I do not own Naruto.

Playlist : My Chemical Romance, Paramore, Maroon 5, Katy Perry, Enrique Iglesias, 2PM, The All-American Rejects.

.

Enjoy~

Uchiha Sasuke menggeram frustasi setelah setengah jam ia menduduki kursi kantornya. Ini semua benar-benar di luar perkiraan, Sasuke tercenung. Bukankah ia adalah orang yang sangat teliti dan memiliki pikiran yang panjang? Seharusnya ia sudah memikirkan hal ini baik-baik sebelum memutuskan untuk melakukan apa pun yang telah dilakukannya itu.

Ia lupa diri—oh shit.

Sasuke menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya ke kursi berwarna hitam tersebut. Matanya tak lepas dari tumpukan kertas dan amplop putih di hadapannya, memelototi lembaran itu sampai matanya terasa sedikit perih. Lalu pemuda berambut hitam itu melirik sedikit ke arah kanan bawah selembar kertas putih yang terletak paling atas di antara kertas-kertas yang lainnya. Menatap tiga buah angka; dua, tiga, dan satu, yang diikuti dengan sebuah titik dan tiga angka lainnya, serta sebuah koma dan dua angka nol.

Jumlah itu tak berarti apa pun untuk Sasuke, jika tanda mata uang negara kelahirannya tidak berada di situ. Di depan angka-angka sialan itu. Juga angka-angka sialan yang menjadi beberapa tanggal (termasuk tanggal deadline sialan) di situ, dan huruf-huruf sialan yang tersusun menjadi dua patah kata di bagian atas kertas.

Uchiha Sasuke.

Damnit. Apa yang harus ia lakukan? Sasuke mengutuk.

Apakah… ia harus menggesek kartu kredit lagi untuk membayar yang ini? Pemuda itu menghela napas saat mendengar bisikan buah pikiran otaknya yang tengah stress itu. Demi apa ia benar-benar akan melakukan tindakan tolol begitu?

Pass, baby—cepat keluarkan pilihan keduanya.

Mm. Pilihan kedua, eh?

Dan Uchiha muda itu tidak merasa lebih baik. Pikirannya malah terasa semakin seperti benang kusut dan ia menelan ludahnya pahit. Benarkah ia harus meminta pinjaman pada sang kakak, Uchiha Itachi…?

Karena itu adalah pilihan keduanya.

Hah, demi Ferrari yang Ayahnya janjikan kepadanya beberapa bulan yang lalu, Itachi sama sekali kaya raya. Tentu saja hal itu tak perlu diragukan lagi. Dan soal kemurahan hati… itu juga sudah jelas. Itachi adalah seseorang yang sangat murah hati. Bahkan pria muda tersebut pernah merelakan uang jajannya selama sebulan, hanya untuk membelikan sang adik hadiah ulang tahun yang paling mahal dan bagus. Saat itu bahkan Itachi masih duduk di sekolah dasar.

Tapi—Sasuke melengos. Betapa ia membenci kata "tapi" saat ini—walau mungkin hal itu tak ada hubungannya.

Ia sedang galau bukan?

Jadi—kembali ke topik tadi, dengan segala kemurahan hati, kemuliaan hati dan keramahan tingkat tinggi, Sasuke juga merasa Itachi juga adalah pria paling kejam yang pernah ia temui selama hidupnya. Oh yeah, Sasuke masih saja tak mengerti bagaimana caranya Itachi bisa mendiskriminasi dirinya dengan senyuman ramah (yang mematikan, bukan dalam arti bagus) tetap bertengger di wajahnya. Hal itu benar-benar sangat gila, Sasuke memijit keningnya perlahan.

Dan yang paling parah adalah, jika Itachi juga sudah memasang seringai bak malaikat maut—saat Sasuke sedang membutuhkan pertolongan Kakaknya itu (seperti sekarang), atau jika hidup-matinya sedang berada di genggaman Uchiha sulung itu. Seperti… saat Itachi—entah bagaimana caranya, tahu rahasia-rahasia miliknya. Oh, Itachi sangat tahu bagaimana caranya mem-blackmailing adiknya tersebut.

Dan dua hal menyebalkan itu akan terjadi, jika ia meminta pinjaman uang pada Itachi sekarang. Karena pertama, ia membutuhkan uang Kakaknya tersebut. Dan kedua, Itachi akan tahu kenyataan rahasia bahwa tagihan kartu kreditnya saat ini sudah melebihi batas.

