TOECHIHA-SLIPPERUNO

-

Author : Kurosawa Tsubaki
Disclaimer : Naruto © Kishimoto Masashi

2009

-

A fanfiction for my lovely DOC

Asuka. Kumiko. Michiyo. Tsubaki

CHAPTER #I

"You are my falling star, you are my beauty roses. You are the reason why I can survive until now. You are so precious. You are everything in my life, and I don't need anything except you. I am not dissapointed and I didn't curse, and never wanna be. Altough we are just a toe-slipper.."

Hujan deras turun lagi senja itu. Kali ini lebih deras dari kemarin. Gemuruh masih bersenandung di langit yang mendung, meninggalkan jejak kaki cepat cepat di tanah yang basah. Berharap semua manusia di bumi ini segera masuk rumah dan beristirahat. Ada pula sebagian orang yang tetap memilih untuk berteduh di teras teras rumah daripada harus mendapati dirinya flu berat kesokan harinya karena menerjang hujan deras sore ini.

Mereka berdiri, mematung, berharap dewa hujan memberi mereka kesempatan untuk berlari pulang dan mendapati anak anak yang menggemaskan menyambut mereka dengan senyum yang lucu dan penuh keceriaan.

Seperti yang dilakukan oleh wanita berambut gelap itu. Sedari tadi Ia berdiri kaku dibalik jendela kaca berbingkai kayu eboni. Sesekali melirik arloji di tangan kirinya, kemudian matanya kembali menerawang ke luar.

Seperti sebelumnya, yang Ia temukan dalam pandangannya hanyalah rumput rumput jepang berwarna hijau segar yang menutupi sebagian halaman rumahnya. Jalan kecil yang becek oleh air hujan. Kandang dan tempat makan berbentuk hati milik Kon.

Sepertinya anjing kecil itu pun memilih untuk tinggal diam didalam rumah mungilnya setelah menghabiskan tulang ayam sebagai menu makanannya sore ini. Udara diluar memang mulai dingin. Wanita itu bisa merasakannya seperti Kon. Hawanya masuk lewat sisi jendela dan terasa sampai ke pori pori kulitnya.

Tapi sepertinya semua hal itu tak berhasil membuatnya beranjak dari balik jendela kayu, untuk sekedar menghangatkan telapak tangannya di perapian atau menyeduh susu karamel panas panas.

Ia masih menunggu.

Menunggu seseorang yang begitu penting baginya.

Bagian dari dirinya yang tak tergantikan.

.

.

"Kakek curang. Curang! Jelas seja Sakura kalah, lihat lihat! Kartunya disembunyikan semua oleh kakek, Sakura dikasih yang angkanya kecil! Sakura tidak mau menemani kakek bermain kartu lagi!", Seorang cewek terdengar menggerutu, mendengus kesal.

Kakek Yondaime (for Yondaime's admirer : gw tau dia keren, hehe. Tapi sori ya buat sementara dia jadi manula dulu. :) tetap stay cool di kursi goyangnya. Dia tersenyum, matanya menyipit. Tidak seperti kakek-kakek pada umumnya yang terkekeh-kekeh melihat gelagat cucunya, kakek Yon lebih banyak diam. Karena lihat, raut wajahnya yang menggelikan sudah berhasil membuat Sakura tersenyum dalam hati. Tapi kerutan kerutan yang menghiasi wajah tuanya tidak bisa mengaburkan masa mudanya bahwa dia memang seorang yang bijaksana dan penuh perhitungan.

"Kakek pikir modal wajah lugu begitu bisa buat Sakura maafin kakek?", Sakura melipat tangan, pura-pura marah.

Kakek Yon mengangguk.

"Memangnya Sakura-Chan bisa marah di depan kakek?", Kakek Yon kembali tersenyum. Sakura manyun. "Bisa, mau lihat? Hiaaaaat…", gadis berambut pink itu menyeruduk perut kakeknya dengan kepala. Kemudian mereka tertawa bersama.

"Hahaa.. Ibu lihat insiden tadi tidak?! Haha.. seruduk bant", Sakura menoleh pada Ibunya, Hinata.

