Disclaimer : Hidekazu Himaruya
Summary
Salah paham nggak hanya terjadi di sinetron-sinetron negara kita. Di dunia ini, kesalahpahaman dapat menjadi awal pertengkaran ringan, cekcok, adu mulut, pertengkaran, dan sebuah awal mwnuju pairing baru, khususnya bagi USUK yang dalam cerita ini mengalami hal tersebut. Padahal, mereka pikir liburan di rumah Arthur tidak akan menjadi seburuk ini.
A/N : Fic pertama (yang dipublish) sekaligus fic Hetalia yang menjadi awal kiprahku di dunia ffn (halah! Kebanyakan basa-basi!)
Selamat membaca!
-Alfred's Points of View-
"Arthur, kamu marah denganku," kataku kepadanya.
"Aku tak punya alasan untuk marah denganmu," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari novel detektif Sherlock Homeless ( A/N : Saya nggak dibayar berapapun untuk promosi, jadi namanya disamarkan. Para penggemar jangan marah, ya.) seakan membacanya dengan serius. Padahal tidak tuh, aku tahu dari matanya yang tidak fokus dan ia tidak membalik halaman yang sedang ia baca dari tadi.
"Arthur, aku serius!" kataku lagi dengan penekanan.
"Alfred, aku juga." HUH! Nada bicaranya tetap saja sama-meski sekarang ia membalikan halaman yang ia baca dengan tangannya yang bergetar. Bodohnya, dia tidak sadar bahwa ia membalik ke arah yang salah. Langsung saja kubentak dia.
"Kalau kamu masih ingin berteman denganku, jujur dong! Kamu selalu menghindariku! Ke mana saja kamu dua minggu ini! Menyapaku saja tidak! Kamu ini temanku atau bukan, sih? Ketika aku membutuhkan pertolonganmu, kamu malah jalan-jalan dengan Ludwig!" akhirnya aku berteriak-dan kini dia merespon; menutup novelnya dengan keras, dan berdiri dari kursinya serta menghadapku. Matanya yang berkaca-kaca menatap mataku dengan rasa kesal dan sedih.
"Sayangnya, aku tidak jalan-jalan. Ludwig mengantarku ke rumah sakit,"katanya, dan ia berlari ke kamarnya tanpa menatapku lagi.
Dan aku sadar, aku sudah salah. Salah besar.
Saat aku ingin mengejarnya untuk meminta maaf, Ivan datang dan berbicara denganku sambil berdiri.
"Ada apa?" tanyanya innocent.
"Kau tahu, lah," jawabku lemah.
"Tahu apa?"
"Oh, oke. Aku bertengkar lagi dengan Arthur."
"Kenapa kau tidak minta maaf?"
"Kau mencegatku. Dan dia pasti sudah pergi," jawabku setengah kesal.
"Tapi, aku tidak mencegatmu. Aku sedang mencarimu, lho."
"Untuk apa?" aku setengah tertarik.
Ia menghela napas sebelum akhirnya bicara, "Lebih baik kita bicara di kamarku."
Aku menurutinya. Di kamarnya, aku menceritakan semua kepadanya. Responnya? Ia hammpir membuatku mencekiknya karena berperilaku biasa dan hanya tertawa kecil,
"Satu minggu yang lalu ia membantu Yao dan Kiku mengurus masalah makanan dan air bersih. Lima hari yang lalu ia membantuku membuat karangan bunga matahari raksasa dan dua hari yang lalu, dia...-" mendadak Ivan berhenti bicara.
"Kenapa dia?" ditengah-tengah rasa bersalahku kepada Arthur, aku mendesaknya bicara.
"Dia... dia memintaku mengantarnya ke rumah sakit untuk menghilangkan kebiasaan minumnya yang hampir merenggut nyawanya," kata Ivan akhirnya.
"Maksudmu? Dia akan... mati?" aku mendadak panik.
"Tidak. Yang jelas, alkohol itu buruk untuk kesehatan," jawab Ivan tenang, dan ternyata cukup menenangkan aku. Kemudian kami terdiam beberapa saat sementara Ivan merapikan baju-bajunya.
"Oh, ya. Hari ini aku piket nyuci baju. Ada baju kotor nggak? Biar sekalian kucucikan," katanya tiba-tiba sambil menengok ke arahku.
"OK, ada nih," jawabku malas. Kenapa dia nggak ke laundry aja, sih?
"Mana? Letakkan sendiri dong, itu keranjang cucian ada di depan matamu," kata Ivan sambil menunjuk sebuah keranjang besar.
"Nih, kamu lepas baju yang sekarang ku pakai, sisanya nanti ku antar," jawabku lagi. Toh nggak usah cemas sama manusia 'polos' ini, aku nggak akan diapa-apain. Sebelum menjawabku dia menghela napas, mungkin lelah menghadapi aku.
"Da, da," kemudian dia menghampiriku dan melepas kancing bajuku satu per satu. Dan tak ku sangka, setelah ia melepas hampir dari semua kancing, pintu kamar Ivan menjeblak terbuka.
Dan kami berdua melihat Arthur dengan wajah yang memerah dan napas yang tidak teratur. Ia terlihat sangat terkejut melihat kami-memangnya kena-ADUH! Posisi kami berdua benar-benar 'nggak enak dilihat'! apa yang harus kukatakan? Mata hijaunya bertemu mataku, terbuka lebar seakan tak percaya.
"Privyet (halo)!" Duh, kenapa Ivan santai begitu, sih? Lepaskan aku,dong!
"Ini tidak seperti yang kau pikirkan!" kataku panik kepadanya, sambil mendorong Ivan.
"A-aku mengerti," katanya dingin. Ia meninggalkan kami dengan berlari setengah pelan, seakan langkah kakinya menjadi berat.
Dan tak lama setelah itu, aku mendengar suara teriak keputusasaan dari luar.
End of Chapter 1
A/N : Waduh! Kok super cacat sih? Terima kasih sudah membaca!
