.

.

.

Bleach © Tite Kubo

.

Warning:

OOC (lumayan parah); AU (setting tempat adalah canon, tapi latar belakang seluruh karakter jauh berbeda); jumlah chapter fic yg lumayan banyak; alur cerita yg berjalan lambat; romance gagal (sudah kebiasaan author)

.

.

.

.

.

BAGIAN I: Akademi Shin'ō

.

.

.

Rambut yang sepanjang sebahu ia kuncir seadanya, hanya agar tidak mengganggu ketika berlarian meliuk di tengah desa. Ada jumput yang terurai di dua sisi pelipis, dan menggantung di antara mata; mirip poni yang merupakan ciri khasnya. Bola mata ungu kelam, namun tajam; menunjukkan keberanian yang jarang dimiliki perempuan seusianya. Sebatang padi kuning melingkar di kepala; makin menegaskan nyali sikapnya, pun sebagai bukti pemimpin antara anggota gengnya. Punya paras manis, meski tertutupi debu dan lumpur sehabis menangkap ikan di sungai dan berkejaran di sawah tandus tadi siang. Tubuhnya agak kurus dan ringkih, tapi tidak mengurangi kesan kuat darinya.

Namun, aura itu melempem ketika ia diharuskan berlutut hormat di depan tubuh menjulang seorang bangsawan kelas atas.

"Jadi, kau yang bernama Rukia?" kesan aristokrat sang bangsawan kian kental dari suara berat ketika bertanya.

Rukia mencoba menjawab, namun yang keluar justru koakan dari kerongkongan yang kering. Apa boleh buat, ia cuma mengangguk.

"Berdirilah."

Tidak biasa dengan suasana kaku semacam ini, Rukia bangkit dengan kikuk sambil menahan perih di lutut kanannya. Ia berdiri dengan postur tak tegap seraya mengangkat wajah. Otomatis jarak yang terpaut selangkah tidak membantunya mengalihkan perhatian dari selusur raut rupawan nan menawan sang bangsawan. Byakuya Kuchiki.

Dirinya menahan napas—

—sebelum lelaki tua berkacamata, yang berdiri di belakang sang Kuchiki, menengahi dan mengambil bagian. Menghampiri sambil membawa punggung bungkuk yang cukup renta. Sudah jadi tugasnya memberitahu maksud mereka datang ke sini. Menunjukkan sebingkai foto berfigur yang dikenali Rukia setelah mengingat-ingat cukup lama.

Si gadis Inuzuri menatap bergiliran kakek dan si ketua klan.

Ketika itulah Rukia tahu bahwa mulai hari ini, hidupnya akan berubah bak Cinderella.

.

Sementara itu, di tempat yang berjarak kurang dari tiga kilometer ...

.

Posisi Toushiro Hitsugaya masih belum berubah, meski pria di bawah sana memiliki kedudukan lebih tinggi darinya. Duduk bersandar di batang pohon berjarak dua meter dari tanah, lutut yang menekuk memangku satu tangan, dan tangan lain menggenggam seruling kesayangan. Pandangan mata hijau menerawang langit, sementara telinga saksama mendengarkan intruksi pria itu.

"Kau tidak boleh melepaskan perhatianmu padanya. Semuanya akan dimulai saat turnamen musim dingin. Apa kau mengerti?"

Toushiro menjawab malas, "Aa." Sudah jadi kebiasaannya.

Pria itu melirik geram, lalu merengut dengan umpatan pelan. Ia beranjak tak lama kemudian setelah berpesan untuk jangan berani membuat kesalahan jika masih ingin menyelamatkan kepala dari sabetan pedang.

Masih seperti biasa, Toushiro merespons dengan desahan malas. Sama sekali tak terpengaruh dengan ancaman yang cuma pantas untuk bocah ingusan.

Seruling yang menganggur, ia mainkan kembali. Ruas-ruas jari menari lihai pada batang seruling, mengirim lantunan merdu yang terdengar sayup dan membelai sukma di saat yang sama. Desauan semilir angin sore bersanding dan menyempurnakan musik sederhana darinya.

"Aniki!"

Sampai suara cempreng Marechiyo Omaeda mengusik kesenangan Toushiro yang baru berlangsung. Ia mendesah kesal, lalu menyisipkan alat musik itu ke obi. Memilih berhenti bermain sebelum suasana hatinya kian buruk.

"Dari mana saja kau, Omaeda?" tanyanya sesudah melompat turun. Ia berjalan menghampiri. "Aku mencarimu dari tadi."

Tersengal-sengal napas Omaeda setelah berlari jauh mirip pelari maraton sambil berbicara pelan-pelan, "Saya baru memeriksa seperti yang diberitahukan. Apa yang dikatakan memang benar. Mereka datang ke sini, Aniki."

Ekspresi Toushiro berubah serius, menyamai nada suara ketika bertanya, "Di mana mereka sekarang?"

"Mereka akan segera pulang ke Seireitei. Anda ingin melihatnya?"

.

.

.

TUJUH PEDANG

.

# 1 #

Tuan Seruling dan Nona Pencopet

.

.

.