Sakura tidak meneruskan kalimatnya. Sesaat Ia tertegun menatap ibunya yang masih tetap berdiri di dekat jendela berkaca bening itu.

Dia berdiri, membersihkan sedikit bagian belakang piamanya kemudian beranjak menjauh dari perapian.

"Ibu?", Sakura menghampiri sosok dihadapannya.

Hinata menoleh, tersenyum. Mata tanpa ekspresinya tak dapat menghilangkan jejak klise dimata Sakura. Dia baru saja menangis.

"Sakura-Chan.", raut wajahnya dibuat seceria mungkin.

"Ibu sedang menunggu ayah.", lanjutnya pelan.

Sakura menghela nafas.

"Sakura tahu, bu. Sakura pun sangat cemas. Sama seperti ibu. Sama seperti kakek.", Sakura mendekatkan tubuhnya ke sisi Hinata. Hangat. Sehangat suhu tubuh ayahnya.

Hinata memeluk tubuh Sakura, mengusap punggung putri semata wayangnya.

"Meskipun Sakura lebih khawatir pada ayam gorang terigu untuk makan malam, ayah janji membawakannya jika pulang, kan?", mata hijau Sakura mengerling ke arah Hinata. Hinata mengerenyitkan dahi.

"Eh, bercanda bu. Bercanda.", Sakura nyengir.

"Ibu.."

"Hm?"

"Ayah pasti pulang.", Sakura meyakinkan ibunya. "Namida o fuite, Okaasan. Shinpai shinai de."

Hinata tersenyum pada putri tunggalnya itu. "Arigatou, Sakura-Chan."

Wanita itu mengusap rambut putrinya pelan.

Kemudian kembali menatap pemandangan sepi diluar sana.

Naruto.


Shinobi High School, 08:26 am. X.3

"Whoaaaaammmm…", Ino merenggangkan tangannya, telapak tangan kirinya mendorong pipi Sakura. Sakura menghempaskan tangan kiri Ino keras.

Ino mendelik ke arah Sakura.

"Mengganggu orang lagi nguap bisa menyebabkan darah tinggi, asma, jantungan, kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin!", Ino melotot ke arah Sakura.

Sakura menggelengkan kepala.

"Ngaco.", katanya sebelum kembali melanjutkan menulis sebuah artikel untuk mading kelasnya. "Daripada kamu hibernasi tak jelas begitu, lebih baik bantu aku mencari bahan untuk isi mading kelas kita."

Ino menopang dagu.

"Anda yakin usul dari sel otak abu abu saya akan diterima?", kata cewek berambut pirang itu sambil memutar mutar pulpennya.

Sakura memasang tampang 'what-a-disgusting-thing-to-say'.

"Oke kalau begitu.", Ino mengeluarkan secarik kertas dan membuka tutup ballpointnya.

HOT GOSSIP HARUNO SAKURA & UCHIHA SASUKE

*YANG TIDAK MEMBACA INI AKAN DITEROR*

Sakura melotot, mendelik ke wajah Ino dengan mata menusuk. Ino terkikik.

Sakura mengambil kertas itu dan merobeknya.

"lho Kur, kenapa sih? Katanya aku harus bantu.. lagipula, benar kan, kau memang dekat dengan Sasu-kun?", Ino menaikan sebelah alisnya.

"Kuchi ni kiotsukeru.", Sakura kembali menulis artikelnya. Ino manyun, kemudian akhirnya benar benar membantu Sakura mencari beberapa bahan untuk mempersempit bagian kosong di daerah papan mading kelas mereka.

Untuk yang pertama kalinya di hari itu Sakura melirik ke meja—Sasuke.

Cowok berkacamata itu (gomeenn.. kali ini gw nambahin aksesoris buat Sasu, kebayang kan? :) sedang sibuk menggunting sebuah gambar karikatur dari majalah. Dia meliuk-liukkan gunting diantara jari-jarinya, kemudian menempelkan gambar itu di atas sebuah sterofoam dengan doubletip.

Cowok itu mengamati karikatur dan beberapa artikel yang sudah ditempel. Seperti merasa puas, dia menghela nafas kemudian tersenyum tipis.

