari tidur.
"Kakak …," Yui tampak enggan menceritakan hal apa yang terjadi.
"Yui, katakan di mana kakakmu?" Sang ibu mulai khawatir.
Kedua anaknya yang sedang berdiri di pinggir kasur rumah sakit itu hanya diam saja. Tiba-tiba dokter pun datang.
"Bagaimana keadaanmu, Nyonya Samui?" tanya sang dokter kepada ibu Yui dan Mina.
"Di mana Asuna, Pak Dokter? Di mana anakku?" tanya Samui yang sangat khawatir terhadap keadaan Asuna.
"Tenanglah, Nyonya. Asuna sekarang sudah berada di di ruang ICU. Dia akan membaik," ucap sang dokter sambil terus memeriksa keadaan ibu Asuna.
Sang dokter terpaksa berbohong untuk menjaga perasaan Samui pasca operasi dan juga baru siuman dari pingsannya. Sehingga legalah hati Samui mendengar jawaban seperti itu dari sang dokter.
.
.
.
Sementara itu di rumah Sugou Nobuyuki…
"Berani sekali kau datang sendiri ke rumah ini pemuda!" Sugou berkata-kata dengan kepala yang dibalut perban.
"Aku datang ke sini untuk membayar semua utang-utang keluarga Asuna. Ini!"
Pria itu melemparkan amplop yang berisi uang pembayaran utang keluarga Asuna.
"Aku tak menyangka jika kau akan berbaik hati untuk menolong keluarga miskin itu." Sugou masih angkuh dalam berucap walau lehernya sudah tidak dapat digerakkan.
"Utang keluarga Asuna sudah lunas. Jadi jangan lagi kau datang kepadanya. Atau jangan salahkan aku jika kepalamu akan putus di tempat!" seru pemuda itu sambil beranjak pergi meninggalkan Sugou.
Sontak saja ucapan yang singkat itu membuat Sugou terdiam, ia benar-benar takut akan ancaman pemuda itu. Sambil menatap kepergian, Sugou meminta para pengawalnya menghitung jumlah uang yang dibayarkan.
"Cepat hitung berapa total pembayarannya!" eeru Sugou kepada anak buahnya.
Dan alhasil setelah beberapa menit menghitung, total pembayaran sama dengan jumlah utang keluarga Asuna.
"Pas, Bos! Sepuluh juta, tunai," ucap anak buah Sugou.
Aku kagum dengan pemuda itu. Siapa dia? tanya Sugou di dalam hati. "Cepat cari tahu siapa lelaki tadi yang membayarkan utang keluarga Asuna!" perintah Sugou kepada para anak buahnya.
"Siap, Bos!" jawab mereka dengan serempak.
.
.
.
Malam hari di rumah sakit.
"Kalian pulanglah, biar aku yang menjaga Asuna," ucapnya kepada Samui.
"Tapi, Nak—" Sang ibu menjadi tidak enak hati.
"Tidak apa-apa, Bibi. Ini sudah menjadi kewajibanku untuk menolong orang yang membutuhkan. Aku akan menjaga Asuna," ucapnya tersenyum.
Hal itu membuat kedua adik Asuna yang sinis berubah menjadi luluh dan mulai menyukai pemuda itu.
"Terima kasih, Kak Kirito," ucap Yui kepada seorang pemuda yang telah menolong keluarganya.
Memang benar ternyata pemuda yang menolong keluarga Asuna adalah Kirito, Kirigaya Kazuto.
"Baiklah, kami tinggal dulu." Samui berpamitan kepada Kirito.
Kirito mengangguk lalu mengantarkan kepergian ibu Asuna beserta dua anaknya hingga sampai bertemu dengan pamannya. Ia meminta pamannya untuk mengantarkan ketiganya pulang ke rumah sebelum pamannya itu kembali ke kota.
Ya, Kirito akhirnya tidak jadi ikut pulang ke kotanya. Ia memutuskan untuk menjaga Asuna di desa air ini. Kirito pun lalu menunggui Asuna di luar ruangan dengan beralaskan jaket tebal karena Asuna masih belum dapat ditemui malam itu.
Sesampai di rumah, sang ibu mengirim pesan kepada Naruto tentang keadaan Asuna saat ini. Dan dengan segera, Naruto yang belum dua minggu belajar ilmu bela diri itu segera pulang ke desa Asuna untuk melihat keadaan Asuna.
.
.
.
Esok siangnya…
Setelah pulang ke rumahnya terlebih dahulu, mengecek keadaan rumah dan berbenah. Naruto segera menuju rumah sakit untuk melihat keadaan Asuna. Tetapi sesampainya di sana, sesuatu yang mencurigakan terjadi.
"Naruto, bibi hanya memberikan kabar kepadamu dan meminta doa agar Asuna segera lekas sembuh. Bibi tidak menyangka jika engkau akan kemari,"kata Samui kepada Naruto.
"Tak apa, Bibi. Ini sudah kewajibanku. Baiklah aku akan ke ruangan Asuna dulu, ya." Naruto berpamitan kepada ibu Asuna.
"Jangan, Kakak!" Tiba-tiba Yui berteriak melarang Naruto.
"Yui, Mina. Kalian—" Naruto segera merangkul kedua adik Asuna yang baru datang itu.
"Kak Naruto, lebih baik kau di sini saja bersama kami," ucap Yui kepada Naruto dengan nada sedikit cemas.
Naruto tampak curiga dengan perkataan Yui. "Tak apa, Yui. Kak Naruto ke sana dulu, ya. Yui dan Mina tunggu di sini saja."
Naruto berusaha bersikap biasa-biasa saja walaupun hatinya mulai curiga dengan sesuatu yang sedang terjadi pada Asuna. Ia pun berjalan melangkahkan kakinya ke ruangan di mana Asuna dirawat.
"Kak Naruto." Mina menarik baju yang dipakai Naruto berupa switer berwarna biru dan celana jeans hitam.
Naruto pun yang sedang berjalan itu menoleh ke arah Mina yang ada di belakangnya. "Mina-chan?" Naruto tampak semakin bingung.
"Maafkan kami." Minna menambahkan.
"Eeh?"
Naruto semakin bingung, ia tidak mengerti kenapa dirinya seperti dilarang untuk menemui Asuna.
"Mina-chan, tidak ada yang perlu dimaafkan. Sudah, ya. Kakak ingin menjenguk Kak Asuna."
Naruto mengusap-usap kepala Mina seraya tersenyum, lalu kemudian pergi meninggalkan ketiganya.
"Ibu—" Mina seperti khawatir, ia mendekati ibunya.
"Tak apa, Mina." Sang ibu berusaha menenangkan hati Mina yang tengah menyandarkan tubuh kecilnya.
"Ibu, bagaimana perasaan Kak Naruto nanti?" tanya Yui kepada ibunya yang mulai cemas itu.
Sang ibu juga tampak cemas, ia ikut khawatir. Terlebih Naruto telah banyak membantu keluarganya semenjak Asuna menjadi pelayan di kediaman Naruto.
"Biarkan waktu saja yang menjawab semua ini," ucap Samui kepada kedua anaknya, menutupi rasa cemas yang tengah melanda.
.
.
.
TBC
