Disclaimer : Mashashi Kishimoto

(Fic ini adalah asli buatan Author Akecchin, mohon jangan plagiat. jika ingin mengcopy atau izin republish, pm aja.)

.

.

.

.

.

Dedicated for my friend, Zizi a.k.a Green Latte

Sekuel of "Teacher Zone Love"

WARNING : Rate M / LEMON (soon)

Enjoy It !

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Suasana tegang memenuhi sebuah ruangan pribadi yang saat ini tengah diisi oleh 7 orang. Mereka saling duduk berhadapan. 3 dibanding 4 orang. 3 orang yang menghadap ke arah selatan terdiri atas sepasang suami istri dengan sang suami yang berambut pirang dan bermata biru safir dan sang istri yang berambut merah dengan mata abu-abu gelap. Sedangkan di belakang mereka duduk seorang pemuda pirang dengan perawakan sama dengan sang ayah, hanya goresan di masing-masing pipinya yang membedakannya dengan sang ayah.

Di sisi lain, menghadap ke arah utara dengan meja besar di atas tatami sebagai pembatasnya, duduk 4 orang yang terdiri atas seorang laki-laki dewasa, seorang pemuda dan 2 orang gadis. Mereka semua sama-sama berambut gelap dan bermata seputih pualam.

Mengatasi suasana dingin nan mencekam tersebut, sang tuan rumah akhirnya mengeluarkan suara untuk memecah keheningan.

"Jadi..", ucapnya menggantung.

Ia melirik sebentar ke arah putri sulungnya, gadis berambut indigo yang terus menunduk sembari menahan rona wajahnya. Kemudian Ia kembali menatap lawan bicara.

"Apa yang membuat Namikaze-sama dan keluarga jauh-jauh datang dari Amerika menuju kemari?", Tanya Hyuuga Hiashi.

Sang kepala keluarga Namikaze yang mendengarnya hanya tersenyum tipis penuh wibawa. Kemudian, Ia mengambil sebuah nafas kecil sebelum menjawab pertanyaan dari sang kepala keluarga Hyuuga.

"Kurasa anak-anak kita lebih pantas menjelaskannya.", jawab Namikaze Minato.

Ia melirik sebentar ke arah Naruto yang menatap tajam dan lurus ke arah Hinata yang terus-terusan menunduk. Ia tahu bahwa Naruto berusaha menekan rasa gugupnya.

"Lagipula, merekalah yang lebih berkepentingan, Hyuuga-sama.", lanjut Minato sembari tersenyum bijaksana.

Hiashi yang mendengarnya hanya menganggukkan kepalanya pelan, sebelah tangannya Ia letakkan di dagunya sembari memasang wajah serius. Ia menatap tajam ke arah Naruto. Seolah-olah berkata, 'Majulah anak muda! Calon keluarga Hyuuga bukanlah seorang pengecut!'. Mendapat tatapan seperti itu, Naruto tersadar dan mengalihkan pandangannya sejenak dari wajah manis Hinata. Ia memajukan posisi duduknya, sejajar dengan posisi kedua orang tuanya. Dengan sedikit menarik nafas kecil dan menegakkan tubuh dan kepalanya, Ia menatap lurus ke arah sang kepala keluarga Hyuuga dengan tatapan berani. Sedetik kemudian, Ia membungkukkan sedikit tubuhnya, dengan sikap sopan.

"Hyuuga-sama. Aku memiliki permintaan!", ujar Naruto tegas dan lantang. Tanpa keraguan sedikit pun.

Senyum tipis muncul di wajah sang Hyuuga Hiashi, walau pun tidak terlalu nampak di wajahnya.

"Hn. Katakan.", ujar Hiashi dengan tegas.

"Aku, Namikaze Naruto. Meminta izin padamu untuk menikahi Hyuuga Hinata!", ujar Naruto lantang yang diakhiri dengan Ia menegakkan kembali tubuh dan wajahnya, kembali memandang lurus ke arah Hyuuga Hiashi.

Hanya tatapan datar yang diterima oleh Naruto dari Hyuuga Hiashi. Perlahan rasa gugupnya kembali datang, ditandakan dengan setitik keringat dingin yang mengalir melalui pelipisnya.

