Disclaimer :
Karakter yang saya gunakan adalah milik Masashi Kishimoto
Cerita ini saya ambil dari kisah hidup teman saya dengan perubahan di beberapa bagian
Pair :
NaruHina
.
.
.
TAKDIR
.
.
Dewasa ini cuaca benar-benar tidak bisa diprediksi. Lihat saja, menurut prakiraan cuaca tadi pagi, hari ini cuaca akan cerah. Namun nyatanya justru sebaliknya. Langit tidak tampak karena awan mendung menggantung menutupinya. Angin bertiup cukup kencang hingga menimbulkan suara yang cukup membuatku merinding. Memang aku salah karena tidak membawa payung, seperti kata pepatah "sedia payung sebelum hujan"? Eh tapi aku tidak sepenuhnya salah kan? Aku hanya terlalu percaya pada prakiraan cuaca.
Aku mendesah kesal memandang ke luar dari jendela ruang kelas. Teman-temanku yang lain sudah pulang sejak sejam yang lalu karena mereka membawa payung.
Sejenak kutolehkan wajahku ke sekeliling kelas. Benar-benar sudah sepi.
Memutuskan untuk mengusir kebosananan, aku mulai membuka Hpku dan memainkan salah satu aplikasi permainan yang ada di sana.
Belum sampai lima menit aku bermain, tiba-tiba layar Hpku berubah tampilan. Tampak di layar ada sambungan telepon masuk dari Neji-nii. Dengan cepat aku menyentuh tombol hijau dan menggesernya.
"Ha-halo..."
"..."
"A-Apa?"
"..."
"A-aku akan segera pulang!"
"..."
"Ti-tidak apa-apa Nii-san, la-lagipula hujannya su-sudah akan reda."
Setelah menutup sambungan telepon, aku bergegas keluar kelas. Berlari tanpa mempedulikan suara alas uwabakiku yang bergesekan dengan lantai koridor sekolah.
Setelah berada di luar, aku sejenak menatap ke arah langit yang masih bertahan meneteskan air. Aku segera berlari menerobos hujan yang sudah tidak terlalu deras.
Aku tidak mempedulikan lagi bajuku yang basah terkena air hujan, aku tidak mempedulikan lagi septuku yang basah akibat genangan di jalanan yang kupijak. Aku sudah tidak mempedulikan lagi langkah kakiku yang terseok karena aku sempat tersandung dan jatuh.
Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah secepatnya berlari agar segera sampai di rumah. Air mataku menetes bercampur dengan hujan saat memutar perkataan Neji-nii tadi di telepon.
.
"Hiashi-sama baru saja wafat."
.
Ayahku, orangtuaku satu-satunya telah pergi meninggalkanku. Menyusul ibuku yang telah terlebih dahulu meninggal saat melahirkan adikku.
Meski perangainya dingin dan keras, Ayah adalah segalanya bagiku. Ayah adalah panutanku. Ayah adalah semangatku untuk terus melaju. Sejak dulu hingga saat ini, saat dimana kehidupan keluarga kami sudah benar-benar terpuruk.
Awalnya kami sekeluarga hidup berkecukupan bahkan bisa dikatakan berlebih. Ayah memiliki beberapa cabang perusahaan yang bergerak di berbagai bidang di bawah pimpinannya di Hyuuga Corp. Dengan usaha sebesar itu tentu saja penghasilan Ayah lebih dari cukup untuk sekedar membiayai kebutuhan hidup keluarga kami.
Ayah bahkan mengangkat Neji-nii sebagai anak semenjak Paman Hizashi meninggal. Perlakuan Ayah terhadap kami bertiga tidaklah berbeda.
Meskipun hidup kami berlimpah tetapi tidak serta merta Ayah memanjakan kami. Ayah tetap mendidik kami dengan keras dan disiplin yang tinggi membuat kami mampu mandiri meski usia kami masih muda.
Tiba-tiba saat yang paling tidak diharapkan terjadi dalam hidup kami. Perusahaan yang Ayah pimpin mengalami kerugian sebagai imbas krisis moneter dunia. Ayah terpaksa hutang di sana sini untuk menutupnya. Hingga hutang sudah terlalu menumpuk dan Ayah tidak mampu lagi membayarnya, seluruh perusahaan Ayah disita oleh perusahaan lain yang memiliki piutang.
