THE GOOD MEMORIES
Cast: Meanie Couple
mingyuxwonwoo
mingyuxjihoon
.
.
.
Wonwoo berencana untuk move on. Tapi dia malah semakin terlihat menyedihkan akibat kenangan-kenangan dirinya dengan Mingyu masih terekam jelas dalam ingatannya.
the sequel of one day on the unlucky day
.
.
.
.
Wonwoo pikir, tidak akan ada yang lebih menyebalkan di dunia ini daripada mengikuti perkuliahan di hari sabtu. Maksud Wonwoo, kenapa juga sih si tua bangka Jung itu masih sempat berpikir untuk mengajar di hari yang seharusnya menjadi hari yang paling bahagia dalam seminggu dia menjalani kehidupannya yang suram ini?
Seharusnya pagi ini dia bisa bangun sesiang yang dia mau.
Melewatkan mandi pagi yang sebenarnya merupakan rutinitas wajib di hari libur.
Dan main playstation sampai bosan.
"Dengan proses transformasi Laplace ini, kita bisa menyederhanakan perhitungan persamaan matematika yang mengandung operasi diferensial atau integral menjadi persamaan yang berisi perkalian atau pembagian biasa."
Wonwoo menghela nafas panjang.
Bukannya duduk manis di kelas dan mendengarkan ceramah si tua bangka sialan yang sibuk menjelaskan tentang transformasi Laplace.
Profesor Jung, lelaki tua bangka yang dimaksud oleh Wonwoo itu sedang berdiri di depan kelas, tepat di sebelah layar proyektor sambil menatap seluruh mahasiswanya secara bergantian, mengawasi kalau-kalau ada mahasiswa yang kedapatan sedang tidur. Membuat dirinya bisa menambahkan beberapa nama lagi dalam daftar hitamnya yang sudah sangat panjang itu.
" Teori Laplace ini biasanya diterapkan dalam industri besar terutama pada sistem kerja kontrol suatu mesin..."
Wonwoo menopang dagunya malas dan menatap kosong pada layar proyektor yang menampilkan kumpWonwoumus-rumus Laplace yang sama sekali tidak dia hiraukan.
Wonwoo memicingkan matanya pada layar proyektor di depan.
Masa bodo dengan teori Laplace atau apapun yang lebih buruk dari itu. Saat lulus nanti dia akan langsung jadi top manager jadi dia tidak perlu tahu apa itu fungsi Laplace, newton, kingston atau teman-temannya yang lain. Eh, kenapa dia jadi menyebut kingston? Ah ya sudahlah.
Sebenarnya hari ini sudah memasuki beberapa hari semenjak Mingyu mencampakkan dirinya di hari tersialnya itu.
Ngomong-ngomong soal dicampakkan, banyak yang bertanya-tanya apakah Wonwoo merasa sedih akan hal itu?
Wah, jangan harap.
Cukup di hari yang paling memalukan dalam hidupnya itu saja dia menangis. Terlalu keras kepala hingga tak mau mendengar penjelasan Mingyu. Tapi tanpa penjelasan pun dia sudah mengerti. Wonwoo tidak butuh itu.
Lagipula, mana mungkin dia akan terus berlarut-larut dalam kesedihan hanya karena seorang Kim Mingyu kan? Memangnya dia siapa sampai menjadi se-istimewa itu untuk Wonwoo?
Memang sih Mingyu itu istimewa. Tapi itu dulu, saat mereka masih menjalin hubungan dan perasaannya pada Mingyu masih sangat menggebu-gebu.
Sekarang, dia memutuskan akan membenci Mingyu seumur hidupnya. Dia berjanji.
Mingyu itu jahat. Sangat jahat.
Berani-beraninya dia memutuskan hubungannya dengan Wonwoo demi orang lain.
Dari dulu Wonwoo sebenarnya sudah menduga kalau dia mengistimewakan Mingyu secara sepihak, sedangkan Mingyu sendiri malah mengistimewakan orang lain.
Tuh kan, Wonwoo galau lagi.
Eh bukan, bukan. Dia bukannya galau, cuma kepikirannya saja.
