The Name of the Otter

Standard disclaimers applied.

Chapter One: Cedric Diggory

Kali pertama Hermione bertemu Cedric Diggory adalah saat penyelenggaraan turnamen Piala Dunia Quidditch.

Fokusnya menangkap padang luas yang memuat banyak sekali tenda-tenda sihir. Seperti tenda berbentuk kastel di abad pertengahan, tenda yang memiliki burung merak di halamannya, hingga tenda-tenda kecil tapi dihiasi banyak peralatan sihir. Hermione tidak pernah menghadiri perhelatan besar di dunia sihir. Satu-satunya tempat magis yang pernah dia datangi selain Hogwarts adalah the Burrow, rumah keluarga Weasley, yang ditonggak banyak sihir di sana-sini dan terlihat sangat magic di matanya.

Sedangkah yang ini… it's, so, awh-some!

"Awesome," kata Hermione pelan.

"It is." Satu suara bariton terdengar dari samping kirinya. Hermione menoleh, mendapati Cedric Diggory menatapnya dengan senyum terulas di bibir. "So awesome, yeah?"

Hermione mengangguk setuju.

Cedric Diggory adalah pemuda ketiga paling populer seantero Hogwarts (—urutan pertama ditempati Harry Potter, Si Anak Yang Bertahan Hidup yang juga merupakan sahabat terbaik Hermione; urutan kedua diisi oleh si Kembar Weasley Fred dan George, yang jadi tersangka tetap di setiap keonaran yang terjadi di Hogwarts.) Hermione mengenal Cedric Diggory hanya di sebatas nama. Gadis Granger itu tidak memungkiri kenyataan bahwa pemuda ini keren. Cedric adalah modest Hufflepuf—dia kapten Quidditch, Perfek Hufflepuf, tutor untuk anak-anak tingkat satu dan dua, dan punya paras di atas rata-rata. Tapi kalau setiap kali melihat Cedric dia harus mengikik seperti Ginny… Hermione tidak akan sanggup.

Kedua kalinya mereka berkomunikasi adalah ketika Hermione berkunjung ke tenda para champions saat tugas turnamen yang pertama. Cedric menyapanya kendati pemuda itu terlihat pucat. Kemudian pada malam perayaan Yule Ball. Keduanya hanya saling bertukar senyum dan anggukan kepala. Namun setelah malam tugas ketiga yang berakhir dengan tragedi, Hermione tidak berinteraksi apapun lagi dengannya—tidak senyuman, anggukan kepala, apalagi bertukar kata. Cedric Diggory terlihat seperti hidup di dunianya sendiri sejak saat itu.

Pikiran Hermione kembali pada champion Hogwarts itu karena suatu hal. Minggu ketiga di bulan Juli, setelah kembali dari liburannya di Paris, Hermione sedang jalan-jalan bersama orangtuanya di sekitar Istana Buckingham. Dia sedikit gugup karena kelompok radikal yang mengatasnamakan Death Eater tidak ragu-ragu lagi menyebar teror. Kembalinya pemimpin mereka—Lord Voldemort saat tahun keempat Hermione di Hogwarts sudah menyebarkan aura horor ke semua pelosok dunia sihir Inggris. Dan setelah akhir tahun kelima, hal itu dikonfirmasi langsung oleh Menteri sihir yang tepat berada di bawah hidung Voldemort saat Voldemort menyerang Kementrian. Peristiwa di akhir tahun keempatnya yang sama sekali tidak bisa dilupakan. Pada saat Harry dan Cedric muncul dari ruang kosong dengan piala Triwizard di tangan, Cedric yang terbaring sekarat akibat efek Cruciatus, Profesor Moody yang sebenarnya bukan Profesor Moody melainkan Crouch Jr yang menyamar, hingga Harry yang histeris berteriak 'He's back! Voldemort is back!' terus menghantui malam-malam Hermione.

