...
Reruntuhan bangunan. Asap yang membumbung ke langit. Burung-burung yang terbang menjauh, berkoak dengan peringatan. Hawa mencekam dan penuh ketegangan. Tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Nafas berat yang penuh akan antisipasi. Genggaman erat pada tongkat sihir masing-masing. Dan berpasang-pasang mata yang membelalak ketika Hagrid mengangkat tubuh tak berdaya itu di kedua tangannya yang gemetar.
Inikah akhirnya?
Mereka bertanya-tanya, membatin tentang akhir yang sesungguhnya dari sebuah pertarungan sengit antara dua kubu. Menggigit bibir dan menahan air mata. Ledakan amarah yang membuncah dan rasa ingin membalas yang begitu besar. Ketidakterimaan akan sesuatu yang tidak mereka harapkan.
Harry Potter telah meninggal.
Apakah ini akhirnya?
Lengkingan tawa Bellatrix membelah sunyi. Tawa-tawa puas di wajah-wajah angkuh yang menjunjung tinggi kemurnian dan idealisme tuan mereka. Narcissa Malfoy ada di tengah-tengah orang-orang itu. Kedua matanya bergerak-gerak mencari di manakah sosok anaknya. Di kubu yang berlawanan dengan pakaian hitam-hitamnya yang tak rapi dan cemerlang seperti biasa, anaknya memandang dalam kekosongan dan rasa kehilangan yang pahit. Narcissa merasa kecut sendiri saat melihatnya. Ia tidak sabar untuk memeluk dan menghibur anak satu-satunya yang ia miliki. Lucius Malfoy menggenggam tangannya. Wajahnya sendiri terlihat enggan dan ingin segera beranjak pergi dari kerusuhan.
"Bergabung dengan kami!"
Penyihir-penyihir yang berdiri di atas puing-puing Hogwarts menggeretakkan gigi dan bertahan. Beberapa orang sudah menyusup pergi, menerima kepuasan yang terpampang di wajah Lord Voldemort yang melenggang dengan sorot mata berkilat-kilat.
"Bagus sekali, Draco," puji Pangeran Kegelapan saat pemuda itu menuruti panggilan ibunya yang menyuruhnya menyeberang. Draco hanya mengangguk kecil, tidak mengangkat wajah dan segera menghambur ke kedua tangan ibunya. Mengusap kedua matanya sebelum berdiri tegak di samping kedua orang tuanya. Ia tidak berani melihat ke satu tempat, dimana tatapan Hermione Granger lebih terasa, lebih menusuk.
"Harry Potter sudah lenyap! Apalagi yang kalian harapkan! ?"
Orang-orang yang bertahan itu hanya menarik nafas dan mengepalkan tangan. Minerva yang berdiri di barisan paling depan hanya bisa menengadah dan berharap untuk saat-saat yang terakhir ini. Tentang harapan yang jauh di ujung sana. Harapan Dumbledore dan semuanya. Hagrid mengeratkan pegangannya di tubuh Harry, ikut memikirkan harapan. Madam Pince, Madam Pomfrey, Profesor Flitwick, Pomona Sprout, bahkan Argus Flich yang hanya bisa melihat dari kejauhan juga memikirkan harapan yang sama.
Jika harapan itu mencari saat yang tepat untuk muncul,
maka inilah saat yang paling tepat.
"Tak ada lagi yang mau?" Penyihir hitam mengulang pertanyaan. Masih bernegosiasi dengan hati yang baik. Akan tetapi, semua orang tahu betapa hal itu adalah palsu dan sesungguhnya mereka hanya ingin membuktikan diri dengan hebat.
Dan mereka pun dibuat terheran-heran ketika seorang gadis berjalan dari tengah-tengah kubu putih seolah-olah dia memang berada di sana dari dulu. Siswa-siswa Hogwarts yang masih dipenuhi emosi seolah ingin menahannya, namun aura di sekitar gadis berjubah merah itu terasa berbeda dan lain. Dan mereka pun mau tak mau mempersilahkan jalan.
Dan ada lagi seseorang yang lebih tinggi dengan kepangan rambut yang panjang berjalan dari arah samping. Entah bagaimana ia masih bisa tersenyum penuh pesona. Entah bagaimana pakaiannya masih terlihat berkilau tanpa noda. Mereka terheran-heran akan sikap dan penampilan pemuda itu. Berpasang-pasang mata mengikuti langkahnya yang kemudian berada di belakang sang gadis berjubah.
Tidak ada siswa yang berpikir bahwa mereka mengenal dua orang itu.
Tapi mungkin mereka lebih mengenal dua orang yang selanjutnya.
Pansy berlari tanpa memedulikan orang-orang di depannya. Kedua mata hitam kebiruannya berbinar-binar dan senyumnya melebar di wajah.
"Raja! Jack!" pekiknya girang. Melompat-lompat seperti kelinci ke arah Jack yang meliriknya dengan sorot mata penuh humor. Jack mengangkat tangannya yang dibungkus gloves putih, mengusap rambut hitam gadis itu.
"Lama tak jumpa, Pansy."
Hermione melangkah dengan sikap yang lebih sopan walaupun tergesa-gesa. Ron menatapnya sedikit aneh dan kesal. Ia hendak menarik Hermione, namun gadis itu sudah terlalu jauh sebelum ia sempat mengangkat tangannya.
"Hermione Granger! Apa yang kau lakukan!?"
McGonnagal meletakkan tangan di pundak Ron, menggelengkan kepala penuh isyarat. Ron menatapnya tidak mengerti dan terlihat ragu untuk sesaat. Ia terpaksa diam di tempatnya lagi.