Akh, gara-gara si tua bangka Jung sialan itu dia jadi melamun tentang Mingyu lagi deh. Kalau bukan karena dia juga salah satu mahasiswa yang sudah masuk daftar hitam si tua bangka itu, mungkin dia sudah memilih untuk bolos atau titip absen saja dari awal. Daripada masuk kelas tapi tidak mengerti apa-apa, kepikiran Mingyu pula.
.
.
.
Wonwoo buru-buru merapikan buku dan tasnya dan cepat-cepat keluar kelas. Alasan kenapa dia ingin cepat-cepat keluar dari kelas itu adalah karena dia takut jadi sasaran empuk bahan gosip teman-temannya.
Seluruh penjuru kampus sudah mendengar kabar burung soal putusnya Mingyu dan Wonwoo. Dan teman-teman Wonwoo belum percaya soal kebenaran kabar burung itu sebelum mendengar langsung dari mulut Wonwoo. Walaupun isi kelasnya kebanyakan bergender laki-laki tapi tetap saja isi kampus ini semuanya adalah tukang gosip. Terutama Soonyoung, temannya yang bermulut besar dan sialnya selalu tahu semua rahasia-rahasia Wonwoo.
Tapi meskipun sudah diiya-kan berulang kali pun oleh Wonwoo, teman-temannya masih terus menanyakan pertanyaan yang sama setiap harinya. Katanya mereka tidak cuma butuh klarifikasi saja, tapi juga penjelasan yang terperinci dan detail.
Wah, kalau telanjang itu adalah sesuatu yang legal mungkin saja Wonwoo sudah menelanjangi temannya satu-satu lalu mengebiri mereka.
Wonwoo menarik kotak rokok dari saku celana jeans belakangnya kemudian menyalakannya dengan pematik yang berada di sakunya yang lain. Wonwoo sudah berjalan jauh dari jangkauan teman-teman sekelasnya, walaupun dia masih berada di sekitar kampus . Dan berharap bocah-bocah itu-terutama Soonyoung- tidak mengikutinya atau pun berpapasan dengan salah satu mereka di sekitar sini.
Dia menyandarkan tubuhnya pada tembok dibelakangnya, di dekat toilet yang mana banyak orang berlalu-lalang menatapnya sinis karena jelas-jelas arena itu merupakan arena bebas asap rokok
Dia mengabaikan lirikan manja sekumpulan gadis-gadis yang lewat dengan dandanan menor mereka dan memanggilnya dengan genit. Berusaha menggoda Wonwoo, tapi sayangnya dihiraukan oleh Wonwoo.
Wonwoo menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
Seketika semuanya terasa tenang.
Pikirannya yang kacau tersusun kembali dengan rapih, dan kepalanya mulai terasa ringan. Ada kenikmatan tersendiri saat asap rokok itu memenuhi paru-parunya kemudian menghilang secara perlahan ketika dia menghembuskannya keluar.
Dia terus melakukan hal yang sama berulang kali hingga dia kembali membakar batang rokoknya yang kelima.
Lalu seseorang muncul dengan tiba-tiba, menarik rokok yang terapit antara jari telunjuk dan jari tengah Wonwoo kemudian langsung menghempaskannya dengan kasar ke lantai.
Wonwoo sempat ingin mengumpat keras-keras saat memandangi batang rokoknya jatuh secara mengenaskan di lantai.
Namun ketika dia menoleh untuk melihat bajingan mana yang berani melakukan hal konyol itu padanya, dia mengurungkan niatnya.
Bagus. Siapa lagi memang yang berani melakukannya kalau bukan Kim Mingyu. Si bajingan besar yang tidak pernah berhenti mengganggu hati dan pikirannya. *yhaa, spik*
Ekspresi wajah Mingyu terlihat kesal entah karena apa, mungkin karena dia melihat Wonwoo sedang asik menghisap rokok. Dia kan memang tidak pernah senang melihat Wonwoo melakukan kesenangannya sendiri.
Yah, ekspresi Mingyu tidak jauh beda dengan ekspresi Wonwoo sekarang ini.
"Wonwoo."
Nada bicaranya penuh penekanan, tetapi terdengar menggantung begitu saja karena dia sama sekali tidak melanjutkan perkataannya. Hanya memanggil nama Wonwoo pelan.