Pagi ini terlalu cerah setelah badai hujan mengguyur Inuzuri kemarin malam. Tanpa awan putih yang berarak, hanya ada langit biru yang membahana, memayungi distrik yang berpenduduk tidak sampai seribu orang. Sangat cerah. Namun, tidak cukup membuat Geng Inuzuri berwajah semringah setelah berita sang ketua, Rukia, sampai ke telinga mereka ketika tiba di markas bawah tanah.

Ggio, Yukio, Rikichi, dan Rin berwajah tanpa gairah hidup. Tidak ada yang pernah membayangkan, memikirkan pun tidak, bahwa akan ada hari di mana mereka berpetualang dengan hanya beranggotakan empat orang. Sejak lahir di Soul Society (dikirim dari Dunia Manusia), mereka berlima bagai saudara kandung, saling menjaga dan melindungi. Rukia yang bergerak sebagai pemimpin ibarat magnet dengan yang lainnya senantiasa mengitari.

Rikichi, si anggota termuda, yang kerap bersembunyi di balik tubuh sang ketua, terisak terus sejak mendengar berita itu. Ia meringkuk memeluk lutut di pojok ruang sempit dan pengap yang mereka sebut markas.

"Dasar cengeng. Ketua tidak mati, kan?" Yukio, si mulut pedas, bicara dengan intonasi tak kalah pedas. Duduk di atas meja sambil memegang buku kecil yang selalu ia baca jika ada waktu luang. Sekarang, ia sedang tidak berminat.

Rikichi mengangkat wajah sambil menyeruput ingusnya. "Bagaimana kau bisa bicara seperti itu, Yukio?"

"Aku bicara yang sebenarnya. Kau saja yang berlebihan. Menangis seolah kita tidak akan pernah bertemu ketua lagi."

"Tapi, kan, Seireitei itu jauh. Jadi, pasti susah bertemu dengannya lagi."

Rin melirik dua orang itu bergantian. "Selama ini kita selalu bersama dengan ketua." Lalu menulis nama Rukia di permukaan tanah dengan jari telunjuk. Ia baru bisa menulis dan membaca saat berumur sebelas tahun berkat bantuan gadis berambut hitam itu. "Bagaimana nasib kita tanpanya?"

"Kita akan baik-baik saja," Ggio meyakinkan, bersandar di dinding tanah sambil bersila lengan. "Kita harusnya turut senang karena dia mendapat hidup lebih baik mulai sekarang."

"Tapi, kau juga sedih kan ketua pergi, Ggio?" Rin tidak sungguh-sungguh bertanya karena jawabannya sudan tentu—Iya!

Jika ditanya siapa dari mereka yang paling tidak ingin Rukia pergi, Ggio lah orangnya. Namun si pemuda berkepang tidak menanggapi apa-apa, selain memainkan gelang hadiah sang ketua gara-gara kerja briliannya beberapa tahun lalu.

Geng mereka bernama Geng Inuzuri. Geng ini adalah perwujudan nyata dari beratnya kehidupan di tanah busuk seperti Inuzuri. Hidup di distrik ini ibarat untaian kisah bertahan hidup tanpa akhir. Alih-alih makan tiga kali sehari, makan sekali sehari saja susahnya bukan main. Jadi jangan heran bila kau menjumpai anak yang tidak mampu bertahan hingga dewasa. Rasanya tidak ada jalan sebagai jaminan melihat hari esok, kecuali melukai sesama, merampok, dan berbagai tindak kejahatan lainnya.

Tidak terkecuali untuk kelima anak muda ini.

Merampok dan mencopet telah jadi keseharian bagai rutinitas. Namun ibarat kisah "Robin Hood" yang merampok para orang kaya dan memberikan hasilnya pada warga miskin, prosedur kerja mereka kurang lebih sama. Para korban adalah warga bergelimang harta yang hanya tahu menimbung uang, tanpa kenal kata berbagi. Nasib barang rampokan pun berakhir di tangan anak-anak yang senasib di pelosok Inuzuri.

"Apa ini yang aku ajarkan kepada kalian? Berwajah seolah kalian siap mati besok?" Intonasi tajam dan tegas sontak membuyar keheningan duka yang meliputi anggota geng. Empat kepala serentak menengadah dan mendapati Rukia, sang ketua, bertegak pinggang angkuh dengan penampilan ... berbeda. "Kenapa? Kenapa kalian melihatku seperti itu?"

Pelan-pelan, Rin menghampiri sambil menatap dengan mata berbinar-binar seakan ada lampu kerlap-kerlip di sana. "Ketua," ia menahan napas, "kau sangat cantiiiiik!"

Wajah Rukia langsung memerah. Posturnya berubah kagok, meski tangan masih berada di pinggang. "Di-diam. Jangan gunakan kata itu padaku, Rin."

"Tidak, Ketua benar-benar cantik." Ia menyentuh rambut Rukia yang tumben-tumbennya tidak diikat, justru diurai sebahu. "Ggio saja mukanya sampai merah."

Yang disinggung terperanjat, keluar dari dunia khayal yang hanya diisi keberadaan Rukia. "A-apa? Mukaku tidak merah." Tampak tidak sadar kalau ia menatap perempuan itu tanpa kedip.