Sakura tertegun.

Sasuke. Ehm. Cukup tampan jika dilihat dari pinggir.

Dia. Dia memang tampan.

Eh?!

Maksudku— Meskipun Sasuke dingin dan agak menyebalkan, kurasa aku perlu berterimakasih padanya. Kurasa hanya dia yang peduli pada mading kelas ini selain aku. Yang lainnya terlihat acuh tak acuh, terutama Chuoji dan teman temannya. Haah. Bagaimana aku bisa mengandalkan mereka? Otak mereka hanya dipenuhi oleh sandwich dengan selai kacang dan kue kering.

Ah—

Sasuke menoleh pada Sakura. Sakura cepat-cepat mengalihkan pandangannya pada artikel yang sedang disalinnya.

"Uheeeemm…", Ino berdehem keras. Sakura melirik.

"Kenapa In? Kemasukan roh leluhur lagi?", tanya Sakura kerena itu sudah menjadi alasan Ino jika sewaktu-waktu dia berdehem. Dan biasanya arwah leluhur Ino menjenguk cucunya sesaat satelah Sakura selesai memperhatikan Sasuke. *AKU-NGGA-MERHATIIN-DIA ! (Sakura)*. Entah.

"Blosooomm.. of floooweeerrr…", Ino bernyanyi tak jelas. Setahu Sakura sih tak ada syair blossom of flower yang bernada seperti itu.

"Doutandesuka, Ino-Chan…?"

Ino nyengir sambil memainkan rambut panjangnya.

Dasar centil.

Sakura menggelengkan kepalanya, dan melanjutkan menulis artikelnya yang sedari tadi belum diselesaikannya.


"Sakuraaaaa…!", Ino berlari-lari ke arah meja Sakura. Cewek berambut pink itu terlihat sedang membereskan buku paket yang baru saja selesai ia gunakan di kelas fisika. Huf. Banyak sekali pekerjaan rumah untuk hari ini.

"Sakuraa!! Hot nyus, hot nyus!!"

Sakura berkacak pinggang. "Iin.. apa sih?? Suara kamu tu lama lama bisa diincar teroris untuk dijadiin alternatif ekonomis nge— "

"Eeh??!", lengan Sakura ditarik oleh Ino.

"Ga da waktu buat ngeles, kamu harus lihat ini!", seru Ino sambil tetap menyeret Sakura keluar kelas.

Ke arah lorong perpustakaan.

"Waduh. kok jadi kaya toko obat gini sih?! Padahal tadi masih sepi!", Ino maju berdesak-desakkan dengan siswa siswa yang lain, membuka jalan untuk dirinya dan Sakura.

"Minggiiiiirrrrrr…!!", Ino menyeruak sambil tetap memegang lengan Sakura.

"Tu—Tunggu Iin, ini.. apa-apapun??!"

Ino tak menjawab, sampai ke depan sebuah poster yang dipajang bersebelahan dengan majalah dinding kelas yang baru dipasang kemarin sore.

Mau tidak mau, Sakura harus membaca poster berukuran besar itu, mengingat perjuangan Ino yang dengan susah payah membantunya melewati anak anak yang juga (mungkin) ingin mengetahui isi poster tersebut.

GREAT NEWS

Hi minna-san !

Show your time in "Lalala Song Contest"

Friday, August 17th 1945

am at auditorium Konohagakurkur Senior High School

headline registration : August 15th 1945

PRICE : Money. Thropy. Singing with Uchiha Itachi!!

So, what's going on?

Here We Go !!!! ^^

Ino menepuk bahu Sakura. "Gimana?"

"Ah?", Sakura menoleh. "Apanya?"

Ino mengerenyitkan dahi. "Apanya yang apanya gimana??!"

Sakura semakin tak mengerti. "Gimana apanya apanya?"

"Huah! Sabar Ino.. Sabar..", Ino mengelus dadanya.

"Gimana tanggapanmu?"

"Oh.. eng..", Sakura terlihat berfikir.

Semenit kemudian cewek bermata emerald itu tersenyum tipis.

