Title :

Snowflake

Rate :

T

Pair :

Kim Taehyung X Jeon Jungkook

Summary :

Karena Jungkook percaya bahwa Taehyung akan mendatanginya di saat salju pertama turun pertama kalinya di musim dingin. Mereka akan bertemu di waktu yang sama, tempat yang sama dan dalam kondisi yang sama. Karena mereka berdua sudah mengucap sumpah tanpa kata bahwa mereka akan saling bertemu. Dan di saat salju terakhir turun dari langit, mereka akan berpisah untuk bertemu kembali di musim dingin berikutnya. Tapi kemudian, di musim semi, saat salju menghilang satu persatu, kelopak bunga bermekaran dan musim dingin telah pergi, Jimin menunjukkan pada Jungkook bahwa siklus penantiannya akan berakhir.

Warning :

BL, fiction, OOC, Typo(s)

.

.

.

.

.

.


.

.

.

_Summer, 12.00 a.m_

Matahari bersinar terik, membakar setiap sudut jalanan. Angin musim panas yang hangat mengiringi tiap orang yang sedang menghabiskan liburan musim panas mereka di pantai maupun tempat wisata lain. Keceriaan musim panas diwarnai oleh sinar jingga imajiner yang membangkitkan semangat berlibur, diiringi dengan dengung suara serangga musim panas yang seakan ikut bergembira menyambutnya.

Jungkook tersenyum kecil melihat matahari yang tampak bahagia bertengger di atas langit biru berawan, mengabaikan matanya yang kering karena terus memandangi sang bintang besar selama hampir tiga jam setelah ia mendudukkan dirinya di ranjang yang sengaja dibuat menempel dengan jendela. Jungkook duduk bersandar di bedrest besi ranjangnya, memeluk lututnya dan kemudian melirik kalender di nakas di samping ranjangnya. Angka-angka di kalender itu dibulati dengan spidol merah yang selalu Jungkook tambahkan jumlahnya setiap senja mulai menelan sang matahari.

Bibir Jungkook terangkat samar, batinnya bergembira saat mengetahui musim gugur akan datang. Kemudian Jungkook kembali menolehkan kepalanya ke luar jendela. Matahari masih bersinar dengan teriknya, cuaca sangat cerah, ada dua ekor burung merpati liar beterbangan dengan gembira di angkasa seperti sepasang penari yang berdansa di atas lantai dansa berupa hamparan warna biru.

Pintu kamarnya berderit terbuka, namun Jungkook tampak enggan menggerakkan lehernya. Di ambang pintu, Park Jimin berdiri dengan mata yang menyorot lurus pada Jungkook. Jemari tangannya menggenggam kenop pintu dengan erat. Sejenak tampak mengatur napas, melepas helaan udara dari mulutnya. Satu langkahnya mendekati ranjang Jungkook, duduk di tepi ranjangnya. "Kook," panggilnya pelan.

Jungkook mengerling pada Jimin. Sekilas tampak semenjana, namun tak ada yang tahu apa di baliknya. Tanpa kata, tanpa suara. Keduanya seakan berkomunikasi melalui tatapan mata yang saling bersinggungan. Dengan dua pasang manik mata yang sewarna, tapi dengan dua sinar yang berbeda. Saat yang satu menyorot datar, yang satu berkilat sendu.

Hampir lima menit tempat itu hening seperti terungku, dua mulut saling terkatup tak terbuka. Sampai kemudian Jimin memecahnya. "Musim gugur akan datang," ucapnya retorik. Jimin mengambil pena di saku seragam putihnya dan sebuah clipboard. Senyum manisnya terukir tulus untuk Jungkook. "Bagaimana perasaanmu hari ini?"

Jungkook mengerling, kemudian menggulirkan wajahnya kembali pada jendela. "Baik."

Jimin mengamati Jungkook, lantas menuliskan sesuatu di kertas yang ada di clipboard di tangannya sembari bertanya beberapa hal pada laki-laki di hadapannya. "Kau mau makan apa hari ini? Di bawah ada shasimi. Kau mau kuambilkan?"

"Sebentar lagi."

"Hm?" Jimin mendongak, menatap Jungkook yang kini menempelkan dahinya di jendela.

"Sebentar lagi, musim dingin, dia akan datang."

Jimin menghentikan gerakan tangannya. Matanya menelusup ke kedalaman manik hitam Jungkook yang lurus menatap pohon besar di halaman yang berdaun lebat. Sepasang obsidian yang gelap, kelam, dan hitam seperti jurang tak berdasar. Di satu sisi menyimpan antusiasme yang polos, namun di sisi yang lain merefleksikan keputus asaan yang nyata.

Ketaksaan.

Bola mata Jimin turun pada kedua tangan Jungkook yang saling memeluk lututnya di depan dada. Dua tangan yang terbalut kulit putih selayaknya porselen, tampak lebih halus dan lebih lembut dari beledu. Begitu mustahil untuk melakukan sesuatu yang tak pernah Jimin kira dilakukan oleh laki-laki di hadapannya. Sepintas Jimin teringat masa lalu; kelam, mengerikan, menyedihkan.

Tapi kemudian Jimin menggeleng samar lantas menghela napas. Netra obsidiannya tenggelam di antara kelopak matanya yang menyipit karena tersenyum lebar, mengandung banyak makna.

"Ya, dia akan datang."

.

.

.


.

.

.

_Autumn, 08.45 p.m_

Jungkook memandangi jendela kaca di sampingnya. Jendela bening yang menampilkan pemandangan tetesan-tetesan air langit yang turun menyerbu bumi di luar sana. Beberapa tetesannya mengenai jendela, membentuk buliran air yang perlahan luruh menuruni lapisan kaca. Jungkook meletakkan telapak tangannya di permukaan kaca, tersenyum tipis merasakan dingin yang merambat dari jendela di telapak tangannya yang membeku.

Hujan memang akan sering turun di musim gugur seperti hari ini. Suasana yang dingin dan menusuk tulang membuat tak banyak orang yang keluar dari rumah. Kebanyakan enggan meninggalkan kamar mereka dan lebih memilih tidur di atas kasur hangat berbalut selimut atau sekedar menikmati kehangatan di rumah. Tapi Jungkook pikir ia lebih suka bermain hujan di luar dengan mengabaikan resiko pilek daripada terus berada di kamarnya yang sepi. Helaan napas Jungkook lepas dari celah bibirnya. Laki-laki itu memeluk lututnya dan menyandarkan tubuh sampingnya di jendela, membiarkan suhu tubuh dinginnya bersentuhan dengan suhu dingin di lapisan kaca. Perlahan, kedua matanya terpejam, menyembunyikan iris seindah mutiara hitam dengan kelopak seputih porselennya yang pucat. Meskipun Jungkook hanya mengenakan pakaian sehari-harinya yang berupa kemeja putih dan celana panjang putih, Jungkook sama sekali tak berniat menggantinya dengan pakaian hangat lantaran tak ingin meninggalkan jendela. Mengabaikan bibirnya yang semakin menggigil, Jungkook tersenyum.

Menurut perhitungannya, musim gugur akan berakhir sebentar lagi. Kemudian musim dingin yang ia tunggu akan datang. Sudut bibirnya terangkat samar, dengan getar kecil di bibirnya yang pucat. Di balik jendela kaca, Jungkook bisa merasakan segarnya air hujan yang menghantam bumi, menjadi penghubung antara bumi dan langit. Ia bisa merasakan sejuknya angin musim gugur yang berhembus, dingin dan menusuk. Jungkook hanya perlu bertahan. Ia hanya perlu bersabar dengan rasa dingin ini sebelum kemudian bertemu dengan mataharinya; cahaya yang menerangi ruang lingkup hidupnya. Lentera yang menunjukkan jalan di antara kegelapan dunianya.

Rongga dada Jungkook menghangat, kontras dengan suhu tubuhnya yang menurun karena temperatur yang rendah. Lamat-lamat kelopaknya membuka dan melirik kalender. Bulatan-bulatan merah yang dibuatnya semakin banyak, mendekati satu bulatan besar di salah satu angka yang Jungkook yakin merupakan waktu di mana musim dingin akan menyelimuti satu negara.