Rukia menghela napas. Sejujurnya, ia jauh lebih nyaman dengan kimono kumal selutut yang biasa ia pakai. Tak pernah terbayang akan mengenakan kimono sepanjang mata kaki macam furisode. Selain karena mahalnya selangit dan masih banyak barang yang lebih penting bisa dibeli, kimono seperti ini jelas tidak cocok untuk ketua geng yang senang berlarian ke sana-ke mari mirip banteng yang baru terbebas dari kandang. Andai bukan karena si bibi yang tiba-tiba saja menjelma jadi ibu peri yang baik hati, memaksanya; ia tidak akan sudi.

"Berhenti menatapku seperti itu," katanya, memperingatkan. Tapi tidak setegas komando yang ia berikan kemudian, "Sekarang juga, kalian semua berdiri!" Komando khas Ketua Geng Inuzuri. "Waktunya berangkat!"

"Ke mana, Ketua?" Yukio dan Rikichi menyahut bersamaan. Tumben-tumbennya mereka kompak.

Rukia menyeringai lebar. "Ke tempat di mana kita bisa bersenang-senang!"

.

.

.

.

.

Kisah yang mengawali perubahan nasib Rukia sudah terjadi lama sekali—sepuluh tahun yang lalu, tepatnya—ketika ia tersesat terlalu jauh saat melarikan diri dari kejaran beberapa pria berbadan besar dan tegap. Itu adalah pengalaman pertama Geng Inuzuri merampok kastil seorang saudagar kaya di desa sebelah. Agar keempat temannya bisa meloloskan diri, maka satu dari mereka harus bertugas sebagai umpan. Rukia yang mampu berlari cepat mengajukan diri untuk mengemban tugas tersebut.

Namun karena pengalaman wilayah buruan yang masih dangkal, Rukia tersesat di hutan hingga malam menjelang, berakhir di sebuah pondok berpagar kawat berduri. Tidak punya pilihan lain, ia menyusup masuk untuk menunggu pagi menjemput. Petualangan merenggut nyawa dimulai ketika ia bersembunyi di gudang makanan dan bertemu pria tua dengan tangan terikat. Mustahil ia pergi dengan berpangku tangan. Jadi, ia membebaskannya, dan melarikan diri bersama.

Tapi sejak hari itu, Rukia tidak pernah bertemu atau mendengar berita apa pun tentang si kakek. Bahkan, mereka tidak sempat berkenalan. Sampai iring-iringan dari Seireitei bernama Klan Kuchiki muncul di gubuk kecilnya dua hari silam; memperlihatkan sebingkai foto dengan figur sang pria tua. Namanya Ginrei Kuchiki, ketua klan Kuchiki sebelumnya yang amat mashyur. Berdasar wasiat yang ditinggalkannya, Ginrei menyebut tentang dirinya, Rukia si gadis Inuzuri untuk segera diangkat sebagai anggota klan atas jasa penting telah menyelamatkan nyawanya ketika itu.

Rukia memandang langit biru yang kelewat cerah, berkebalikan dengan rona hatinya detik ini. Hatinya murung dan mendung. Ia suka perubahan, apalagi berubah jadi lebih baik. Namun, tidak untuk perubahan se-drastis ini. Nona pencopet bertransformasi jadi nona bangsawan? Serius? Sampai ia butuh mencubit dirinya 50 kali saat bangun pagi tadi. Ia pasti bermimpi.

"Woah! Besar sekali, Rikichi!"

Teriakan Rin menepis awan gelisah yang menaunginya. Rukia mendadak ingat alasan apa mengajak kawan-kawannya ke lokasi favorit mereka.

"Ketua, bagaimana dengan ini?" Rikichi mencondongkan ikan gemuk dalam gendongan di dadanya.

Rukia berupaya tersenyum lebar. "Rikichi, kau hebat! Itu lebih besar dari tangkapanku kemarin."

Wajah anak itu berubah merah, tapi tidak lama berganti dengan muka suram. "Setelah ini, kita tidak akan menangkap ikan bersama-sama lagi."

Rin jadi ikutan berwajah muram. Yukio juga, tangkapan yang siap ditunjukkan melompat dari pelukannya. Sementara Ggio mendengus letih.

"Kalian ini.…" Rukia tidak tahu harus menyemangati apa lagi. Tidak ada pilihan lain, kecuali—"Baiklah, aku berjanji. Setiap ada waktu senggang, aku akan datang ke sini untuk menjenguk kalian."

"Ketua, serius?" Mata Rikichi berkilat terang.

"Apa kalian pernah mendengarku berbohong? Aku juga akan membawakan banyak makanan enak."

Alhasil, teriakan girang bukan kepalang menyeruak di tempat itu.

"Ayo lanjutkan lagi tangkap ikannya!"

Komando sang ketua membuat keriuhan yang sempat hilang kembali lagi ke tengah-tengah mereka; memulai kompetisi menangkap ikan dengan hadiah pujian darinya.

