Ini pertama kalinya aku buat fanfic...jadi agak bingung juga...
Berarti, fanfic pertamaku Kuroshitsuji yup... *actually, kayaknya ini fanfic keduaku... fanfic pertamaku, yang pendek, kubuat karena tugas sekolah...*

Dan kayaknya tokoh fanfic ini berpusat pada para pelayan Phantomhive...
Yak, cukup pembukanya... Mari kita mulai! XD

Kuroshitsuji © Toboso Yana
WARNING: May contain some mistypo and bad at using language


Pada suatu pagi di kediaman Phantomhive...

Yaaah...mungkin bisa dibilang damai...sekaligus sibuk, dalam arti tertentu...
Seperti biasa, kepala keluarga Phantomhive satu-satunya yang masih berusia 12 tahun, Ciel Phantomhive, sibuk membaca buku-buku di ruang kerjanya. Ia juga sibuk mengurus dokumen-dokumen dari Ratu Inggris.

Dan seperti biasa juga, sang butler andalan Phantomhive, Sebastian Michaelis, selalu, selalu, selalu, dan selalu mengingatkan tiga pelayan Phantomhive yang lain, Bardroy, Maylene, dan Finnian, mengenai pekerjaan mereka yang selalu, selalu, selalu, dan selalu terbengkalai. Entah apa karena otak mereka yang sudah berkarat atau apalah itu.

Bardroy, sang koki Phantomhive, sibuk mengeluarkan alasan untuk membela diri dari tuduhan-tuduhan Sebastian padanya. Ia kembali menyulut sepuntung rokok yang terjepit di mulutnya. Saat itu rasanya ia dapat mencari apapun yang ia butuhkan di pikirannya. Dan Bard pun menemukannya. "Ah! Tampaknya dapur serta isi-isinya tidak pernah mengijinkanku untuk bekerja di sana. Maaf, Sebastian..."

Alasan yang itu-itu saja...dan Sebastian juga sudah terbiasa dengan jawaban itu,"Selesaikan, atau..." Tampaknya Sebastian sudah menemukan pemecahannya. "A...aa... B...baik... Baiklah...!" Dalam sekejap Bard kembali ke dapur yang sudah tidak bisa dibilang dapur lagi, melainkan 'kapal pecah'. Tampaknya ini disebabkan oleh percobaan-percobaan memasak Bard yang selalu gagal.

"Maylene..." "Y...ya...ya, Sebastian-san...?" Seperti biasa, wajah house maid itu memerah. "Sedang apa kau?" "A...ah, seperti yang kau lihat, Se...Sebastian-san... Mengelap kaca jendela..." Maylene melanjutkan pekerjaannya. Pikirannya masih terpaku pada orang yang selalu membuat wajahnya memerah itu. "Dengan itu?" balas Sebastian sambil menunjuk benda yang disebut dengan 'lap' di tangan Maylene. "E...eeh...?" Maylene memandangi 'lap' tersebut.

"GYAAAAAAA! Maafkan aku, Sebastian-san! Sungguh, a...aku tidak menyadarinya! Kukira ini lap seperti biasanya! Ha...habisnya mirip!" Rupanya 'lap' yang disebutkan adalah kain bekas karpet yang sudah berdebu dan seharusnya berada di gudang. "Bagaimana bisa benda yang seharusnya berada di gudang kau pakai untuk mengelap jendela?" "Ma...maaf..." ujar Maylene dengan kepanikannya seperti biasa. "Mungkin saatnya untuk mengganti kacamatamu..." "T...tidak! J...jangaaaan!" "Nah, kalau begitu cepat bereskan! Bersihkan ulang jendelanya lagi!" "Si...siap!" House maid itu pun segera berlari untuk mengambil 'lap' yang sebenarnya. Sekali-kali ia terjatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri.