Hah. Ia sedang tidak ingin diintrogasi oleh Ayahnya saat ini, Demi Tuhan.

Atau… bisakah ia meminjam uang Kakaknya tanpa memberitahu rahasia sialan ini?

Atau malah—Sasuke merasa keringat dingin mengalir di keningnya—bisakah ia menjebol rekening Kakaknya diam-diam? Mungkin ia bisa meminta bantuan teman lamanya, Nara Shikamaru?

Sinting.

Sasuke merasa matanya memanas, sebelah kepalanya berdenyut, dan… dadanya tiba-tiba sesak.

Ya, bagus. Semoga aku mendapat serangan jantung sekarang—Sasuke tertawa perih dalam hati seraya meletakkan kedua telapak tangannya di kening sementara kedua sikunya berada di atas meja.

Setidaknya, masalah Itachi akan melaporkan pada kedua orangtuanya soal tagihan ini hanya baru kemungkinan, 'kan? Mungkin saja hal itu tidak akan pernah terjadi. Mungkin saja Itachi kembali menjadi Kakak yang pengertian (menurut Sasuke) seperti saat ia masih kecil dulu. Dan malah, mungkin saja Itachi akan membayari tagihan ini dengan percuma. Dengan kejaiban valentine yang mungkin akan terjadi besok—nah, memang apa hubungannya?

The hell.

Sasuke mendengus—masa bodohlah.

Dengan bersungut-sungut, pemuda berusia dua puluhan itu beranjak dari kursi hitamnya. Bermaksud meraih gagang telepon di ujung mejanya dan menguhubungi Uchiha Itachi, Kakak satu-satunya yang brengsek itu. Tapi tepat setengah detik setelah ia menyentuh benda berwarna hitam tersebut, suara dering yang sudah sangat sering berbunyi di ruangan itu terdengar.

Sasuke terlonjak kaget—entah kenapa. Tapi setelah dering yang kedua berbunyi, pemuda berkulit putih itu pun segera mengangkat teleponnya. Menjawab panggilan tersebut itu.

"Uchiha Sasuke di sini, ada yang bisa saya bantu?" mengucapkan kalimat itu dengan nada luar biasa bosan, Sasuke sampai merasa dirinya ingin menguap. Ia sangat muak menjawab panggilan dengan nada sopan dan kalimat ramah seperti itu. Bah, ia bahkan tidak mengenal hampir delapan puluh persen orang yang menelepon ke nomor ini.

Tapi ini harus—dan Sasuke memutar bola mata beriris hitamnya.

"Err, yeah… Selamat pagi, Sasuke," suara di seberang sana terdengar ragu-ragu.

Sasuke kembali terlonjak dan bahkan nyaris tersedak air liurnya saat mendengar suara sang pemanggil. Memangnya bagaimana bisa ia melupakan suara ramah ini? Suara sang boss. Suara sang CEO sekaligus pemilik sah dari Namikaze Corporation, tempatnya bekerja saat ini.

Suara… Yang Terhormat Tuan Namikaze Minato.

"Iya?" Sasuke merasa mulutnya mengering.

Ada apa Tuan Namikaze memanggilnya pagi-pagi begini? Semoga bukan masalah lagi, Demi Tuhan. Masalah yang datang kepadanya pagi ini saja sudah cukup banyak dan belum bisa diselesaikannya.

Shit.

"Err, begini," suara ragu-ragu itu kembali terdengar, membuyarkan lamunan sesaat Sasuke. "Saya butuh bantuanmu, Sasuke."

Dan Sasuke mengerjapkan mata beriris hitamnya beberapa kali. Terdiam dan sedikit terkejut mendengar pernyataan Tuan Besarnya barusan. Ia tidak salah dengar, 'kan?

"Err, Sasuke?"

Dan Sasuke tersentak, "Oh, iya. T-tentu saja, Tuan."

Minato terkekeh pelan kali ini, tiba-tiba suasana canggung yang tadi sempat tercipta lenyap. "Berapa kali sudah saya bilang, Sasuke? Tidak perlu memanggil "Tuan". Toh kau bekerja di sini jadi bawahanku 'kan untuk didikanmu sebelum memegang perusahaan Ayahmu nanti," dan Minato kembali tertawa di ujung sana.