Kecuali Ggio yang bergeming, menatap Rukia yang duduk selonjoran di tanah berkerikil tepi sungai; menghampiri dan berdiri di sebelahnya. "Tukang bohong." Perempuan itu mendongak. "Kau mungkin bisa berbohong pada mereka, tapi tidak denganku. Kau pasti juga tahu, para bangsawan tidak bisa dengan mudah berkeliaran keluar Seireitei."

Perhatian Rukia kembali pada pemandangan riuh tiga kawannya. Ia tidak mau menghancurkan kesenangan itu dengan kebenaran yang menyedihkan. "Ggio," dan tidak punya amunisi kata untuk mengelak, ia tidak membalas dan hanya berpesan, "tolong gantikan aku menjaga mereka."

Bola mata emas Ggio melirik ke bawah dan sepintas menangkap senyum rekannya. Tatapannya lalu beralih pada pemandangan sama: rebutan ikan Yukio-Rin-Rikichi. "Aku bisa menjaga mereka," ia ikut tersenyum, "tapi untuk menggantikanmu, aku tidak mau. Tidak ada yang bisa menggantikanmu, Ketua."

Senyum sang nona pencopet kian lebar. Ia bersyukur dan lega telah menghabiskan milyaran detik bersama mereka. Hingga sesaat berubah jadi senyum sendu nan getir.

Karena selain kesenangan bertualang yang membuat Rukia enggan pergi, kerinduan pada kekonyolan kawan-kawannya adalah yang paling sulit. Rikichi dan Yukio yang selalu beradu mulut. Rin yang kerap menengahi. Sedangkan Ggio yang lebih sering memanasi. Rikichi yang cengeng dan baik hati; Yukio yang tidak ramah, tapi tegar; Rin yang minderan, tapi suka belajar; dan Ggio yang jahil, tapi dewasa.

Sore nanti, semua akan menghilang. Tidak akan ada lagi petualangan. Tidak akan ada lagi kawan-kawan yang konyol. Tidak akan ada lagi kebebasan. Tidak akan ada lagi ... tawa.

Yang ada adalah kungkungan aturan.

.

.

.

.

.

Selain kegembiraan menangkap ikan, keramaian pasar jadi salah satu yang tidak pernah membuat Rukia jenuh. Meski ujung-ujungnya tidak membeli apapun. Ia lebih suka berkeliling sambil memerhatikan transaksi jual-beli seolah sedang menonton teater. Beceknya pasar sama sekali tidak membuatnya jijik, justru bersemangat, apalagi saat lumpur menciprati kimono-nya. Ia bisa tertawa ceria mirip anak kecil yang sedang main-main air. Namun untuk kali ini, ia berhati-hati. Pulang dengan keadaan kotor seperti hari-hari biasanya sama saja mendapat bentakan gratis dari sang bibi.

Kini, ia sedang melihat-lihat dagangan yang dijajakan—seorang diri. Di sungai, ia dan keempat kawannya harus berpisah. Ggio dan yang lainnya mesti ke dermaga setelah mendapat tawaran kerja jadi kuli barang di sana. Rukia selalu berpesan, jika mereka bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik, merampok harus dinomorsekiankan. Jadi sebagai permohonan terakhir, ia meminta mereka untuk menerima tawaran tersebut, alih-alih menemaninya sepanjang hari ini.

Mendadak saja dering insting lama menghentikan gerak aktif si gadis Inuzuri. Rukia menjumpai gelagat yang ia hapal betul dari laki-laki dekil berjarak sepuluh langkah darinya. Langkah cepat, tidak terkesan buru-buru, justru penuh perhitungan; melewati berjubel-jubel pengunjung pasar untuk menuju bocah pencopet yang mengulurkan tangan ke tas selempang seorang pemuda terpelajar.

Jackpot!

Bocah itu mendapat sekantung uang dan seruling perak beserta—

Happ!

"Turunkan kantung itu atau kupatahkan tanganmu?"

.

.

.

.

.

Pembukaan tahun ajaran baru akademi tinggal seminggu lagi. Toushiro teringat tentang kuasnya yang patah gara-gara berseteru dengan Kurosaki saat ujian akhir tahun. Sebelum meninggalkan Inuzuri sore ini, ia menyempatkan singgah di pasar yang keamanannya masih dipertanyakan. Yang bikin heran adalah ramainya pasar tidak menurun dari tahun ke tahun meski kasus pencopetan marak terjadi. Mungkin karena kualitas barang di Inuzuri lumayan bagus, terlepas dari julukannya sebagai sarang pencopet.

Toushiro perlu berdesakan dengan beberapa warga untuk berhasil tiba pada lapak pedagang yang menjajakan kuas, lengkap dengan botol tinta, wadah, dan batang pengaduk beserta ratusan lembar kertas.

"Silakan dipilih, Tuan Muda," tawar si pedagang ketika Toushiro berjongkok dan mulai memilah-milah kuas terbaik dengan memeriksa lembut-kasarnya bulu kuas. Dirinya kelewat sibuk untuk mengetahui seulur tangan menyusup ke dalam selempang coklat hingga—

"Turunkan kantung itu atau kupatahkan tanganmu?"