Dunia sihir mulai tidak aman. Kematian Dumbledore di akhir tahun ajaran kemarin menjadi pukulan telak untuk seluruh civitas dunia sihir. Teror di mana-mana. Orang-orang ketakutan. Ancaman untuk para pendukung Harry Potter disebarluaskan. Jika Hermione memberitahukan hal itu pada kedua orangtuanya, bisa dipastikan dia tidak akan diijinkan kembali ke dunia ajaib itu. Tapi Hermione harus terus berada di samping Harry. Harry membutuhkannya, dan Hermione tidak bisa tinggal diam di saat nyawa sahabatnya terus menerus terancam setiap tahunnya. Maka Hermione memutuskan untuk membuat kedua orangtuanya tetap buta mengenai perihal di dunia sihir. Kendati khawatir, dia tetap mengiyakan dengan sedikit kegembiraan palsu begitu ayahnya mengajaknya jalan-jalan di sekitar kediaman Ratu Inggris itu.

Orangtuanya sedang mengambil gambar di sudut taman, sedangkan Hermione memilih duduk di bangku taman. Keadaan taman yang ramai membuatnya sedikit awas. Namun melihat bagaimana interaksi kedua orangtuanya membuatnya tersenyum. Momen itu tidak berlangsung lama saat ujung matanya menangkap pergerakan tidak jauh dari ibunya yang sedang berpose.

Pemuda tinggi bersurai cokelat tertangkap oleh fokus Hermione. Kontur wajahnya yang familiar membuat Hermione tanpa sadar bangkit dari duduknya. Dia menatap lama sosok itu, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa objek yang sedang dilihatnya adalah Cedric Diggory. Orang yang diduga Cedric Diggory itu sedang memberi makan sekumpulan burung. Pakaian yang dikenakannya cukup normal untuk ukuran Muggle. Setelah berpikir beberapa saat, Hermione memutuskan untuk menghampiri pemuda itu.

"Cedric?"

Panggilan Hermione itu ternyata menarik perhatian. Cedric menoleh. Ada sedikit keterkejutan di matanya begitu melihat Hermione yang berdiri gugup di sampingnya. "Granger?"

"Hai. Tidak keberatan aku bergabung?"

Cedric tidak langsung menjawab. Hermione yakin dia melihat gambaran keberatan di wajahnya, namun pemuda itu akhirnya bergeser sedikit dari tempat duduknya dan menepuk tempat di sampingnya.

Hermione duduk seraya mengucapkan terima kasih. Cedric kembali pada kumpulan burung di depannya. Dia melempar biji-biji makanan ke tanah untuk memancing burung-burung kembali berdatangan. Hermione memperhatikan dari sudut matanya. Cedric terlihat pucat seperti tidak pernah terkena sinar matahari selama berminggu-minggu. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Raut wajahnya tidak menampilkan emosi apapun—sangat mengherankan bagi Hermione yang tahu betul bahwa pemuda itu nyaris selalu tersenyum di Hogwarts, tentu sebelum kejadian di malam tugas terakhir turnamen.

Nyaris sepuluh menit tidak ada yang berbicara. Cedric masih sibuk memberi makan burung-burung, sedangkan Hermione masih mempertimbangkan apakah harus memulai obrolan atau tidak. Sepuluh menit yang lalu dia ingin berbicara dengan pemuda ini; menanyakan bagaimana kabar pemuda itu, apa yang dia lakukan setelah lulus dari Hogwarts, apakah dia sedang bersembunyi atau ikut melawan balik.

Tapi melihat bagaimana ekspresi yang tercetak di wajah Cedric, Hermione tidak yakin dia bisa mengungkit topik mengenai Voldemort tanpa membuat pemuda itu lebih pucat lagi.

"Kau sendirian?" Tanpa diduga Cedric bertanya lebih dulu namun dengan fokus yang tetap pada burung-burung.

Hermione sedikit tersentak, tapi dia mampu menjawab dengan tenang. "Tidak juga." Telunjuknya mengarah pada kedua orangtuanya yang masih berpose mengambil gambar. "Itu orangtuaku. Kau sendiri?"

"Yeah." Ada jeda lagi sebelum Cedric bertanya lagi. "Bagaimana kabar Harry?"

Hermione menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku baru kembali dari Paris. Tapi aku berpikir akan mengunjunginya minggu depan, kalau orangtuaku mengijinkan. Bagaimana kabarmu?"

"Baik," jawab Cedric.

Hermione menghela napas diam-diam mendengar jawaban itu. Mungkin Cedric berpikir dia bisa membohongi Hermione dengan jawaban seperti itu, tapi dalam pendengaran Hermione, Cedric seperti tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia baik-baik saja. Hermione tidak sepenuhnya menyalahkan. Memang siapa yang bisa baik-baik saja setelah bertemu langsung dengan penyihir hitam paling jahat dan menghadapi mimpi buruk kutukan cruciatus?