"Sou ka.", jawaban singkat yang diucapkan oleh Hyuuga Hiashi.

Dengan meletakkan kembali sebelah tangan yang sedari tadi memangku dagunya, dan menegakkan punggungnya Hyuuga Hiashi balas menatap Naruto.

"Namikaze Naruto.", ucap Hyuuga Hiashi dengan nada dingin.

Detik demi detik berlalu, namun sang kepala keluarga Hyuuga masih belum melanjutkan pembicaraannya. Sementara Naruto yang sedari tadi mengeluarkan keringat dingin mulai gelisah akan jawaban yang akan diterimanya.

"Aku rasa Aku bisa percaya padamu, mengingat bahwa keluarga Namikaze adalah orang yang terhormat dan bisa dipercaya. Tapi, Aku tak bisa memutuskan.", jelas Hiashi dengan dingin dan tenang.

Naruto yang mendengarnya terkejut sejenak sebelum suara Hyuuga Hiashi kembali menginterupsinya.

"Tapi, Hinata yang akan memutuskan.", lanjutnya lagi.

Merasa namanya disebut-sebut, Hinata yang sedari tadi menunduk mendongakkan kepalanya dengan cepat dan menatap ke arah ayahnya dengan heran.

"T-tou-sama?", Tanya Hinata dengan sedikit takut.

"Hn.", jawab Hiashi sembari menepuk-nepuk lantai tatami di sampingnya, mengisyaratkan Hinata untuk maju dan duduk tepat di sebelahnya.

Menuruti perintah Hiashi, Hinata maju perlahan dan mendudukkan dirinya tepat di samping sang ayah. Matanya tetap tak berani menatap sepasang bola mata biru safir yang amat dicintainya. Ia terus saja mempermainkan kedua tangannya yang berada di masing-masing lututnya untuk menekan rasa gugup.

"A-aku…", ucapan Hinata menggantung seiring dengan deru nafasnya yang semakin cepat dan warna merah yang kian menghiasi wajah manisnya. Sekali lagi Ia mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan tenang. Dengan sedikit mengambil nafas kecil, Ia melanjutkan.

"A-aku… m-menerimanya.", jawab Hinata pada akhirnya.

Sepasang suami istri Namikaze yang mendengarnya hanya tersenyum hangat ke arah Hinata. Sementara Naruto yang sedari tadi menahan rasa gugupnya terbelalak dengan ucapan Hinata. Perlahan-lahan, senyum mengembang di wajah tampannya. Dan tanpa sengaja Ia menghadiahi Hinata yang kini menatap wajahnya dengan sebuah cengiran khasnya. Namun, sebelum keduanya saling berbalas senyum sebuah suara baritone menginterupsi pasangan yang akan menikah tersebut.

"Ehm!", tegur Hyuuga Hiashi.

Sontak kedua manusia berbeda gender yang saling bertatapan tersebut kaget dan dengan cepat saling mangalihkan pandangan mereka. Hyuuga Hiashi yang tersenyum tipis dengan tingkah laku putri dan calon menantunya kembali melanjutkan pembicaraan.

"Karena Hinata telah memutuskan, maka Aku menyetujuinya.", ujarnya dengan tenang.

Wajah Naruto yang sedari tadi tegang menatap wajah Hyuuga Hiashi, untuk pertama kalinya Ia menjadi rileks ketika berhadapan dengan sang kepala keluarga Hyuuga.

"Lalu, bagaimana jika pernikahan ini dilaksanakan sebulan lagi?", tawar Hiashi.

Namikaze Minato yang sedari tadi diam dan tak ikut pembicaraan akhirnya ikut andil dalam pembicaraan mengenai pernikahan anak semata wayangnya.

"Maaf, Hyuuga-sama. Maaf jika saya egois dalam hal ini, tapi Anda dapat menolaknya jika tidak berkenan.", ujar Minato sembari membungkukkan sedikit badannya dengan sikap sopan.

Hyuuga Hiashi yang mendengarnya hanya mengangguk pelan. Ia kembali meletakkan sebelah tangannya di dagunya dan memasang wajah serius. "Hn. Lanjutkan.", ujarnya.