—suara ancaman penuh nyali seorang perempuan mengumandang. Toushiro langsung berbalik, mendapati pergelangan seorang bocah digenggam kencang oleh si empunya suara. Kelewat kencang sampai anak itu mengerang sakit.

"Apa kau tidak dengar? Turunkan kantung itu atau kupatahkan—Akh!"

Namun, tidak cukup membuat si pencopet melempar handuk tanda menyerah; ditendangnya keras betis Rukia dan langsung melarikan diri dengan melewati warga yang acuh tak acuh. Pemandangan seperti ini sudah biasa.

Toushiro yang kelinglungan, menyempatkan bertanya, "Oi, kau tidak apa-apa?"

Jadi, tidak heran mendengar Rukia mengumpat, "Dasar bodoh! Kejar anak itu! Kenapa kau masih sempat mengkhawatirkanku?"

"Apa?"

"Dia mencopetmu, Bodoh!"

Macam kena kejut listrik, Toushiro tersengat. Ia langsung merogoh tas selempang dan tahu apa yang hilang. "Serulingku."

Ia bergegas lari; Rukia menyusul dengan langkah pincang. Ramainya pasar dan jarak yang terlampau jauh, membuat mereka kesulitan mengejar si pelaku. Hingga tiba di perempatan, dua orang itu kehilangan jejak.

"Sial." Toushiro setengah membungkuk, terengah-engah.

Rukia kemudian menariknya tanpa menunggu komentar. "Ayo. Aku tahu ke mana anak itu pergi."

Yang benar saja, Rukia memang tahu. Masih di lokasi pasar, namun tidak seramai sebelumnya, tepatnya di gang sempit antara toko perkakas bangunan, mereka menemukan bocah dekil yang sibuk menghitung keping demi keping.

Tidak tunggu waktu, Rukia mendorong punggung dan memuntir satu lengannya ke belakang. "Kembalikan barang yang bukan milikmu."

Ringisan sakit dan ngilu yang lalu terdengar sebelum berkata, "Lepaskan dulu tanganku."

Sementara perhatian Toushiro tertuju pada kantung yang tersisip di obi si pencopet. Tanpa menimbang lagi, ia lekas ambil dan memeriksa. Itu miliknya. Rukia lega; berimbas pada puntiran tangan yang merenggang. Si bocah menggunakan peluang dengan amat baik; sekali sentakan untuk meloloskan diri dan berlari sejauh-jauhnya.

"Oi!"

"Biarkan saja," kata Toushiro saat Rukia ingin mengejarnya.

"Tapi uangmu.…"

"Tidak apa-apa. Aku hanya butuh ini."

Yang dimaksud adalah seruling perak yang sudah bersamanya sejak lama. Seruling yang beratus kali lebih penting daripada uang yang masih bisa didulang.

"Seruling ini sama pentingnya dengan nyawaku."

.

.

.

.

.

Firasat ganjil telah Toushiro rasakan ketika berhasil menemukan si pencopet, dan kian merebak saat ia bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu gelagat anak itu?" Dan terang-terangan, Rukia menjawab, "Gampang saja jika kau berpengalaman."

Setelahnya, ia tidak berkomentar. Lebih memilih berdiskusi dengan benaknya sendiri.

Saat ini mereka sedang bersandar di langkan jembatan, melepas letih sejenak setelah berlarian di selusur pasar.

"Kau bukan orang sini?" Rukia menyela sepi dengan pertanyaan basa-basi.

Toushiro menoleh sambil lalu mengangguk. "Bagaimana kau tahu?" Ia melayani, ingin menjernihkan keanehan identitas gadis bermata besar ini.

"Dari tas selempangmu. Penduduk asli sini tidak pernah membawa tas ke pasar, bahkan jika membawanya, mereka tidak akan menyelempangkannya di belakang, tapi di depan. Barang berharga pun tidak pernah disimpan di tas, tapi dalam kimono atau obi. Aku yakin kau tahu apa julukan Inuzuri?"

Tentu saja, Toushiro tahu. "Distrik pencopet," dan menambahkan fakta yang telah mantap di kepalanya, "dan aku rasa aku bertemu dengan dua pencopet hari ini."

Raut Rukia bertanya-tanya, tapi urung menimpali ketika mereka dikepung oleh segerombolan preman pasar; yang salah satunya bisa Toushiro kenali sebagai bocah pencopet barusan.

"I-itu mereka, Aniki." Telunjuknya menodong kedua orang itu.

"Beraninya kau mengusik daerah kami," pria botak bercodet—yang Rukia kenal sebagai pemimpin wilayah ini—sedang menyinggung padanya. "Berlagak jadi pahlawan, hah?"

Satu-dua langkah mundur, dan tanpa banyak omong—"Lari!" Rukia menarik pergelangan Toushiro yang tampak lebih berminat berdiam diri.

"Kejar! Jangan biarkan mereka lolos!"

Wilayah pasar yang kian ramai, seiring matahari yang beranjak naik, kembali mereka lintasi. Bertabrakan dengan belasan warga yang berpapasan atau yang menawar harga, dua orang berambut kontras ini cuek saja dengan hardikan marah yang melayang. Hingga halangan pertama mulai menghadang. Yaitu, becak tarik dengan dua penumpang saat berbelok tajam di tikungan.