Sebentar lagi, batinnya sarat euforia. Bibirnya mengulas senyum lebar, matanya menyipit dengan rona kemerahan tipis di masing-masing pipi. Lantas Jungkook kembali memejamkan matanya, menyatukan diri dengan jendela untuk kemudian terlelap menjemput bunga mimpi di bawah sadarnya.

.

.

.


.

.

.

_Winter, ten years ago_

Jungkook-sepuluh-tahun sedang bermain ayunan di taman yang sepi. Hari masih pagi, dan Jungkook benar-benar kesal pada Jimin yang sudah membuatnya menunggu di sini. Sahabatnya itu berhasil membuat Jungkook percaya pada janji manis yang ternyata merupakan sebuah bujukan ular karena pada akhirnya Jimin terlambat menemuinya.

Jungkook menghela napas. Manik matanya mengedar mengelilingi taman. Musim dingin cukup ekstrim tahun ini. Tak ada seorangpun yang ada di luar rumah karena suhu yang turun drastis. Mereka lebih suka menikmati secangkir cokelat hangat di rumah yang mengepulkan asap di tangan. Sebenarnya Jungkook juga ingin melakukannya. Tapi salahkan Park Jimin yang memaksanya keluar dengan alasan ingin memainkan PS terbaru yang ia terima dari orang tuanya sebagai hadiah ulang tahunnya seminggu yang lalu. Jimin yang sangat clingy berhasil membuatnya percaya untuk bertemu di taman dengan rentetan kalimat 'percayalah, kau pasti suka dan kita akan bermain sampai pagi' yang terdengar sangat manis tapi menyimpan racun di baliknya. Sialnya, Jungkook percaya-percaya saja dan berakhir terduduk pundung di salah satu ayunan, menggerakkan ayunannya maju mundur dengan kaki untuk mengusir sepi.

Angin musim dingin berhembus pelan, membelai pipi Jungkook yang memerah karena berada di luar dalam waktu yang cukup lama. Bocah itu refleks menangkup pipinya dengan kedua telapak tangannya yang terlindung sarung tangan merah bergambar Iron Man di bagian punggung tangan; sarung tangan favoritnya. Tubuh kecilnya yang terbalut jaket tebal merah dan celana hitam panjang dengan syal merah dan sepatu boot coklat serta beanie putih masih bergetar karena suhu dingin.

Menyebalkan sekali, Jungkook mengerucutkan bibirnya. Jungkook tak pernah menyukai musim dingin. Meskipun Jungkook suka salju, tapi Jungkook tidak menyukai hari di mana ia harus kesusahan menyeret tubuhnya yang menyerupai buntalan kain setiap ingin keluar rumah. Meskipun itu membuat Jungkook bisa memakai sarung tangan dan jaket kesukaannya kemanapun ia pergi, tapi Jungkook tetap kesal karena angin beku masih saja sanggup menembus 'pertahanannya' dan membuat tubuhnya menggigil.

Jungkook baru saja ingin berdiri dan pulang, dengan benak yang bersungut-sungut dengan Park Jimin sebagai tokoh utamanya. Namun, saat melihat sepatu boot hitam yang serupa dengan miliknya, Jungkook mendongak, menemukan seorang bocah yang tampak sebaya dengannya berdiri di sana. Seorang bocah yang sedang tersenyum, menjadikan Jungkook melongo melihat senyumnya yang manis dan lucu. Senyumnya kotak, dan Jungkook tak mengerti kenapa anak itu tersenyum padanya.

"Hai," anak itu menyapanya. "Apa yang kau lakukan di sini? Cuacanya sangat dingin. Kau tidak takut sakit, ya? Kata eomma-ku, aku tidak boleh lama-lama ada di luar. Musim dingin tahun ini bisa membuatku sakit." Kemudian berceloteh.

Tapi Jungkook tetap diam, antara heran dan terpelongo. Tiba-tiba anak itu mengulurkan tangannya, masih dengan senyum yang sama. "Namaku Kim Taehyung," ujarnya memperkenalkan diri, dengan suara ceria yang lucu dan inosen. "Namamu?" tanyanya kemudian saat Jungkook tak merespons.

Jungkook mengerdipkan matanya beberapa kali, setengah sadar menyambut tangan Taehyung yang mengenakan sarung tangan hijau yang Jungkook akui sangat bagus. Mungkin Jungkook berencana merengek pada ibunya untuk minta dibelikan barang serupa. "Jungkook, Jeon Jungkook."

Kedua alis Taehyung terangkat antusias. "Ah, Jungkook-ie?" gumamnya seraya terkekeh. "Kookie, sarung tanganmu bagus sekali." ucapnya seraya menelisik sarung tangan Jungkook yang masih ada di genggaman tangannya, membolak-balikkan tangan Jungkook untuk melihat secara keseluruhan.

Mendengar itu, Jungkook tersenyum lebar, senang karena dipuji dan tanpa sadar memperlihatkan gigi kelinci yang tersembunyi di belah bibirnya. Menjadikan Taehyung berseru, "Woah!" bocah itu memandang Jungkook dengan dua alis terangkat kaget. "Woah! Kau manis sekali!"

Dan Jungkook hanya diam saat Taehyung merengkuh kepalanya dan menggesekkan pipi mereka dengan semangat. "Aahh, kau sangat menggemaskan. Aku jadi mau menjadikanmu adikku. Senyummu manis sekali seperti kelinci."

Jungkook menarik napas terkesiap, terkejut mendapati pipi Taehyung yang hangat, berbanding terbalik dengan pipinya sendiri yang dingin seperti es. Bocah itu melepaskan kepalanya, tersenyum dengan senyum kotaknya. Tampak begitu inosen, manis dan membuat Jungkook merasa sangat tertarik. Bukan tertarik seperti saat ia tertarik pada action figure yang dilihatnya di toko mainan, namun rasa tertarik yang–

"Taehyung-ah!"

Suara melengking seorang wanita membuat Jungkook dan Taehyung menoleh pada seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di samping Taehyung dengan tubuh terbalut mantel coklat yang sederhana tapi tampak hangat. Wanita itu tersenyum pada Jungkook. "Ah, kau pasti Jungkook." Kemudian wanita itu berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka. "Kami tetangga barumu, baru pindah kemarin. Kemarin ibumu datang mengantarkan kue beras, dia mengatakan punya anak laki-laki yang manis. Dan ternyata kau memang manis, ya."

"Iya, Eomma. Dia sangat manis, apalagi saat tertawa. Senyumnya mirip kelinci." Taehyung mengoceh ceria, membuat Nyonya Kim tertawa melihat tingkah anaknya.

Lantas Nyonya Kim menggulirkan matanya pada Jungkook. "Apa yang kau lakukan di sini, Jungkook-ah? Kau bisa sakit." ucapnya seperti mengulang pertanyaan Taehyung tadi.

"Aku sedang menunggu temanku," Jungkook mengedarkan pandangannya, mungkin sedang mencari tubuh kecil Park Jimin yang akan datang menemuinya, "tapi mungkin dia tidak datang."

"Ah, kalau begitu kau pulang bersama kami saja, Kookie." seru Taehyung dengan cerianya. "Aku dan Eomma baru pulang dari supermarket, kami membeli banyak makanan. Aku juga punya banyak mainan, kita bisa main sampai puas." Lalu Taehyung menarik-narik mantel Nyonya Kim dengan tatapan memohon yang lucu, ujung mata turun dan bibir mencebik ke bawah. Nyonya Kim tertawa, mengusap puncak kepala si bocah Kim dan mengangguk geli.

Hari dimana Taehyung bersorak gembira dan menarik lengan mungil Jungkook untuk berjalan beriringan dengan celotehannya yang bermacam-macam, adalah hari dimana untuk pertama kalinya, Jungkook merasa kebenciannya pada musim dingin menguap.

.

.

.


.

.

.