"Huh. Sudah ku duga.", Ino menarik Sakura keluar dari kerumunan.

"Kamu juga ngefans kan sama Kak Itachi?"

Sakura terdiam. Raut wajahnya seketika berubah masam.

"Bukan begitu, aku—"

"Oke, apapun alasannya, kau akan mengikuti lomba ini, kan?"

Walaupun suara Ino teredam oleh suara anak anak cewek yang ber kyaa~ kyaa~ melihat nama Itachi Uchiha, Sakura masih dapat mendengarnya.

Sakura mengangguk mantap.

Ino nyengir lalu mengacungkan jempolnya.

Sakura mengehela nafas dalam, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Segumpul asap tipis yang keluar dari mulutnya menandakan kalau udara hari ini begitu dingin.

Mata hijaunya memperlihatkan sesuatu.

Sesuatu alasan sederhana yang membuat Sakura menerima tawaran sahabatnya untuk mengikuti kontes menyanyi dua minggu yang akan datang.

PAST

"Mite kudasai, Okaasan!", Sakura menunjuk keluar jendela.

"Langkahnya seperti menuju kemari, bu."

Hinata menelusuri telunjuk Sakura, mencoba mencari sosok yang ditunjuk oleh putrinya.

"Byakugan!", Hinata itu mengeluarkan jutsu andalannya agar bisa lebih jelas dan memastikan apa yang dilihat di mata tanpa ekspresinya.

Terhalang kabut.

Hujan yang semakin deras.

Hari yang sudah mulai malam.

Tapi wanita anggun itu bisa meyakinkan mata dan hatinya.

.

.

.

Dia telah pulang.

"Siapa, bu?", Sakura menarik-narik lengan baju Hinata.

"Sakura, tunggu disini. Temani kakek.", Hinata mengambil payung dan mengangkat kayu palang pintu rumahnya.

Kemudian berlari, berlari, hingga ukuran tubuhnya menjadi sangat kecil dimata Sakura.

Sakura menoleh pada kakek Yon, yang rupanya sudah tertidur di kursi goyangnya. Sakura berjinjit untuk mengambil selimut tebal lalu menyelimuti kakek yang sangat disayanginya itu. Gadis itu mengecup pipi Kakek Yon sekilas, kemudian berjalan pelan, menjauhinya. Langkahnya terhenti di dekat jendela.

Eh. I- Itu.

"A.. Ayah?", gadis berambut pink itu menatap tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.

Dua sosok itu sangat tak asing dimatanya.

Semakin dekat dari pandangannya. Semakin jelas.

"Ayaahh…!!", Sakura melompat keluar rumah dan berlari memeluk ayahnya.

"Aku kangen, ayah!!"

"Hei, kireina yamori-chan.", Naruto tertawa kecil sambil mengusap rambut tipis Sakura. Sakura memeluk pinggang ayahnya semakin erat.

-yamori = cecak. Naruto memanggil Sakura dengan sebutan itu karena Sakura selalu menempel pada Naruto seperti cecak menempel pada tembok.-

"Mana? Mana ayam gorengnya??", Sakura mencari cari bungkusan di tangan ayahnya.

"Sakura-chan. Ayahmu ini baru pulang.", Hinata menggelengkan kepala.

Sakura nyengir. "Ibu tahu kan aku tak pernah serius dengan ayah.", Sakura mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya. "Iya kan, Yah—"

"Ayah? Wajah ayah pucat.", Sakura mendongak.

Hinata menatap wajah suaminya. Naruto menoleh kearah Hinata.

"Hei, aku hanya kurang tidur. Kau pun tahu kan, jarak dari penginapan ke tempat kerjaku cukup jauh. Jadi, aku harus berangkat lebih pagi agar tak terlambat. Tak usah mencemaskanku begitu, Hinata."

Hinata terdiam, kemudian mengangguk ragu.

"Lagipula, ayah sangat menyenangi pekerjaan ini.", Naruto tersenyum pada Sakura.

"Setiap hari rasanya berjalan begitu cepat."

Sakura tersenyum miris.

Kurasa tak ada sisi yang mengenakkan-dari sudut manapun-untuk seorang pekerja tambang batu bara, Ayah.