Hermione akhirnya memutuskan untuk tidak akan bertanya soal malam itu.

"Kenapa kau sendirian?" tanya Hermione.

"Tidak ada yang mau menemaniku," jawab Cedric, bahunya terangkat cuek. "Apa kau tahu Kementrian sedang sibuk? Setelah…"

"Yeah," potong Hermione cepat. "Aku tidak tahu sesibuk apa Kementrian. Tapi dengan semua kejadian ini… kurasa membuat semua orang yang hidup di dunia sihir sangat terkejut."

"Kau percaya?"

Hermione terdiam sejenak. Tanpa sadar memorinya kembali pada tahun pertamanya di Hogwarts. Harry, Ron, dan dia sudah menghadapi bahaya dari Voldemort selama bertahun-tahun. Susah untuk tidak mempercayai perkataan sahabatmu sendiri di saat kau tahu bahwa nyawa sahabatmu sudah diincar sejak dia berumur satu tahun.

"Harry sudah menghadapi bahaya sejak tahun pertama kami," kata Hermione. "Ah—dia sudah menghadapi Voldemort sejak dia berumur satu tahun."

Cedric berjengit mendengar nama itu. Gestur yang tidak luput dari fokus Hermione. "Kau harus terbiasa menyebut namanya."

"Kau tidak takut?" tanya Cedric tidak percaya.

Bahu Hermione terangkat tidak acuh. "Tidak menyebut namanya tidak akan membuatmu aman, kan? Takut pada nama hanya buang-buang waktu."

"Gryffindor," kata Cedric seraya tersenyum. Untuk pertama kalinya senyum terpatri di bibirnya. "Aku mendengar rumor-rumor."

"Rumor apa?"

"Batu bertuah, kamar rahasia, Sirius Black, kejadian di Kementrian, dan… Draco Malfoy. Hidup kalian terlalu menantang."

"Hm. Benar. Aku tidak ingat kapan terakhir kali akhir tahun ajaran kami diakhiri dengan tenang. Kalau dipikir-pikir… sepertinya tidak pernah."

Cedric tertawa kecil. "Tahun pertama kalian sukses mengalahkan Slytherin di piala asrama. Lima puluh poin untuk kecerdasan, eh?"

Hermione tidak bisa menahan rona merah yang menjalar perlahan di kedua pipinya. Dia tersenyum lemah sambil menggumam 'bukan apa-apa'.

"Jadi kau percaya?" tanya Cedric lagi.

"Soal?"

"Kau-Tahu-Siapa."

Hermione menyeringai kecil. "Aku tidak tahu siapa. Memang siapa?"

Kening Cedric berkerut. Dia terdiam sesaat, menatap Hermione yang juga menatapnya balik sambil tersenyum menantang. "Vol—" Cedric tersedak, "Voldemort. Kau percaya Vol, Voldemort, akan berani menampakkan dirinya secara terang-terangan?"

"Setelah Dumbledore—" Hermione tersedak. "Dumbledore adalah satu-satunya yang ditakuti Voldemort. Jadi yeah. Aku percaya."

"Kau tidak takut?"

Hermione kembali menghela napas panjang. Pandangannya diarahkan pada kedua orangtuanya yang sudah duduk di kursi taman yang diduduki Hermione sebelumnya. Mereka menatap Cedric dengan pandangan tertarik tapi Hermione tahu mereka tidak akan menginterupsi obrolan putri mereka.

"Tentu saja aku takut," jawab Hermione pelan. "Aku takut apakah akan ada akhir tahun di mana Harry tidak akan bersama kami lagi. Aku takut kalau suatu saat orangtuaku yang akan menjadi korban."

"Kau tidak takut… kalau kau yang jadi sasaran?"

Hermione menggeleng. Pandangannya tetap berfokus pada orangtuanya. "Sejak akhir tahun kedua, saat Harry bercerita soal Kamar Rahasia, aku tahu aku harus siap kalau ingin tetap berada di samping Harry. Harry menghadapi banyak hal sejak dia berumur satu tahun. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah bertahan di sampingnya supaya dia tidak sendirian. Dan dengan itu aku harus menyingkirkan ketakutanku." Mata Hermione berkedip beberapa kali. Dia menoleh menatap Cedric dengan pandangan meminta maaf. "Maaf aku blabber."