Rupanya Taehyung lebih tua dua tahun dari Jungkook. Dan ini membuat Jungkook memanggilnya dengan panggilan yang menurut Taehyung sangat manis; Taehyungie-hyung. Hari itu Jungkook memperkenalkan Taehyung pada seluruh anggota keluarganya, menceritakan dengan semangat bahwa Taehyung sangat menyenangkan dan Jungkook ingin mempunyai kakak seperti Taehyung. Seluruh anggota keluarganya tertawa melihat antusiasme itu. Jungkook juga memperkenalkan Taehyung pada Jimin, mengatakan bahwa Taehyung punya banyak mainan dan tidak keberatan jika dimainkan bersama-sama tiap hari.

Jungkook dan Jimin akan selalu mendatangi rumah Taehyung untuk sekedar bermain atau bertatap muka dengan bocah Kim itu. Bermain sampai sore hingga tanpa sadar ikatan mereka terjalin dengan begitu erat. Ketiganya bersahabat pada akhirnya. Selalu bersama dan menyempatkan bertemu di antara kesibukan sekolah yang menyesakkan. Hingga akhirnya, Jungkook sadar ikatan mereka terlalu erat hingga Jungkook berakhir jatuh pada Kim Taehyung.

Jungkook tak sadar kapan tepatnya degup menyenangkan itu menyapa jantungnya tiap kali bertemu dengan Taehyung. Yang ia tahu, degupan itu semakin mendebarkan saat perlahan ia menyadari beberapa perubahan yang dialami Taehyung seiring bertambahnya tahun. Jungkook ingat waktu mereka masih kecil, Jungkook akan selalu tersenyum lebar begitu mendengar Taehyung menyerukan namanya. Jungkook akan diam saja saat Taehyung memujinya manis, lucu, imut, menggemaskan dan semacamnya. Jungkook akan tertawa tatkala Taehyung mencoba menakutinya dengan menatap Jungkook dengan tatapan matanya yang tajam dibuat-buat. Jungkook akan mendepak kepala Taehyung dan mengatakan 'Taehyungie-hyung tidak seram' setiap kali Taehyung melakukan itu.

Tapi kemudian, ketika Jungkook sadar pubertas mengubah Taehyung, Jungkook yakin perubahan itu juga terjadi padanya. Sekarang, setiap kali Taehyung menyerukan namanya atau bahkan saat berbicara sekalipun, Jungkook bisa merasakan seluruh rambut-rambut halus di tubuhnya meremang. Bocah Kim itu kini bertransformasi. Suaranya yang dulunya cempreng dan memekakkan telinga, sekarang menjelma menjadi baritone yang serak dan dalam. Suara deep voice yang mengirim sinyal bahaya bagi Jungkook untuk bertahan agar tak jatuh semakin dalam.

Suara yang begitu berbahaya, terlebih Taehyung tak pernah mengubah kebiasaan kecilnya untuk tetap memanggil Jungkook dengan pujian manis. Malah sekarang Taehyung lebih sering memanggilnya Bunny atau kadang 'Kelinci Imutku' ketimbang panggilan 'Kookie' dulu. Dan itu sangat berpengaruh bagi Jungkook yang sontak merasakan seluruh peredaran darahnya terjebak di wajah, menjadikan pipinya merona bagai disepuh warna merah.

Dan matanya, berwarna coklat gelap. Hazel sewarna batang pohon eboni yang menyimpan kehangatan hutan yang menenangkan. Begitu indah, mengerling dengan tatapan mata terbingkai tinta eyeliner hitam yang membuat tatapan matanya tampak begitu tajam dan memesona. Dan Jeon Jungkook mendapati dirinya gemetar tiap kali Taehyung menatapnya di bawah tatapan tajam yang dibuat-buat seperti ketika kecil dulu.

Tak hanya itu, postur tubuh Taehyung juga berkembang dengan sangat baik. Tinggi mereka setingkat sekarang. Walaupun tubuh Taehyung kurus dan tampak kecil dengan punggungnya yang sempit, tapi Taehyung membuktikan dengan baik dia bisa menjadi kapten tim basket sekolahnya. Jungkook selalu menjadi penonton setia di tribun terdepan, menjadi yang menjerit paling keras di antara para gadis, menyerukan nama Taehyung penuh semangat bersama Park Jimin yang juga selalu membawa gulungan kertas sebesar baliho bertuliskan 'TAETAE FIGHTING!' lengkap dengan tanda hati besar mengapitnya. Jungkook selalu mendapati pipinya merona begitu melihat Taehyung yang bermain di lapangan masih sempat melemparkan senyum padanya.

Dan pasca pertandingan yang dimenangkan dengan telak, Jungkook akan menjadi yang pertama menerjang Taehyung dengan pelukan, bahkan sebelum teman setim atau keluarga Kim menyentuhnya. Karena Jungkook selalu menyukai hangat tubuh Taehyung yang berwarna tan, coklat eksotis dibakar matahari.

"Hyung! Selamat, Hyung! Kau menang lagi!" Jungkook berseru heboh, meloncat-loncat dengan tubuh Taehyung di rengkuhan lengannya. Begitu bersemangat dengan senyum kelinci yang terlukis di bibirnya.

Taehyung tertawa melihatnya, mengusap puncak kepala Jungkook. "Ya, terima kasih atas ucapan selamatmu, Bunny." Hanya itu yang Taehyung ucapkan, namun respons dari Jungkook adalah kedua pipinya yang perlahan merona, membuat Taehyung mencubit pipi gembilnya dengan jerit gemas tertahan.

"Yo, Tae! Seperti janjimu kalau menang, kau harus mentraktirku dan yang lain." Suara Park Jimin melengking, masih terlarut dalam euforia kemenangan. Teman-teman Taehyung yang lain menyahut kompak dari belakang.

Sedangkan Taehyung meringis seraya mengusap tengkuknya, menahan umpatan. Di sampingnya, Jungkook tertawa. "Terima nasibmu, Hyung. Relakan dompetmu kering untuk beberapa minggu ke depan." cetusnya geli, tampak begitu puas dengan tangan yang menepuk-nepuk bahu Taehyung supportif.

Taehyung mendesah lirih, mengerling Jungkook yang masih tersenyum cerah. "Kau juga ikut?" tanyanya pelan.

Jungkook mengangguk antusias. "Tentu saja, Hyung. Aku tidak mau melewatkan kesempatan emas melihat wajah nelangsamu."

"Entah kenapa kau jadi semakin menyebalkan, Bunny." Taehyung mencibir dengan bibirnya yang mencebik.

Sementara Jungkook hanya tertawa.

.

.

.


.

.

.

Angin musim dingin berhembus dan dengan nakal meniup helai rambut Jungkook. Mengusap telapak tangannya yang beku, Jungkook menghela napas saat melihat Kim Taehyung berdiri di luar sana. Mendongak pada langit dengan kedua tangan tersembunyi di saku jaket varsity tim basketnya. Jungkook mendekat, berhenti di samping Taehyung yang masih mendongak. Tatapan mata Jungkook menelusuri keindahan Kim Taehyung dari samping; lekuk matanya, hidung, belah bibir, dagu runcing bahkan jakun di lehernya. Angin yang bertiup menerbangkan beberapa helai rambut Taehyung yang baru dicat berwarna coklat, senada dengan manik mata hazel miliknya. Angin juga ikut menyeruakkan aroma parfum Taehyung yang memenuhi alveoulus di paru-paru Jungkook dengan aroma woody bercampur rempah yang sedikit dipadu dengan keringat, menjadikan napas Jungkook sesak di bawah pesonanya. Kadang Jungkook sempat berpikir kalau Taehyung adalah titisan Dewa Adonis yang diberikan pesona overdosis oleh Aphrodite.

"Hyung," panggil Jungkook dengan pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun Taehyung menoleh padanya.

"Ah, Kelinciku, apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau tidak kedinginan?" tanya Taehyung dengan tersenyum.

Jungkook menggeleng. "Aku memakai jaket, Hyung, jadi aku tidak kedinginan," telunjuknya menunjuk jaket varsity merahnya, "aku mencarimu. Kupikir kau kabur karena tidak ada di dalam cafe." Lalu Jungkook menunjuk cafe tempat Taehyung mentraktir teman-temannya.