Tapi aku bangga, ayah. Aku sangat bangga padamu.

Dan aku sangat beruntung mempunyai ayah sepertimu.

"Tadaima.", Naruto menahan berat tubuhnya ke bingkai pintu. Dia melihat suasana rumah berlantai kayu itu untuk beberapa saat.

Laki-laki periang itu tersenyum. Tak ada yang berubah. Masih hangat seperti dulu.

"Sebentar, ayah." Sakura melepaskan rangkulannya dan pergi ke arah dapur.

Hinata menyandangkan lengan Naruto ke pundaknya, membopongnya menuju sofa kecoklatan di sudut ruangan.

"Hinata, tak usah memperlakukanku seperti anak kecil begini.", Naruto menoleh pada istrinya yang sedang membantunya duduk.

"Lagipula kau terlihat sangat lelah."

Hinata menuangkan teh hangat beraroma melati kedalam cangkir marmer, kemudian memberikannya kepada Naruto.

"Aku tak melakukan apa-apa hari ini. Sungguh.", Hinata duduk di samping suaminya.

"Aku hanya lelah— menunggumu."

Naruto terdiam, menatap wajah keibuan yang berada di depannya. Tersenyum.

"Aku beruntung mempunyai istri sepertimu.", Naruto menempelkan dahinya ke dahi Hinata, lalu mencium keningnya lembut.

"Naru— Naruto. Dahimu panas sekali?", Hinata mengukur suhu tubuh Naruto menggunakan punggung telapak tangannya.

"Ayaahh!! Air mandi sudah siaap!!", Sakura berlari kecil menuju ruang keluarga.

"Sakura-chan, tolong panggil Tante Tsunade."

Sakura menghentikan langkahnya.

Di tengah deras hujan begini.. Kenapa aku harus memanggil dokter?

Ada apa dengan ayah?

"Cepat, Sakura.", volume suara Hinata lebih keras. Walaupun tak ada kesan memerintah, Sakura tahu dia harus segera pergi.

"Tunggu aku, ayah."

Blam.

PRESENT

"Sakura! Hei Sakura!!", Ino mengibaskan tangannya ke depan wajah Sakura.

"Sakuuraaaaaaa!!!!!!" auman Ino membuat sebagian cewek yang berkerumun disitu menyingkir dan mencari tempat teraman sebelum mereka mendadak tuli. Sebagiannya lagi menutup telinga.

Sakura terbangun dari lamunannya, memasang tampang WE.

Ino threemusclerise.

"Lagi ngelamunin duet dengan Kak Itachi ya?", mata Ino menyipit sambil menyenggol-nyenggol lengan Sakura.

Sakura terdiam. Yang benar saja.

Oke. Kalau kalian berfikir aku cewek abnormal atau apa, batin Sakura.

Tapi aku sama sekali tidak tertarik pada seonggok makhluk bernama Itachi Uchiha itu. Anak laki-laki yang hanya bermodalkan wajah untuk menarik perhatian mereka.

Sakura melirik beberapa cewek ( mereka masih bertahan setelah mendengar auman Ino) yang sedang menatap wajah cool Itachi di lembaran dua dimensi itu.

"hei Iin.", Sakura mencolek lengan Sahabatnya. "Kenapa kamu tak ikut kompetisi ini juga? Siapatahu kamu mendapat kesempatan bernyanyi dengan dia.", Sakura mendelik ke poster Itachi.

"Hei Kur, kamu mau mengejekku, hm?", Ino tersenyum miris. "Hadiah duet dengan Kak Itachi itu hanya untuk juara I. Aku tahu aku tak mungkin menang darimu, kawan.", Ino nyengir.

Sakura tertegun.

Hei. I—Ino.

"I.. Ino aku—"

"Sakura. Jangan bilang kamu mau membatalkan niatmu untuk ikut lomba ini demi aku?!"

Cewek bersepatu pink itu terdiam. Dia sangat tahu pasti ketertarikan sahabat dekatnya itu dengan kakak kelas XII yang bernama Itachi Uchiha. Dia sangat menyukai cowok legendaris itu. Bahkan foto Itachi yang sedang jongkok pun menjadi sasaran objek Ino untuk melengkapi koleksi foto Itachi With His Cute Pose di ponsel Ino.

