Disclaimer : Oh, not mine. It's Ryohgo Narita's.

Summary : Izaya sedang tidak merindukan siapapun, sungguh. Bahkan ketika dia menyusuri sudut demi sudut kota Ikebukuro dan mengingat berbagai hal yang dia lakukan bersama si pirang bodoh itu. –Shizaya, Fluff. RnR are loved :3

Remember

Chapter 1 of 2

.

~by : kiriohisagi~

Izaya tidak sedang merindukan siapapun, bahkan ketika dia melewati jalan Ikebukuro yang ramai dan berhenti disalah satu titik yang membuatnya lupa bernafas sejenak. Sebuah pertigaan yang lenggang, Izaya menatap lurus ke salah satu sudut jalan, menemukan dirinya sendiri beberapa tahun lalu sedang menyetop taksi.

.

.

"Tunggu, jangan berani-berani!" Izaya mendengar suara berat dengan nada yang mengintimidasi ketika dia sudah akan membuka pintu taksi yang dia stop. Izaya menolehkan kepalanya, dan melihat pria lebih tinggi darinya sedang terengah-engah mencoba meraih pintu taksi milik Izaya.

"Hah?" Izaya mengangkat alisnya. "Aku yang duluan menemukan taksi ini, tuan."

"Percayalah, aku sedang terburu-buru." Sahut pria itu sambil mengetuk-ngetukkan kakinya. Dia menatap Izaya tidak sabar, seolah-olah bilang kalau Izaya sudah membuang waktunya. Saat itu Izaya sadar, terlepas dari rambut pirang nyorak miliknya, pria ini juga mempunyai mata almond yang sedikit—ingat, cuma sedikit—indah.

The heck yang dia pikirkan?

Izaya menggelengkan kepalanya lalu melengos tidak peduli. Siapapun pria ini, perarutan tetaplah peraturan. Izaya yang duluan menemukan taksi, jadi Izaya menang. Memikirkan itu, Izaya buru-buru membuka pintu taksi dan masuk kedalam. Tapi sebuah tangan besar tiba-tiba mencengkram lengannya.

"Maaf," katanya. Dan butuh waktu sebentar bagi Izaya untuk sadar dia sudah ada dipinggir jalan, sedang taksi itu melaju tanpanya. Izaya melongo. Sejak kapan, coba?

"Pirang kurangajar," Izaya mendesis benci kearah taksi yang sudah mengecil dikejauhan, tempat pria pirang yang entah siapa namanya itu berada. Oh, Izaya tidak akan pernah melupakan ini. Apalagi ketika dia menemukan sebuah dompet yang terjatuh tak jauh dari tempatnya berdiri.

Izaya membukanya dan menemukan foto pria pirang dengan mata almond itu bersebelahan dengan sebuah alamat dan nomor telepon, semacam kartu nama.

Heiwajima Shizuo.

Izaya mendengus. Ini bukan komik shojo kan?

.

.

Izaya menatap sudut pertigaan itu lalu menggaruk kepalanya. Di pertigaan itu, beberapa tahun yang lalu, dia bertemu dengan seseorang yang menyebalkan. Izaya melanjutkan jalannya, menyetop taksi, dan menyebutkan sebuah alamat, kali ini tanpa diganggu siapapun.

Izaya masih diam, menatap gedung-gedung dan beberapa tempat yang banyak berubah sejak dia meninggalkan kota ini. Banyak yang berubah, setiap orang juga berubah. Tapi Izaya tahu, ada beberapa hal yang tidak berubah, setidaknya belum.

Taksi itu berhenti di sebuah bar yang masih tutup. Izaya turun dan menatap seluruh gedung itu dengan datar. Bar ini juga belum berubah, masih sama seperti beberapa tahun lalu.

Dan Izaya sedang tidak merindukan siapapun. Bahkan ketika kakinya tanpa dia sadari melangkah kedalam bar yang masih sepi, dan matanya berhenti disebuah titik. Dimana dirinya beberapa tahun yang lalu sedang berdiri disana, menatap tidak percaya kearah bartender yang sedang mengocok minuman.

.

.

Yang pertama kali Izaya lihat ketika dia memasuki bar ini adalah kepala pirang yang mencolok. Izaya mendekat dan menatap tidak percaya pada bartender yang sedang membuat minuman.

Mata almond yang sama!

Teriak Izaya dalam hati. Tadi dompet, sekarang bertemu lagi, selanjutnya apa? Izaya sudah akan berbicara ketika si kepala pirang mengangkat kepalanya dan bertemu mata dengannya.

"Oh!" kepala pirang itu terkejut menemukan Izaya sedang berdiri dibalik meja bar. "Pria taksi yang tadi." Kata kepala pirang membuat Izaya berdecak. Jadi bagi pria ini dia cuma sekedar Pria Taksi, huh?