Taehyung tertawa dengan suara beratnya, membuat Jungkook menahan diri untuk tidak merona. Semua yang ada di tubuh Taehyung adalah pesona yang tak ternafikkan, membuat Jungkook sempat berpikir bahwa Taehyung adalah titisan dewa yang turun dari langit. Begitu memesona. Begitu rupawan. Begitu cantik.

"Aku tidak akan kabur, Bunny," dengus Taehyung setengah geli, "aku sudah berjanji, dan kau tahu aku tidak pernah mengingkari janjiku."

Kemudian Taehyung kembali mendongak pada langit, membuat Jungkook menautkan alisnya heran. "Kau sedang apa, Hyung?"

Taehyung mengerling pada Jungkook, tersenyum. "Aku menunggu salju turun." jawabnya singkat.

"Salju?" gumam Jungkook lirih. "Kenapa kau menunggu salju turun, Hyung."

"Karena aku suka salju."

Jungkook terdiam, ikut mendongak menatap langit gelap kehitaman, sepi tanpa bintang maupun sang demi malam. Mereka terdiam dalam hening, sama-sama memfokuskan diri pada kegelapan langit.

"Memangnya kapan salju akan turun?" Jungkook bertanya, mengerling pada yang lebih tua.

Taehyung terdiam, menoleh untuk bersitatap dengan dongsaeng-nya. Detik selanjutnya laki-laki itu tertawa dengan tawa kotaknya. "Aku tidak tahu."

Jungkook mencebik. "Sialan." umpatnya.

"Aigoo~ Kelinci imutku sudah bisa mengumpat rupanya." Kedua tangan Taehyung terangkat, mencubit kedua pipi gembil Jungkook yang memerah karena suhu dingin.

Jungkook mengerang, kedua tangannya menarik tangan Taehyung untuk melepaskan cubitan Taehyung. "Hyyaa! Haehun-giehung! Hebbazz!"

"Aahh, apa yang kau katakan, Bunny? Aku tidak mengerti apa yang kau bilang. Katakan dengan jelas." Taehyung terkekeh.

"Haehun-giehung hengzek! Hebbazkhanhuuunngg!"

Tawa Taehyung begitu lepas.

Dan angin yang bertiup tak mampu membekukan kehangatan yang mereka ciptakan.

.

.

.


.

.

.

Jungkook tak tahu kenapa mau-maunya dia berakhir di sini; di tengah jalanan yang sepi dengan keadaan mobil yang mereka kendarai mendadak mogok. Yang ia ingat adalah Jungkook sedang mengubur dirinya di selimut saat Kim Taehyung tiada angin tiada hujan mengetuk pintu rumahnya, menyambut Jungkook dengan senyuman kotaknya dan tanpa aba-aba menarik tangan Jungkook menuju mobil Ashton Martin yang menjadi hadiah ulang tahun ke tujuh belasnya dari Tuan Kim. Jungkook bahkan belum sadar dari masa-masa ngantuknya saat Taehyung memasukkan tubuhnya ke dalam mobil.

"Hyuunng! Kita mau kemanaaa?" tanya Jungkook setengah merengek waktu itu. Ini menyebalkan. Jungkook baru saja menutup matanya saat Taehyung mengetuk pintu. Musim dingin seperti ini yang paling menyenangkan adalah tidur sampai musim semi datang kalau bisa, seperti mamalia yang sedang hibernasi.

Taehyung tertawa. "Kita jalan-jalan, Bunny. Aku dengar ada tempat ski yang bagus, bagaimana kalau kita kesana?" itu jelas bukan pertanyaan. Karena kalau Jungkook menolak pun Taehyung tetap akan bersikeras membujuknya. Dan titik terlemah Jeon Jungkook adalah saat Kim Taehyung memberinya tatapan melas yang –sialnya– menggemaskan.

Dan akhirnya mereka berangkat. Jungkook sempat mengumpat saat sadar bahwa Taehyung sudah menyiapkan peralatan ski mereka juga pakaian hangat untuk dipakai Jungkook, seolah tahu kalau Jungkook tak bisa menolak.

Awalnya perjalanan mereka tenang-tenang saja. Tapi kemudian semuanya berubah semakin menjengkelkan saat mobil Taehyung tiba-tiba berhenti bergerak seakan menolak memutarkan rodanya. Lalu akhirnya mereka terjebak di jalanan sepi ini.

Brengsek. Mati sana kau, Kim Taehyung.

"Hyung, bagaimana? Sudah bisa belum?"

Taehyung yang mencoba membenarkan mobil ini sendiri melongok pada Jungkook. "Sebentar lagi, Bunny."

"Kau sudah bilang begitu lima belas menit yang lalu, Hyung."

Lalu Taehyung tertawa. "Sudahlah, Bunny, bersabarlah."

Jungkook menghela napas. Laki-laki itu merebahkan punggungnya di sandaran mobil, matanya terpejam. Bibirnya menggigil karena udara dingin. Kemudian Jungkook tersadar akan suatu hal.

Jungkook ada di dalam mobil, tapi udara dingin masih bisa meraih tubuhnya. Lalu, bagaimana dengan Taehyung yang ada di luar? Laki-laki itu jelas merasakan rasa dingin yang lebih menggigit.

Maka Jungkook keluar dari mobil, berdiri di samping Taehyung dan menatap laki-laki itu. Kulitnya pucat kedinginan, bibirnya putih dan gemetar, membuat Jungkook meringis.

"Hyung, kau tidak kedinginan?"

"Astaga, Bunny. Kenapa kau keluar dari mobil?!" seru Taehyung. Laki-laki itu menyambar lengan Jungkook dan membuka pintu mobil, memaksa tubuh Jungkook untuk masuk.

"Hyung, lepaskan tanganku." Jungkook menyentak lengannya, melepaskan genggaman Taehyung. "Aku tidak apa-apa, Hyung. Yang harusnya jadi masalah itu dirimu." Jungkook mengambil telapak tangan Taehyung, menggenggamnya lembut. Jungkook tertegun merasakan rasa dingin yang merayap di telapak tangannya sendiri yang tidak sebeku Taehyung. "Demi Tuhan, Hyung. Tanganmu dingin sekali."

"Aku tidak apa-apa, Bunny." Taehyung menyahut tersenyum. Telapak tangan Taehyung menangkup pipi Jungkook, menghela napas merasakan pipi dongsaeng-nya terasa tak sedingin tubuhnya. "Lebih baik kau masuk ke mobil. Kurasa mobilku sudah bisa berjalan lagi. Kau masuk dan nyalakan mesinnya. Ya?"

Dan tak ada yang bisa Jungkook lakukan selain menurut. Maka Jungkook masuk ke dalam mobil. Jemarinya bergetar memutar kunci mobilnya. Percobaan pertama, mobil masih enggan menyala. Begitu pula dengan seterusnya. Tapi senyuman suportif Taehyung berhasil membuat Jungkook bertahan dan kembali mencoba. Hingga pada percobaan yang entah sudah keberapa kali, mesin mobil menyala. Jungkook tersenyum bahagia. Ia berniat keluar dari mobil untuk menarik Taehyung ke dalam mobil. Akan tetapi, karena terlalu bersemangat, Jungkook terbentur atap mobil, membuatnya sontak terduduk dan tak sengaja menyenggol perseneling dan menginjak gas. Mobil bergerak ke depan, dan kemudian mimpi buruk Jungkook seketika membayang di depan matanya.

Tubuh Taehyung tertabrak dan terhempas menjauh, jatuh terguling di atas hamparan salju. Dengan terburu-buru Jungkook mengangkat kakinya dari gas dan membetulkan perseneling. Ia membuka pintu mobil dengan satu sentakan kuat, melesat berlari menghampiri Kim Taehyung yang terbaring di atas salju. Sudut bibirnya mengucurkan darah, pelipisnya lecet dan erangan serta merta keluar dari belah bibirnya.

Jungkook menjerit. Ia terduduk di samping Taehyung dan memanggil nama hyung kesayangannya. Jungkook mengambil kepala Taehyung, dengan pelan meletakkannya di atas rengkuhan lengannya. Ia lantas merogoh ponsel di sakunya, dengan tangan gemetar menekan nomor ambulance.