Sakura speehless.

Ino tahu apa yang dia pikirkan dengan sangat akurat.

"Sakura oon, dengarkan aku.", Ino memegang kedua bahu Sakura tangannya.

"Kalau aku tak mau kamu ikut lomba ini, untuk apa aku mengajak mu kesini? Aku juga tahu kau akan langsung memalingkan wajahmu begitu melihat poster Kak Itachi yang sebesar baligo iklan indomie itu. Aku mengajak mu kesini karena aku memang ingin kau ikut! Karena aku yakin kau pasti menang!", Ino menggoncang bahu Sakura keras.

"Lagipula.. meskipun kamu tak ikut, masih ada Karin-chan. Mungkin aku hanya bisa jadi Runner-Up.", Ino nyengir.

"Karena aku tahu Kur, saingan Karin selama ini ya— hanya kau."

Hah.

Kini Sakura yang balik melotot ke arah Ino.

"Kamu bukan Iin. Kemana Iin, hah? Kamu sembunyikan dimana dia?", Sakura mengepalkan tinjunya ke arah Ino.

"Lho ? Kur Kur.. Ini aku..", Ino menunjuk dadanya.

"Ino yang ku kenal tidak seperti ini. Ino yang ku kenal adalah Ino yang narsis. Dia selalu optimis dan sombong. Bukan seperti ini!"

Sakura melipat tangan. "Kalau kamu tak ikut, aku pun tak akan."

Ino menghela nafas. Lalu tersenyum.

"Baiklah, kalau itu yang kau mau.", seru Ino dengan wajah menantang.

"Sampai bertemu di final ya, Kur.", Ino mengepalkan tangannya.

Sakura mencibir.

"Ayo, setelah jam istirahat kan pelajaran seni, Sasori-Sensei! Kita bisa dijadikan boneka kalau telat!", Ino terkekeh.

Sakura merangkul pundak sahabatnya dan berjalan menuju kelas mereka.

Tap! Tap! Tap

Tap! Tap! Ta—

Eh?

Sakura tak melanjutkan langkahnya.

Ino menarik lengan Sakura.

"Ada apa Kur? Ayo!"

"Iin, duluan saja ya? Ada yang tertinggal—hanya sebentar."

Ino mengerenyitkan dahi. "O—oke.", kata Ino singkat, kemudian berlari menuju kelas.

Sakura menoleh ke arah lab kimia.

Gadis bermata hijau itu melihat sesuatu disana — lebih tepatnya seseorang.

Seseorang yang membuatnya lebih memilih untuk masuk ke ruangan berbau tak jelas itu dan melewatkan satu sesi pelajaran di kelas seni.


"Sasuke?", Sakura hendak menghampiri cowok berambut agak acak-acakan itu. Sasuke menoleh. Sebentar. Kemudian matanya kembali tertuju pada gelas ukur yang sedang dipegangnya, memperhatikan cairan bening yang baru saja dimasukkan kedalam gelas ukur itu.

"Mau apa?"

Eh?

Sakura tidak jadi masuk. Dia berdiri terpaku di pintu lab.

Benar juga. Untuk apa aku menemui cowok aneh ini?

Sakura berdehem. Mencari jawaban logis lebih baik daripada ia harus mati gaya di tempat itu. Oke. Jawaban yang logis.

"Ehm. Harusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kau disini?", Sakura balik bertanya.

Sasuke menaikkan kacamata tanpa frame-nya.

"Mandi.", jawab Sasuke dingin.

Sakura mendengus kesal.

"Maksud ku ini jam pelajaran seni, bukan kimia. A—aku hanya ingin mengingatkanmu untuk segera menyelesaikan kerajinan tangan yang ditugaskan oleh Sasori-sensei. Paling lambat dikumpulkan hari ini, Sasuke. Kau bisa dimarahi jika terlamb—"

"Tugasku sudah dikumpulkan minggu kemarin."

Ah.

.

.

