Disclaimer : The characters and some plots below are belongs to Stephanie Meyer, but the story is belong to me. Thanks to Auntie Stephie for such adorable characters.
How About This?
(Episode 1)
EDWARD POV
Menjadi murid pindahan itu sungguh tidak menyenangkan, jujur saja.
Kedua saudaraku sudah terlebih dulu turun begitu mobil Dad akhirnya mendapatkan tempat parkir yang cukup stategis—agak lebih dekat menuju pintu gerbang sekolah baruku, SMA Forks—tidak mengacuhkan aku yang jelas-jelas masih terhimpit diantara tiga ransel besar milik kami bertiga dan sebuah koper yang belum sempat diturunkan Dad dari mobil kemarin. Menjadi anak tengah memang tidak asyik, apalagi jika memiliki kakak dan adik yang menyebalkan seperti kedua saudaraku, Emmett dan Alice.
Lihat 'kan betapa noraknya mereka begitu menginjakkan kaki di sekolah ini?
"Whoa, Ed! Lihat! Bangunan tua! Bagus sekali, tempat ini pasti angker," Emmett berseru kepadaku sembari mengacung-acungkan tinjunya ke udara, persis seperti anak kecil. Untuk remaja berusia hampir delapan belas tahun, jelas ekspresi itu sangat tidak cocok untuk seorang Emmett yang bahkan lebih mirip beruang grizzly daripada bocah remaja. Sementara itu, si kecil Alice—yang juga lebih cocok menjadi siswa Junior High daripada menjadi siswa Senior High—hanya nyengir tidak karuan saat melihat ekspresi masam di wajahku.
"Emmett, kau menakuti Edward," gelaknya—mencoba meledekku. "Jangan bicara macam-macam, Em, jika kau tidak ingin menerima pukulannya di rumah." Lain Emmett, lain pula Alice. Gadis berambut hitam pendek itu sangat mirip mendiang Mom—yang selalu tersenyum dan terkadang suka menjahiliku. Namun sebenarnya bagiku Alice akan sama menyebalkannya dengan Emmett jika mereka sudah bersatu untuk melawanku.
"Diam kalian," hanya itu kata-kata yang bisa kukeluarkan di sela-sela penyelamatan diriku dari tumpukan tas yang menindihku sejak perjalanan dari Port Angeles tadi. Kami berempat (dengan Dad juga) baru saja pindah dari New York dua hari yang lalu dan selama itu kami menginap di rumah teman Dad yang kebetulan berada di Port Angeles. Hari ini adalah hari pertama kami menginjakkan kaki di Forks dan jika kau menelusuri ke bagian belakang van Dad, kau akan menemukan lebih banyak koper—pertanda kami belum benar-benar baru akan pindah ke rumah baru. Beberapa barang memang sudah berada di sana—yang ada di van milik Dad hanyalah beberapa pakaian yang belum sempat dipindahkan ke sana. Dan rencananya setelah mengantarkan kami bertiga ke sekolah, barulah Dad benar-benar akan menuju rumah baru kami—yang letaknya agak di pinggiran kota.
"Edward, Emmett, Alice, bisakah kalian tidak bertengkar sehari saja, please?" nada sabar dalam suara Dad selalu sukses membuat kami bertiga terdiam dan menghentikan pertengkaran tidak berguna yang selalu terjadi diantara kami. Rasa malu memang selalu menyergapku jika Dad menegur kami yang sedang bertengkar di tempat umum—rasanya seakan harga diriku terhempas ke tempat terendah—tetapi tidak dengan saudara-saudaraku. Entah karena mereka memang tidak merasa malu sama sekali atau mereka tidak terlalu peduli dengan pendapat orang lain, yang pasti mereka hanya menanggapi teguran Dad dengan cengiran lebar lalu kembali tertawa tanpa dosa. Seringkali aku merasa tidak tahan dengan tingkah mereka yang sangat bertolak belakang denganku, jadi aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak mendekat saat tingkah mereka mulai menjurus k earah keanehan.
Menanggapi pertanyaan Dad, aku hanya memberinya senyum simpul sembari mengangguk, "Baiklah, Dad. Aku tidak akan menggubris mereka."
Emmett langsung bersiul menyebalkan di telingaku, "Anak pintar. Mau minta jajan berapa pada Dad?"