Suara nada sambung yang tak kunjung dijawab adalah musik kematian bagi telinganya. Kerongkongan Jungkook terasa kering, lidahnya kelu dan liurnya terasa hambar. Jungkook bahkan tak mampu lagi merasakan bumi yang dipijaknya. Taehyung dalam rengkuhannya mengerang, berusaha membuka matanya yang memaksa tertutup.

"Hyung, mian–mianhae yo, Hyung––Hyung, Taehyung-ie hyung, mian, mianhae." ucapannya tersendat oleh isakan. Setetes air mata Jungkook luruh bersama tetesan lainnya. Suaranya bergetar dan tercekat. Sepintas Jungkook teringat sumpahnya yang meminta Taehyung mati. Sekarang penyelesalan membumbung di rongga dadanya yang sesak.

Sementara Taehyung masih mampu mengulas senyumnya, bahkan di saat laki-laki itu bisa saja segera dijemput sang malaikat. Telapak tangan Taehyung yang kotor oleh tanah yang bercampur dengan salju dan oli mobil terangkat, membelai pipi Jungkook. Senyum manisnya terulas hingga matanya menyipit, seolah meyakinkan Jungkook bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Halo, ada ya–"

"Ha-halo?" Jungkook dengan cepat menyambar saat sebuah suara menyembut dari seberang telepon. "–halo, tolong. Tolong, aku butuh bantuan–hiks. Temanku–te-temanku–dia—mobil–lalu–"

"Maaf, Tuan. Bicaralah dengan jelas, ada yang bisa kami bantu?"

Jungkook terisak, bicaranya tak jelas dan terbata, digerogoti rasa takut yang menyergap seluruh tubuhnya manakala melihat bibir Taehyung semakin pucat. "Ha-halo, tolong. Temanku–berdarah, kami ada di persimpangan jalan menuju tempat ski .tolong cepat bantu kami, kami butuh bantuan."

"Baiklah, Tuan. Kami akan segera mengirim ambulance kesana. Mohon tetap usahakan agar teman anda tetap sadar."

Kemudian panggilan terputus. Dengan segera Jungkook menangkap tangan Taehyung yang akan jatuh dari pipinya. Aliran sungai membasahi pipi Jungkook, menetes di wajah Taehyung. "Hyung–mian, Hyung. Hiks–mianhae yo."

Suara desau angin membalas Jungkook. Mengabaikan angin yang membekukan udara, Jungkook merasakan sesuatu yang lebih menggigit dari suhu udara. Sesuatu yang lebih tajam menusuk tulangnya. Rongga dada Jungkook terasa sesak bagai diremas oleh sebuah tangan tak kasat mata, menjadikan napasnya tersendat. Ucapan maaf tak henti-hentinya mengalun dari bibirnya. Tangan Jungkook meremas jemari beku Taehyung semakin erat, sekujur tubuhnya gemetar merasakan denyut nadi Taehyung melemah.

"Mian, Hyung, mian, mianhae yo, Hyung. Maafkan kau, ini salahku, Hyung, maaf. Tolong bangun, Hyung, jaebal." Suara Jungkook teredam oleh hembusan angin. Isakannya tertahan dan kerongkongan benar-benar kering. Air mata Jungkook menetes semakin deras, menunjukkan sebetapa sakit relung hatinya ditusuk pisau tak kasat mata.

"Kook," suara berat Taehyung memanggil Jungkook dengan intonasi halus selayaknya hembusan angin.

Mutiara hitam Jungkook melebar. Bibirnya terbuka secelah dan uap putih bergumul di sana. "Hyung?" gumamnya terkejut.

Taehyung mengulas senyum pucat.

"Hyung, bertahanlah, jaebal. Ambulance akan datang, kita akan pergi ke rumah sakit dan kita akan–"

"Hei," panggil Taehyung sekali lagi, memotong ucapan Jungkook. "Bunny, berhenti menangis, kau jelek."

Jungkook menggeleng tak peduli. "Masa bodoh, brengsek."

"Jangan mengumpat," Taehyung menggumam. "Kau terlalu manis untuk mengucapkan kata-kata kotor begitu."

"Bunny, berhentilah menangis. Aku tidak akan mati." Sudut bibir Taehyung terangkat, memberikan Jungkook sebuah senyuman yang menenangkan sekaligus menyedihkan.

Tenggorokan Jungkook tercekat. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, ungkapan non verbal bahwa ia tak sependapat dengan Taehyung. "Hyung, kau sudah sekarat begini santai bisa-bisanya kau bilang begitu?"

Jungkook tak mengerti. Taehyung bisa saja pergi kapan saja dalam kondisi seperti ini. Tapi kenapa laki-laki itu masih bisa bersikap santai? Jungkook bahkan tak berani membayangkan manakala ia tak lagi bisa melihat senyum kotak Taehyung, binar matanya, sikap menyebalkannya, kelakukan anehnya—semuanya.

Namun Taehyung hanya tersenyum. Jemarinya bergerak halus, membelai kulit pipi Jungkook yang basah, lembab oleh air mata. "Hei, yang kecelakaan di sini aku, bukan kau. Kenapa kau yang menangis?"

Melihat Jungkook yang hanya diam, Taehyung melanjutkan, "Bunny, biar kukatakan padamu; aku tak ingin melihat kau yang menangis saat aku menutup mataku. Tenang saja, aku tidak akan mati," kekehnya geli, "dengar, aku mungkin hanya akan pingsan. Biarkan aku pingsan dengan tenang, tolong." lanjutnya dengan nada canda.

Tapi Jungkook menggeleng tegas. Mutiara hitamnya bergetar dan berkilau tergenang air mata. Genggaman tangannya pada jemari Taehyung mengerat dengan bibir yang bergetar menahan dingin.

"Bunny, percayalah padaku, aku hanya akan tidur sebentar. Setelah itu, kita akan jalan-jalan keliling taman. Kita akan bersama-sama menunggu salju pertama turun lalu bermain salju sampai puas. Tunggu aku sampai bangun. Aku berjanji akan menemuimu dan kita akan perang salju sampai demam di esok hari." ucap Taehyung dengan intonasi yang lembut dan sehalus beledu, "sekarang biarkan aku pingsan sebentar. Ya?"

Dan di detik ketika tangan Taehyung terkulai di genggaman Jungkook, salju pertama turun ke bumi bersamaan dengan sirine ambulance yang bergaung di tengah hujan dan butiran-butiran salju yang menuruni udara.

Dan saat itu pula, Jungkook meraung, menangis tanpa peduli tenggorokannya yang serasa ingin putus. Begitu pilu, dengan sudut hati yang bagai diam berhenti berdetak, dalam diam menggenggam erat rentetan kata Taehyung dan menunggu dengan sabar.

Untuk bertemu dengan laki-laki itu.

.

.

.


.

.

.

_Winter, 06.15 p.m_

Pagi hari.

Setiap pagi, sepasang mata Jungkook selalu memaksa untuk terbuka dan menolak untuk terpejam. Dengan segera menyibak selimut dan langsung melesat menuju jendela. Jungkook melirik kalender, tersenyum lebar begitu melihat tanggal yang dilingkarinya adalah hari ini. Jungkook kembali menghadap jendela. Awan putih berarakan di langit, angin musim dingin berhembus dan menggoyangkan ranting-ranting pohon yang tak berdaun, serta suhu dingin yang menyentuh kulit.

Pintu kamar Jungkook berderit terbuka, dengan segera Jungkook melarikan matanya ke sana. Sudut bibirnya sedikit turun saat melihat Park Jimin berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu tersenyum, sepasang kakinya melangkah mendekati ranjang Jungkook dan duduk di tepi ranjangnya. "Hai, Kook, bagaimana kabarmu?"

Jungkook mengerling. "Aku baik."

"Kau menginginkan sesuatu?"

Jungkook menggeleng pelan, dengan senyumannya yang lebar. "Tidak, terima kasih."

Jimin diam, tersenyum menatap Jungkook yang bersemangat. Dalam hati Jimin tumbuh bunga-bunga. Perasannya bahagia dapat melihat Jungkook yang tersenyum dengan begitu ringan. Namun, di sudut yang lain, hujan badai berlangsung dengan ganas, menerjang dan menghantam nalarnya untuk kemudian tetap berusaha sekuat tenaga menahan air mata.