Tepat menusuk.

Sasuke segera memasang tampang masam setelah mendengar ucapan sahabat Ayahnya itu.

Ia benar-benar tak habis pikir dengan hal yang satu ini. Rasanya saat Itachi mendapat "didikan terkutuk" sebelum turut memegang salah satu divisi di Uchiha Groups seperti sekarang, pria berambut panjang itu tidak harus bekerja pada orang lain seperti dirinya. Walaupun memang saat itu Itachi juga harus menjadi agen berseragam biru-putih yang keliling ke perumahan-perumahan dan menawarkan produk-produk buatan perusahaan keluarganya ini, tapi setidaknya Itachi bekerja dibawah Ayahnya sendiri.

Sasuke melengos kesal. Lalu kenapa saat giliran dirinya yang diberi "didikan terkutuk" menyebalkan ini, Ayahnya, Tuan Uchiha Fugaku Yang Terhormat malah menyuruhnya untuk melamar kerja pada Minato? Pada Namikaze Corporation?

Pemuda berkulit putih itu benar-benar membenci ingatan tentang hari terkutuk tersebut. Ya, benar-benar benci.

Saat itu… ia harus melamar kerja ke orang lain untuk pertama kali dalam hidupnya dengan keadaannya yang luar biasa gugup—dan kesal. Dengan kedua orangtuanya yang mengantar kepergiannya dengan senyuman lebar (ya, Ayahnya juga ikut tersenyum lebar seperti Ibunya). Dengan Itachi yang terus menyeringai setan ke arahnya.

Dan puncaknya… yang paling buruk adalah, Minato yang menerima kedatangan dirinya dengan tampang seperti menahan ketawa—karena melihat dirinya (anak dari Uchiha Fugaku, sang senior sekaligus sahabat lamanya) datang dengan pakaian yang terlampau formal (ia memakai setelan jas hitam, for The God's Sake) dan rambut diberi gel sebanyak-banyaknya, disisir rapi sangat klimis.

Padahal saat itu 'kan ia sedang teramat sangat gugup. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa saat itu usianya baru menginjak angka delapan belas tahun.

Dasar orang-orang tua sialan.

Gah. Sasuke benar-benar merasa bahwa saat itu mereka semua (termasuk Itachi dan Ibunya) berkomplotan untuk mengerjai dirinya yang baru mendapatkan ijazah lulus sekolah menengah atas tersebut. Dirinya yang masih tidak tahu apa-apa tersebut.

Benar-benar sial.

"Jadi," suara Minato di sambungan telepon itu kembali membuat Sasuke terlonjak, kali ini karena pria pirang itu membuyarkan nostalgia pahitnya. "Bisakah kau ke ruanganku sekarang, Sasuke?"

"Y-ya," pemuda itu menjawab dengan wajah panas. "Tentu saja, Paman."

Dan Sasuke kembali mendengar Minato tertawa, "Kalau begitu sampai nanti, Sas. Saya tunggu sekarang ya…"

Dan hubungan pun terputus.

Sasuke menarik napas panjang seraya bangkit dari duduknya dan meletakkan gagang telepon tanpa kabel itu di tempatnya kembali. Ia sedikit menepuk-nepuk celana jeans-nya pelan sebelum akhirnya berjalan menuju pintu kaca di ujung ruangan dengan kedua tangannya tersembunyi di dalam saku celana.

Nah, ada apa lagi sekarang?—pemuda berego tinggi itu mendengus kecil.

.

Ia sungguh tidak menyangka. Sama sekali tidak menyangka.

Lucu—lagi-lagi ini di luar perkiraannya.

Sasuke duduk diam tanpa suara di sofa cokelat susu ruangan pribadi milik CEO Namikaze Corporation. Sedang teramat sangat terkejut walaupun kini tampangnya tetap tak menunjukkan raut wajah apa pun. Iris hitamnya menatap sosok pirang yang duduk di hadapannya dengan tatapan mengharap ke arahnya.

Tapi Sasuke tetap diam. Tak bergeming. Matanya kosong.

Barusan—ya , baru saja… Paman Minato yang ramah itu memintanya untuk melakukan apa?

Ya, beberapa menit yang lalu itu… Paman Minato baru meminta tolong kepada dirinya untuk melakukan apa?

Hah. Demi jumlah uang yang harus ia bayar sebelum empat hari dari sekarang kepada bank nanti, barusan Paman Minato menyuruhnya melakukan a-apa?