Dengan menegakkan kembali badannya, Minato melanjutkan perkataannya, "Saya mengusulkan agar pernikahan mereka berdua dilakukan dalam 2 minggu ke depan.", ujar Minato dengan tegas.

Naruto yang duduk di sampingnya terlonjak kaget dengan ucapan ayahnya yang tiba-tiba memutuskan pernikahan dengan begitu cepat. Ketika Ia akan maju dan memprotes ucapan sang ayah, Hyuuga Hiashi mengangkat sebelah tangannya. Mengisyaratkan kepada Naruto untuk diam dan menurut.

"Namikaze Naruto. Jika kau benar-benar serius dengan pernikahan ini, seharusnya kau mendengarkan keputusan yang dibuat oleh kami dalam hal ini.", ujarnya dingin.

Naruto yang mendengarnya hanya bisa diam dan menurut dengan terpaksa, Ia tak ingin pernikahannya batal hanya karena memiliki konflik dengan Hyuuga Hiashi. Sementara itu, Hiashi merubah posisi duduknya agar lebih rileks, Ia menyilangkan kedua tangannya.

"Apakah itu tidak terlalu singkat, Namikaze-sama?", Tanya Hyuuga Hiashi.

Minato yang mendengarnya hanya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala pirangnya pelan.

"Saya rasa tidak, Hyuuga-sama. Lagipula saya berencana untuk pensiun dan kembali ke Jepang. Tinggal kembali bersama keluarga. Kemudian, Narutolah yang akan menggantikan saya di New York.", jelas Minato.

Sejenak Ia mengerlingkan pandangannya ke arah putra semata wayangnya yang kini memandangnya dengan tatapan sebal, walau pun disembunyikan. Ia hanya terkekeh pelan dan melanjutkan ucapannya.

"Sebenarnya saya berencana pensiun dalam waktu 3 bulan ke depan. Tapi mengetahui bahwa Naruto telah mendapatkan pendamping yang tepat, maka saya memutuskannya lebih cepat. Bukankah itu lebih baik, Hyuuga-sama?", lanjut Minato sembari mengulas senyumnya ke arah Hinata yang tengah merona mendengar kalimat 'pendamping yang tepat'.

Hyuuga Hiashi yang mendengarnya hanya mengangguk pelan dan tersenyum, lebih lebar dari biasanya.

" Hn. Sudah diputuskan.",ujar Hiashi.

Ia kembali menatap ke arah Naruto yang kini memandangnya dengan lebih rileks.

"Nah, anak muda. Sebelum pernikahan itu berlangsung Aku ingin kau berjanji satu hal."

Sedikit melirik ke arah putri sulungnya, kemudian Ia menepukkan sebelah tangannya di puncak indigo putrinya tersebut sembari mengelusnya pelan.

"Bahagiakan putri kesayanganku ini.", lanjutnya dengan seulas senyum simpul ke arah Hinata.

Dengan mata berbinar-binar, Naruto menyanggupi dengan menganggukkan kepalanya cepat. Kemudian, Ia membungkukkan badannya cepat sembari berucap dengan tegas dan lantang. "Arigatou Gozaimasu!"

.

.

.

Ia terus mengenggam tangan mungil itu, kemudian Ia mengeratkannya seakan-akan ini adalah hal yang candu. Di bawah cahaya bulan sabit yang tak terlalu terang, sepasang sosok manusia tengah terduduk di balkon sebuah rumah dengan intens. Sang gadis menyandarkan kepalanya pada bahu tegap milik sang pria. Sebelah tangan sang pria melingkari bahu sang gadis sebelum mengusap puncak indigonya pelan. Sementara tangan lainnya menggenggam tangan mungil sang gadis.

"N-naruto-kun..", panggil sang gadis dengan lirih.

Pria dengan surai kuning tersebut menundukkan kepalanya, mencari sosok yang berada dalam pelukannya saat ini. Ia hanya tersenyum lebar, lebih tepatnya sebuah cengiran khas yang Ia keluarkan pada sang gadis. Ia terus menatap wajah manis sang gadis, menunggu kalimat lain yang mungkin akan keluar dari bibir manisnya sebelum Ia bertanya terlebih dahulu.