"Kapan dia datang?" tanya Jimin.

Jungkook mengerling. "Saat salju pertama muncul." jawabnya girang.

Selalu seperti itu, batin Jimin tersenyum miris. Laki-laki itu tertawa kecil, yang andai saja Jungkook sadar, ada ngilu yang kentara di tawa itu. Jimin tergugu di tengah senyum. "Kurasa kalian akan keluar untuk waktu yang cukup lama." ucapnya yang disambut Jungkook dengan kekehan.

"Ya, kami akan jalan-jalan keliling taman, lalu makan samgyetang panas di kantin bawah. Setelah itu kami akan menghabiskan musim dingin tahun ini di kamar seperti tahun kemarin."

Jimin meringis. "Kalau begitu, cepat minum obatmu sekarang," ucapnya seraya mengulurkan obat Jungkook yan ada di atas nakas, "jangan sampai kau melupakan obatmu karena terlalu senang."

Jungkook terkekeh dan mengambil obatnya. "Aku tidak akan lupa, Jim."

Sepasang obsidian Park Jimin tak pernah teralih dari Jungkook. Netranya mengikuti tiap pergerakan laki-laki itu dan mengamati ekspresinya yang tampak bahagia. Lantas Jimin menghela napas dan mengambil clipboard serta pena yang ia letakkan di nakas, menulis untaian kalimat dengan Jungkook sebagai objeknya. Semakin banyak yang ia torehkan, sudut hatinya semakin berdenyut ngilu. Ada setitik rasa sakit yang menepuk hatinya, menjadikan Jimin tak kuasa untuk tak teringat masa lalu. Akan tetapi Park Jimin dengan ahlinya tetap bertahan, memasang senyumnya, seakan terlihat ikut bahagia walau hatinya hancur tak berbentuk.

Kemudian Jimin beranjak, tersenyum sepintas sebelum keluar melewati pintu dan meninggalkan Jungkook yang masih menghadap jendela. Duduk seraya memeluk lututnya dan menyandarkan tubuhnya di permukaan jendela dengan senyuman di bibirnya. Mutiara hitamnya terfokus pada langit, menunggu salju turun dengan sabar dan sepenuh hati.

Langit musim dingin sepi tanpa matahari, menjadikan cuaca semakin dingin tanpa kehangatan sinarnya. Orang-orang berjalan lalu lalang, berpakaian putih bersih yang tampak sibuk di halaman rumah sakit. Ah, pasti menjengkelkan saat harus keluar rumah di tengah musim dingin yang beku ini. Beruntung Jungkook tak perlu keluar dari kamarnya.

Jungkook mendengar suara langkah kaki. Derit pintu yang terbuka serentak membuat Jungkook langsung menoleh pada pintu senyumnya bertambah lebar begitu melihat sosoknya di sana.

Kim Taehyung, berdiri dengan mantel tebal yang membungkus tubuh dan beanie hitam yang terpasang di kepalanya. Laki-laki itu tersenyum, dan Jungkook merasakan pipinya merona saaat melihat senyum kotak itu di bibir hyung kesayangannya. "Selamat datang, Hyung." Jungkook berseru girang, membuat Taehyung menguraikan tawa beratnya yang menggetarkan.

Taehyung mendekat dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang. "Hai, Bunny. Apa kabar?"

Jungkook terkekeh. "Aku baik, Hyung. Kau sendiri. Bagaimana kuliahmu? Pasti sangat berat jadi mahasiswa."

Taehyung pernah bercerita padanya bahwa laki-laki itu ingin kuliah di Kyunghee. Dan sebuah keajaiban karena dia benar-benar berhasil diterima oleh Universitas itu.

"Kuliahku baik. Meskipun berat, tapi rasanya menyenangkan." Jungkook mengembangkan senyumannya yang lebar hingga matanya menyipit. Senyuman yang khusus ditunjukkan untuk Kim Taehyung yang sedang berceloteh tentang kesibukan kuliahnya. Sesekali Jungkook akan menyela utnuk sekedar menganggu Taehyung dengan guyonannya yang garing. Kemudian mereka akan keluar kamar, berjalan-jalan menyusuri taman rumah sakit yang membeku oleh suasana dingin jungkook duduk di bangku taman. Di sampingnya, Taehyung menghampiri dengan wajah tertekuk kesal. "Kau bisa beku kalau keluar hanya dengan kemeja setipis itu, Bunny." desah Taehyung lirih. Laki-laki itu mendecak, tampak sangat jelas bahwa ia tak menyukai gaya pakaian Jungkook yang sama sekali tak berubah.

Sementara itu, Jungkook terkekeh pelan mendengar gerutuan hyung-nya. "Aku tidak butuh mantel, Hyung. Bersama dirimu sudah cukup hangat bagiku."

"Aish, sejak kapan kau belajar bicara cheesy begitu? Jimin pasti mengajarimu yang aneh-aneh."

Dan Jungkook tertawa bersama Taehyung. Yang lebih tua mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Jungkook yang agak tirus. Dan seketika Jungkook dapat merasakan kehangatan yang tersembunyi di balik kebekuan jemari Taehyung. Lantas Jungkook menutup matanya, menikmati sensasi rasa dingin yang menjalar di pipinya saat Taehyung menyentuhnya.

Jungkook tak perlu mantel. Jungkook tak masalah berada di luar ruangan dalam suhu dingin yang menusuk tulang. Jungkook tak peduli kulitnya memucat dan bibirnya memutih. Jungkook tak acuh pada angin dingin yang menerpa. Karena Jungkook menemukan kehangatannya sendiri.

Adalah saat Kim Taehyung berada di dekatnya. Menatapnya penuh kasih dan dengan semua ungkapan nan lembut yang menghangatkan rongga dadanya, bahkan tanpa perlu diekspresikan oleh frasa sekalipun, lebih dari cukup dan Jungkook tahu dan sangat paham.

Bahwa hanya dengan kehadiran Kim Taehyung, Jungkook merasakan kebekuan di musim dingin seketika mencair dan lumer di bawah kakinya. Maka Jungkook tak keberatan untuk menunggu selama sembilan bulan lamanya dan mengisinya dengan penantian sepenuhnya. Jungkook tak masalah karena setelahnya, Jungkook percaya bahwa Taehyung akan selalu menemuinya untuk menghabiskan tiga bulan musim dingin bersamanya. Dan saat salju pertama turun dan mengenai ujung hidungnya, Jungkook akan menyambutnya dengan senyuman serta antusias yang membuncah layaknya masa anak-anaknya dulu.

Jungkook beranjak dan mengarahkan kepalanya ke kantin. Taehyung tersenyum dan ikut berdiri, menjajarkan langkahnya dengan sepasang kaki Jungkook menuju sebuah meja dimana Park Jimin telah duduk di sana, seolah tahu bahwa Jungkook danTaehyung akan datang.

"Jim, pesankan aku dua samyetang, ya. Pakai uangmu dulu, besok kuganti."

Jimin terkekeh pelan. Tangannya terulur untuk menggusak puncak kepala Jungkook sebelum kemudian beranjak pergi untuk mengambil pesanan laki-laki itu, meninggalkan Jungkook dan Taehyung yang kembali bercengkrama.

Saat Jimin datang dengan dua mangkuk yang mengepulkan asap di tangannya, Jungkook menyambutnya dengan riang dan segera melahapnya, mengabaikan risiko lidahnya yang kemungkinan akan terbakar karena rasa panas. Sedangkan Taehyung hanya menatapnya dengan senyum geli tanpa sedikit pun menyentuh mangkuknya sendiri.

"Hyung, kenapa kau memakan samgyetang-mu?" tanya Jungkook begitu melihat Taehyung yang bahkan tak mengambil sumpit atau alat makan lainnya.

Taehyung tertawa kecil. "Aku tidak lapar, Bunny. Melihatmu makan sudah cukup bagiku. Lagipula, aku juga tak pernah makan di depanmu, 'kan?"

Jungkook mengerling. "Kenapa?"

"Ada apa, Kook?" tanya Jimin. Sedari tadi ia hanya diam dan memerhatikan. Saat melihat kernyitan di dahi Jungkook, Jimin merasa ia perlu membuka mulutnya, sekedar bertanya.