"Woi!"

Teriakan itu mengekori setelah mereka nyaris saja bertubrukan tanpa ampun. Sampai menyusul tak lama adalah gerobak sawi dan kubis yang kebetulan lewat di perempatan. Namun dengan lincah dan cekatannya, Rukia melewati dengan meluncur di bawah gerobak. Ini sudah keahliannya. Toushiro tidak mau kalah, yang dengan kerennya melangkahi si gerobak dengan satu lompatan.

Sampai akhirnya dinding kayu tebal yang menghubungkan dua gubuk jadi jalan buntu tersulit.

Tapi, bukan Rukia namanya jika pikiran ikut buntu. Tanpa izin, tangga kayu dari pria yang sibuk memperbaiki atap bocor diambilnya. Dengan Toushiro yang dipaksa naik duluan, Rukia mengikuti setelahnya. Lalu menendang jatuh si tangga, sebelum berlari dan melompat dari satu atap gubuk ke gubuk lainnya.

Sayangnya, jalan pelarian muda-mudi ini tidak berlangsung mulus.

Terjangan hujan batu sebesar kepalan tangan membombardir mereka dari bawah. Dikejar sejauh ini, Rukia tidak heran. Bagaimanapun ini wilayah kekuasaan mereka. Faktanya, tiap geng di Inuzuri punya wilayah kekuasaan sendiri, begitu pula dengan geng milik Rukia. Ditambah aturan tegas tentang wilayah yang tidak boleh dicampurtangankan oleh geng lain. Jika dilanggar, geng mereka akan mengacaukan wilayah geng pelanggar. Berarti sama saja Rukia membahayakan gengnya sendiri.

Tapi, saat ini bukan waktu yang tepat untuk berpikir jauh tentang aturan itu.

Bermodal ketapel, gelontoran batu menghujani hampir tiap detik tanpa jeda. Mereka mengelak sebisanya, walau sekujur tubuh perih-perih dan ngilu.

Groook!

Kesialan seperti tanpa tamat. Rukia kena apes dengan satu kaki terperosok pada atap penginapan yang rentan hancur. Toushiro yang tiba di ujung atap terlebih dulu, langsung berbalik dan menghampirinya, lalu membantu menarik keluar dari sana.

"Sekarang!"

Teriakan komando dari bawah. Tembakan bola sebesar jeruk dengan tali bersulut menyusul tidak berselang lama.

Toushiro dan Rukia melotot. Peledak...

Baaam!

Terlambat sudah. Kurang dari sedetik kepingan peledak bertebaran bersama dengan kepulan asap tebal. Asap kelabu mengukung atap gubuk, dan dua sasaran yang tidak jelas akhir nasibnya. Puluhan detik berlalu seiring asap yang menipis, menampakkan atap yang masih utuh (seperti sedia kala), tanpa siapa pun di sana. Lenyap.

Dan mau tahu di mana tokoh utama kita berada? Tengoklah ke bagian genteng.

"Peledak dari kotoran ternak?" Toushiro tercengang sambil bergelantungan di atap dengan berpegangan pada genteng. Berupaya bertahan hidup sebelum jatuh bertemu sungai di bawah sana, dan pula bertahan dari bau yang jauh dari kata sedap karena hasil ledakan.

Nyengir, Rukia mengangguk. Nasib yang sama untuknya.

Begini ceritanya. Toushiro yang mengira peledak itu adalah sejenis bom atau granat, menarik Rukia ke pinggir atap setelah membebaskan gadis itu. Menurutnya, lebih mending jatuh ke sungai daripada mati gosong oleh bom.

Ternyata, dan ternyata ... kenyataan yang tidak bisa diterima. Peledak itu terbuat dari kombinasi kotoran ternak: ayam, itik, kerbau, dan hewan ternak lainnya, yang ditumbuk, dihaluskan, dan dicampur jadi satu. Kekuatannya bukan dari daya ledaknya, tapi daya baunya.

Penciuman Toushiro punya batas juga. Apa boleh bikin, tangan satu ia kerahkan untuk menutup hidung, dan sisanya untuk bertahan hidup. Rukia, sih, adem-ayem. Bersembunyi seminggu di kandang kerbau saja pernah ia rasakan. Jadi, pengalaman sejenis ini isu lama untuknya.

"Aku sudah tidak tahan." Toushiro akhirnya mengibarkan bendera putih, tanda menyerah.

"Siap melompat?"

Melirik dari atap penginapan berlantai empat, pemuda itu mengangguk cukup yakin.

Hitung mundur. Tiga-dua-satu—

Byuuur!

Mereka memilih bertaruh nyawa.

Air menjulang tinggi saat sepasang tubuh sengaja menjatuhkan diri ke dalam sungai. Tak lama, kedua kepala menyembul keluar. Dan tak lama pula, kedua kepala kembali menenggelamkan diri. Para preman yang tampaknya tidak tahu arti kata kapok sedang menyisir bantaran sungai untuk menemukan mangsa mereka.