Pemuda berkemeja cokelat tua itu… shock.

Kedua panca indranya kembali menangkap sosok Minato yang masih tetap menatap harap ke arahnya sambil mengukir cengiran tak enak. Sasuke tak membalas cengiran itu dengan apa pun, dan ia malah memutuskan untuk kembali melamun. Matanya mulai menatap kosong lagi. Tak menyadari bahwa pimpinannya itu mulai kehabisan kesabaran.

Beberapa saat yang lalu… ya, baru saja… Paman Mina—

Dan Namikaze Minato berdehem keras, memutus kalimat-kalimat yang berseliweran di benaknya. "Ah, Sasuke… kau santai saja nanti itu. Anggap saja kau sedang menjalani pekerjaan sambilan. Bahkan kupikir, keluargamu pun tak perlu tahu tentang hal ini…"

Sasuke sedikit berjengit, tapi masih enggan untuk menjawab.

Pria pirang berwajah tampan itu mencoba untuk tertawa—yang tentu saja malah membuat suasananya makin canggung untuk dirinya sendiri. Berbicara dengan Uchiha memang sulit, ayah dan anak sama saja rupanya—Minato mengeluh dalam hati. Ia harus mencoba dengan cara lain, pria tiga puluh tahunan itu menatap foto berpigura jingga yang sedari tadi berada dalam genggaman tangan kanannya. Ya, karena ia sudah bertekad untuk membuat Sasuke mau melakukan ini.

Keadaannya sekarang sudah dalam tingkat yang benar-benar bingung dan khawatir. Jadi ini memang wajib dilakukan.

Bagaimanapun dia adalah seorang ayah, bukan?

"Err, Sasuke…" Minato mencoba memanggil pemuda yang tengah mematung di hadapannya itu. Ia bahkan tak tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Uchiha muda itu saat mendengar rencananya barusan. Marahkah? Atau malah bahagia? Minato menggelengkan kepalanya pelan, merasa masalahnya akan menjadi tambah rumit jika ia berusaha untuk memahami tatapan kosong anak sahabatnya.

"Ehem," Minato kembali berdehem meskipun tenggorokannya sedang tidak bermasalah. "Dua hari ini kau saya liburkan, dan… saya akan memberi kau uang jajan tambahan—berapa pun yang kau mau, Sasuke, tapi pagi ini kau harus segera berangkat ke Kyokai Elementary School," Minato menyeringai saat melihat bawahannya itu segera mengangkat wajahnya dengan mata membesar. "Dan… tentu saja menyelesaikan misimu."

Minato kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Kali ini lebih gila.

Sasuke yang melihat hal tak wajar itu sama sekali tak berkomentar apa pun, bahkan tidak walau hanya di dalam benaknya. Minato berkata akan membayarnya kalau ia mau melakukan tugas bodoh ini? Tanpa sadar, Sasuke turut mengukir seringai di wajah tampannya. Kalau ia menerima tawaran ini, selesailah semua masalahnya. Benar 'kan?

Seringai Sasuke makin mengembang.

Hutangnya pada bank beserta bunga mereka yang gila-gilaan itu akan lunas—ah, Paman Minato pasti akan mengerti jika kujelaskan nanti. Dan ia juga tak perlu berurusan dengan Itachi yang brengsek itu. Benar-benar sebuah penyelesaian yang menyenangkan.

Lagipula, dengan begini ia akan bebas dari gedung sial ini. Ia akan bebas dari ruangannya dan telepon-telepon sialan itu. Ia akan bebas dari pekerjaan sialan ini. Well, bebas dari "didikan terkutuk"-nya selama dua hari itu lumayan…

"Baiklah, Paman," Sasuke berusaha menyembunyikan rasa senangnya dengan kembali memasang tampang datar. "Aku akan melakukan ini. Di mana alamat sekolah dasar itu?" lanjut pemuda itu tanpa basa-basi.

Minato tersenyum seraya mengeluarkan selembar kartu nama—entah milik siapa—dari dompet kulitnya. Kemudian ia juga mengambil selembar foto—yang Sasuke yakin, gambar itu diambil lewat kamera ponsel. Uchiha muda mengangkat sebelah alisnya.