Untuk sesaat, Wonwoo tidak menjawab. Dia terlalu sibuk mengamati wajah Mingyu yang amat sangat dirindukannya dalam beberapa waktu belakangan ini. Tapi karena tidak ingin terlihat jelas, dia berpura-pura bersikap santai.
"Oh, hai mantan."
Wonwoo tersenyum lebar, walaupun dia sadar kalau senyumnya itu terlalu dipaksakan.
Sementara Mingyu hanya diam, ekspresi kesalnya perlahan-lahan menghilang. Wonwoo sadar betul kalau Mingyu juga menatapnya penuh kerinduan, atau itu memang hanya perasaan Wonwoo saja.
Oh, tidak. Wonwoo tidak ingin pakai perasaan lagi.
Dia tidak mau ke-geeran pada Mingyu. Percuma saja dia berharap, toh Wonwoo tidak akan bisa kembali bersama Mingyu.
"Mingyu, aku sudah-" Jihoon keluar dari pintu toilet laki-laki dan dia berhenti bicara saat matanya menangkap sosok Wonwoo yang sedang berhadapan dengan Mingyu, keduanya saling menatap. Senyum paksaan masih menghiasi wajah Wonwoo.
Wonwoo menoleh saat mendengar suara menginterupsi mereka, dan senyumnya seketika hilang ketika melihat Jihoon berdiri di depan pintu toilet dan berjalan mendekat ke arah mereka dengan ragu-ragu dan menatap Wonwoo dengan waspada.
Jihoon mulai menggaruk tengkuknya saat menyadari suasana canggung yang terjadi diantara mereka. Dia mengalihkan pandangannya pada sekitar, kemana pun asal tidak bertemu dengan mata Wonwoo. Dia tidak berani membalas tatapan Wonwoo yang menatap dirinya tajam seolah-olah akan menguliti tubuhnya habis-habisan saat itu juga.
"Hai, Wonwoo."
Jihoon menyapa dengan kaku, yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Wonwoo.
Ini dia penyebab utama mengapa Wonwoo tidak bisa kembali pada Mingyu.
Jihoon mulai melirik ke arah Mingyu, berharap anak itu bisa mengatasi suasana canggung ini. Tapi rasanya percuma, Mingyu sama sekali tidak membantu. Dia masih diam di tempatnya dan sibuk menatap Wonwoo dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Oh, aku akan ada kelas sebentar lagi."
Wonwoo yang pandai membaca situasi buru-buru melirik jam tangannya dengan gusar dan berpura-pura panik. "Maaf ya kawan-kawan. Sebenarnya aku masih ingin mengobrol banyak tapi aku sudah terlambat sekarang. Sampai jumpa lagi."
'Atau tidak sama sekali.' batinnya jengkel.
Wonwoo melangkahkan kakinya lebar-lebar dari tempat itu, dalam hati dia berdoa supaya dia segera ditelan bumi saja agar tidak perlu mereka berdua lagi seumur hidupnya.
Tapi sepertinya Tuhan sama sekali tidak mengabulkan doa Wonwoo.
Semakin dia ingin menghindari Mingyu dan Jihoon, semakin dia sering bertemu dengan mereka berdua. Dan itu semakin membuatnya gemas ingin menguliti keduanya dan melemparkan tubuh mereka pada anjing kelaparan di daerah sekitar apartemennya.
Aduh. Hari-hari Wonwoo yang harusnya makin baik, sekarang malah semakin buruk.
Wonwoo jadi bingung sendiri, kenapa dia jadi susah move on begini dari Mingyu. Padahal di luar sana juga banyak gadis-gadis cantik yang mau jadi pacarnya, atau bahkan beberapa ada yang menawarkan diri untuk melakukan one night stand dengannya dengan sukarela.
Wah, ini gawat. Berulang kali dipikirkan pun, Mingyu semakin terlihat jahat di mata Wonwoo. Dan Wonwoo sendiri malah semakin terlihat menyedihkan.
Padahal dulu Mingyu itu anak yang sangat baik.
Ah, Wonwoo jadi ingat saat-saat pertama bertemu dengan Mingyu dulu.
.
.
.
.
Saat itu adalah siang paling terik yang pernah dirasakan oleh Wonwoo seumur hidupnya.
