Clara pun membuka mata.

Lorong berdinding bata mengantar jerit kereta di ujung, sebelum berpapasan dari dua lajur yang berbeda. Orang-orang tidak lagi sepenuh ketika Clara naik dari stasiunnya. Kursi di sampingnya masih kosong. Ibu muda dan balitanya, yang duduk di seberang, sudah digantikan pria kantoran.

Clara mengintip arlojinya, mengabai pada warna yang kian pudar, menemukan jarum pendek dan panjang berebut menunjuk angka empat. Matanya masih separo memejam meski kantuk sudah lenyap. Ia pilih memeta mentari yang mulai tergelincir ke horizon pada kaca jendela yang memberi pemandangan monoton, menyapu lorong-lorong gelap dengan palet emas senja, gradasi oranye yang meluntur dan biru yang menua, lalu makin tuatuatuatua menggelap—

Suara riuh anak-anak dengan seragam sekolah di sudut sana mengembalikan lorong geeelap (dan hitam, hitam yang memudar, pudar hingga ke abu-abu) ke dalam matanya. Clara bisa menangkap topik perbincangan mereka, tentang kuteks-kuteks berwarna pelangi, dan karena salah satunya memamerkan jari-jemarinya terlalu tinggi. Clara berharap stasiun tujuannya sudah cukup dekat agar dia tidak perlu repot mengecek kukunya, karena toh tidak ada warna apapun untuk ditemukan di sana.

Dan harapannya dikabulkan lebih cepat.

Tidak ada yang dia tunggu, jadi Clara bergegas keluar saat kereta berhenti dan pintu terbuka. Langkahnya berebut dengan orang-orang yang baru masuk, bahkan sempat bersinggungan dengan bahu gadis berambut gulali —sejenis tren dari jepang, apa namanya? Harajuko? Harakaju? Harakiri? Bah, dia bisa bertanya nanti, Oliver lebih tahu soal hal-hal semacam itu.

(lalu, apa warna rambutmu? apa warnamu?)

Tapak kaki-kaki Clara terhenti. Tiba-tiba saja cermin besar di sisinya semacam punya magnet untuk matanya. Ia, cermin itu, merefleksikan banyak hal: emas hangat dari lampu-lampu, gadis dengan boots merah hati, biru memar pada wajah lelaki di dekat tangga, sekotak krayon pelangi yang mengintip dari pelukan anak perempuan yang digandeng ayahnya—

terlalu banyak warna yang tumpah, tapi tak satu pun terciprat padanya. Adalah monokrom seperti dalam layar televisi antik, yang memulas habis dirinya. Clara tidak suka refleksinya. Mungkin bedak dalam tasnya bisa menambah warna.

Satu lemparan. Retakan kecil muncul pada kaca. Clara mulai melihat kukunya biru metalik dalam retakan itu. Ia dapat membayangkan merah dari punggung tangan jika membuat retakan yang lebih besar (atau hingga pecah, terburai, bila perlu). Dalam satu ayunan, ia benar-benar melakukannya.

Clara pun menutup mata.

.

.

.

vocaloid clara; oliver © yamaha, voctro labs, s.l., powerfx systems ab

color-ful/less © jong aeolia; for #brilliantwords : rainbow, prompt: yellow-city subways