"Ini," ujar Minato sambil sedikit beranjak dari tempat duduknya untuk menyerahkan dua benda itu pada Sasuke. "Di kartu itu ada alamat sekolahnya dan,"—Sasuke bisa menangkap ekspresi Minato sedikit melembut di sini—"foto itu adalah foto anakku, Namikaze Naruto," lanjut pria itu dengan nada bangga yang tidak ditutup-tutupi.

Sasuke memperhatikan foto bocah yang berada di selembar kertas tersebut. Berambut pirang, bertubuh pendek (tentu saja), sedang tertawa menatap tepat ke arah dirinya—ke arah kamera. Seperti pemikirannya tentang semua anak-anak di dunia ini, kesan Sasuke untuk anak itu adalah; kotor, nakal, bodoh, dan berisik.

Seolah pemuda itu lupa bahwa dulu ia juga sempat menjadi anak-anak.

Sasuke tak berkomentar apa-apa tentang foto anak pirang di tangannya. Ia hanya mengangguk pelan, dan segera mengalihkan pembicaraan, "Jadi, Paman, yang harus kulakukan hanyalah datang ke sekolahnya anak ini"—Minato sedikit berjengit pada tiga kata terakhir yang diucapkan anak sahabatnya itu—"dan mengawasinya?"

Minato tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk singkat. Tiba-tiba raut wajahnya menjadi serius. "Memata-matai Naruto, lebih tepatnya. Lebih bagus kalau ia tak akan pernah tahu bahwa kau pernah melakukan hal ini padanya, atau tahu bahwa saya pernah menyuruhmu untuk melakukan ini," Minato menghela napas dengan ganjil, membuat pemuda berambut hitam itu sedikit bertanya-tanya. "Kau perhatikan saja apa yang Naru lakukan hari ini dan besok, karena… anak itu sudah membuatku sangat khawatir dengan tingkah laku anehnya beberapa hari terakhir ini."

Sasuke sedikit tercenggang mendengar pernyataan itu. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi niat itu diurungkannya saat ia menemukan bahwa setelah berkata ambigu padanya tadi, pria perkemeja putih itu kini tengah melamun menatap ke luar jendela. Sasuke tak bisa memungkiri bahwa ia penasaran.

Pemuda itu pun berdehem pelan dan segera pamit pada sang Namikaze untuk melaksanakan tugas rahasianya. Minato hanya mengangguk singkat.

Saat keluar dari ruangan itu, Sasuke segera menepis berpuluh-puluh pertanyaan yang menggantung di benaknya karena kejadian barusan tadi. Bagaimana pun, Minato adalah orang lain. Sasuke merasa tak pantas baginya untuk mengorek informasi lebih jauh lagi—walaupun, memang siapalah yang tidak penasaran jika tiba-tiba diberi misi aneh dan tak wajar begini?

Memata-matai anak laki-laki yang bahkan belum berusia tujuh tahun?—ada-ada saja. Dan entah kenapa kalimat barusan itu membuatnya terdengar seperti seorang penculik maniak yang senang melihat anak-anak kecil menangis.

Sasuke mengangkat bahunya tak acuh dan segera mempercepat langkahnya menuju lift terdekat. Ia harus mengambil kunci mobilnya dulu di ruangan kerjanya yang kecil dan tidak rapi itu sebelum berangkat. Oh, ponselnya juga tadi tidak ia bawa ke ruangan Minato karena sedang diisi baterainya.

Tiba-tiba Sasuke tersentak. Ya! Dan lagi, ia harus menyembunyikan kertas-kertas tagihan itu di tempat yang aman dulu. Karena Itachi sialan itu 'kan sering muncul tiba-tiba di ruangan kerjanya tanpa izin.

Benar-benar seperti setan. Gah.

To be continued~

.

So yeah, this is written for my dearest awesome FBSN.
Katakanlah sebagai valentine-gift dari agen yang durhaka ini—walaupun udah nggak terlalu aktif lagi di sana T,T
*nggak terlalu aktif gimana, wong emang sama sekali nggak aktif*
But who the hell cares, I still love them. I still proud of them.
Ahaha…

Terus, ini chapter duanya udah kelar. Dan karena ini twoshot, jadi bakalan tamat di next chap… *grins madly*

Mohon apresiasi pembaca semua dengan memberi fanfic ini sepatah-dua patah kata komentar—walau ngarepnya sih lebih dari itu.
Review yaaa, deaaars~ xD
*gombal*