CHAPTER 1
Cuaca hari ini sungguh tak mendukung. Baekhyun sempat melirik keluar jendela perpustakaan. Tampak mega kelabu menghiasi langit, berarak pelan menuju ke utara. Dari warna gelapnya tak ayal pastilah sebentar lagi hujan.
Baekhyun mengerucutkan bibirnya sesaat. Ini baru jam kelima dan bel pulang masih sekitar dua jam lagi. Karena jam kosong disebabkan sang sonsaengnim memiliki keperluan mendadak, akhirnya di sinilah Baekhyun. Menghabiskan satu jam di perpustakaan daripada membolos seperti teman-temannya. Pemuda bertubuh mungil itu pun teringat bahwa ia tak membawa payung, yang mana membuat bibirnya mengerucut lagi.
Jikalau nanti memang hujan maka tak ada pilihan lain selain tinggal di sekolah. Bila Baekhyun berkeras pulang di tengah guyuran hujan, maka tak ragu lagi esoknya ia akan sakit. Pemuda bersurai hitam kecoklatan itu memang gampang sakit. Tubuhnya yang terbilang ringkih tak bisa mempertahankan diri dari kekuatan alam. Terutama hujan dan dingin.
Pernah suatu kali Baekhyun ngotot berlari pulang di tengah hujan deras. Saat itu ia masih SMP di kelas tiga waktu sepulang les cuaca tiba-tiba memburuk. Ia masih mengingat jelas dirinya sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Rambut acak-acakan dan seragam lengket di badan. Tak selang satu jam kemudian, ia pun jatuh sakit. Lengkap dengan demam, radang tenggorokan, batuk dan pilek. Neraka menghampiri pemuda itu selama tujuh hari tujuh malam. Karenanya ia harus menginap di rumah sakit. Dan lebih parahnya lagi ia harus berusaha kelas untuk menyusul ketinggalannya dalam pelajaran.
Mendesah, Baekhyun mengusir ingatannya itu. Kini ia sudah kelas 2 SMA. Dan ia punya cukup kebijakan untuk tidak mengulang masa lalu lagi. Sembari membenahi kaca mata yang melorot ke hidungnya, Baekhyun berjalan menghampiri rak-rak tinggi penuh dengan buku.
Dengaan langkah pelan, ia menyusuri beberapa lorong yang seperti labirin dan berbelok pada sebuah sudut menuju tempat favoritnya. Pada ujung pojok kanan perpustakaan terdapat sedikit ruang kosong yang diklaim Baekhyun sebagai tempatnya. Meskipun berada di paling ujung dan paling pojok, tempat tersebut bersih dan nyaman. Ada bangku panjang yaang menempel di dinding. Dan di sampingnya terdapat jendela besar tempat masuk cahaya yang jatuh tepat di sana. Cahaya itulah yang menjadi penerangan saat Baekhyun membaca dan ia menyukai kehangatannya. Selain itu tempat itu juga sepi dan tenang. Jadi ia bisa menghabiskaan waktunya dengan aman dan sentosa.
Sebelumnya, pemuda berumur 16 tahun itu berhenti pada sebuah rak. Diamatinya buku-buku di sana, mencari buku menarik yang layak ia baca. Sambil memegang dagu, matanya beralih dari bawah ke atas. Sebagian buku yang berada di bawah sudah ia baca dan Baekhyun tak berminat membaca sebagian yang lain. Ia pun memilih untuk mencoba buku di atas. Setelah beberapa saat membaca beberapa judul dan menimbang-nimbang akhirnya ia memilih satu. Sayangnya buku tersebut terlalu tinggi untuk ia capai.
Sebuah pertigaan muncul di kening mulus pemuda itu, untuk kesekian kalinya merutuki tinggi badannya yang tak sesuai pemuda di usianya. Baekhyun menolak mengatai dirinya pendek. Meskipun kebenarannya demikian, ia bersikeras bahwa tubuhnya hanya sedikit terlambat dalam pertumbuhaan. Dikarenakan Baekhyun jarang berolahraga karena ia tak suka, beralih ke asupan kalsium berupa susu. Namun meskipun berapa banyak ia minum susu pemuda itu tak merasakan perubahan sama sekali. Yang membuatnya akhirnya berhenti minum cairan putih itu saat ia naik kelas 2 dan belum pernah menyentuhnya hingga kini.
Menolak menggunakan bantuan, Baekhyun mencoba mengambil buku tersebut dengan tangannya sendiri. Sembari berjinjit, tangan kecilnya meraih-raih keberadaan buku yang diinginkan. Tetapi ternayata jaraknya lebih tinggi dari pada yang Baekhyun bayangkan. Tangannya bahkan tak bisa menyentuh bagian bawah dari covernya.
Menahan helaan frustasi, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk menaiki rak tingkat paling bawah sebagai tumpuan untuk mengecilkan jarak jangkauan. Dengan susah payah karena tempat berpijaknya tak begitu luas, Baekhyun mencoba sekali lagi meraih buku yang diinginkannya sambil berpegang pada pembatas.
Tangannya berhasil menyentuh bagian kecil buku itu, yang membuatnya tersenyum penuh kemenangan sesaat. Tetapi saat ia mencoba menariknya keluar, tiba-tiba saja kakinya yang berpijak dengan ujung jari terpeleset dan keseimbangannya hilang. Terkejut, Baekhyun mengeluarkan suara, 'Ah' saat dirasakannyaa tubuhnya melayang ke belakang, hendak menabrak rak di belakang. Panik, ia memejamkan mata erat-erat, menunggu dengan pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya.
Tetapi pikiran itu hilang ketika di rasakannya punggungnya bertumbukan dengan sesuatu yang keras, bukan lantai pastinya karena Baekhyun masih berdiri. Dan sebuah tangan mencengkram lengannya, menahan dirinya agar tidak terjatuh. Terheran, ia pun membuka mata dan menoleh... Hanya tercengang saat ia bertatap muka dengan tak lain adalah kakak kelasnya, Xi Luhan.
Melongo sesaat, Baekhyun tak mampu bergerak seinci pun. Ia kehilangan kata-kata saking terkejutnya dengan kemunculan Luhan, tak menyadari mulutnya terbuka lebar menemani ekspresinya.