"A-arigatou.", ujar sang gadis sambil tersenyum hangat. Tak lupa dengan rona merah yang selalu timbul di kedua pipinya ketika berdekatan dengan Naruto.

Naruto yang mendengarnya hanya tersenyum dan perlahan mendekatkan kepalanya ke puncuk indigo milik Hyuuga Hinata sebelum Ia mengecupnya pelan. Kemudian Ia kembali mengusap surai indigo milik gadis yang dicintainya dengan pelan.

"Aku juga. Terima kasih.", jawab Naruto sembari mengeratkan pelukannya pada Hinata.

Namun, tiba-tiba sebuah suara cempreng mengganggu kemesraan sepasang calon pengantin tersebut. Tampak gadis yang berusia sekitar 15 tahun berambut cokelat panjang dan bermata putih dengan kimono panjangnya menghampiri mereka berdua.

"Hinata nee-chan, Naruto nii-chan! Apa yang kalian lakukan di sini?", Tanya Hyuuga Hanabi dengan tatapan yang sedikit licik, berusaha menggoda kedua calon pengantin tersebut.

Hinata dan Naruto yang kaget dengan kehadiran Hanabi dengan cepat melepaskan pelukan mereka dan duduk dengan kikuk sembari mengalihkan pandangan masing-masing ke arah lain.

"Ehehehehe, k-kita hanya duduk-duduk saja-ttebayo!", jawab Naruto dengan sedikit gugup.

Hanabi yang mendengarnya hanya terkekeh kecil dengan jawaban Naruto, dan juga dengan wajah Hinata yang merona hebat dan terus menunduk.

"Tou-sama menunggu kalian berdua di meja makan.", ujar Hanabi sebelum Ia berlari kecil sembari terkikik meninggalkan Naruto dan Hinata yang kini menghela nafas lega karena malu jika ketahuan tengah bermesraan, apalagi mereka berdua berasal dan keluarga terhormat.

Naruto menegakkan badannya dan berdiri, kemudian Ia menawarkan sebelah tangannya kepada Hinata. Dengan senyuman tipis, Hinata menyambut tangan Naruto dan ikut berdiri sebelum Naruto menariknya pelan menuju ruang makan keluarga Hyuuga.

.

.

.

Sepasang kekasih dengan warna rambut dengan perbedaan yang sangat kontras, hitam dan merah muda, masih berusaha mencerna apa yang mereka dengar dengan telinga mereka beberapa saat yang lalu. Sang pria bersurai hitam yang semula kaget kini kembali memasang wajah dingin nan tenang andalannya, sementara gadis bersurai merah muda yang adalah kekasihnya perlahan-lahan tersenyum lebar dan terkikik dengan berita yang baru saja Ia dengar.

"Selamat ya, Hinata-chan! Tak kusangka kau akan mendahuluiku. Padahal Aku dan Sasuke-kun menjalin hubungan lebih dulu.", ujar Sakura dengan sedikit mengerling ke arah Sasuke yang kini hanya bisa mendengus pelan mendengarkan cibiran kekasihnya sendiri.

Naruto yang mendengar cibiran Sakura, menjadi bersemangat untuk ikut-ikutan mengejek Sasuke yang sampai saat ini belum memiliki kepastian jelas untuk menikahi Haruno Sakura.

"Ne, Teme! Kapan kau akan menyusul? Menunggu lama-lama itu tidak baik-ttebayo. Jangan sampai menikah di usia tua, ne?", ejek Naruto sambil tertawa dengan keras.

Lagi-lagi Sasuke hanya bisa mendengus kesal dan membuang pandangan ke arah lain. Sementara Hinata yang mengetahui Naruto tertawa dengan tidak wajar hanya bisa menunduk malu dan menyentuh keningnya yang tidak pening, berusaha menutupi wajahnya yang memerah.

Sakura yang mulai kasihan dengan kekasihnya, berusaha mengalihkan pembicaraan ke tema lain. Sementara Naruto mulai menghetikan tawa kerasnya sembari mengusap kedua matanya yang berair karena tertawa terlalu keras. Ia dan Hinata kembali merilekskan diri dan melanjutkan pembicaraan.