Wonwoo masih sama waktu itu, si tukang mengeluh yang suka merokok di sembarang tempat. Dia berdiri kegerahan di depan sebuah restoran amerika. Tangan kanannya sibuk mengipas-ngipas dirinya sendiri dengan kemeja panjangnya, sedangkan tangan kirinya mengapit sebatang rokok yang panjangnya tinggal seperempat dari ukurannya semula. Mata sipitnya memicing saat dia mencoba menatap langit yang terik.
Dia menghisap batang rokoknya dalam-dalam tanpa mempedulikan tatapan sinis orang-orang saat dia menghembuskan asap rokoknya asal.
Setelah puas menghabiskan sebatang rokok, dia membuang puntungnya sembarang.
Puntung rokok itu jatuh tepat di hadapan seorang pemuda yang sejak lama berdiri di sebelahnya.
"Hei, bung!"
Wonwoo menolehkan kepalanya ke samping ketika dia sadar bahwa orang asing itu sedang berbicara kepadanya.
"Tidak bisakah kau buang puntung rokokmu di tempat yang seharusnya?"
Pemuda itu berbicara dengan nada jengkel dan ekspresi kesal terlihat jelas pada wajahnya.
Wonwoo memutar bola matanya malas. Dia sudah cukup panas oleh cuaca yang sudah membuatnya banjir keringat, sekarang ditambah lagi masalah sepele yang dibesar-besarkan oleh orang asing di sebelahnya ini.
Dan bukan Wonwoo namanya kalau langsung melakukan hal yang diperintahkan pemuda di sebelahnya ini.
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?"
Wowoo menggulung lengan kemejanya ke atas, berancang-ancang kalau orang asing ini mengajaknya adu jotos.
Wonwoo juga sebetulnya sudah terbiasa adu jotos dengan orang lain yang suka cari masalah dengannya. Yah, sebenarnya dia sendiri yang lebih banyak cari masalah dengan orang lain.
Dia memperhatikan orang asing itu dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia sama sekali tidak takut walaupun postur tubuh pemuda di hadapannya ini sedikit lebih tinggi dari padanya. Lagipula Wonwoo itu penyandang sabuk hitam 9-dan taekwondo, jadi dia tidak pernah takut kalah atau terluka sedikitpun.
Wonwoo pikir orang asing itu akan segera langsung menghajarnya, atau paling tidak mengumpat beberapa kata kotor. Karena biasanya hal itulah yang sering dialami oleh Wonwoo.
Tapi nyatanya, pemuda di hadapannya ini malah memungut puntung rokok milik Wonwoo dan segera membuangnya ke tempat sampah terdekat. Setelah itu, dia kembali berdiri ke tempatnya semula persis di sebelah Wonwoo dan kembali menatap lurus ke jalan tanpa memperdulikan ekspresi kaget di wajah Wonwoo.
Wonwoo yang awalnya merasa kesal, tiba-tiba saja merasa sangat buruk.
"E-eh, bung...Se-sebenarnya kau tidak perlu melakukan itu."
Wonwoo merasa sangat malu dan tanpa sadar menundukkan kepalanya. Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa kaku, dan dia rasa bahwa ini adalah hal yang paling memalukan seumur hidupnya.
Orang asing itu menolehkan kepalanya pada Wonwoo. Dia menatap Wonwoo dengan ekspresi datar.
"Kalau kau merasa malu, itu artinya kau tidak akan mengulangi hal itu lagi di lain waktu."
Wonwoo semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam, berharap bumi langsung menelannya saja karena rasa malu yang dialaminya sudah tidak mungkin teratasi lagi.
Orang asing yang melihat tingkah Wonwoo itu, tersenyum tipis. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menepuk kepala Wonwoo pelan.
"Anak baik."
Wajah Wonwoo seketika berubah menjadi merah padam.
Sial. Sekarang Wonwoo malah diperlakukan seperti bocah oleh orang asing yang baru pertama kali bertemu dengannya. Wajah wonwoo merah padam karena rasa malu dan amarah yang bercampur menjadi satu.
Orang asing itu malah semakin terkikik melihat kelakuan Wonwoo yang sedang berusaha menahan diri.
"Mingyu!"
Orang asing itu menolehkan kepalanya ke belakang ketika sebuah suara memanggil ke arah mereka berdua. Dia melambai pada seseorang yang berdiri di depan restoran, yang balas melambai padanya sambil tersenyum.