Apa boleh buat. Alternatif satu-satunya dilancarkan, yaitu menggunakan sebatang bambu kecil sebagai jalur udara ke paru-paru. Paling tidak, memperpanjang hidup 30 menit ke depan di bawah sungai keruh. Berterima kasih pada Rukia yang selalu sedia payung sebelum hujan; sedia bambu sebelum tenggelam.

Baru setelah gerombolan itu jenuh mencari dan angkat kaki, sepasang 'buronan' keluar dan meraup napas bebas.

Ah, leganya.

.

.

.

.

.

Baru lolos dari kejaran rombongan bandit, Toushiro kini ditarik ke pabrik tua yang bertempat di tengah hutan lebat Inuzuri. Bersama-sama mendorong lemari lapuk yang berdiri di pojok dinding, Rukia membuka tingkap kayu menuju ruang bawah tanah. Menatap Toushiro sejenak, meminta untuk mengikutinya dan jangan bertanya dulu, ia menuruni tangga bertali yang dibentangkan ke bawah setelah mengambil dari lemari yang didorong tadi. Si jabrik putih menyusul dengan waswas, bertanya-tanya ke mana gadis tomboi ini akan membawanya.

Setiba Toushiro di bawah, Rukia menyalakan obor yang tidak pernah absen ditaruh di tembok tanah jalan masuk. Sinar kuning dari nyala api menerangi lorong bawah tanah yang sumpek dan lembap.

"Sudah cukup bungkamnya." Penasaran Toushiro sampai batas. "Sekarang katakan tempat apa ini dan ke mana kau akan membawaku?"

"Tempat apa ini? Bekas pertambangan batu bara. Ke mana aku akan membawamu? Keluar dari Inuzuri sebelum preman itu mengulitimu hidup-hidup."

Ancaman terakhir terdengar tidak main-main meskipun bohong. Dan Toushiro tahu itu. Mana ada yang percaya ancaman 'menguliti hidup-hidup' kalau peledaknya saja dari kotoran ternak.

Mereka lalu mulai berjalan. Derap dua pasang langkah menggaung sepanjang lorong. Titik-titik air dari kimono yang basah meninggalkan jejak di tanah kering.

"Kau yang membuat mereka marah," singgung Toushiro.

Berpaling padanya, Rukia beralasan, "Tapi, aku melakukannya karenamu dan kau bersamaku. Mereka sudah menghapal wajahmu." Lalu menenangkan saat berpikir pemuda ini takut, "Tenang. Tidak perlu cemas. Mereka tidak akan berani menghajarmu jika kau berada di distrik lain."

"Dihajar pun tidak masalah," jawaban mantap Toushiro. "Aku akan menghajar balik. Tidak akan lari seperti tadi."

Rukia lantas memberengut. "Kalau kita tidak lari, kita akan mati dikeroyok. Kau pikir berapa jumlah mereka tadi? Lima belas orang!"

"Beri aku lima menit, aku akan membuat mereka babak belur."

Lekas saja Rukia berhenti sembari menatap punggung kecil si jabrik putih. Ia bergumam, "Dia pasti gila. Memangnya apa yang bisa dilakukan dengan badan sekecil itu?"

Tapi, telinga Toushiro setajam radar. Ia berbalik. "Kau bilang sesuatu?"

"Tidak. Hanya angin lalu."

Lalu lanjut berjalan di tengah hening.

Bayangan mereka membesar oleh obor yang memenuhi lorong panjang, yang tampak tak berujung. Kesan mengerikan mulai terasa setelah suara ganjil mirip tangisan seorang wanita menggaung di belakang sana seakan sedang mengekori. Ini tidak terlepas dari kisah asal-usul tempat tersebut. Menurut rumor, pertambangan dibangun dari bekas tanah rumah sakit yang ditinggalkan. Katanya, pasien-pasien yang ditelantarkan oleh para tabib, mati mengenaskan dan mayatnya terkubur di sini. Sepuluh tahun kemudian, pertambangan dibuat. Tapi tidak sampai sebulan, para penambang angkat kaki setelah tidak tahan dengan gangguan makhluk halus.

"Menakutkan, ya," Rukia mengakhiri cerita. Sengaja membuat pemuda di sebelahnya merinding ngeri.

"Kau berharap aku percaya?" Tidak mempan. "Mana ada hantu di Soul Society." Bahkan jika ada, jangan harap Toushiro jadi ketar-ketir ketakutan.

Rukia cembetut. Pikirnya, badan kecil, nyali juga kecil. Ternyata...

Api obor yang mengecil oleh angin, membuat dua orang serentak menyetop kaki. Jalan keluar sudah dekat. Rukia yang hapal betul, tanpa pikir lama berlari; Toushiro mengikuti di belakangnya. Berbelok ke kanan. Tepat di langkah ketujuh belas, mereka sampai pada pintu keluar. Adalah tingkap yang sama seperti sebelumnya, hanya yang sekarang agak bolong-bolong hingga angin bisa masuk dengan cukup leluasa.

"Di atas kita ini adalah gudang tua," jelas Rukia sambil mendongak. "Keluar saja, jalan terus, maka kau akan sampai di perbatasan Inuzuri-Satsuma."