"Sebastian-saaaaan...! Tolong akuuuuu!" Finnian, si tukang kebun berlari ke arah

butler itu. "Ada apa...?" "I...itu... Se...sebenarnya..." Latar berpindah ke kebun belakang. Tanah tampak amburadul, pohon-pohon tumbang, dan rerumputan tercabut serta bertebaran ke sana kemari. "Ada apa ini?" "Maafkan aku, Sebastian-san...! Sebenarnya aku hanya ingin mencabut rumput saja...tapi..." "Ya...ya... Aku mengerti. Makanya, sudah berapa kali kubilang, tolong kendalikan kekuatanmu yang berlebihan itu! Segera bereskan!" "Yaaah! Kan karena itu aku memanggilmu, Sebastian-san! Tolong aku membereskannya! Kalau tambah berantakan, bagaimana?" "Haaah..." Sebastian menghela napas panjang. "Baiklah, baiklah..." "Terima kasih banyak, Sebastian-san!" Dan ujung-ujungnya, yang mengurus kebun juga hanya Sebastian. Sedangkan Finny sibuk berbincang-bincang dengan burung-burung gereja yang hinggap di kepala dan pundaknya.

Setelah mengurusi tiga pelayan itu, Sebastian kembali ke ruang kerja majikannya untuk menanyakan menu dessert apa yang ia inginkan nanti sore. "Sungguh hari yang melelahkan bagi manusia biasa." Itulah yang selalu terpikir di kepala trio pelayan bodoh itu.

Eits, sebenarnya ada seorang pelayan lagi, Tanaka. Yup! Akrabnya dipanggil 'Pak Tanaka'. Pelayan ini adalah satu-satunya pelayan yang tidak jelas pekerjaannya. Tampaknya hampir setiap saat ia meminum teh ala Jepang. Ia pun jarang berkata-kata dan tampangnya selalu 'innocent'.

"Uuh... Aku heran, kenapa sih, Pak Tanaka tidak pernah dimarahi Sebastian-san, ataupun Tuan Muda!" keluh Maylene. "Iya, iya! Padahal, Pak Tanaka kerjanya cuma minum teeeeeh melulu!" keluh Finny juga. "Yaah... Haah..." timpal Bard.

Mereka bertiga menoleh ke arah lelaki separuh baya tersebut. Dan pemandangan seperti biasanya, lelaki separuh baya yang sedang menikmati teh jepangnya dengan tampang 'innocent'. Sesekali ia mengeluarkan bunyi khasnya,"Hoh hoh hoh..." Jika diperkirakan sih, itu semacam jenis 'bunyi tawa'. Baik Bard, Maylene, dan Finny sama-sama iri pada Pak Tanaka yang tidak pernah terkena omelan Sebastian, maupun Ciel, majikan mereka.

"Sudah, sudah! Ayo kita kerja! Nanti Sebastian mengomel lagi lho!" ujar Bard sambil mendorong-dorong dua rekan kerjanya itu.


"Tuan Muda, bukankah hari ini akan ada tamu dari Italia?" ujar Sebastian setengah bertanya. "Hmm..." "TUAN MUDA, ANDA INGAT BUKAN, MALAM INI AKAN ADA TAMU DARI ITALIA?" ujar Sebastian sekali lagi untuk memperjelas pernyataannya pada tuan mudanya yang sedang asyik memainkan bidak-bidak di atas meja catur. Repot juga memiliki majikan yang acuh tak acuh seperti Ciel itu. Akhirnya Ciel pun menghentikan kegiatannya. "Itu... Tidak jadi. Ia tidak jadi datang, tadi ia mengabariku." "Lalu, apa yang akan anda lakukan?" "Aku..."


"Hei, dengar, dengar! Aku tidak sengaja dengar ini saat lewat di depan ruangan Tuan Muda!" "Apa? Apa, Maylene? Ada apa?" tanya Finny yang penasaran melihat Maylene yang datang dengan tergopoh-gopoh. "Ya, ada apa, Maylene?" tanya Bard yang ikut penasaran. "Hoh hoh hoh..." ujar Pak Tanaka yang ikut meramaikan suasana, yang sebenarnya tidak tepat pada waktunya.

"Tuan Muda akan pergi ke Italia!" "Wah! Kapan, kapan?" "Umm... Sepertinya sekitar tanggal 12..." "Eeh! Tanggal 12 kan besok!" "Iya, iya!" Dari percakapan tadi, bisa diketahui bahwa itu antara Maylene dan Finny. "Apa kali ini mau dicoba lagi?" Akhirnya Bard ikut dalam percakapan. "Iya! Siapa tahu kali ini kita boleh ikut!"