Barulah saat tangan Luhan yang bebas melambai di depan wajahnya diiringi suara jernih menyadarkan Baekhyun.
"Hei, kau tidak apa-apa?" Tanyanya dengan sudut alis sedikit terangkat. Malu, Baekhyun merasa pipinya memanas dan ia langsung berbalik dan mundur selangkah hingga punggungnya menabrak rak buku.
Dialihkannya pandangannya ke lantai, tak berani menatap langsung sang senior. Jemarinya mulai bergerak-gerak sendiri dan Baekhyun merasakan bibirnya sedikit gemetar, nervous.
"A-ah. Y-ya, ya. Aku tidak apa-apa..." Baekhyun berkata lirih, setengah menggeretakkan gigi menahan dirinya untuk tidak gugup. Digigit bibir gemetarnya kemudian dan matanya mulai bergerak-gerak gelisah. Ia memang tak ahli berbicara pada orang lain, terutama orang yang tak ia kenal.
Baekhyun bisa merasakan Luhan mengerutkan alisnya.
"Benarkah? Kau tampaknya tak baik-baik saja." timpal pemuda bermuka rusa tersebut dan Baekhyun merasa Luhan akan membungkuk untuk melihat wajahnya. Menelan ludah, ia pun mengangkat kepalanya sebelum Luhan mampu menilik ekspresinya dan memberikan sebuah senyuman terkesan canggung.
"Aku baik-baik saja, sunbaenim. Terima kasih telah menolongku." Alih Baekhyun seraya membungkuk kecil, berusaha untuk tak gugup sekaligus mengakhiri percakapannya. Karena yang Baekhyun inginkan sekarang tak lain adalah cepat-cepat pergi dari sana. Atau Luhan yang melakukannya.
Kakak kelasnya menatapnya sesaat dan mengangguk. Baekhyun masih belum melihat matanya, tetapi sepertinya Luhan tak terlalu peduli sebab pemuda kurus yang lebih tinggi dari Baekhyun itu mendongak.
"Jadi yang mana?" Tanyanya kemudian dengan kedua tangan di saku. Baekhyun tersentak dan akhirnya menatap wajah Luhan.
"A-apanya?" Ia tergagap lagi. Baekhyun segera menutup mulutnya, merasakan pipinya memerah malu dan ia mengalihkan pandangannya. Debar jantungnya meningkat saat ia menyadari betapa tampannya Luhan jika dilihat dari dekat (yang membuatnya mengerutkan kening sesaat, kenapa ia berpikir Luhan tampan?).
"Apa lagi? Tentu saja buku yang ingin kau baca," balas Luhan tanpa menatap Baekhyun, yang membuat pemuda kecil itu mendesah lega dalam hati. Sebenarnya Baekhyun sudah kehilangan minat untuk mengambil buku itu karena kecelakaan kecil tadi. Tetapi karena Luhan telah menolongnya, ia pun dengan ragu-ragu menunjuk buku tersebut.
Terdengar olehnya Luhan ber-'hm' dan melangkah selangkah ke depan hampir bersentuhan dengannya. Napas Baekhyun tertahan sesaat ketika Luhan mengulurkan lengan panjangnya di samping kepala Baekhyun dan mengambil buku yang dimaksud dengan mudah.
Tiba-tiba saja Baekhyun merasa sedikit kecewa. Dengan tubuh tinggi nan kurus milik Luhan, pastilah mudah mengambil buku itu dengan tangan panjangnya. Yang mana berkesebalikan dengan Baekhyun yang pendek dengan tangan yang pendek pula. Pemuda itu tak menyangkal dirinya sedikit iri dengan tinggi tubuh Luhan. Tetapi ia tak berkata apa-apa saat Luhan menyerahkan buku itu ke tangannya.
"Ini, untukmu." ucap Luhan pendek. Baekhyun menerimanya tanpa melihat ke wajahnya lagi. Ia masih tampak sedikit kehilangan kata-kata. Dan saat dirasakannya Luhan masih menatapnya, Baekhyun cepat-cepat membungkuk kecil.
"Ah, ma-maaf. Terima kasih, sunbaenim. Seharusnya kau tak perlu repot-repot, uhm..." Baekhyun terhenti, tak tahu harus berkata apa-apa. Terdengar olehnya Luhan tertawa kecil dengan suara jernihnya. Membuat Baekhyun bingung apa yang lucu sehingga Luhan tertawa karenanya.
"Hey, tak apa. Kau terlihat kesulitan dan aku ingin menolongmu. Itu hanya satu buku. Tak merepotkanku sama sekali."
Baekhyun menelan ludah, kali ini dengan berat hati. Entah mengapa ia merasa kata-kata Luhan menyinggung postur tubuhnya meskipun yang berkata tak bermaksud. Namun Baekhyun menepisnya dan memberikan senyum yang lebih sopan.
"...Okay? Aku hanya tidak ingin menyusahkan Luhan sunbaenim. Tapi jika sunbae beranggapan seperti itu, ya sudahlah." ucapnya hati-hati. Baekhyun berinisiatif untuk segera pergi setelah mengucapkan kata-kata itu. Tetapi ia merasakan Luhan melebarkan matanya dan niatnya beranjak terhalang ketika Luhan bersuara.
"Oh. Kau tahu namaku?" Tanya yang lebih tua, nadanya sedikit terkejut. Baekhyun hampir saja memutar bola matanya dan memaksakan diri untuk tetap di tempat, meskipun tubuhnya berteriak keras menyuruhnya minggat dari tempat itu.
"Semua siswa di sekolah mengenalmu, sunbae. Kau sungguh terkenal." Baekhyun ingin terdengar sarkastik, tetapi ditahannya keinginan itu. Alih-alih ia menggunakan nada datar. Namun apa yang ia katakan memang benar.
Xi Luhan termasuk senior yang sangat populer di kampus mereka. Dengan tubuh tinggi dan ramping serta penampilan menawan, semua orang pastilah terpukau olehnya. Memiliki wajah anak kecil yang meneyerupai rusa cantik membuatnya masuk dalam jajaran lima pangeran sekolah. Belum lagi sikap ramah dan prestasi tingginya, ditambah status keluarganya yang merupakan pemilik perusahaan besar. Xi Luhan pantaslah menjadi bintang.
Namun tidak 'terlalu' bagi Baekhyun.