"Aku sungguh-sungguh berharap kau tidak melakukan hal seperti tadi lagi di lain waktu." Orang asing itu tersenyum dan menepuk pundak Wonwoo. "Sampai jumpa."
Orang asing itu melambaikan tangan dengan penuh semangat sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Wonwoo yang maaih berdiri di tempatnya.
Wonwoo mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia menahan nafas saat pemuda tadi mempermalukan dirinya dengan sikapnya yang sangat santun itu, membuat Wonwoo berpikir dua kali untuk memberikan umpatan-umpatan kasar padanya.
Wonwoo harap ini pertama dan terakhir kalinya dia berurusan dengan anak baik-baik. Wonwoo memilih lebih baik beurusan dengan berandalan daripada dengan anak baik-baik seperti orang asing tadi.
.
.
.
.
Yah, itu adalah awal pertemuan Wonwoo dengan Mingyu.
Tidak semanis seperti cerita romansa atau drama korea yang sering dia tonton sih. Tapi cukup memberikan kesan mendalam bagi Wonwoo. Mingyu itu adalah anak baik-baik yang penuh sopan santun dan tatakrama.
Aduh, kalau dia sibuk mengingat-ingat masa lalu seperti ini akan lebih sulit jadinya untuk move on dari Mingyu. Sepertinya rencana awal yang sudah dia buat sejak keluar dari apartement Mingyu dengan mata sembap dulu akan segera gagal.
Rencananya bukan macam-macam kok, hanya move on saja. Kemudian membuat Mingyu menyesal sudah meninggalkannya.
Tapi semakin hari, sepertinya malah Wonwoo yang semakin menyesal.
Buktinya sekarang, Mingyu malah sibuk tertawa –tawa bersama Jihoon saat mereka berdua berjalan berdampingan di koridor kampus. Wonwoo bukannya sengaja memata-matai mereka-ih ogah-, tapi Wonwoo merasa bahwa mereka berdua memang selalu berada dimana-mana. Berkeliaran di seluruh tempat dimana pun Wonwoo berada.
Sebenarnya, hal yang paling membuat Wonwoo jengkel adalah tentang perlakuan Mingyu pada Jihoon yang sangat amat manis. Seperti Mingyu yang selalu menunggu Jihoon di depan kelasnya walapun kelas Jihoon masih berlangsung sangat lama, Mingyu yang tidak pernah jadwal minum obat Jihoon dan bahkan selalu menyiapkan cadangan obat di tasnya takut-takut Jihoon lupa membawa obatnya sendiri. Atau seperti Mingyu yang selalu menggenggam tangan Jihoon saat mereka berjalan berdampingan.
Seketika Wonwoo merasa sedih.
Dia juga ingin diperlakukan seperti itu oleh Mingyu.
Dan tidak lama setelahnya, gosip yang beredar di seluruh penjuru kampus bahwa penyebab putusnya Wonwoo dan Mingyu adalah Jihoon. Sepasang sahabat yang akhirnya sadar akan perasaan mereka masing-masing dan memutuskan untuk menjalankan sebuah hubungan yang lebih dari sekedar sahabat.
Wonwoo memutar bola matanya jengah.
Cerita yang sangat klise sekali, sayangnya itu benar.
Dulu sewaktu mereka pacaran, Mingyu sering menyangkal bahwa perasaannya pada Jihoon tidak lebih dari sekedar sahabat dari kecil. Mingyu bilang dia begitu memperhatikan Jihoon karena anak itu punya sistem imun yang lemah sehingga mudah terserang penyakit.
Konyolnya, Wonwoo percaya-percaya saja atas pernyataan Mingyu yang kedengaran masuk akal itu. Tapi lama kelamaan, setelah dipikir-pikir sekarang Wonwoo saja yang terlalu bodoh karena terlalu percaya pada perkataan Mingyu waktu itu.
Yah, mungkin karena waktu itu Wonwoo masih buta karena cinta. Sekarang dia hanya bisa menggeleng-geleng mengingat dirinya yang konyol di masa lalu.
Wonwoo jadi heran sendiri. Mingyu itu adalah orang baik pada semua orang. Tapi kenapa hanya kepada Wonwoo saja dia bersikap jahat?