Memang, sebagai pelayan-pelayan rumahan, mereka sama sekali belum pernah ke luar negara Inggris. Dan setiap kali Ciel akan ke luar negeri, mereka selalu memohon-mohon untuk ikut dengannya. Dan permohonan mereka itu selalu ditolak. "Tidak boleh. Kalian urus rumah saja!" Itulah kalimat yang selalu keluar dari majikan mereka setiap kali mereka memohonnya.

"Tidak boleh. Kalian urus rumah saja!" "Haaah...!" Lagi-lagi... "Tuh kan, percuma saja deh!" "Ah, Bard! Kau ini ada di pihak siapa sih?" "Hmm... Yaah..." gumam Bard sembari menggaruk-garuk kepalanya. Sebenarnya ia juga ingin sekali ikut. "T...Tapi dengar kan, lagi-lagi kita tidak diperbolehkan ikut..." "Benar kata Bard..." "Ah, iya..." Untuk beberapa menit ke depan, mereka bertiga terus berdebat mengenai topik yang sama.

Ciel mengetuk-ngetuk mejanya menggunakan ujung penanya, wajahnya menunjukkan kekesalannya yang memuncak. Tiga pelayan itu pun segera menghentikan pembicaraan mereka dan menoleh pada majikan mereka itu. "Tuan Muda, tidakkah lebih baik sekali-sekali mereka ikut saja, daripada mereka menghancurkan seisi mansion ini selagi kita tidak ada?" usul Sebastian yang sedari tadi berdiri di samping Ciel. "Haaah...!" hela Ciel kesal.

"Tu...Tuan Muda...?" gumam tiga pelayan itu dengan penuh harap. "A...anu..." lanjut salah satu dari tiga pelayan itu, Maylene si house maid. "Ah! Tuan Muda, Tuan Muda! Kami akan membereskan seeeeeeeeegalanya sebelum pergi!" janji Finny yang mewakili dua rekan kerjanya yang lain. Ciel memandangi mereka satu persatu. "Tidak! Kalian di rumah saja!" "Yaah... Tuan Muuuudaaaa..."

Tiga pelayan itu pun kembali ke ruangan mereka dengan kecewa. Saat masuk ke ruangan mereka, Pak Tanaka menyambut mereka dengan kata 'Hoh hoh hoh'-nya yang khas itu. "Aah! Pak Tanaka ini selalu tidak tepat pada waktunya!" bentak Bard yang kesal pada pelayan yang satu ini. "Eh, ngomong-ngomong, Pak Tanaka ada keinginan untuk ikut tidak ya?" Pertanyaan itu terlintas di pikiran Finny. "Benar juga... Pak Tanaka...?" tanya Maylene yang berusaha untuk mencari jawaban dari Pak Tanaka. "Hoh hoh hoh..." Tampaknya Pak Tanaka tidak punya kosakata lain...

"Nah, biarkan aku berpikir..." "Memang kepalamu itu ada isinya ya...?" tanya Finny yang tidak bermaksud untuk menyindir koki itu. "Sudahlah, kalian diam saja!" Setelah itu, Bard menyalakan sepuntung rokok di mulutnya dan menyilangkan kedua tangannya. Pandangannya tidak terlepas dari langit-langit ruangan itu.

"Sudah dapat, Bard?" tanya Maylene dan Finny bersamaan. "Sebentar! Jangan ganggu aku! Bagaimana bisa dapat kalau kalian ganggu terus!" "Tapi kan kami baru bertanya satu kali padamu..."

Ruangan pun kembali sunyi. Bard tetap pada posisinya. Maylene dan Finny memandangi Bard dengan heran. Pak Tanaka masih dengan teh jepangnya.

"Nah!" seru Bard yang memecahkan kesunyian. "Apa? Apaaa?" tanya Maylene dan Finny tidak sabar.

"Begini, dengarkan aku baik-baik!"
"Ya, ya...?" "Persiapan kita tinggal hari ini dan besok pagi."
"Untuk apa? Eh, Bard, memangnya dari tadi kau memikirkan apa?"
"BODOH! Tentu saja tentang bagaimana cara kita ikut ke Italia!"


Lalu...bagaimana cara para pelayan Phantomhive ikut pergi ke Italia...?
Simak di part selanjutnya!