Pemuda kecil itu masih menolak untuk menatap langsung mata Luhan. Karena Ia mendapati dirinya tak mampu. Ini pertama kalinya Baekhyun berbicara langsung dengan salah satu anggota Five Star. Dan ia sudah cukup merasa terintimidasi dengan aura terang yang melingkupi Luhan, membuatnya keinginannya untuk ingin pergi semakin kuat.
"Oh," Dilihatnya dari sudut mata Luhan mengangguk, dari nada suaranya tampaknya ia sedang berpikir.
Baekhyun merasa kesempatannya untuk berpamitan telah tiba dan segera ia membuka mulut untuk menyampaikan keinginannya saat Luhan memotongnya.
"Kalau begitu kau harus memberitahuku namamu." Luhan berkata, agak cepat.
Pikiran Baekhyun terhenti sesaat ketika ia memproses ucapan luhan. Mulutnya yang masih terbuka tak mampu menutup dan matanya seketika melebar.
"Eh?" Hanya itu yang keluar dari mulut Baekhyun. Kembali ia kehilangan kata-kata dan ekspresi bingung menghiasi wajahnya. Untuk apa ia memberi tahu namanya?
Luhan tertawa kecil sembari menutup mulut dengan punggung tangan. Jelas ia terlihat geli yang mana membuat Baekhyun semakin bingung. Apa yang membuat namja itu tertawa? Baekhyun tak tahu.
"Oh, jadi namamu Eh. Nama yang unik." Luhan berkomentar, senyuman geli masih bertengger di wajahnya membuat Baekhyun tersentak seketika. Pipi memanas, Baekhyun menengadahkan kepalanya dan akhirnya mata mereka bertemu.
"Bu-bukan. Namaku bukan Eh. Namaku Baekhyun. Byun Baekhyun." Pemuda kecil itu mengkoreksi dengan cepat. Iris matanya bersinar sebagai tanda protesnya. Senyum Luhan berubah halus dan saat itulah Baekhyun menyadari mereka saling bertatapan, langsung.
"Ah..." Baekhyun segera mengalihkan pandangannya, malu. Matanya terasa terbakar dan tangannya kembali bergerak-gerak sendiri. Salah tingkah. Namja itu bahkan belum sempat mengenali mata seniornya.
"Well, salam kenal Baekhyun-ssi. Namaku Xi Luhan. Kelas 3-A. Senang berkenalan denganmu." Luhan berucap, masih dengan senyuman yang sama. Pamuda bermuka rusa itu menyodorkan tangan kanannya, menantikan tangan Baekhyun untuk sebuah jabatan.
Yang lebih muda tampak ragu-ragu. Dipandangnya tangan halus milik Luhan tanpa kepastian. Baekhyun jarang berteman selain dengan sahabatnya sedari SMP, Daehyun. Dan ia pun tak memiliki minat untuk berteman dengan orang lain, sebab Daehyun sudah cukup baginya. Tetapi kini di sini, di depannya tersodor tangan seorang dari Five Star, Xi Luhan. Menantikan dirinya untuk menerima tangan itu dan menggenggamnya.
Baekhyun segera menghentikan pemikirannya dan memutuskan untuk membalas jabatan Luhan. Sebab akan tak sopan baginya bila menolak perkenalan dengan orang lain. Meskipun hatinya sama sekali tak berniat, Xi Luhan adalah seorang senior dan lebih tua darinya. Baekhyun tetap harus menghormatinya.
Pemuda kecil itu hampir menggerakkan tangannya untuk menjabat tangan Luhan ketika sebuah suara lain menghentikan niatnya.
"Luhan." suara dalam nan datar itu langsung saja mengalihkan perhatian mereka berdua. Mata Baekhyun segera melebar ketika disadarinya anggota lain dari Five Star berdiri tak jauh dari mereka. Bersandar pada dinding lorong dengan paras tampan dan postur tubuhnya yang tinggi. Sepasang mata datar namun kecil miliknya menatap Luhan dan Baekhyun dengan ekspresi bosan.
"Oh, Sehun." Luhan berseru. Baekhyun melirik sejenak ke arahnya dan melihat senyuman Luhan melebar. Kembali ia mengalihkan pandangannya ke sosok pangeran sekolah yang lain dan hampir tersedak dalam napas ketika mata mereka bertemu. Sepasang mata hitam kelam itu menatapnya tanpa berkedip. Dan Baekhyun merasakan paru-parunya mengecil. Ia merasa dingin tiba-tiba.
Selang beberapa waktu mereka dalam kontes tatap-menatap, akhirnya Luhan masuk ke tengah-tengah.
"Ada apa? Aku tak memeberitahumu dimana keberadaanku, tapi kau menemukanku secepat ini." Suara Luhan tiba-tiba saja mengusir rasa dingin yang melingkupi Baekhyun. Dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, paru-parunya kembali bekerja normal. Dan pemuda itu semakin lega ketika Sehun mengalihkan pandangannya ke sosok Luhan.
"Insting. Kris menyuruhku mencarimu. Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan." Ujarnya tanpa basa-basi, masih dengan nada datarnya. Malahan kali ini terkesan lebih dingin.
Dingin... Baekhyun hampir menggigil mendengarnya. Dapat dirasakannya Luhan meliriknya. Dari sudut matanya ia tahu sebuah kerutan tipis muncul di kening pemuda bersurai coklat terang itu. Tetapi hanya sejenak sebab Luhan mengalihkan perhatiannya kembali pada Sehun.
"Apakah penting?" Tanya yang paling tua. Baekhyun menoleh ke arahnya, dan sekali ke Sehun saat yang paling muda hanya menatap Luhan tanpa memberikan ekspresi lain. Tetapi mungkin itu sebuah jawaban karena sedetik kemudian Luhan mengerang.
"Kenapa kalian tak pernah meninggalkanku sendirian dari urusan seperti ini?" desahnya dengan helaan napas. Baekhyun bahkan bisa membaca sedikit nada lelah di dalamnya. Yang membuatnya meskipun tidak ingin, mengira-ngira apa yang sebenarnya mereka bicarakan.
"Kau yang paling tua di grup." sehun tak menolong dengan ucapan datarnya. Baekhyun nyaris geli mendengar pernyataan Sehun yang straight forward, membuat alis Luhan bergerak tak nyaman.