"Ne, Hinata-chan. Setelah menikah apa rencana kalian?", Tanya Sakura dengan iris hijaunya yang bersinar.

Sementara Hinata yang mendengarnya hanya tersenyum malu dan menoleh ke arah Naruto seolah-olah menantikan jawaban dari calon suami. Naruto yang mendapatkan tatapan seperti itu hanya mengulas cengiran lebar dan menggaruk-garuk surai kuningnya yang tidak gatal. Dengan tak enak hati, Naruto terpaksa mewakili Hinata untuk menjawab pertanyaan Sakura.

"Yah, kami rasa kami akan menikmati masa-masa berduaan dulu. Lagipula, Hinata perlu menyelesaikan kuliahnya, tidak enak jika di tengah-tengah kuliah Hinata harus mengambil cuti karena…. ehm…hamil. Ehehehe.", jawab Naruto dengan suara yang merendah di akhir kalimatnya.

Hinata yang mendengarkan ucapan calon suaminya yang terdengar bijaksana, hanya bisa menunduk menyembunyikan wajahnya yang kini tengah merona hebat. Belum lagi memikirkan masalah pernikahan yang baru saja direncanakan, Naruto sudah memikirkan masalah ke depannya. Masalah tentang anak atau keturunan. Wajah Hinata makin memerah ketika membayangkan bagaimana Ia dan Naruto nanti ketika…. Dengan cepat Hinata menggelengkan kepalanya cepat, berusaha mengusir pikiran yang tidak-tidak dari kepala jeniusnya.

Naruto, Sakura dan Sasuke yang melihat perilaku Hinata hanya heran dan saling berpandangan. Kemudian, Naruto memberanikan diri menepuk bahu Hinata untuk menyadarkannya. Terkaget dari lamunannya, Hinata merasa tubuhnya kaku dan tak berani menatap wajah tampan Naruto.

"Hinata, daijoubu ka?", Tanya Naruto agak cemas.

Dengan pelan dan hati-hati karena menahan rasa malu, Hinata mendongakkan kepalanya ke samping menghadap wajah tampan Naruto dan mengangguk pelan sembari menyunggingkan senyum kecut.

"I-iie, d-daijoubu."

Merasa tak nyaman untuk melanjutkan kembali pembicaraan yang tertunda karena lamunannya yang tidak-tidak, dengan cepat Hinata membereskan beberapa bukunya yang terdapat di atas meja dan mengambil tasnya.

"O-oi, Hinata! Kenapa terburu-buru?", Tanya Naruto dengan heran.

"K-kurasa A-aku harus segera masuk ke kelas. S-sebentar lagi ada kelas Shimura-sensei. S-semuanya, A-aku permisi.", ujar Hinata cepat sebelum Ia berlari menuju kelasnya, meninggalkan ketiga orang yang masih terheran-heran dengan sikap Hinata yang aneh dengan tiba-tiba. Sasuke yang sedari tadi diam, membuka sekotak rokok dan menyulut sebatang dari dalamnya. Dengan santai Ia menyingkir untuk pergi menuju ruang khusus merokok. Tinggallah Sakura dan Naruto yang ada di meja, saling menatap dengan pandangan heran.

"Tidakkah kau merasa ada yang aneh di sini?", Tanya Sakura dengan heran.

"Yang mana?", Tanya Naruto balik dengan wajah polos.

"Tentu saja dengan mereka berdua, Baka!", tukas Sakura kesal.

Sejenak Naruto menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal, mencoba berpikir sebelum menjawab pertanyaan Sakura. Namun, lama Ia berpikir tak ada satu pun jawaban yang keluar dari otaknya. Ia mendengus frustasi.

"Haah, lama-lama Aku jadi capek sendiri.", ujar Naruto pada akhirnya. Ia memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu dan kembali ke tempatnya yang seharusnya.

"Ne, Sakura-chan. Aku harus kembali mengajar. Kembalilah ke kampusmu-ttebayo! Sasuke pasti akan kerepotan memiliki pacar yang suka membolos.", tukasnya sembari mengejek gadis berambut merah muda tersebut.

