disclaimer: naruto © masashi kishimoto

note: maaf saya lagi-lagi iseng. maaf.


Jangan pergi. Di sini saja.

Sasuke menggeleng dengan kepala terbenam di lipatan bahu. Jemarinya kian erat mendekap siluet perempuan yang gemetar dipelukannya. Lidahnya kelu untuk membisikan penolakan yang, tentu saja, akan melukai keduanya.

Sakura, dengan resah dan gemetar, mencoba menyusuri punggung dan mengusapnya dengan lembut, seolah-olah tengah merekatkan sepotong demi sepotong bagian Sasuke yang hilang dan lenyap dibasuh waktu. Pertanyaan kenapa terlalu sering diumbar dan Sakura tak perlu menerka dua kali untuk, sekian kali, dibalas dengan alasan yang sama, ia menutup wajah lewat bahu Sasuke yang lebar dan hangat.

Kapan kau akan pergi, lagi? Tidak ada yang menjawab pertanyaan Sakura bahkan bermenit-menit sesudahnya. Sasuke hanya melonggarkan rengkuhan dan menatap Sakura dengan permohonan.

Konoha cuma sebentuk rehat kecil di antara gemuruh ledakan peperangan.

Pandangan Sakura mulai kosong. Tak pernah ada kata mudah untuk perizinan perpisahan. Apalagi perizinan menjemput kematian.

Sasuke menangkup kedua pipi Sakura yang kini banjir air mata. Merasakan harum napasnya ketika bibirnya mengecup Sakura lembut, menggantikan maaf yang terasa berat menggelayuti lidah.

Bagi Sakura, tak ada yang bersisa dari kecupan tadi kecuali jejak mesiu di pipi, bau tanah dan matahari, dan darah dan gaung kemerdekaan untuk seluruh negeri. Sementara rindunya akan tetap kerontang diguyur kemarau perang.

Maka, ketika Sasuke beranjak dan bersiap menyongsong senjata api, Sakura menjegalnya lewat dekap yang kelewat erat. Jangan pergi, di sini saja, jangan kemana-mana. Berulang-ulang, berkali-kali.

Hatinya selalu retak.

Tapi tak ada yang mampu menghentikan Sasuke dan ideologi cerah soal masa depan, di mana malam bukan berpeta ketakutan dan perang mampu dipadamkan, juga hari-hari damai tanpa pembantaian , darah, darah, juga ledakan, dan Sakura, dalam impiannya, terbebas mengecap laut, melipat senja dalam genggaman, berlari mengejar gemerlap buih asin, bertahun-tahun kemudian.

Detik berikutnya, pelukan itu mengendur. Bahu Sakura lunglai oleh sepotong mata yang dibakar keberanian.

Ketukan di dahi dan sebuah senyuman,

Aku pasti pulang.


end.