"Itu tak ada sangkut pautnya denganku. Dan lagi siapa yang membentuk grup bodoh begitu." Gumamnya sembari memanyunkan bibirnya. Sehun tak menanggapi dan Baekhyun merasakan pandangan tajam itu kembali beralih ke dirinya.
Pemuda kecil itu memutuskan untuk tidak mempedulikannya (meskipun sebenarnya ia sungguh tak nyaman) dan hendak berbalik untuk pergi ketika Luhan mencengkram bahunya. Bingung setengah terganggu karena kesempatannya pergi sedari tadi terus terhalang Baekhyun memiringkan kepalanya dan menatap Luhan. Koreksi, di wajah. Bukan di mata. Ia merasa tak akan pernah anggup menatap seniornya itu meski Baekhyun tak tahu mengapa.
"Ne, sunbaenim?" Tanyanya, nyaris kesal. Dilihatnya sudut bibir Luhan tertarik sedikit ke bawah.
"Perkenalan kita belum selesai. Lain kali kita bertemu lagi dan saat itu kau tak boleh memanggilku sunbaenim. Panggilan itu terlalu formal. Panggil aku hyung atau Luhan, arraseo?" Luhan memberi Baekhyun senyuman cerah sebelum kemudian berbalik menghampiri Sehun.
Kembali Baekhyun melongo untuk yang kesekian kalinya saat ia mengikuti kepergian Luhan dan Sehun yang masih sempat melirik ke arahnya sebelum kemudian mereka menghilang di tikungan, meninggalkan Baekhyun sendirian.
Pemuda bersurai hitam itu termenung sejenak. Memproses kejadian yang baru saja ia alami, ditolong oleh kakak kelas yang sekaligus salah satu dari lima bintang. Dan yang lebih mengherankan adalah Luhan ingin berteman dengannya.
Bukannya Baekhyun merendahkan diri, tetapi selama satu setengah tahun ia menimba ilmu di salah satu sekolah favorit ini, tak sekalipun ia mencari ataupun membuat teman. Beruntung baginya siswa yang lain juga tak berminat berteman dengannya. Mungkin saja Baekhyun terlihat membosankan, pemuda itu mengedikkan bahu. Daehyun sudah lebih dari yang ia perlukan.
...
Persis seperti dugaannya. Siang itu tak lama sebelum bel pulang berbunyi, langit berubah abu-abu dan menumpahkan bebannya. Hujan deras mengguyur langit Seoul dan melihat dari keadaannya, Baekhyun memastikan ia tak akan bisa pulang selama beberapa jam. Dalam arti lain, dirinya terjebak di sekolah untuk waktu yang mungkin cukup lama.
Merutuki sekali lagi ketidakberuntungan melupakan payung miliknya, Baekhyun hanya mampu menggigit bibir seraya melihat satu-persatu siswa sekolahnya pergi dengan payung warna-warni di atas mereka. Melirik ke sekeliling, didapati dirinya tinggal sendirian di bawah atap. Meskipun masih ada beberapa siswa yang tinggal di atap tak jauh dari tempat ia berdiri, Baekhyun lebih nyaman berada di sini daripada susah-susah bergabung dengan mereka. Walaupun udara dingin, pemuda itu berusaha menunggu dan berdo'a kepada hujan untuk cepat berhenti. Tetapi setelah beberapa lama ia berdiri membiarkan tubuhnya mulai menggigil dan hujan tidak mengabulkan do'anya, Ia memutuskan dengan berat hati untuk menunggu di dalam.
Sembari berjalan menyusuri lorong yang tadi ia lewati, Baekhyun menggerutu lirih mengingat Daehyun tidak bersamanya. Namja itu tiba-tiba mempunyai urusan mendadak yang tak jelas itu apa. Baekhyun mengira temannya itu berbohong, tetapi mengigat ia sangat mengenali seorang Daehyun. Baekhyun memutuskan untuk melepaskannya.
Meskipun begitu, tetap saja hatinya masih berat. Ditinggal sendirian di sini dengan dingin menemani dan kebosanan menyergapi. Gigi Baekhyun gemeletuk saat ia memeluk dirinya sendiri, bergumam menyuruh kehangatan tubuhnya tetap tinggal. Pemuda itu hanya berharap ia tidak terkena flu keesokan harinya karena kedinginan. Namja itu sungguh sensitif akan rasa dingin.
Berhenti sesaat, Baekhun pun menyadari ia tak punya tempat khusus untuk dituju. Biasanya bila ia sendirian tanpa Daehyun, pemuda bersurai hitam itu akan menghabiskan waktu di atap sekolah. Tapi tentu saja keadaan sekarang tak memungkinnya untuk kesana. Bahkan mungkin besok ia juga tak bisa ke tempat kesukaannya itu, sebab pastilah atap penuh dengan genangan air. Memikirkan itu membuat sudut bibir kiri Baekhun tertarik ke bawah.
Menghela napas, ia melangkah lagi. Sambil menggosok-gosok lengannya, Baekhyun berbelok pada tikungan dan menuju ke tempat loker berada. Ia ingin memastikan buku yang ia pinjam di perpustakaan tadi, yang mana mengingatkannya dengan pertemuan duo bintang, masih berada di sana.
Menyusuri dinding-dinding rak besi yang sudah sangat dikenali pemuda berkacamata tersebut, Baekhyun memutari sebuah loker ke bagian terakhir dimana loker miliknya berada dan langkahnya terhentak tiba-tiba ketika ia berhadapan, bertatap muka dengan seorang gadis.
Hening. Mata Baekhyun melebar karena terkejut. Dan gadis mungil di hadapannya pun tampaknya berlaku sama karena ia melihat mata sipitnya membesar. Terpaku, mereka terjebak dalam kontes tatap-menatap sebelum kemudian Baekhyun berkedip. Alis terangkat.
"Ah... Hai." Sapanya kemudian, ragu-ragu. Gadis manis didepannya membisu sesaat, sepertinya tak menyangka Baekhyun akan menyapanya. Kedua mata almond-nya masih lebar, namun sedetik kemudian kembali normal saat senyum kecanggungan menggantikan ekspresi kagetnya.