"Me—memangnya kelompok kimiamu belum menyelesaikan praktikum untuk minggu ini? Kenapa tidak dikerjakan bersama saja, bukannya akan lebih cepat?"

Sasuke mengambil labu erlenmeyer dan menyimpannya di atas meja lab yang dilapisi keramik.

Sakura mengambil salah satu kursi kayu berkaki tiga lalu duduk.

"Aku tak mau ada kesalahan."

Eh.

Sombong sekali makhluk yang satu ini. Dia pikir hanya dia yang bisa melakukan semuanya dengan sempurna?

"Laporan praktikum bab ini harus dikumpulkan besok, Sasuke. Seharusnya sekarang kelompokmu sudah mengetiknya untuk presentasi nanti."

Sasuke mendelik ke arah Sakura.

"Lihat besok. Presentasi siapa yang lebih bagus. Sekarang diam. Mengganggu saja."

Sakura menggigit bibir. Speechless.

huh. anak ini.

Ayolah Sakura, katakan apapun.

'Sasuke-apakah-kau-lapar?'

Huh. Sakura menghela nafas. Kesal. Rasanya aku tak mempunyai kata kata bermutu yang biasa aku ucapkan untuk berbasa-basi dengan teman temanku. Aku kehilangan kata-kata berbobot itu setiap kali berbicara dengannya. Aku merasa sangat kesal.

'Sasuke-apakah-kau-bosan-hidup?'

"Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih."

"…"

"Terimakasih karena Sasuke sudah peduli dengan mading kelas kita. Ide-ide yang kau tulis berhasil membuat semua siswa tertarik untuk membacanya."

Sasuke memasukkan garam yodium yang baru saja ditimbangnya ke dalam sebuah gelas ukur.

"Kau berbicara seperti itu seolah-olah aku bukan bagian dari kelasmu."

Eh?

"Maksudku bukan—"

"Kalau itu bukan kewajibanku, aku tak akan mau melakukannya."

Cowok berkemeja biru itu menyimpan tabung spirtus di bawah kaki tiga.

Cowok ini.

"Kau—sangat berbeda dengan kakakmu."

"Kita bukan kembar."

"Tapi paling tidak ada kemiripan."

Sasuke-yang sedari tadi berkonsentrasi dengan praktek kimianya-menoleh kearah Sakura.

"Jadi kau pikir rambut kakakku itu pink?"

Eh.

Benar juga.

Rambutnya hitam, sama seperti Itachi. Matanya juga hitam, sama seperti Itachi.

Cara dia berpakaian. Cara dia berjalan.

Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa dia memang adik Itachi.

"Hn.."

"Aku tidak suka dibandingkan, kau harus tahu itu.", Sasuke mengaduk larutan yang baru saja dipanaskannya.

"Sekalipun kau adalah penggemar berat Itachi Uchiha."


"Yamanaka?", Sasori-Sensei menghampiri meja Ino-Sakura.

"Mana teman sebelahmu?"

"Dare yooo….", Ino tetap berkonsentrasi pada syal wol yang belum selesai dirajutnya.

"Haruno."

"Ke toilet mungkin.. nanti juga balik.."

"Dia tidak menitipkan hasil pekerjaannya padamu?"

Ino menggeleng.

"Dan pekerjaan mu sudah selesai?"

"Liat sendiri, sudah selesai atau belum. Uda pergi sana. Hus hus.. kalo ngga ntar aku aduin ke Pak Sasori dengan motif disrubernisasi. Nanti kau disulap jadi boneka gorila loh. Graaauuurrr!!!! Gamau kan? Yaudah, sana pergi."

"Boneka.. Gorila?"

Ino menggeram. Ni anak bawel banget seh.

Ino mendongak. "Kamu tu—"

Hoh. Sejak kapan Sasori-sensei berdiri di situ?

"Sedari tadi.", kata Pak Sasori seolah-olah mengetahui isi hati Ino.

Ino sweatdrop.

Jadi dari tadi aku bicara dengan Sasori-Sensei?!

"Sasori-sensei, hai. Hari yang cerah, bukan?", Ino memasang tampang innocent.

Pak Sasori tersenyum.