Voldemort mengerutkan hidung ketika Hermione Granger keluar dari barisan dan berdiri di tengah-tengah. Beberapa orang mulai tertawa meledek terhadap gadis kelahiran muggle itu. Apa dia berpikir kalau mereka menawarkan muggle-born untuk masuk ke kubu mereka? Lucu sekali.
Akan tetapi, Hermione bahkan tidak melihat ke arah Voldemort. Matanya bersinar ketika melihat gadis berambut hitam dengan jubah merah akan melewatinya. Ia menaruh tangan di dada dan menundukkan kepalanya.
"Yang mulia."
Sang Raja memang tidak berhenti, namun gadis itu berkata, "lama tidak bertemu, adikku."
"Benar, Yang mulia," jawabnya senang. Jack dan Pansy melihatnya sambil menahan tawa. Hermione hanya bisa mendelik dan ikut berjalan di samping Pansy, di belakang Jack.
"It has been a long time, hasn't it?"
Jack tersenyum santai saat mengucapkannya.
"Dan inilah hari untuk membayar semuanya."
Einen Kleird hanya diam.
Untuk Albus Dumbledore yang sudah merawat anak itu
dia akan membalas semua jerih payahnya.
xxx
Ujung jubah merahnya bergoyang bersama irama langkahnya. Rambut panjangnya yang terurai bebas juga bergoyang pelan di punggungnya. Langkahnya tidak goyah dan tidak gemetar. Selalu seperti itu dan akan terus seperti itu. Jack juga akan berjalan seperti ini. Adik-adiknya akan berjalan seperti ini.
Voldemort melihat dari kejauhan, ketika 4 orang itu berjalan mendekat. Kayu yang menjadi tongkat sihirnya ia pegang dengan keangkuhan sebagaimana ia mengangkat dagu dan menelisik dengan mata merahnya.
Mereka menunggu.
Dan menunggu.
Kemudian, gadis itu berhenti. Hanya terpisah dua langkah di depannya. Pemuda berambut kuning cerah melewati dan dengan jarak dua langkah berdiri di sampingnya. Si darah lumpur mengacuhkan tatapan marahnya saat gadis itu juga berhenti di sampingnya. Si anak Parkinson berdiri di belakangnya. Dan pengikutnya mengira seolah tuan mereka tengah berada dalam bahaya.
"Tuanku!" Dan seperti kalelawar mereka menerjang. Hermione menghentakkan kedua tangannya dan orang-orang itu terhempas kembali ke garis mereka sebelumnya. Gadis itu nyaris meloncat kegirangan.
"Kembali...," gumamnya. Melihat tangannya dengan sorot mata tidak percaya.
Pansy mendengus, "Dasar pamer."
Sudah cukup. Voldemort tidak menyukai sedikitpun tingkah tak masuk akal 4 orang itu. Ia menggeram dan mendesis. Hendak menghardik terutama darah lumpur yang terlalu dekat lebih dari yang ia tolerir itu. Akan tetapi, saat itu ia tak sengaja menangkap sesuatu dari sudut matanya.
Mungkin dia mengenalnya.
Karena sosoknya entah bagaimana... karena auranya entah bagaimana terasa nostalgia dan mengingatkannya akan masa lalu. Karena itulah, ia diam dan menatap. Kedua mata merahnya terpaku pada wajah yang tersembunyi di balik jumput-jumput rambut hitam.
Dan gadis di hadapannya itu akhirnya mengangkat wajah.
Walaupun rambut yang membingkai wajah itu berbeda, namun Voldemort selalu tahu.
Wajah itu...
Mungkin dia mengenalnya.
Karena, dulu...di suatu masa yang sudah berlalu itu,
wajahnya juga mirip sepertinya.
Mungkin dia memang mengenalnya.
"Hello, father."
.
.
Atau tidak.
Ataukah memang dia mengenalnya?
Seseorang pasti bisa menjawabnya.
Namun,
Lord Voldemort hanya bisa terperangah.
Siapakah gadis itu?
Seketika itu juga,
seraut wajah yang tertimbun di dalam salju kenangan
terlintas dan menghantui.
xxx
Mereka akan selalu mengingatnya.
Ketika mereka saling bertatapan di antara murid-murid yang berlalu-lalang. Rambut putih panjang yang begitu menarik perhatian. Tatapan tajam pemuda itu yang mungkin saja terlalu kentara dan terasa. Dan gadis berambut putih itu pun meliriknya dari sudut mata. Iris hijau pucat yang menghantarkan dingin. Dan Tom Riddle pun terpana olehnya.
Gadis itu adalah seseorang...yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Yang perlahan menjadi ambisinya.
Menjadi sasaran sifat posesif yang bersemayam di balik mata kelamnya.
Gensira Albatross.
xxx
xxx
.
.
Ini adalah kisah tentang keempat orang itu.
Tentang dia yang tetap tersenyum dan menjadi wadah Roh Api.
Tentang dia yang berpaling dari segalanya dan menjadi wadah Roh Tanah.
Tentang dia yang menyimpan dendam dan menjadi wadah Roh Air.
Tentang dia yang tidak memihak siapapun dan menjadi wadah Roh Udara.
Ini adalah kisah tentang kedua orang itu.
Tentang dia yang obesesif dan posesif.
Tentang dia yang dingin dan tak tertebak.
Dan kemudian
salah satu dari kedua orang itu
akan terhubung dengan apa yang ada di masa depan nanti.
xxx
xxx
.
.
.
Darah Baskerville
Rozen91
Harry Potter © J. K. Rowling
Pandora Hearts © Jun Mochizuki
sequel of Four Souls
bisa dibaca terpisah #udah kayak iklan aja :x
tapi, untuk mengetahui apa itu wadah Roh, baca Four Souls dulu,,, (v.v) #ya elah,, sama aja dong!
.
.
xxx
end of the prologue