"Uhm, hai juga..." balasnya sedikit tak yakin. Dirasakannya suasana mulai terasa tak enak dan mendorong Baekhyun untuk hanya melewati gadis itu dan berlalu. Tetapi ia sudah terlanjur terlebih dulu menyapanya ( yang mana ia sesali kemudiaan).
"Apa yang kau lakukan di sini?" Angkat bicara Baekhyun memilih bertanya. Dilihatnya mata gadis itu mengedar sejenak saat tawa kecil yang terdengar setengah dipaksa keluar dari mulutnya. Ia kelihatan tak nyaman dan Baekhyun merasa dirinya tak sopan.
"Ah. Itu... Aku baru saja mengambil barang yang tertinggal," katanya kemudian, nada rendah dan kerutan tak yakin menghiasi keningnya. Baekhyun langsung tahu bahwa gadis itu berbohong.
"Tapi ini loker siswa laki-laki." ucapnya dengan ekspresi datar, meskipun ia berusaha bicara tanpa menggeretakkan giginya. Baekhyun segera merutuki mulutnya yang bersuara lebih dulu. Dan ia juga heran mengapa dirinya yang mayoritas memilih diam tiba-tiba memulai percakapan.
Tubuh gadis di depannya menegang sesaat. Tetapi tawa rendah yang keluar darinya meringankan ketegangan di udara. Kedua tangan gadis itu sibuk bermain dengan ujung hem-nya dan entah Baekhyun tahu ia hanya mencoba untuk menenangkan diri.
"A-aku tahu. Pintu keluar lebih dekat dari tempat ini, makanya aku lewat," Gadis itu berbicara seraya menundukkan pandangannya, yang jelas sekali membuat kening Baekhyun mengerut sejimpit.
Akhirnya tak ingin menemukan kata-kata untuk menimpali, Baekhyun hanya mengangguk dan beranjak melewati gadis yang ternyata tak terlalu pendek darinya tanpa berkata apapun.
Baru saja beberapa langkah ia melewatinya, tiba-tiba gadis berambut ikal itu memanggilnya. "Hey,"
Baekhyun sontak berhenti dan matanya hampir melebar. Ia sungguh tak mengira dirinya dipanggil kembali. Dan otaknya serasa mencacinya karena membuat kesalahan dengan menyapa gadis itu, hingga ia harus membuat percakapan untuk kedua kalinya. Meskipun kakinya gatal ingin melarikan diri dan menghiraukannya, Baekhyun tetap berbalik juga.
Ia ingin bilang 'Ya?' dengan ekspresi teriritasi dan menakuti gadis itu supaya dia takut dan meninggalkannya sendiri. Namun yang Baekhyun lakukan hanya diam serta dengan mimik datar pada wajah mungilnya.
Dilihatnya gadis itu menjilat bibir bawahnya yang merona pink. Mata coklat permen milik gadis itu melirik sekeliling sesaat, tampak ragu. Setelah agak lama ia menunggu gadis itu untuk menyuarakan dirinya, Baekhyun merasa ia hanya dipermainkan dan akan berbalik lagi saat telinganya menangkap suara kecil milik si permen coklat (Ya. Baekhyun akan menamainya demikian sebab ia tak tahu namanya dan Baekhyun tidak berniat untuk bertanya pula).
"Kau benar-benar tak mengenalku, Baekhyun-ssi?" Suaranya lirih, tapi Baekhyun masih bisa mendengarnya dengan jelas dan ia terbelalak sesaat.
Gadis itu tahu namanya? Mulutnya terbuka sedikit. Ditatapnya gadis mungil pemilik mata permen di depannya dengan mata menyipit. Bagaimana bisa ia mengenal Baekhyun?
Pemuda itu memusatkan perhatiannya ke sosok di hadapannya. Tadi ia tak terlalu peduli, namun kali ini Baekhyun benar-benar mengamatinya. Gadis itu pendek dan mungil, sama seperti dirinya (Baekhyun mengusir kalimat terakhir dari pikirannya. Jelas ia tak mau disamakan dengan postur tubuh seorang gadis). Dengan wajah tirus dan sepasang mata almond seperti permen coklat. Hidung kecil dan bibir seperti buah pir (Baekhyun mengerutkan kening. Ia tidak tahu mengapa bisa ia menyamakan bibir kecil begitu dengan buah pir. Bukankah buah pir itu besar?), dagu runcing dan rambut ikal yang melampaui bahu kecilnya. Dilihat dari penampilannya, jelaslah ia seorang gadis yang manis, terkesan imut malahan.
Namun bukan itu yang menjadi masalah. Baekhyun penasaran kenapa bisa gadis itu mengetahui namanya. Padahal seingat pemuda kecil itu, ia tak pernah sekalipun mengenal seorang gadis sepertinya. Bahkan Baekhyun saja tak pernah dekat dengan wanita. Mungkinkah ia teman sekelasnya?
"Apa maksudmu? Bagaimana kau bisa tahu namaku?" daripada menjawab pertanyaannya, Baekhyun justru balik bertanya. Nadanya rendah dan ia bisa melihat mata gadis itu terbelalak sejenak. Menampakkan pemandangan penuh akan mata permen dengan iris coklat bersinar sebelum kemudian kembali ke semula. Si permen coklat terbungkam. Dan Baekhyun merasa sedikit penasaran.
"Apakah kau teman sekelasku?" Ia maju selangkah, bertanya lagi ketika gadis itu tak menjawab pertanyaannya semula. Didapatinya sepasang mata almond itu menatapnya sesaat, seperti mencari sesuatu. Dan Baekhyun cukup terheran ketika ia melihat suatu emosi melintas di sana. Hanya sebentar dan sulit untuk ia tangkap apa itu.
Mereka masih saling menatap dan Baekhyun akan membuka mulut lagi ketika mata gadis itu mematahkan kontak mata mereka. Dilihatnya mata almond yang nyaris sempurna itu berpindah dan meskipun gadis itu masih melihatnya, Baekhyun merasa mata itu melihat ke arah lain. Atau lebih tepatnya melihat ke sesuatu di belakang punggungnya.
Sebelum ia sempat menoleh untuk melihat apa yang menangkap perhatiannya, mata gadis itu melebar perlahan hingga mata permennya terlihat seluruhnya. Ia mengerutkan kening ketika dilihatnya samar-samar kepanikan menyelingkupi iris terang itu, membuatnya redup. Dan saat Baekhyun hendak bertanya apa yang terjadi, gadis itu sudah berbalik dan setengah berlari meninggalkannya.