Cedric tersenyum maklum. "It's okay. Harry beruntung memiliki sahabat sepertimu."

"Hermione, dear?"

Hermione menoleh menatap ibu dan ayahnya yang mendekat ke arahnya. Ibunya tersenyum ramah pada Cedric, sedangkan ayahnya menatap Cedric dengan pandangan menilai. "Aku tidak ingin mengganggu obrolan kalian, tapi ayahmu harus menemui salah satu pasiennya sebentar lagi. Kita harus kembali."

Hermione mengangguk pelan. "Mum, dad, kenalkan ini Cedric Diggory. Dia… eh… dia…" Hermione tidak yakin harus menyebut status Cedric seperti apa. Mereka bukan dalam lingkaran relasi pertemanan. Kalau menyebut kawan-seperjuangan-melawan-penyihir-jahat juga bukan ide yang bagus.

"Mr. Granger, Mrs. Granger. Aku teman sekolah Hermione," kata Cedric menyelamatkan Hermione dari kebimbangan gadis itu.

Ayahnya terlihat terkejut, tapi perlahan senyum mengembang di bibirnya. Dia menjabat tangan Cedric yang terulur. "Hallo, Cedric. Hogwarts, eh?"

"Sebenarnya, aku lebih dua tahun darinya," kata Cedric.

"Hermione tidak pernah mengenalkan teman sebelumnya," sahut ibunya.

"Mum," kata Hermione.

"Kau ingin mampir, Cedric? Istriku akan memasak makan malam bertema Prancis malam ini. Kau harus mencobanya. Dia koki yang terbaik di antara yang terbaik," kata ayahnya.

Hermione menutup kedua matanya, frustasi pada sikap berlebihan kedua orangtuanya. "Mum, dad. Cedric tidak ingin makan malam bersama kita. Dia punya kegiatannya sendiri. Biarkan dia. Ayo. Bye, Cedric."

"Tidak boleh begitu, Hermione," kata ayahnya. "Kau harus baik pada temanmu." Ayahnya lalu berbisik pelan, cukup pelan hanya untuk didengar Cedric dan Hermione. "Teman penyihirmu."

"Dad."

"Ayolah," kata ayahnya lagi, kali ini setengah memaksa. "Rumah kami hanya setengah jam dari sini."

"Uh—baiklah. Kalau tidak merepotkan," kata Cedric.

"Tentu saja tidak merepotkan!" sahut ibunya antusias. "Ayo. Mobil diparkir di sebelah sana. Dan cukup panggil aku Helen, dan ayah Hermione, Alex, dear. Nah, come along."

Alex dan Helen berjalan di depan. Sesekali keduanya menoleh pada pasangan muda di belakang mereka seraya tersenyum kecil dan berbisik-bisik pelan, membuat Hermione menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Maaf membuatmu terjebak di sini," kata Hermione.

"Tidak masalah," kata Cedric. "Kau yakin aku teman penyihir pertamamu yang kau kenalkan pada ayah dan ibumu?" bisik Cedric.

"Uh—yeah. Begitulah."

"Harry? Ron?"

Hermione tertawa kecil. "Ron tidak begitu tertarik dengan kehidupan Muggle. Harry… well, sebelum kami mengenal dunia sihir, dia sudah tinggal cukup lama di dunia Muggle. Jadi, yeah, dia juga tidak begitu tertarik dengan kehidupanku."

"Tapi mereka sahabat-sahabatmu. Bukankah seharusnya kau mengenalkan mereka pada orangtuamu?"

"Oh. Ayah dan ibuku kenal mereka kok. Orangtuaku juga kenal keluarga Weasley."

"Tapi… bukankah ibumu bilang…"

"Aku memang tidak pernah mengenalkan mereka pada orangtuaku. Mereka sendiri kok yang ajak kenalan."

Cedric menatap Hermione tidak percaya. Tapi tidak lama kemudian seringai kecil tersungging di bibirnya. "Funny, Granger. Funny."