Ah, Wonwoo jadi teringat saat itu.
.
.
.
.
Hari itu hujan turun dengan sangat deras, memaksa beberapa orang menghentikan aktivitas mereka dan berteduh di tempat yang dapat mereka singgahi.
Wonwoo salah satu dari orang-orang itu. Dia berdiri di sebuah halte dengan atap di atasnya yang membuat orang-orang di halte itu berdesak-desakkan supaya tidak kebahasan akibat air hujan yang semakin deras.
Wonwoo menggenggam payung di tangannya. Dia sebenarnya sudah berniat untuk meninggalkan halte itu, tapi langit sepertinya tidak mengijinkan. Jadi dia memutuskan untuk menunggu sedikit lebih lama, saat dia rasa langit sudah bisa kembali diajak bersahabat.
Dia menatap sekeliling untuk membunuh waktu, dan matanya terhenti pada seseorang yang terlihat familiar sedang berdiri di halte seberang.
Anak laki-laki bernama Mingyu yang beberapa waktu lalu mempermalukan Wonwoo secara tidak langsung. Dia berdiri sambil menggenggam payung di tangannya.
Mata Mingyu sibuk memperhatikan seorang perempuan separuh baya yang berdiri di sebelah sehingga tidak menyadari tatapan Wonwoo yang ditujukan padanya.
Perempuan itu kelihatan sangat gusar, berulang kali menatap arloji di tangannya dan langit yang masih menjatuhkan air secara bertubi-tubi. Dia sama sekali tidak membawa payung, dan terlihat jelas dia punya keinginan besar ingin menembus hujan, tapi tidak bisa. Pakaiannya kasual ciri khas orang kantoran, jelas dia pasti punya urusan kantor yang sangat mendesak.
Mingyu mengamati payung yang berada di genggamannya, dan perempuan paruh baya di sebelahnya. Dan tidak lama setelahnya, dia menyerahkan payung tersebut pada perempuan itu yang berulang kali membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Wonwoo tidak bisa menahan senyum. Dia heran kenapa di dunia ini masih ada orang baik seperti Mingyu.
Dia kembali mengamati Mingyu yang sekarang sibuk menatap arloji dan langit secara bergantian. Persis seperti perempuan paruh baya tadi lakukan.
Wonwoo membuka payungnya sendiri, dan kakinya melangkah ke depan dengan mantap. Seolah menantang langit dan hujan, memberi pernyataan secara tidak langsung bahwa mereka tidak bisa menghalangi jalannya menuju Kim Mingyu berada.
Wonwoo berdiri tepat di hadapan Mingyu, tangannya membentang ke depan membuat Mingyu berada dalam lingkupan payungnya. Dia tersenyum saat Mingyu menyadari keberadaanya dan menatapnya kaget.
"Dasar anak baik yang suka menyusahkan diri sendiri."
Wonwoo tidak tahan untuk tidak memukul kepala Mingyu, jadi dia melakukannya dengan pelan.
Mingyu yang semula kaget, ikut tersenyum lebar saat mulai merasa familiar dengan wajah dan suara Wonwoo.
'Si lelaki puntung rokok,' pikirnya.
Dia menyambut tangan Wonwoo dan menggenggamnya sangat erat.
Dua orang asing yang berjalan berdampingan dalam satu payung, menyusuri jalan trotoar dengan bahu yang saling berhimpit.
.
.
.
.
Wonwoo menarik rambutnya kasar, dia merasa gusar.
Sial. Bagaimana mungkin bayang-bayang Mingyu masih terngiang-ngiang dengan jelas di kepalanya. Senyumnya. Aduh, sial. Senyuman Mingyu yang masih membuat kupu-kupu di sekitar perutnya terbang hingga mabuk kepayang.
Wonwoo memasuki sebuah minimarket. Dia mengambil sebuah cup ramen dan meminta sekotak rokok pada kasir yang berjaga-jaga di tempat pembayaran.
Dia meletakkan cup ramennya yang masih panas pada sebuah meja yang berbentuk lingkaran dan mendudukkan tubuhnya di kursi yang berhadapan dengan meja tersebut.
Sementara menunggu ramennya hangat, dia memutuskan untuk membakar rokok.