Baekhyun terbungkam. Atau lebih tepatnya ia merasa begitu. Jujur, pemuda bersurai hitam itu agak bingung dengan apa yang barusan ia alami. Walaupun ada sesuatu yang aneh menggigit ujung benaknya, Baekhyun hanya mengedikkan bahu dan berbalik, hendak pergi ketika tiba-tiba wajahnya menubruk suatu benda yang keras.
Mengaduh 'Ow' karena tubrukan yang cukup kuat dan sungguh tiba-tiba, Baekhyun mundur selangkah, menundukkan kepalanya dan menutup mata seraya memegang hidungnya terasa agak perih. Ia masih mendengar suatu suara di latar belakang, seperti suara benda jatuh. Namun ia tak mempedulikannya dan lebih memilih mengurus dirinya terlebih dulu.
Menggumam tak jelas, Baekhyun masih mengelus-elus hidungnya. Ia tak ingat membelakangi dinding sebelumnya. Yang ia ingat, dirinya berdiri di tengah lorong tanpa apapun di belakangnya. Tapi bila begitu mengapa ia bisa menabrak dinding?
Baekhyun berhenti mengusap wajahnya dan sontak membuka mata. Namun yang menyambut pandangannya adalah... Keburaman. Cemas saat pandangannya hanya dipenuhi titik-titik kabur yang memusingkan kepalanya, Baekhyun menyadari ketidakberadaan sepasang lensa yang selalu bertengger di hidungnya. Wajahnya memucat seketika.
"Oh, tidak..." Bisiknya dengan mata terbelalak. Baekhun langsung berjongkok dan dengan panik meraba-raba lantai di sekitarnya. Bibirnya gemetar saat ia mencoba menenangkan dirinya seraya terus berusaha mencari keberadaan benda penolong penglihatannya.
Tenang. Tenangkan dirimu, Byun baekhyun. Semua akan baik-baik saja. Kaca matamu tak akan ke mana-mana. Baekhyun terus membatin kalimat-kalimat untuk meredakan kepanikannya dan meraba ke depan saat tangan Baekhyun menyentuh sesuatu.
Matanya bersinar sesaat, tetapi segera meredup ketika alisnya mengkerut. Itu bukan kaca matanya. Ia mengalihkan pandangannya ke depan untuk melihat benda apakah itu tetapi yang Baekhyun lihat hanyalah titik-titik hitam yang mengabur pada satu tempat. Baekhyun nyaris menangis karena kehilangan pembantu penglihatannya.
Tangan gemetar, ia meraba-raba lebih ke depan dan tangannya bertemu dengan sesuatu seperti material kain. Menjilat bibir sekali, Baekhyun mendapatkan firasat dirinya tahu apa itu. Tetapi ia menggerakkan tangannya untuk menyentuh kain itu dan tak terlalu kaget ketika ia menemukan dirinya berpegang pada sesuatu yang berisi.
Sepasang kaki.
Baekhyun sedang memegang kaki seseorang, ia yakin itu. Meskipun ia tak terlalu kaget, tetapi tubuhnya menegang hanya sedikit. Jantungnya mulai berdebar saat otaknya berlari ke sana kemari memikirkan semua kemungkinan.
Apakah ia sedang di-bully? Itulah salah satu dari sekian pertanyaan di otaknya dan sebelum ia mampu bereaksi, sepasang tangan memegang kedua lengannya kuat dan menariknya berdiri dengan satu hentakan.
Kaget, Baekhyun menjerit kecil saat kakinya dipaksa berpijak pada lantai tiba-tiba dan ia nyaris tersandung di kakinya. Tetapi sepasang tangan besar yang melingkari lengannya mencengkramnya dengan kuat, menyeimbangkan dirinya untuk sesaaat sebelum melepaskan Baekhyun.
Masih agak shock dengan apa yang terjadi, hal pertama yang Baekhyun lakukan adalah mememegangi lengannya. Diusap-usapnya bagian lengan yang tadi dicengkram dengan sangat kuat. Bahkan meskipun benda itu sudah melepaskannya, pemuda itu masih bisa merasakan tangan besar itu masih melingkupinya. Ia menggigil sesaat.
Tubuhnya kembali menegang, ketika dagunya ditarik oleh sesuatu. Memaksa dirinya untuk mendongak dan belum sempat ia berkata apapun, sesuatu menggelitik pipinya dan bertengger di atas telinganya. Saat itulah penglihatannya kembali dan matanya bertemu dengan sepasang mata elang.
Baekhyun membeku di tempat. Mulutnya menganga saat ia terbelalak menatap wajah tampan seorang lelaki yang cukup familiar. Rambut hitam keabuan dengan poni ditarik ke belakang dan dijepit penjepit rambut, wajah oval dengan hidung besar dan sepasang mata elang yang menatap tajam. Yang lebih menonjol lagi adalah alis yang sangat tebal bertengger di atas kedua matanya, membentuk garis lurus menemani ekspresi dinginnya.
Baekhyun cukup mengetahui siapa orang itu, tetapi ia tidak mengetahui bila 'orang itu' sangat tinggi. Begitu tingginya ujung kepala baekhyun hanya mencapai bahunya dan ia harus lebih mendongakkan kepala untuk melihatnya dengan jelas. Ia belum pernah bertemu dengan orang setinggi Kris sebelumnya.
Kris...
Baekhyun menelan ludah. Salah satu dari lima bintang, pangeran sekolah mereka yang ternama. Dengan latar belakang tak jauh dari Luhan, Kris terlihat sungguh sempurna dari dekat. Meskipun Baekhyun merasa sedikit deja vu dengan ekspresi Kris yang mirip dengan Sehun. Ia sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan anggota lain dari Five Star.
Tuhan... Nasib apakah yang kumiliki hari ini sehingga aku diharuskan bertemu dengan tiga bintang sekaligus? Baekhyun menggigit bibir bawahnya. Apakah ia harus menganggap ini merupakan keberuntungan ataukah kesialan baginya? Baekhyun memilih diam daripada menjawab.