"Makan malam pukul enam. Kalian habiskan waktu di halaman belakang saja. Hermione, kau mungkin ingin menunjukkan koleksi buku-bukumu, dear? Aku akan memanggil kalian begitu makan malam siap," kata Helen.

Hermione mengangguk lantas mengajak Cedric menuju lantai dua rumahnya. Perpustakaan keluarga tepat berada di depan kamarnya. Hermione tidak tahu apakah Cedric menyukai literatur-literatur Muggle, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa lagi di dekat pemuda ini.

"Ini perpustakaan," kata Hermione sambil membuka pintu ruangan perpustakaan. Bau khas buku-buku langsung menerpa nostrilnya, membuatnya tersenyum tanpa sadar.

Tidak diduga, Cedric juga ikut tersenyum. "Wow, kau punya perpustakaan sendiri."

"Yeah. Tapi isinya hanya literatur Muggle. Kalau kau ingin baca buku-buku tentang sihir, aku punya buku pelajaran Hogwarts."

Pemuda itu tertawa. "Thanks. Aku sudah keluar dari Hogwarts dua tahun lalu. Aku bosan dengan buku-buku pelajaran."

"Kau? Bosan dengan buku?" tanya Hermione main-main.

"Aku ingin sesuatu yang baru."

"Buku Muggle?"

Cedric tidak menjawab. Alih-alih dia mulai menyusuri rak-rak. Ada total enam rak di dalam perpustakaan. Satu rak milik Hermione pribadi yang berisi novel-novel, buku-buku bekas dari tahun pertama hingga tahun kelimanya di Hogwarts, biografi-biografi orang terkenal di dunia Muggle, hingga buku-buku dongeng—baik dari dunia sihir ataupun dunia Muggle. Cedric berhenti di rak pribadi Hermione. Sepuluh menit kemudian dia mendekati Hermione yang duduk di sofa berwarna putih gading di dekat perapian. Sebuah novel ada di tangannya.

"Kau punya lanjutannya!" kata Cedric antusias. Dia mengangkat sebuah novel bertajuk The Winter's Autumn.

"Kau membaca seri pertamanya?" tanya Hermione tidak percaya.

Sambil mengambil tempat di sofa tunggal, Cedric menjawab, "Telaah Muggle terakhirku ditugaskan untuk mereview seri pertamanya. Aku sangat penasaran siapa yang membunuh Annie. Aku mencari lanjutannya, tapi selama bertahun-tahun tidak pernah ketemu."

"Well, bukunya sendiri sudah mencapai seri kelima. Kelima-limanya ada di rak itu. Kau boleh meminjamnya kalau kau mau," kata Hermione. Gadis ini senang Cedric akhirnya bisa menampilkan emosi lain di wajahnya. Melihat wajah pemuda itu yang nyaris tanpa ekspresi sungguh membuatnya kasihan.

"Bolehkah?"

"Tentu. Asal kau berjanji akan mengembalikannya. Itu novel kesukaanku."

"Aye, Captain!"

Satu setengah jam kemudian dihabiskan keduanya dalam hening. Sesekali Cedric berkomentar mengenai isi novel, atau bertanya hal-hal yang tidak dia pahami, dan memaksa Hermione membocorkan seluruh isi novel (—yang dijawab Hermione; "Baca bukunya sampai selesai, Diggory!") Hermione sendiri menghabiskan waktu menyusun puzzle. Cedric beberapa kali ingin ikut bergabung tapi dengan tegas ditolak oleh Hermione. Proyek puzzle ini sebetulnya milik ayahnya dan dirinya. Berukuran sebesar setengah dari meja baca, mereka berdua baru menyelesaikan seperempat puzzle.

Hermione mengambil satu kepingan puzzle dan meletakkannya di tempat yang sesuai. Dari sudut matanya dia bisa melihat Cedric sudah semakin tenggelam dalam dunia fiksi kisah percintaan tragis antara laki-laki yang tuli dan bisu bersama perempuan bisu dan idiot. Hermione tidak pernah menyangka selera bacaan seorang Cedric Diggory ternyata sangat girly—walaupun memang novel itu adalah novel yang terbaik di zamannya. Tangannya bergerak lagi mengambil keping puzzle saat terdengar ketukan pelan di pintu dan kepala Helen mengintip dari balik daun pintu.

"Kuharap kalian lapar. Makan malam sudah siap."