Diam-diam kutinju lengan Emmett—cukup keras sehingga membuatnya mengaduh dan terdengar oleh Dad, membuatnya melemparkan tatapan tajam pada kami berdua. Tetapi aku tahu sifat Emmett, dia tidak akan mengadu pada Dad, hanya saja dia akan mengeluarkan kata-kata favoritnya—seperti biasa—jika aku berhasil mempermalukannya di depan Dad.
"Tunggu pembalasanku," ancaman tanpa suaranya hanya kutanggapi dengan senyum timpangku yang biasa, lalu dengan santai aku mengikuti Alice yang sudah lebih dahulu masuk ke gerbang sekolah.
SMA Forks memang seluruhnya berada di bangunan tua yang sudah berdiri entah sejak berapa abad silam dan menampung setidaknya 350-an siswa yang sepertinya tidak berpenampilan semencolok aku dan saudara-saudaraku yang jelas berasal dari kota besar. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tetapi memang pada umumnya siswa di sini kelihatannya tidak seperti kami—yang notabene telah menghabiskan hampir seluruh hidup kami di tengah hingar bingarnya kota New York. Di sekolahku yang lama, melihat Ferrari atau Lamborghini di parkiran sekolah merupakan pemandangan yang biasa—bahkan terkadang aku membawa Volvo jika Alice sedang tidak ingin terkena debu atau Emmett sedang ingin pulang malam. Namun, sejak menginjakkan kaki di area parkir, tidak satupun kutemukan mobil-mobil semencolok Ferrari, kecuali jika sebuah truk Chevy keluaran tahun '50-an bisa kau bilang 'mencolok'.
Dad hanya mengantarkan kami hingga ke ruang tata usaha—menandatangani beberapa dokumen mengenai kepentingan administrasi kami—lalu pergi untuk meletakkan beberapa koper kami sebelum benar-benar berangkat ke Rumah Sakit; kebetulan Dad memang harus bekerja hari ini karena banyak pasien yang menunggu di sana. Tetapi setelah Dad pergi, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa risih jika terus bersama dengan dua saudaraku yang masih juga bertingkah kekanakan. Apalagi sekarang tingkah Emmett mulai terlihat mencurigakan—seperti hendak membalas sakit hatinya karena pukulanku tadi. Sebelum dia benar-benar memulai pembalasan dendamnya, aku buru-buru memutar tubuhku untuk berbalik arah dan berseru ke arah mereka, "Ternyata dompetku tertinggal di meja ruang tata usaha. Kuambil dulu ya, Al, Em."
Bagus. Akhirnya, bisa melepaskan diri dari mereka membuatku merasa sedikit lega dan tidak terlalu kesal lagi. Kuputuskan untuk mengambil jalan yang berbeda dari sebelumnya—melewati kelas-kelas yang mulai disesaki siswa yang hendak belajar pagi ini dan melirik ke arah kelas Biologi yang hendak kumasuki sebentar lagi—kelihatannya sudah cukup ramai.
Mungkin nanti saja masuknya, kalau…
Mendadak kata-kata yang sedang bergema dalam otakku memelan, lalu perlahan berhenti tatkala bayangan dua sosok gadis itu tertangkap oleh indera penglihatanku. Bahkan langkahku pun ikut terhenti saat salah seorang dari kedua sosok itu—gadis yang berambut coklat—menatapku lurus-lurus, matanya sehitam malam dan entah kenapa tiba-tiba saja membuat pikiranku berkabut. Sesuatu yang ada padanya membuatku tidak bisa berpaling—tidak sedikitpun. Kulihat bibirnya yang mungil bergerak dan menggumamkan sesuatu.
"Aku menginginkannya, Rosalie."
Kata-katanya—entah kenapa tiba-tiba saja membuat bulu kudukku meremang; ngeri, seakan kata-katanya merupakan vonis kematian bagiku. Namun, aku masih belum bisa berpaling—dan entah kenapa aku merasa terhipnotis oleh suaranya, matanya, bahkan warna kulitnya yang tidak biasa. Apakah manusia ada yang sepucat itu? Entahlah, yang pasti sekarang aku tidak bis bisa mengingat apa-apa lagi.
Well, thanks for reading my fanfiction. If you like it, let me know RnR pleeease :D Thank youuuu - Vampirelasting