Sepertinya Baekhyun kehilangan fokus dan mungkin Kris menyadarinya. Sebab kemudian Baekhyun merasakan sesuatu dingin mengusap pipinya, menyingkirkan beberapa rambut yang jatuh menutupi penglihatan. Baekhyun langsung memusatkan perhatiannya pada benda yang membuat bulu roma di pipi Baekhyun berdiri sesaat.
Jemari Kris benar-benar dingin. Baekhyun menyadari sembari menggigil, melawan keinginannya untuk mundur menjauh dari rasa dingin yang menyesap ke tulangnya.
"Kau tidak apa-apa?" Sekali lagi Baekhyun dihantam deja vu. Namun sebelumnya suara jernih yang mendampingi kata-kata itu, kini adalah suara dalam dan agak serak. Layaknya lelaki di hadapannya berbicara lewat tenggorokan dengan gigi terkatup.
Terkejut, Baekhyun hanya mampu menganggukkan kepalanya pelan. Ia pun mulai menyadari kemudian dengan posisi mereka yang sangat dekat. Baekhyun menelan ludah saat sebutir keringat di balik poninya memaksa ingin meluncur. Wajah Kris benar-benar dekat.
Mengangguk seolah puas, Kris mundur selangkah menjauh darinya. Dan tiba-tiba saja Baekhyun bisa bernapas dengan lancar, yang membuatnya sedikit terheran. Sejak kapan napasnya tertahan? Namun belum sempat ia memikirkannya Kris menepuk bahunya seraya bergumam tak jelas. Lelaki jangkung itu bergerak melewatinya dan pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.
Terbungkam sejenak, Baekhyun tersadar beberapa detik kemudian bahwa ia lupa berterima kasih pada lelaki bertubuh tinggi itu akan kaca matanya namun saat ia berbalik dan membuka mulut. Kris telah menghilang.
Bingung, Baekhyun melangkah terburu-buru menuju ujung lorong tikungan yang mestinya dilalui Kris. Ia melongok, mengedarkan pandangannya ke kiri, ke kanan dan ke sekeliling. Tetapi tak dilihatnya tubuh jangkung yang sangat menarik perhatian itu.
Mendesah, Baekhyun berbalik arah dan meneruskan niat awalnya menghampiri loker miliknya. Sembari bergumam tentang sesuatu, ia merogoh saku dan meraih kunci mini yang kemudian langsung ia masukkan ke lubang kunci.
Setelah memutar-mutarnya beberapa saat, Baekhyun mendegar suara 'klik' dan menghela napas lega lalu membuka pintu lokernya dengan cepat dan menilik ke dalam. Tersenyum kecil saat didapatinya buku yang ia pinjam pagi ini masih utuh.
Diambilnya buku bersampul warna oranye tersebut dan hendak menutup pintu lokernya saat sesuatu jatuh dari sela-sela buku. Mengerutkan kening terheran, ia membungkuk dan mengambil benda yang ternyata sebuah sobekan kertas.
Kertas itu tampak lusuh dan tua, seperti sudah lama sekali. Tetapi permukaannya masih bersih meskipun berkeriput di sana sini. Di bagian tepinya terdapat bekas sobekan yang agak menguning, dan ada bercak-bercak coklat kemerahan di beberapa tempat.
Sesaat Baekhyun hanya terdiam mengamati benda itu. Kerutan bingung tampak saat alisnya terangkat sedikit. Ia mengalihkan pandangannya ke buku bercover oranye cerah dan masih tampak baru di tangan kirinya dan kembali lagi ke kertas di tangan kanannya.
Mengedikkan bahu, Baekhyun menyelipkan kertas itu ke dalam buku dan menutup lokernya. Setelah menguncinya, ia memasukkan kunci bersama buku fiksi ke dalam tas dan berbalik pergi.
Hujan masih turun meskipun tak sederas tadi, Baekhyun mengetahuinya ketika ia keluar dari ruang loker dan melewati jendela lobi yang berembun. Tapi meskipun begitu, ia masih tak berani untuk pulang sekarang.
Matanya melirik ke sekeliling dan menyadari lingkungannya menjadi semakin redup. Pastilah searang sudah hampir jam tiga. Walaupun Baekhyun tak memakai jam tangan, ia masih bisa memperkirakan waktu dari sinar matahari yang semakin berkurang karena selain senja mulai datang, awan kelabu juga menutupinya dari kekuasaannya.
Melihat dari hujan yang turun tak terlalu deras, Baekhyun memprediksi hujan akan berhenti sekitar tak lebih dari tiga puluh menit lagi. Mendesah karena kesekian kalinya ia menyesal tak membawa payung, Baekhyun melangkah melalui pintu keluar yang besar.
...
Matahari masih memancarkan sinarnya meskipun barat perlahan menariknya ke peraduan, ditemani oleh senja yang mewarnai langit dengan cat indahnya yang berwarna-warni. Awan-awan dengan warna kelabu lembut masih menyelimuti angkasa dan bumi masih basah oleh air matanya beberapa jam lalu. Sore telah datang dan sebentar lagi petang tiba.
Baekhyun berjalan menyusuri trotoar untuk pejalan kaki, dimana ia berdesal-desal dengan pejalan kaki lainnya. Ia sudah pulang sedari tadi dan berganti baju. Seperti dugaannya, ibu Baekhyun marah karena ia pulang terlambat dan melewatkan makan siang (yang merupakan kebiasaan penting bagi keluarganya). Namun Baekhyun memberikan alasannya dan meskipun ibunya tak jadi marah, pemuda bersurai hitam itu tetap dihukum dengan menyuruhnya berbelanja.
Berbelanja...
Baekhyun menendang sebuah kerikil di hadapannya dengan malas. Sudut bibir kanannya tertarik ke bawah ketika diingatnya ancaman ibunya jika ia tak menurut, maka uang jajannya akan dikurangi.
Mendengus, Baekhyun sama sekali tidak merasa kesal. Pemuda itu sangat menyayangi ibunya dan akan menuruti segala keinginan wanita muda berparas cantik yang telah melahirkannya itu. Bahkan jika uang jajannya dikurangi pun Baekhyun tak mempermasalahkan, sebab ia juga tak jajan banyak. Hanya saja ia tak suka bila dirinya diharuskan keluar sore ini, dimana semua orang berhamburan di jalanan baik untuk bermain ataupun pulang dari segala urusan di kantor. Tapi bagaimanapun juga, pemuda itu tak bisa menolak ibunya.