Setelah memaksa Cedric—nyaris menyeret pemuda itu agar mau beranjak dari duduknya dan turun ke bawah, Hermione, Cedric, beserta Helen dan Alex akhirnya duduk melingkar di meja makan. Helen rupanya ingin memanjakan tamu mereka hingga memasak banyak sekali menu hidangan. Hermione tidak pernah melihat ibunya memasak sebegini banyak sejak malam perayaan Hermione menerima surat pertamanya dari Hogwarts. Diam-diam Hermione melirik ibunya, keningnya berkerut. Helen sendiri hanya tersenyum lebar menanggapi keheranan putri semata wayangnya.

"Jadi," mulai Alex setelah hampir lima belas menit berlalu. "Kau sudah lulus?"

"Benar. Aku lebih tua dua tahun dari Hermione."

"Apa yang kau lakukan sekarang? Kau muda, tampan—"

"—dad—"

Cedric tersenyum kecil. "Aku berkelana berkeliling Eropa."

Ayahnya terlihat kaget ketika mendengarnya. "Oh ya? Keliling… Eropa?"

"Aku seorang Herbiologist. Aku melakukan penelitian pada spesies tumbuhan baru untuk digunakan sebagai obat. Terkadang aku akan menulis artikel dan mengirimkannya ke surat kabar harian."

Kali ini ayahnya terlihat terpesona. "Seorang ilmuwan."

"Ilmuwan?"

"Sebutan Muggle untuk peneliti," kata Hermione.

"Apa itu… Herbiologist?" tanya Helen. "Sepertinya aku pernah mendengarnya."

"Orang yang fokus pada subjek Herbiologi, mum. Di dunia kita, hampir mirip dengan Biologi, tapi Herbiologi hanya berfokus pada tumbuhan. Tumbuhan-tumbuhan sihir, tepatnya."

"Jadi kau berpindah-pindah tempat? Bagaimana dengan orangtuamu?"

"Dad!"

"Tidak apa-apa, Hermione. Ya, aku lebih memilih berpindah tempat agar jangkauan eksplorku lebih luas. Orangtuaku awalnya keberatan, tapi mereka bisa mengerti."

"Mereka pasti bangga padamu," kata Helen.

Senyum lemah muncul di bibir Cedric. "They was."

Ada keheningan beberapa detik sebelum Helen bersuara. "I'm so sorry, dear. I…"

"It's okay, Helen," kata Cedric.

Alex pun rupanya menyadari aura yang berubah dari diri Cedric. Dia akhirnya mengubah topik pembicaraan menjadi soal Hogwarts, tempat prestisius yang ingin sekali bisa dilihatnya tapi tidak akan pernah bisa karena status non-penyihir yang istri dan dirinya sandang.

"Tempatnya hampir mirip seperti kastel-kastel di abad pertengahan. Di malam hari akan terlihat lebih indah kalau kau duduk di dekat Danau Hitam di pertengahan musim gugur. Sedikit dingin, tapi pemandangannya sangat indah. Benar kan, Hermione?"

Hermione tersentak mendengar namanya mendadak disebut. Dia tidak sadar dia sudah memperhatikan Cedric tanpa henti—bahkan mungkin dengan ekspresi yang tidak sopan. Kabar mengenai kematian kedua orangtua Cedric lumayan membuatnya terguncang. Hermione tidak pernah mendengar bahwa suami istri Diggory sudah meninggal—setidaknya dia tidak pernah membaca beritanya di Daily Prophet.

"Uh—yeah," kata Hermione.

"Tapi kurasa, kalau kalian mengunjungi Hogwarts, Hermione hanya akan mengajak kalian ke perpustakaan. Dia menghabiskan waktu lebih banyak di tempat itu ketimbang seluruh murid selama sepuluh tahun terakhir," kata Cedric, seringai terpasang di bibirnya.

"Ah. Tidak pernah bisa lepas dari buku, eh, dear?" goda Alex.

"Uh—dad!"

"Dia dijuluki Penyihir Paling Cerdas di Angkatannya. The Princess Gryffindor."

"That's my girl!"

Selepas makan malam, Cedric dan Alex menghabiskan waktu di halaman belakang sambil bermain catur. Cedric bagus, Alex buruk. Menjelang pukul sembilan, Cedric mengemasi barang-barangnya dan beranjak pulang. Alex memaksanya untuk tinggal satu malam, tapi Cedric menolaknya dengan halus dan mengatakan harus segera ke Yorkshire malam itu juga.