Bola mata Jungkook bergulir pada Park Jimin. Laki-laki itu menunjuk Taehyung dengan sumpit di tangannya. "Dia tidak mau makan lagi."

Jimin mengernyitkan dahinya, obsidian tajamnya mengarah pada Taehyung. Senyum miris terukir di bibirnya. "Ah, kalau begitu biar aku saja yang makan." ajunya.

Mendengarnya, Jungkook mengerling sekali lagi pada Taehyung. "Kau serius tidak mau makan, Hyung? Rasanya sangat enak, lho."

Namun Taehyung menggeleng. "Tidak. Kurasa lebih baik Jimin saja yang memakannya."

Dan Jungkook mengangguk pelan, patuh. Lantas tersenyum pada Jimin seraya menyodorkan mangkuk di hadapan Taehyung pada laki-laki itu. "Baiklah, Jim. Taehyung bilang kau boleh memakannya." cetusnya seraya tersenyum lebar.

Sedangkan Jimin mengambil mangkuknya dengan seutas senyum kecil. Menggerakkan sumpitnya untuk mengambil telur rebus dari mangkuk dan menguyahnya. Ekor matanya menilik pada Jungkook. Laki-laki itu tampak tertawa, begitu lepas dan tampak normal. Seolah tak pernah mengalami pengalaman buruk yang menghancurkan hidupnya. Seolah terlalu baik untuk hancur. Seolah selalu hidup dengan bahagia. Seolah tak memiliki retakan.

Namun, sayangnya, Jeon Jungkook memilikinya.

.

.

.


.

.

.

Pasca kecelakaan itu, Kim Taehyung segera diangkut menggunakan ambulance untuk segera ditangani di rumah sakit. Jeon Jungkook begitu setia menunggui dengan menggenggam erat tangan Taehyung. Tak pernah terlepas dan terus terjalin. Akan tetapi Jungkook terpaksa harus memutus jalinan jemari mereka saat Taehyung diharuskan masuk ke ruang gawat darurat.

Kedua orang tua Taehyung dan orang tuanya beserta Park Jimin datang melewati pintu rumah sakit, dengan segera merengkuh tubuh lunglai Jungkook yang lembek bagai tak punya penyangga lantaran seluruh tulangnya yang dilolos satu persatu. Nyonya Kim menangis dengan begitu kencang, memeluk Jungkook dan berulang kali menanyakan bocah Kim kesayangannya. Namun yang bisa Jungkook lakukan hanya menangis dengan isakan yang sama pilunya. Nyonya Jeon dan Park Jimin berusaha menenangkan keduanya sementara dua kepala keluarga mencari pihak informasi untuk mengurus beberapa hal.

Waktu terasa begitu mencekik di antara mencekamnya suhu beku. Bibir pucat Jungkook bergetar, dalam hati terus berdoa untuk Taehyung di balik pintu itu.

Hingga kemudian, pintu itu terbuka, menampilkan seorang dokter berpakaian putih yang menundukkan kepalanya. Nyonya Kim dengan terburu menghampirinya, menembakkan pertanyaan langsung mengenai putranya. Dan saat dokter itu memberikan sebuah gelengan lemah, langit bagai runtuh seketika dan menghantam kepala Jungkook.

Kepala Jungkook pening, tungkainya bergetar dan tak mampu lagi menopang beban. Tubuh Jungkook luruh terduduk di lantai dengan bola mata bergetar tak percaya yang kentara.

Saat itulah, untuk pertama kalinya, Jungkook merasa ingin menenggelamkan diri di laut Antartika.

.

.

.


.

.

.

Pemakaman Kim Taehyung berlangsung tepat setelah Tuan Kim mengurus semuanya. Dan sudah berselang seminggu semenjak itu. Nyonya Kim tampak begitu terluka, sering memasang sorot mata yang kosong tak berwarna tiap kali teringat putranya. Meskipun saat ditegur wanita itu akan mengukir senyum.

Namun, dari sekian banyak yang kehilangan, kasus Jungkook merupakan yang terparah. Laki-laki itu mengurung diri di kamar dan menolak keluar selama satu minggu penuh. Tuan Jeon dan Nyonya Jeon berulang kali mengetuk pintu kamarnya hanya untuk menemukan bahwa pintu kayu itu terkunci dari dalam dan tak ada satu suara pun yang menyahut. Bahkan Jimin yang merupakan sahabatnya pun tak diacuhkan, meskipun Jimin benar-benar menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berdiri di hadapan pintu kamar Jungkook dan mengetuknya lagi dan lagi.

Namun hanya hembusan angin yang membalas.

Tiap malam, suara isak tangis menggema, mengutarakan betapa terluka si pemilik suara. Nyonya Jeon juga sempat datang dan mencoba mengetuk pintu kamar Jungkook, namun nampaknya laki-laki itu terlalu sakit untuk sekadar menjawab.

Karena bagi Jungkook rasa sakit yang dialaminya lebih menusuk. Sebab Jungkook lah penyebabnya. Sebab Jungkook lah yang melihatnya langsung dengan mata dan kepalanya sendiri. Sebab Jungkook lah yang merasakan sensasi dimana suhu tubuh Taehyung menurun, hela napasnya yang tersendat, dan suara lirihnya yang diterpa angin.

Hingga suatu waktu, dimana Tuan Jeon mengambil keputusan untuk mendobrak pintu kamarnya, pria paruh baya itu tercekat saat melihat Jungkook berdiri di tengah ruang kamarnya yang berantakan dengan silet tertanam di pergelangan nadinya. Tuan Jeon segera mengangkat tubuh pucat Jungkook dan membelah jalanan ibu kota menuju rumah sakit.

Saat Jungkook dipulangkan, laki-laki itu bahkan pernah ditemukan sedang menyayat lengannya menggunakan pecahan kaca cermin yang pecah di kamarnya. Seminggu kemudian, laki-laki itu juga harus kembali ke rumah sakit karena diketahui mencoba menenggelamkan dirinya di bak mandi.

Demi menghindari percobaan bunuh diri lagi, Tuan Jeon melepas engsel di pintu kamar Jungkook dan membawa pintu kayu itu ke gudang. Jika pintu ini dilepas, Jungkook akan lebih mudah untuk diawasi, pikirnya waktu itu. Dan Jungkook terlalu tak acuh untuk sekedar peduli jika pintunya dilepas.

Setiap hari, yang dilakukan laki-laki itu hanya duduk di tepi jendela, menghadap pemandangan luar dan tak menyahut saat ditawarkan makan oleh ibunya, menjadikan Nyonya Jeon bersedih dan nyaris selalu menitikkan air mata tiap kali melihat putranya. Tiap pulang sekolah, Park Jimin juga akan datang. Laki-laki itu akan terus mencoba menarik perhatian Jungkook dari jendela, tanpa peduli apa Jungkook menoleh atau tidak, Jimin akan menceritakan semua kesehariannya dengan sorot gembira seperti dulu sebelum kecelakaan terjadi. Karena Jeon Jungkook adalah sahabatnya, teman terbaiknya, dan Park Jimin mampu merasakan sakit yang sama yang dirasakan laki-laki itu saat melihat sorot matanya yang kosong dan sendu. Mati. Tak mengandung setitik pun semangat hidup.

"Jim," suara Jungkook yang bagai sudah lama hilang dari tenggorokannya memanggil Jimin, membuat laki-laki itu menghentikan celotehannya.

Park Jimin baru saja akan menjerit bahagia begitu tahu sahabatnya membuka suara pada akhirnya. Namun kemudian, keningnya berkerut tak mengerti saat melihat jemari telunjuk Jungkook yang kurus menunjuk luar jendela. Jimin menggulirkan matanya mengikuti telunjuk itu, mendapati butian-butiran salju turun di halaman rumah keluarga Jeon.

"Ah, salju," gumam Jimin menganggukan kepalanya, "kalau tidak salah ini salju pertama yang turun di tahun ini. Kenapa? Kau mau main di luar?"

"Taehyung."

"Apa?"