Mendengar cemoohan Naruto yang notabene adalah seorang dosen, walaupun hanya seorang dosen baru seperti halnya Sasuke sejenak membuat Sakura merasa jengkel dengan ejekan Naruto. Namun, setelah Ia berpikir kembali dengan cepat, apa yang dikatakan Naruto adalah benar. Segera Ia memasang wajah manisnya yang dipaksakan dan segera pamit dari kampus fakultas kedokteran.

Di tempat lain, Hinata terus saja berlari sambil menunduk. Terkadang dalam otak jeniusnya masih terngiang-ngiang bayangan akan lamunannya tadi. Dengan segera Ia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Tanpa disadari, Ia telah bertubrukan dengan seseorang yang mampu membuatnya jatuh terduduk di lantai kampus.

Baru saja Hinata mengaduk kesakitan, sedetik kemudian sebuah tangan putih nan halus milik seseorang terjulur ke arahnya, seolah-olah menawarkan bantuan untuk berdiri. Hinata mendongak sedikit untuk melihat siapa yang baru saja menubruknya, atau mungkin Ia sendiri yang menubruk orang tersebut.

Kini yang tampak di mata amethystnya adalah sesosok pemuda bersurai putih dengan kedua bola mata putihnya. Yang membedakan bola mata laki-laki tersebut dengannya adalah pupil mata laki-laki itu tampak jelas, tak seperti mata amethystnya. Ia berpikir bahwa Ia sekali pun belum pernah bertemu dengan pemuda ini. Tiba-tiba pemuda tersebut mengulum senyum di wajah pucatnya.

"Kau tidak apa-apa?", tanyanya ramah.

Hinata yang semula diam kini mengangguk perlahan meskipun Ia masih memasang wajah penuh keheranan. Dengan ragu-ragu, Ia menggapai tangan pemuda tersebut dan berdiri. Baru saja Ia akan menanyakan tentang siapa pemuda tersebut, sebuah suara memanggilnya dari arah berlawanan.

"Hinata!"

Merasa namanya dipanggil, Ia menoleh dengan cepat ke asal suara. Nampak laki-laki yang familiar dengannya berjalan mendekatinya dengan wajah berseri-seri.

"K-kiba-kun?", balas Hinata dengan sebuah senyuman kecil.

"Kau.. sedang apa di sini? Bukankah kelas dimulai beberapa menit lagi?", Tanya Kiba dengan heran karena biasanya Hinata yang paling rajin datang ke kelas.

"U-uhm.. T-tadi.. A-aku..", dengan cepat Hinata menoleh ke belakang untuk melihat pemuda yang ditabraknya tadi. Ia terkejut karena pemuda tadi tiba-tiba menghilang begitu saja. Ia menoleh kembali ke arah Kiba yang menatapnya dengan heran. Dengan memasang senyum kecut Ia tertawa pelan, tertawa yang dipaksakan.

"Ada apa?", Tanya Kiba.

"E-eh, tidak.", jawab Hinata dengan kikuk.

Kiba yang melihat keanehan Hinata hanya mendesah kecil.

"Kalau begitu Aku duluan, Hinata.", ujar Kiba pada akhirnya sembari berlalu mendahului Hinata yang masih terheran-heran dengan hilangnya pemuda bersurai putih tadi.

"Aneh.", gumamnya pelan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Yosh! Akhirnya selesai sudah chapter pertama fict sekuel ini. Sankyuu untuk readers atau pun silent readers yang mau membaca fict ini, terutama bagi kalian yang mereview.

Sebenarnya saya ingin membuat sebuah one shot, karena ide yang masih mengalir jadilah fict multi chapter yang mungkin saja tidak akan saya buat lebih dari 5 chapter (karena saya tidak suka cerita yang berbelit-belit).

Saya rasa chapter ini masih sedikit agak membosankan dan flat. Entah apa reaksi para reviewer. Dan tentang membuat bagian LEMON, saya berusaha untuk tsuyoi dalam membuatnya di chapter-chapter akhir.

And then,

Just one word : Review :)