Di depan pekarangan rumah, Hermione menyodorkan tas kecil yang diterima Cedric dengan satu kening terangkat, heran.

"Novel-novel yang ingin kau baca. Ada lima seri lengkap di dalamnya."

"Granger—"

"Kau bisa mengembalikannya kapan saja, yang penting, harus, kau kembalikan!"

Cedric tertawa kecil. Dia mengambil tas kecil itu dan memeriksanya. "Mantera…?'

"Yeah. Mantera pembesar. Penyihir Paling Cerdas di Angkatannya, ingat?" kata Hermione, pura-pura sombong.

Sambil memasukkan tas kecil itu ke dalam kantung bagian dalam tas ranselnya, Cedric menggumamkan terima kasih. Hermione bingung apakah dia harus mengucapkan belasungkawa atas kematian kedua orangtua Cedric. Tapi diingatnya lagi raut wajah Cedric yang menggelap ketika disinggung mengenai orangtuanya dan Hermione memutuskan untuk melepas topik itu.

"Kalau kau tidak mengembalikannya, aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia, Diggory," ancam Hermione main-main.

Pemuda itu tertawa lagi. "Omong-omong, kapan kau akan mengunjungi Harry?"

"Minggu depan… kurasa. Ada apa memangnya?"

Di Platform 9 ¾, sewaktu Tonks dan Lupin menyambut mereka setelah akhir tahun ajaran keenam, Tonks mengatakan bahwa Orde memiliki rencana untuk Harry tepat di hari ulangtahunnya. Harry akan genap berusia tujuh belas tahun minggu depan, dan Hermione ingin berada di samping sahabatnya ketika hari spesial itu terjadi.

"Kau keberatan kalau aku ikut?"

"Uh—itu…"

"Kau keberatan."

"Bukan seperti itu. Aku akan pergi bersama beberapa orang. Kau ingat Profesor Lupin? Kurasa dia juga akan ikut. Aku… uh… takut kalau harus membawa orang luar tanpa seijinnya."

"Kalau kau bertanya padanya, apa dia akan mengijinkan? Profesor Lupin."

"Kurasa… yeah. Akan kutanyakan padanya."

"Great. Aku akan mengirimi owl besok pagi agar kau tahu alamat baruku. Oke?"

"Oke."

Kemudian Cedric mengangkat tongkat sihirnya ke atas kepalanya. Hermione sudah ingin bertanya apa yang sedang dia lakukan saat tiba-tiba ada suara ctar keras dan sebuah bus merah bertingkat dua sudah ada di hadapannya. Seorang laki-laki gemuk keluar.

"Selamat datang di Bus Ksatria. Aku Grogon Knight—"

"Berapa biaya agar kau mengutamakan tujuanku? Diagon Alley."

"Hei! Kupikir kau akan ke Yorkshire?!"

Cedric menoleh pada Hermione seraya tetawa kecil. "I am, Granger. Tapi aku lebih memilih jalur Floo. Lebih mudah, lebih cepat, dan…" dagunya mengedik ke arah Bus. "Lebih aman daripada ini. Kau tidak memiliki bubuk Floo, kan?"

"Uh, yeah. Right. Sorry," kata Hermione, malu karena reaksinya barusan kedengaran sangat tidak sopan. Memangnya kenapa kalau Cedric berbohong padanya?

"Jadi berapa?"

"Tujuh Galleon. Sembilan Galleon, dan kau akan mendapatkan cokelat panas."

"Tujuh Galleon," kata Cedric. Tangannya bergerak mengambil kantung koin dari tas ranselnya dan memberikan tujuh keping emas pada tangan Grogon Knight yang gemuk. Setelah itu dia naik ke dalam bus dan berbalik menatap Hermione. "See you around, Granger."

"Yeah. Bye," kata Hermione pelan. Dia yakin Cedric tidak mendengarnya karena saat itu juga Bus Ksatria melaju dengan suara ctar keras. Dari tempatnya berdiri, Hermione melihat kotak pos di ujung jalan melompat menghindar ketika Bus berbelok ke jalan raya.

To be continued

Next chapter: Draco Malfoy