Menyimpan gerutuan di dalam hati, Alisnya mengerut sedikit ketika ia melihat banyaknya pejalan kaki dan kendaraan yang lalu lalang sore ini. Ingin rasanya ia berlari pulang saja daripada harus berada tengah-tengah kerumunan yang lama-lama semakin membuatnya sesak. Tetapi Baekhyun tetap saja melangkah maju dengan sesekali menghindari tabrakan dengan orang lain. Heck, ia bahkan berusaha untuk meminimalis kontak secara langsung dengan mereka.
Setelah beberapa kali menggerutu dan menahan napas, akhirnya Baekhyun sampai juga di tempat tujuan, sebuah toko lumayan besar yang menjual berbagai jenis kebutuhan rumah tangga. Baik dari peralatan hingga ke sayurmayur. Mekipun jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah Baekhyun, butuh energi lebih serta keinginan kuat untuk bisa ke sini bagi seseorang seperti dirinya yang menyukai rumah lebih dari apapun.
Jam sudah menunjukkan pukul lima lebih saat Baekhyun tiba di ini, ia juga menyadari sekelilingnya yang berubah semakin gelap. Sepertinya petang datang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Dan mengingat dirinya diwanti-wanti untuk berbelanja hanya sebentar, Baekhyun berpikir dirinya butuh waktu lebih daripada yang dipesan ibunya.
Mendesah, ia bersiap-siap akan masuk ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara keras di belakang, seperti suara tumbukan benda keras. Menoleh karena terkejut, Baekhyun membeku di tempat ketika matanya terbelalak melihat sesuatu yang melayang cepat ke arahnya.
Mulut Baekhyun terbuka, hendak berteriak. Tetapi suaranya tak keluar, bahkan tenggorokannya terasa sakit. Kakinya kaku, tak bisa bergerak dan otaknya terasa kosong saat dilihatnya sesuatu itu terbang semakin dekat dan dekat ke arahnya, siap menghantam tubuhnya.
Sedetik sebelum benda itu mampu menyentuh wajahnya, sesuatu yang lain menarik Baekhyun cepat ke samping dan tiba-tiba saja pandangan Baekhyun tertutup. Masih terpaku, telinganya mendengar suara keras seperti kaca pecah dan teriakan orang-orang yang panik.
Tercenung, Baekhyun tak sadar oleh sepasang tangan yang terselip ke pinggangnya, menahan dan mendekapnya erat. Suara teriakan di belakang berganti dengan gumaman dan bisikan-bisikan keras serta beberapa percakapan yang terliputi dengan kecemasan.
Tersadar, Baekhyun merasakan jantungnya berdebar keras. Begitu keras dan cepatnya benda itu bertalu-talu di dalam dada hingga pemuda itu takut ia akan mati selanjutnya karena komplikasi jantung. Tubuhnya gemetar hebat dan kedua kakinya melemas seketika, yang membuatnya langsung memegang benda apapun di dekatnya untuk menahan tubuhnya.
Kepalanya terasa pusing dan pikiran Baekhyun masih terguncang dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Ia tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi bila benda itu benar-benar mencapai wajahnya dan Baekhyun bahkan tidak sanggup memikirkannya.
Mata berkaca-kaca dan sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya, Baekhun mengencangkan genggamannya terhadap sesuatu yang lembut dan membenamkan kepalanya ke depan. Menahan tangisan dan air mata yang hampir menguasainya, Baekhyun menggigit bibir untuk menolak segala kata yang mendesak keluar dari tenggorokannya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam.
Tetapi usahanya gagal ketika napasnya tersedak dan bibir Baekhyun terbuka saat isakan keluar langsung dari mulutnya. Tak kuasa lagi menahan diri, akhirnya pemuda itu membiarkan air matanya keluar membasahi pipinya seraya membenamkan kepalanya ke sebuah ceruk dan terisak di sana, membiarkan perasaan mengambil alih.
Sembari ia menangis mengeluarkan ketakutannya, sebuah tangan bergerak dari pinggangnya dan mengelus-elus rambutnya perlahan, seperti menenangkan. Sedangkan yang satunya masih melingkari pinggangnya dengan erat, menyokong tanpa niat untuk melepas.
"Ssstt, sssts. Tenanglah. Semua baik-baik saja," Sebuah suara, rendah dan tenang tapi anehnya terasa familiar, berbisik tepat di telinga Baekyun. Menyentakkan sebuah isakan dari mulutnya ketika suara itu mengirimkan sengatan listrik hingga ke tulang, membuatnya menggigil hebat.
Mengeratkan genggamannya, Baekhyun memejamkan mata dan menangis lebih banyak. Ia lupa akan segala hal. Kejadian yang membuatnya shock dan menjadi alasannya menangis, penyebab dirinya harus keluar dari rumah, permintaan ibunya serta tujuan awalnya berada di sini selain berpegangan layaknya hidup dan mati kepada seseorang yang menyangganya.
Mungkin itulah sebabnya ketika kemudian dirinya membuka mata, ia berdiri menatap kosong di depan rumahnya. Tubuh masih utuh meskipun matanya sembab dan bibirnya kelu. Tak ingat kapan ia tiba di rumahnya dan berpikir apakah semua kejadian tadi hanyalah ilusi belaka.
Hanya saja ia tak bicara sepatah pun saat ibunya berlari menghampiri, wajah tak menyandang ekspresi apapun selain kepanikan. Meskipun merasa kepalanya sedikit hampa, pemuda itu masih bisa mengenali pelukan hangat ibunya. Ia pun bisa merasakan ketenangan yang mengusap-usap kepala. Dan hatinya mulai terasa membaik ketika bisikan-bisikan lirih dari sang ibu menjernihkan kepala. Dan saat itu untuk pertama kalinya Baekhyun tak bisa membalas kekhawatiran ibunya dan hanya berkata ingin istirahat.
Ia melewatkan makan malam waktu itu. Menolak untuk keluar dan memilih berdiam di kamar. Walaupun pintu tak dikunci, Baekhyun berterima kasih karena ibunya punya kebijakan untuk membiarkannya menenangkan diri. Dan malam itu Baekhyun tertidur tanpa mimpi.
To be continued...