"Bagaimana denganmu?" Toushiro cemas, mengingat gerombolan itu mengejar mereka berdua, bukan dirinya saja. "Bagaimana jika mereka menemukanmu?"

"Jangan khawatir." Rukia tersenyum pasti. "Inuzuri ibarat kedua telapak tanganku, aku menghapal luar kepala jalan dan tempat di sini lebih dari yang mereka tahu."

Toushiro membuang napas lega. "Kalau begitu, terima kasih."

"Tidak." Rukia menggeleng. "Aku yang harusnya berterima kasih." Terpeta senyum murni nan jujur di wajah kusamnya. "Karena kau, aku merasa sangat senang dengan petualangan terakhirku. Mulai besok, aku akan menjalani kehidupan yang sangat berbeda, dan aku tidak bisa berpetualang seperti ini lagi."

Toushiro ingin tahu maksudnya, tapi ia tidak bertanya. "Begitu. Tapi bagaimanapun, terima kasih, Nona Pencopet."

Rukia terperanjat. Kakinya mundur setengah langkah. "A-apa?"

"Jangan pura-pura terkejut." Toushiro menyeringai. "Hanya binatang buas yang bisa mencium gelagat binatang buas lain. Hanya pencopet yang bisa mengetahui gelagat pencopet lain."

Rukia tercengang takjub. Jarang bertemu dengan orang yang pintar menilai orang lain pada pertemuan pertama. "Aku bukan pencopet lagi," maka ia tidak ragu membeberkan status lamanya, "aku sudah pensiun."

"Pencopet juga bisa pensiun?"

"Tentu saja. Ketika kami berpikir ada kehidupan yang lebih baik di luar sana."

Toushiro yang kini terpana kagum. Jarang menjumpai gadis seumuran ini (berasal dari distrik kecil seperti Inuzuri) memiliki pandangan yang luas dan pintar bicara.

"Namamu?"

"Hah?"

"Kau tidak ingin aku memanggilmu Nona Pencopet, kan? Jadi, beritahu namamu."

Toushiro merasa, ini tidak akan jadi pertemuan terakhir mereka. Bahkan jika iya, ia ingin mengingat nama seorang gadis yang mirip seekor burung; mengepakkan sayap begitu bebas di belantaranya langit tanpa batas.

"Sebelum bertanya nama orang lain, beritahu dulu namamu."

Rukia merasa akan ada pertemuan kedua setelah ini. Bahkan jika tidak, ia ingin mengingat nama seorang pemuda yang begitu serius ketika menuturkan bahwa seruling miliknya sama penting dan se-berharga nyawanya.

"Toushiro Hitsugaya."

'Punya marga, berarti Shinigami atau ... murid akademi,' pikirnya. "Rukia."

"Marga?"

"Tidak punya. Kau pikir seorang warga rendahan akan memiliki marga?"

Salahkan aturan kelas sosial di Soul Society. Kecuali Shinigami yang bertempat di Seireitei, warga biasa yang hidup di Rukongai hanya diizinkan menyandang nama pertama. Tanpa marga.

Toushiro harusnya sudah tahu benar itu.

Bersila lengan, si jabrik putih mengerutkan kening sambil memerhatikan Rukia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hingga gadis itu jadi rikuh tidak enak.

"Kalau begitu sebagai bayaran terima kasih," Toushiro lalu memutuskan semena-mena, "kau bisa menggunakan margaku."

Si gadis Inuzuri tersentak kaget. "Ma-mana bisa begitu?" Laki-laki ini pasti berkelakar.

"Tentu saja bisa kalau kau menjadi saudara atau istriku." Namun, raut Toushiro yang serius menjelaskan bahwa ia sedang tidak bergurau.

Maka tidak ada warna lain di wajah putih Rukia, selain merah ketika Toushiro menyebut—

"Rukia Hitsugaya, ummm ... terdengar bagus juga."

.

.

.

.

.

To be Continued ...

.

.

.

.

.

[1] Judul fic terinspirasi dari tujuh prajurit berkuda bersenjata tombak pada pertempuran Shizugatake di abad ke-16 Jepang yang dikenal dengan sebutan "Tujuh Tombak". Karena Shinigami gak pake tombak, maka author seenaknya ganti dengan nama "Tujuh Pedang", wkwkwkwk.

[2] Yg gak kenal anggota geng Rukia, mereka bukan OC, tapi tokoh asli Bleach. Rin (anggota di divisi ke-12, yg wajahnya mirip dgn Hanatarou), Rikichi (bawahan Renji, punya tatto yg sama dgn Renji), Yukio (salah satu pengguna Fullbring), Ggio (gak mungkin ada yg gak tau, hehe). Author dengan seenaknya ubah latar belakang mereka.

A/N : Seperti judulnya, akan ada 7 tokoh yg jd sorotan d fic ini. Tp tetap HitsuRuki yg utama. Ada yg mau nebak 5 tokoh lainnya? Yg benar, bakal diajak kencan ma Toushiro#plak

Terakhir, ada yg tertarik meluangkan waktunya lima menit tuk review fic aneh ini?

Ray Kousen7

18 November 2013