Izaya lalu memutuskan untuk duduk disalah satu kursi dan memesan minuman, mencoba tidak peduli dengan perkataan si pirang yang omong-omong ternyata sangat menyebalkan. Izaya pura-pura tersenyum manis, mencoba menunjukkan kalau dia tidak dendam sama sekali.

"Kenapa kau tidak bilang tujuan kita sama, he? Kalau tahu aku tidak masalah berbagi taksi denganmu." Katanya sambil mendengarkan pesanan tamu yang lain. Izaya tertawa kecil, selain kurangjar ternyata pria ini bodoh ya? Bagaimana bias dia tahu kalau tujuan mereka sama?

"Begitu ya? Baiklah, lain kali aku akan bilang, Shizu-chan."

Si Bartender menoleh ke arah Izaya dengan heran, bertanya-tanya kenapa pria yang baru dikenalnya bisa tahu namanya.

"Tahu namaku darimana? Dan oh ya, bukan Shizu-chan. Shizuo." Si bartender mengoreksi, Izaya terkekeh.

"Lebih suka Shizu-chan ah, kan lebih imut." Izaya mengedipkan satu matanya, dan dia tahu si kepala pirang itu tidak suka. Sempurna, karena itu memang tujuan Izaya.

Bartender itu lalu berdehem.

"Lalu, kau pesan minum apa?"

"Apa saja yang menurutmu enak deh." Sahut Izaya sambil tersenyum sangat manis. Membuat pria bartender itu mengedipkan matanya sejenak sebelum kemudian mengangguk.

Izaya tertawa menang dalam hati. Dia bersumpah tidak akan mengembalikan dompet pria ini sebelum dia bermain-main sebentar. Karena pria ini menarik—untuk digoda maksudnya.

Sayangnya, Izaya di masa itu belum tahu tentang apapun. Termasuk kenyataan bahwa pria pirang itu tidak sekedar menjadi pria yang dia goda karena merebut taksinya malam itu.

.

.

Izaya menggaruk kepalanya yang tidak gatal ketika keluar dari bar yang masih sepi. Dia menatap sekeliling dan berhenti disalah satu trotoar jalan, tempat dia melihat dirinya dimasa lalu sedang berjalan dengan seseorang, rambutnya pirang.

.

.

"Jadi, kali ini kemana?" Tanya si rambut pirang menggaruk kepalanya canggung. Izaya tertawa, menikmati setiap sikap canggung si pirang yang menurutnya lucu.

Well, ini kali kelima mereka bertemu kalau hari pertama mereka berebut taksi itu dihitung. Dan kali ketiga mereka keluar bersama setelah si pirang selesai bekerja.

Izaya waktu itu masih belum tahu kalau menghabiskan waktu bersama pirang bodoh ini bisa sebegini menyenangkan.

"Terserah, aku tidak punya rencana. Tapi ini sudah jam sebelas lho Shizu-chan," Izaya melihat jam tangannya, tepat saat dia mendengar decakan apa boleh buat dari si pirang.

"Di bar tadi kau tidak makan apapun kan? Jadi, makan malam?"

Izaya melebarkan matanya lalu menoleh ke arah si pirang bodoh yang sekarang sedang pura-pura membetulkan kerah kemejanya. Izaya terkekeh, jadi akhirnya pirang bodoh ini berani mengajaknya makan malam, huh?

"Boleh, dimana?" Tanya Izaya.

"Kau tahu restoran di ujung jalan itu? Yang cat nya putih tulang."

"Ho, itu restoran mahal Shizu-chan. Butuh pesan tempat dulu, setahuku." Izaya berkata sambil berpikir tentang isi dompetnya kalau-kalau uang si pirang bodoh ini tidak cukup.

"Yah, kalau kau tidak keberatan, aku sudah memesan tempatnya sejak beberapa hari omong-omong."

Izaya tidak bisa lebih terkejut lagi. Dia tersenyum antara ingin tertawa dan tidak percaya. Tapi satu yang pasti, Izaya senang. Sangat senang sampai dia bertanya-tanya kenapa dia bisa sesenang itu.

.

.

Izaya mengangkat sudut bibirnya tipis ketika melewati sebuah restoran diujung jalan yang catnya sudah berganti jadi putih susu, bukan putih tulang lagi.

Dia ingat saat pertama kali kesana. Ingat bagaimana si pirang bodoh itu begitu terlihat sangat hati-hati malam itu. Segalanya terencana, makanannya, musiknya, benar-benar indah.

Oh, tidak. Izaya sedang tidak merindukan siapapun, tentu saja. Termasuk ketika dia melihat dirinya di masa lalu yang sedang memasuki pintu restoran itu bersama seseorang yang lagi-lagi berkepala pirang.

Izaya ingat yang satu itu. Kali kedua mereka pergi ke restoran bercat putih tulang ini. Malam dimana si pirang bodoh itu mengatakan sesuatu yang sama bodohnya.

Izaya tidak bisa menahan senyumnya.

.

.

To be Continued.

My first fic in this Fandom setelah puas cuma jadi reader sekian lama :) Oh iya, Reviews are loved :D