Dia mulai membakar batang rokoknya yang pertama, kedua, ketiga, dan dia memutuskan berhenti pada batang rokoknya yang keempat.
Dia mulai mengunyah ramennya yang telah dia telantarkan beberapa saat. Walaupun sudah agak dingin dan bengkak, menurutnya rasanya tetap saja enak. Ciri khas rasa MSG.
Wonwoo mendengus. Dia rasa hidupnya benar-benar menyedihkan. Bahkan ramen saja tidak sudi menemani nya meratapi nasib.
Wonwoo mengedarkan pandangannya ke sekitar. Dia tersenyum kecut saat teringat sebuah kenangan lagi yang masih tersisa di tempat ini.
.
.
.
.
Wonwoo kehabisan stock pengamannya. Hal ini lah yang membuat benar-benar waspada jika kelepasan melakukan one night stand dengan seorang perempuan di suatu tempat. Wonwoo itu walaupun urakan tapi tipe anak yang masih suka berjaga-jaga. Karena terlau sering berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan sex, Wonwoo sebenarnya takut juga terkena penyakit menular dari salah seorang pasangannya. Tapi sebenarnya yang paling dia takutkan adalah ketika salah seorang perempuan yang ditidurinya membawa perutnya yang bunting dan meminta pertanggung jawabannya atas perutnya itu.
Wah, apa kata ibunya kalau dia pulang ke rumah membawa kabar dukacita itu pada kedua orang tuanya di rumah.
Bukannya pulang membawa gelar, malah membawa anak.
Memikirkannya saja membuat Wonwoo merinding.
Jadi siang itu juga dia memutuskan untuk membeli satu di minimarket yang berjarak tidak terlalu jauh dengan kampusnya.
Wonwoo berjalan ke arah kasir dan segera meletakkan barang belanjaannya di tempat pembayaran.
"Wah, kau suka pakai yang fetherlite ya?"
Sebuah suara dari sebelahnya membuatnya menoleh ke samping.
Dia mendapati sosok yang sering ditemuinya tanpa sengaja akhir-akhir ini. Dia berdiri dengan beberapa barang belanjaan dalam genggaman tangannya.
Si anak pemungut sampah dan pemberi payung.
Anak itu tersenyum nakal melirik barang belanjaan Wonwoo yang sedang di pindai oleh kasir penjaga.
"Yah, begitulah. Ini agak tipis dari yang lain jadi tidak terlalu merepotkan saat dipakai."
Wonwoo menjawabnya dengan enteng, seolah itu adalah pembicaraan umum yang biasa dibicarakan oleh anak laki-laki seusianya.
Mingyu bersiul nakal mendengar jawaban frontal yang keluar dari mulut Wonwoo. Dia menggigit bibir bawahnya dengan sensual sambil memperhatikan tubuh Wonwoo dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
Wonwoo dapat merasakan tatapan Mingyu yang terasa sangat mengintimidasi, tapi dia tidak mempedulikan. Dia buru-buru mengambil bungkusan plastik yang diberikan oleh kasir sambil menggumamkan terima kasih dengan pelan. Meninggalkan tempat itu dengan gerakan yang dipercepat tanpa melirik Mingyu sedikitpun.
Setelah keluar dari minimarket, Wonwoo melangkahkan kakinya lebar-lebar tanpa menoleh ke belakang.
Wonwoo sebenarnya sudah merasakan dari awal bahwa seseorang sedang mengikutinya dari belakang, dan Wonwoo tahu betul siapa yang sedang mengikutinya itu.
Oke. Ini kesempatan bagus. Pertama kali bertemu dengannya beberapa waktu yang lalu dia gagal menghajar anak itu karena dia sendiri malah telah dipermalukan di depan umum. Jadi ini adalah kesempatan besar untuk Wonwoo memberikan beberapa pukulan di wajah mesumnya itu.
Mereka tiba di sebuah gang yang agak sempit. Wonwoo menatap sekeliling dan dia menyadari bahwa tempat ini agak sepi, tempat yang sangat cocok baginya untuk menghabisi pemuda yang menguntitnya ini.
Wonwoo membalikkan tubuhnya dan mendapati Mingyu masih dengan senyum miringnya yang menjengkelkan.
"Apa yang kau inginkan?"