Hancur sudah apa yang telah Ayah bangun saat itu. Bahkan kami harus keluar dari sekolah kami yang merupakan sekolah elit dan pindah ke sekolah biasa. Rumah yang kami tempati dijual dan kami pindah ke rumah lain yang terletak di tepi kota dan berukuran kecil.
Ayah terpaksa bekerja sebagai buruh di perusahaan mantan koleganya dulu.
Buruh?
Iya. Kau pikir ada kolega yang benar-benar teman sejati? Tidak ada kawan! Tidak ada yang namanya teman sejati. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Begitu kata-kata yang sedang marak saat ini.
Baru beberapa bulan bekerja, tubuh Ayah yang semakin menua tidak kuat lagi melakukan pekerjaan tersebut hingga Ayah jatuh sakit. Penyakitnya cukup parah dan merupakan komplikasi dari berbagai jenis penyakit. Mungkin sebenarnya penyakit-penyakit itu adalah akumulasi dari lemahnya pertahanan tubuh Ayah bahkan sejak beberapa tahun lalu.
Ayah terbaring sakit. Bukan di rumah sakit karena kami tidak mampu membayar biaya rawat di sana. Jadi Ayah hanya menjalani rawat jalan. Kami bertiga merawat Ayah dengan sepenuh hati. Setelah lulus sekolah menengah atas, Neji-nii bekerja di sebuah perusahaan IT di pusat kota. Meski bukan lulusan perguruan tinggi, kemampuan Neji-nii dalam bidang IT cukup membuat pemilik perusahaan kagum dan mempekerjakannya dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran seorang anak lulusan sekolah menengah.
Aku sendiri setelah pulang sekolah dan tidak ada kegiatan, bekerja paruh waktu di toko bunga milik Ino, teman sekolahku. Sedangkan Hanabi kadang membantuku atau membantu memberi makan hewan-hewan peliharaan di klinik dokter hewan milik Hana-nee, tetangga kami.
Terkadang aku menangis menyaksikan Hanabi. Gadis seusianya harusnya masih bergelut dengan mainan dan sejenisnya, bukannya malah bekerja membantu keuangan keluarga. Tetapi adikku satu-satunya itu justru lebih tegar dariku. Dia sangat cekatan saat bekerja, dia sangat dewasa dalam menyikapi hidup. Tidak pernah sekalipun aku mendengarnya mengeluh. Hanabi justru selalu ceria terlebih saat dia sedang bekerja.
Semua uang yang kami dapat, kami kumpulkan dan dibagi-bagi. Untuk perawatan Ayah, untuk biaya sekolahku dan Hanabi dan untuk kebutuhan sehari-hari. Jujur saja uang tersebut sangat kurang, tetapi kami memaksakan diri agar seluruh kebutuhan kami tercukupi.
Pernah suatu malam Ayah menangis sesenggukan di hadapan kami. Meminta maaf atas apa yang terjadi pada kami.
Perkataan Ayah membuat kami bersedih. Malam itu kami menghabiskan separuh malam untuk menangis bersama di kamar Ayah.
Terlalu lama bergelut dengan pikiranku, aku sampai tidak sadar kalau saat ini aku sudah berada di depan rumah. Suasana rumah cukup ramai dengan tetangga yang berdatangan menyampaikan bela sungkawa. Tergesa-gesa aku masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar Ayah.
Di sanalah sosok tubuhnya terbaring.
Air mataku mengalir deras membasahi pipi.
Detik berikutnya aku tidak tahu lagi apa yang terjadi karena pandangan mataku yang menggelap.
(*)
Hari ini tepat dua bulan Ayah meninggalkan kami. Saat sedang berkumpul di ruang tengah untuk makan malam bersama, tiba-tiba Neji-nii mengatakan sesuatu yang cukup membuat kami-khususnya aku-terkejut.
"Sebelumnya aku minta maaf mengatakan ini begitu mendadak. Tapi pemberitahuannya memang benar mendadak."
Entah hanya pikiranku atau Neji-nii memang terlihat gugup.
"Ada a-apa Nii-san?" tanyaku.
"Ano... Hinata, Hanabi, mulai lusa aku dipindahtugaskan ke Kota Suna."
"A-apa?" teriakku dan Hanabi bersamaan.
"Begitulah. Atasanku baru saja memberitahuku siang tadi dan dia memberiku waktu satu hari untuk berkemas. Jadi besok kita akan pindah ke Suna."
"Ta-tapi Nii-san, bagaimana dengan sekolah kami?"