Jungkook beranjak dari duduknya dan menempelkan tubuh depannya di permukaan kaca jendela. "Taehyung."

Park Jimin melarikan bola matanya secepat kilat begitu mendengar nama itu. Obsidiannya bergerak liar mencari keberadaan laki-laki itu. Menghela napas begitu tak menemukan sosoknya dan tertawa lirih saat menyadari kebodohannya sendiri. "Taehyung tidak ada, Kook. Ah, betapa bodohnya aku bisa diperdaya olehmu. Sembilan bulan bungkam seperti orang bisu dan kau sudah mengerjaiku. Dan yang lebih menyebalkannya aku percaya-percaya saja. Haha."

Jungkook menggeleng tegas, lantas mengerling padanya. "Tidak, Jim. Aku tidak bercanda. Ada Taehyung—di sana, dia sedang melambai padaku sambil membawa papan ski."

Jimin melongo. Bibirnya terbuka secelah dan alisnya terangkat. Sekali lagi ia menoleh keluar jendela dan hanya menemukan hamparan salju yang mulai menyelimuti tanah. "Tapi aku tidak—"

Dan kemudian, Jimin menghentikan kalimatnya untuk berpikir. Detik selanjutnya, ia segera mendatangi Tuan Jeon untuk menceritakan perihal Jungkook.

Tuan Jeon memanggil seorang psikolog, berharap psikolog itu mampu memberikan kabar bahagia setelah konsultasi dengan putranya. Akan tetapi, yang ia dapat justru kabar buruk.

Kabar buruk yang mengatakan bahwa putra semata wayangnya mengidap skizoprenia.

Skizoprenia, penyakit mental kronis yang sukar untuk disembuhkan. Ditandai dengan halusinasi, delusi, dan paranoid.

Nyonya Jeon menangis begitu mengetahui fakta tersebut. Berulang kali wanita itu mencoba menyangkal, namun kenyataan berkata demikian. Begitu pula dengan Park Jimin. Laki-laki itu bisa merasakan kakinya bergetar dan jantungnya berhenti menyuplai darah sehingga wajahnya pucat memutih.

Jungkook sahabatnya... skizoprenia?

Hari itu, Jungkook memberontak saat beberapa orang berpakaian putih memintanya pergi ke rumah sakit jiwa. Jungkook menjerit, memprotes mereka. Apa mereka bilang? Rumah sakit jiwa?

Jungkook tidak gila!

Ia tahu melihat Taehyung sedang berdiri di hadapannya dengan senyum mengulas di bibirnya memang tak masuk akal lantaran Jungkook tahu Taehyung sudah pergi. Akan tetapi, telinganya benar-benar mendengar suara Taehyung yang sangat ia rindukan, dan pertahanan Jungkook runtuh dan memutuskan untuk percaya Taehyung ada.

Laki-laki itu menghempaskan tangan pria yang menarik lengannya, berteriak keras bahwa ia tidak gila.

"Tae-hyung, tolong aku! Aku tidak gila!" jerit Jungkook bagai kesetanan. Air mata merembes dari sudut matanya. Laki-laki itu menangis. Kecemasan mengusai dirinya saat bayangan Taehyung menghilang perlahan. "Taehyungie-hyung!"

Jimin dan Tuan Jeon menahan lengan Jungkook, sementara laki-laki itu menyentakkan lengannya semakin kuat. Salah seorang dari mereka mengambil suntikan, mengisinya dengan obat bius dan menyuntikkan isinya pada lengan Jungkook.

Perlahan-lahan, Jungkook melemah, cengkraman tangannya mengendur. Dan tubuhnya digotong ke mobil berwarna putih untuk pergi ke rumah sakit jiwa.

Banyak orang bertambah hancur; Tuan Jeon, Nyonya Jeon, Park Jimin, dan tetangga serta kenalan mereka yang lain. Jungkook diletakkan di sebuah kamar khusus bernuansa putih yang dipenuhi aroma obat-obatan yang menyesakkan. Setiap orang hanya boleh menjenguk di balik pintu yang hanya boleh dilewati oleh dokter dan perawat.

Melihat kondisi sahabatnya, sudut hati Jimin berdenyar ngilu. Sahabat kelinci yang disayanginya, kini tak ubahnya seperti kelinci sekarat yang mendekam di rumah sakit jiwa. Hal ini membuat Jimin bertekad dalam hatinya untuk belajar dengan giat dan mengambil Jurusan Psikologi. Jimin akan berusaha keras agar bisa lulus dengan cepat dan segera mendapat gelar.

Pada akhirnya, Jimin benar-benar serius. Laki-laki itu kini telah lulus dengan nilai terbaik dan berhasil menjadi psikiater muda yang cerdas. Jimin segera menemui pihak rumah sakit yang menangani Jungkook dan mengajukan diri sebagai dokter pribadi bagi sahabatnya itu. Sehingga, sekarang Jimin dapat mengurus Jungkook. Ia selalu datang menengok Jungkook, sekedar bertanya mengenai beberapa hal, berusaha mengambil alih fokus Jungkook dari jendela seperti dulu.

Laki-laki itu selalu diam dan menghadap ke jendela kamarnya seperti sedang menunggu seseorang. Setiap ditanya, selalu bercerita tentang 'Taehyungie-hyung'-nya yang akan datang setiap musim dingin. Meskipun Jungkook bisa dikategorikan cukup patuh untuk menjalani terapi kognitif dan pelatihan secara psikologis serta meminum resep antineurotik yang diberikan Jimin, laki-laki itu masih sering berhalusinasi dan berdelusi. Paranoid yang dialami laki-laki itu berlangsung menurun sehingga yang perlu difokuskan hanya menghilangkan halusinasinya.

Dan itu sangat sulit.

Karena pernah suatu hari Jungkook berkata, "Aku mungkin gila. Aku tidak waras karena selalu beranggapan Taehyungie-hyung akan datang menemuiku. Mungkin kau dan yang lain ingin aku sembuh, tapi... jikalau aku sembuh, Taehyungie-hyung tidak akan menemuiku lagi. Meskipun ini hanya halusinasi, aku tak keberatan untuk tetap seperti ini. Karena dengan halusinasi, aku dapat merasakan kehadiran Taehyungie-hyung."

Nyatanya, Jungkook memang gila. Dia cinta gila pada Taehyung. Jatuh terlalu dalam dan memutuskan untuk tenggelam dengan sukarela, menolak uluran tangan yang berusaha menariknya keluar dari lautan kegilaan.

Waktu itu, Jimin tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Jungkook terlalu mencintai Taehyung.

Jimin pernah mendengar dosennya mengatakan bahwa cinta merupakan suatu emosi yang mampu membuat seseorang menjadi bodoh. Bagi mereka yang terlalu naif, berkorban atas dasar cinta bukanlah sebuah masalah. Dan Jimin melihatnya secara langsung si kedua bola mata Jungkook yang selalu bersinar begitu menyinggung Taehyung. Bagaimana sepasang mata itu seolah menemukan kembali kehidupannya yang sempat hilang, bagaimana manik hitamnya menyorot lembut dan binar kasih yang memancar penuh kebahagiaan. Seakan tak masalah harus menunggu, sakit, terluka dan menangis hanya untuk yang terkasih.

Dan pada saat itu, Jimin memutuskan bahwa ia akan berusaha keras untuk menyembuhkan Jungkook.

.

.

.


.

.

.

Holaaaa, deerrrsss!

Hehe. Ah, iya. Ini Vkook pertama saya. Jadi maaf kalau semisalkan banyak kekurangan. Maklum, masih baru di dunia kepenulisan ini #apasih?#

Karena kepanjangan, jadi dipotong, ders. Mungkin ini bakalan jadi two-shot, atau mungkin three-shot. Tapi, ya semoga aja cuma jadi two-shot. Kalo kebanyakan, takutnya kalian bakalan mual-mual, muntah, diare, bronkithis, dan bagi ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau janin #lhaMalahGakNyambung#

Ah, yaudahlah. Sampe sini aja. Karena saya masih baru, mohon beri tanggapannya, ya. Yang jujur, jadi kalau semisalkan ada kekurangan bisa diperbaiki lagi kedepannya.

Anyeong~ RnR!