Wonwoo memicingkan matanya, menatap Mingyu dengan tatapan menantang. Sedikit kesal karena Mingyu sama sekali tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun ataupun bahkan sama sekali tidak terkejut saat Wonwoo menangkap basah dirinya sedang menguntit Wonwoo.
"Kau benar-benar mau tahu apa yang aku inginkan?"
Mingyu maju selangkah demi selangkah dengan pasti. Senyum miringnya masih setia tercetak jelas di wajahnya. Tatapannya tertuju pada kedua mata Wonwoo, berpindah pada leher jenjang Wonwoo, dan sesuatu yang tercetak di antara celana jeansnya.
Sekujur tubuh Wonwoo terasa kaku seketika.
Wonwoo melangkah mundur secara otomatis saat Mingyu berjalan semakin dekat ke arahnya. Rencana yang sudah disusunnya dengan rapih seketika buyar dan keberaniannya tiba-tiba pergi begitu saja.
"Mundur sebelum aku menghajarmu!"
Wonwoo menahan mati-matian agar suaranya tidak terdengar ketakutan. Hingga punggungnya menabrak sebuah tembok di belakamgnya dan kakinya berhenti melangkah mundur.
Tapi Mingyu sama sekali tidak menghentikan langkahnya hingga tubuhnya menghimpit tubuh kurus Wonwoo ke belakang, membuat Wonwoo memundurkan kepalanya.
Dia mengunci pergerakan Wonwoo dengan satu tangan, sedangkan tangannya yang lain sibuk merogoh saku celana Wonwoo mencari-cari sesuatu yang berada di dalamnya.
"Kau tidak akan menghajarku, Wonwoo." Mingyu mengecup bibir Wonwoo singkat dan menarik sebuah benda dari saku celana Wonwoo. "Tapi aku yang mungkin akan menghajarmu sampai babak belur."
Mingyu menunjukkan fetherlite yang sebelumnya dibeli oleh Wonwoo, dan Wonwoo sukses membulatkan matanya lebar-lebar.
Sebelum Wonwoo mengeluarka sepatah kata pun dari mulutnya, Mingyu kembali meraup bibirnya dengan tergesa-gesa.
Sial. Dia akan diperkosa oleh Mingyu sekarang juga di tempat ini.
.
.
.
.
Wonwoo terkekeh pelan saat teringat kejadian itu. Perasaannya campur antara geli, konyol, marah, dan menyedihkan. Dan sepertinya rasa sedihlah yang paling mendominasi.
Konyol sekali dia bisa-bisanya menikmati saat-saat Mingyu memperkosanya di gang sempit itu.
Wonwoo kembali menguyah ramennya yang semakin membengkak. Berusaha mengenyahkan rangkaian-rangkaian masa lalu yang masih tersimpan dengan jelas dalam ingatannya. Seolah-olah itu semua bersifat permanen dan tidak akan pernah meninggalkan Wonwoo hingga hidupnya akan selalu dihantui masa-masa indah itu.
Dia menghela nafas panjang.
Tak lama setelahnya dia terkejut saat mendapati seseorang duduk di hadapannya secara tiba-tiba.
"Mingyu?"
.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
.
a.n: Sebelumnya terima kasih sudah sudi membaca ff absurd ini dan ff sebelumnya juga. Pertama-tama, makasih atas permintaan seperti 'thor sequel gamau tau sequel' atau 'itu kenapa diputusin anjir'
Kedua, aduh entah kenapa kalo cerita one shoot sebenarnya memang lebih greget kalo gantung gitu kan? Kayak anjirrrr demi apa gantung? Wkwkwk tapi yaudah lah ini udah dibuat sequel dan ini jadi chaptered deh.
Ketiga, sebenarnya saya gak suka nulis sih lebih suka baca gitu tapi ya coba-coba aja lah ya buat mengisi kegabutan. maaf kalo bahasanya masih berantakan, dan alur ceritanya yang membosankan.
Keempat, salam buat mahasiswa tingkat akhir! Wah, jangan lupa siapin banyak-banyak kopi dan rokok buat begadang! Kerjain skripsi dan tugas akhir dengan sepenuh tenaga! Ingat, pokoknya kita harus lulus tahun ini dan dapet gelar.
Kelima, see you at the next chapter!