"Aku akan mengurus kepindahan kalian besok. Jadi besok kalian yang berkemas. Jangan khawatir aku akan meminta Hana-nee dan Kiba agar mau membantu kalian."
Hanabi hanya mengendikkan bahunya seolah tidak peduli bahwa kami akan pindah.
Sedangkan aku...
Aku terdiam. Hati kecilku menolak untuk ikut pindah tetapi aku juga tidak mungkin tinggal sendiri di Konoha. Aku tidak akan mampu. Artinya aku harus mengikuti Neji-nii bukan?
Tapi...
.
FLASHBACK ON
Aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang dia inginkan? Seenaknya saja memintaku menemaninya berlatih. Padahal aku harus ke toko bunga Ino untuk bekerja paruh waktu. Lagipula dia pikir dia itu siapa? Kami saling mengenal karena dia adalah kakak kelasku, dia seangkatan dengan Neji-nii. Dia memang selalu pulang bersama kami karena rumah kami searah. Selebihnya dia sering main ke rumah untuk menemui Neji-nii atau bahkan kadang-kadang dengan jujur dia berkata bahwa dia ingin menemuiku.
Memang sih, setelah itu kami jadi akrab. Kami berteman dekat. Tetapi sifatnya yang pemaksa itu lho yang membuat aku kesal. Seperti saat ini misalnya.
"Hinata... Hoi Hinata... Aku di sini!"
Nah itu dia orangnya. Aku melihat ke arah pemuda yang dua tahun lebih tua dariku itu. Rambutnya kuning berdiri ke segala arah menantang gravitasi, kulitnya kecokelatan, di pipinya ada tiga garis yang mirip kumis kucing. Dengan semangatnya dia melambai ke arahku.
"Na-Naruto-nii."
Dia mencebik.
"Sudah berapa kali kukatakan jangan panggil aku begitu."
"Ta-tapi kau kan teman Ne-Neji-nii."
"Aku tidak peduli! Panggil aku Naruto!"
"Na-Naruto-kun?" tanyaku ragu.
"Nah begitu lebih bagus."
Naruto tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Tiba-tiba saja aku merasakan pipiku menghangat hingga dengan cepat aku menunduk. Kami berjalan berdampingan menuju lapangan desa.
Sejak dua bulan lalu Naruto memintaku untuk menemaninya berlatih. Entah itu berlari, melakukan push-up, sit-up dan aktivitas fisik lainnya. Semua ini dilakukan karena dia ingin mendaftar ke Akademi Militer. Ya, pemuda itu dengan semangatnya mengatakan bahwa dia ingin menjadi seorang tentara.
Selama menemaninya yang kulakukan hanyalah duduk di bangku di tepi lapangan, membaca buku atau bermain-main dengan tanaman di sana (aneh!). Selebihnya aku hanya melihat Naruto-kun berlatih.
Aku senang memperhatikannya. Aku menyukai semangatnya yang tinggi, aku menyukai tubuhnya yang mulai berisi, kulitnya yang terbakar matahari, keringat yang menetes di pelipisnya, sungguh seksi. Err- apa aku terdengar mesum?
Meski kadang suka menyangkalnya, aku senang saat berada di dekat Naruto-kun. Entah mengapa aku selalu merasa hatiku menghangat saat dia di sisiku. Terkadang juga jantungku berdegup sangat kencang.
"Hinata..."
Aku mendongak, bertemu pandang dengan iris sejernih lautan miliknya. Sejenak aku tertegun, menikmati pesona permata azure itu.
"Terpesona padaku, eh?"
Aku tersadar dan segera mengalihkan pandangan. Pipiku menghangat mendengar perkataannya.
"Si-siapa bilang?"
Naruto-kun tertawa lepas. Lalu menyandarkan tubuhnya di sebelahku.
Kami terdiam cukup lama. Aku yang pura-pura menyibukkan diri dengan novel yang kubawa, dan dia yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu.
"Hei, Hinata..."
"Hm?"
"Besok aku akan berangkat ke Iwa."
Aku tersentak kaget.
"E-eh?"
"Ya, seleksinya dimulai minggu depan. Tapi Kakek memintaku untuk bersiap lebih awal dan berangkat besok."
"Be-berapa lama?"
"Kalau tidak salah sekitar 5-6 bulan untuk seluruh rangkaian seleksi dari awal hingga akhir."
"O-oh..."
Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Sebenarnya hatiku terasa ngilu. Entah mengapa aku merasa sedih saat dia mengatakan itu. Lima bulan bukan waktu yang singkat. Aku tidak tahu apa aku bisa menahan perasaan rindu kepadanya selama itu? Err- apa aku terdengar seperti orang yang sedang jatuh cinta?
Entahlah, yang jelas Naruto-kun sudah kuanggap sebagai teman dekatku. Meski awalnya aku merasa terganggu tapi lama kelamaan aku terbiasa dengan keberadaannya.
"Hinata..."
Oh, rupanya aku terlalu lama melamun hingga tidak sadar kini pemuda yang aku lamunkan itu sudah berjongkok di hadapanku. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku, mata birunya menatap lurus mata opalku. Raut wajahnya serius membuat jantungku berdetak cepat.
"Aku mohon bersabarlah... Tunggu aku di sini. Kalau aku lulus seleksi Akademi Militer nanti, kau orang pertama yang akan aku kabari. Eh, maksudku orang kedua karena yang pertama pasti Kakek Jiraiya. Dan..."
Naruto-kun terdiam sesaat, sepertinya dia sedang menelan ludahnya dengan kasar karena aku melihat pergerakan naik turun pada jakunnya.
Aku sangat penasaran tapi aku bersabar untuk tidak menyelanya.
"Dan... Saat itu juga aku akan menemui Hiashi-san untuk melamarmu menjadi istriku."
JEDAAARRRRR
Rasanya aku baru saja mendengar suara petir menggelegar dan memicu jantungku untuk bekerja ekstra memompa oksigen lebih cepat.
"Kumohon, tunggu aku Hinata!"
FLASHBACK OFF
.
Pagi ini kami membagi tugas sesuai dengan permintaan Neji-nii. Kakak sepupuku itu pergi sejak pagi tadi untuk mengurus kepindahanku dan Hanabi dari sekolah kami. Sedangkan aku dan Hanabi mulai mengepak barang-barang yang ada di rumah ini. Kami mendapat bantuan dari Hana-nee dan Kiba-yang terpaksa membolos hanya untuk membantu kami.
Sepanjang melakukan kegiatan berkemas itu aku benar-benar merasa ragu dan sedih. Entah mengapa aku merasa bersalah pada Naruto-kun karena memutuskan untuk pindah tanpa memberitahunya. Tapi, hey, apakah aku salah? Memangnya siapa yang mau percaya janji cinta monyet macam itu? Pasti saat itu Naruto-kun hanya bercanda. Lagipula jika dia sudah lolos seleksi menjadi tentara, sudah pasti dia tidak akan mengingatku. Sudah pasti dia akan mencari gadis lain yang lebih cocok bersanding dengannya. Gadis lain yang memiliki status sosial lebih tinggi dariku.
Aku sadar keadaanku saat ini tidak akan sepadan dengannya jika dia sudah menjadi prajurit negara nantinya. Itulah yang membuatku membulatkan tekad untuk mengabaikan "janji"nya dulu dan memilih ikut pindah ke Suna.
"Kau yakin Hinata?"
Suara Kiba-kun tiba-tiba saja mengagetkanku. Aku mendongak menatapnya yang sedang berdiri.
"Ma-maksudmu?"
Kiba-kun memutar bola matanya jengah.
"Kau tahu maksudku. Bagaimana dengan Naruto?"
Ya, Kiba-kun memang tahu tentang kejadian itu karena aku memang menceritakan padanya. Dia adalah sahabat dekatku di sekolah sekaligus tetanggaku. Padahal dengan Neji-nii dan Hanabi saja aku tidak bercerita.
"Pa-pasti Naruto-kun ha-hanya bercanda, Kiba-kun. Ti-tidak mungkin di-dia serius dengan i-itu. Dan tidak mu-mungkin dia akan men-menjemputku di-di sini."
Kiba terdiam sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkanku.
"Terserah kau saja."
(*)
Malam harinya kami bertiga berangkat ke Suna dengan mobil yang sudah disewa Neji-nii. Tentu saja setelah menyelesaikan segala urusan di Konoha.
Aku termenung menatap kiri jalan melalui jendela mobil. Setitik air mata menetes menuruni pipi kananku.
"Selamat tinggal Konoha... Selamat tinggal Naruto-kun..."
.
.
.
TBC
.
.
.
Yosh! Selesai! Oh ya, ini fic rencananya akan dibuat twoshot ya...
Bagaimana dengan chapter pertamanya minna hehehe...