"Em Um. Eng. Sakura kerajinan tangan dia Bapak bertanya, kan? Sebentar. Ambil saya dulu kolong bangku sini. Ya. Hehe. tu—tunggu Sensei.", Ino cepat cepat merogoh ke bawah meja dengan tangan bergetar.

Ini? Ino mengeluarkan apa yang ditemukannya.

Selembar kertas dan aha! Ini dia—tanah liat berbentuk bunga mawar. Di bawah kelopaknya terdapat ukiran tulisan—Haruno Sakura.

Bagus sekali.

Eh, ini bukan waktunya memuji.

Ino menyerahkan kerajinan tangan milik sahabatnya itu.

"I—ini Pak, milik Sakura. Bagus ya? Hehehe.", Ino menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sasori-Sensei mengangguk setuju.

"Oke. Lanjutkan pekerjaanmu, Nona gorila.", Sasori-Sensei tersenyum kemudian kembali berjalan mengitar bangku anak-anak untuk memeriksa hasil pekerjaan mereka.

Ino menghela nafas panjang. Semogaaa nilai kerajinan tanganku tidak dikurangii… huf. Ino bodoh. Harusnya kau lihat dulu orang yang kau ajak bicara!

Ino mengentikan aktifitas merajutnya. Matanya tertuju pada selembar kertas yang dia temukan bersamaan dengan hasil kerajinan yang dikejakan oleh Sakura. Siapatahu ini adalah pesan dari Sakura untuknya supaya menyerahkan hasil kerajinan tangannya pada Pak Sasori.

Eh. Sepertinya bukan.

Ini — sebuah puisi.

Mentari tahun ini tak juga menyurutkan mimpiku.

Angan dan semua rasa yang ku toreh.

Bahkan butiran salju yang mencair di dahan dahan.

Tak menyaingi seluruh ketidakmampuanku.

Biarkan saja, Putri.

Biarkan angin musim dingin itu berlalu.

Diselingi daun daun wangi pohon maple.

Tapi rasaku.

Walau hanya mampu tergores tipis.

Dan sekejap terhapus pasir mungil.

Aku menunggu rasa itu hadir.

Di seluruh indra mata dan hatimu.

-Invisible Sharingan-

Ino melipat kembali kertas berwarna merah hati itu. Mungkin ini untuk Sakura. Atau untukku?

Haha. Tidak mungkin.

Oke, aku akan memberikannya pada Sakura nanti.

Eh.

Ino kembali membuka lipatan kertas itu dan membacanya.

Tulisan paling bawah.

Ini.

Invisible sharingan?


You know I care for you.

You know that I'll be true.

You know that I won't lie.

You know that I would try.

To be your everything.

You are my all.

Your beloved Husband,

Uzumaki Naruto.

(Chris Brown-With You)

-2b continue-


Huf –ngelap keringat-

Hai semua, bertemu lagi dengan sang author –ditimpuk kunci inggris-

Chapter pertama di fic pertama.. akhirnya selesai juga.. -tepuk tangan sendiri-

Maaf ya, kalau kurang memuaskan, terutama karena watak dan karakter yang belum bisa dideskripsikan dengan baik. –audience : angguk angguk-

Maaf karena q –dengan jumawa- menjadikan NaruHina jadi ortu na Sakura (pdhal uda jelas2 dilat dri marga juga ga nyambung..huhu..)

Maaf karena q ngjelek2in Itachi.. phal q juga penggemar berat dia. –q benci diriku!-

Trus maaf juga kalau judul ma ceritanya ga nyambung - Em. nti q sambungin di chap selanjutnya. Gotta wait it? :)

q sangat menantikan review –audience : baca aja ga niat, apalagi review?!-

em. yg jelas riview mu mengalihkan dunia q. halah. (singing mode : ON)

makasi bnyak yg uda mu riview,, :)

skali lgi maf, q blum bisa kasi yg terbaik. Smoga di bab selanjutnya, ya.

Uhm. Sudah mulai mengantuk.

Sampai brtemu di chap selanjutnya ya.

Yo, minna-san, oyasuminasai..

-Kurosawa Tsubaki-