Haruno Sakura mengelus pelan permukaan permata emerald penghias cincin platinum yang melingkari jari manisnya. Rasanya ia masih tak percaya pada apa yang baru saja terjadi padanya. Segalanya berlangsung begitu cepat, begitu tiba-tiba. Di satu waktu ia merasa dirinya seakan terjatuh dari tempat yang amat tinggi, menghantam bumi dengan cara yang paling menyakitkan. Dan di saat berikutnya, ia mendapati dirinya melambung ke langit ke tujuh. Lukanya dalam sekejap terlupakan. Yang ada hanya kebahagiaan.

Ia bahagia—amat sangat berbahagia.

Dan itu semua karena lelaki ini. Lelaki yang kedua lengannya yang hangat kini tengah mendekap tubuhnya, membungkusnya dengan cinta yang tak dapat ia duga seberapa dalamnya. Yah, karena lelaki ini memang selalu tak terduga. Sama seperti cinta itu sendiri.

Sakura mendongak, demi melihat sang lelaki tercinta membalas tatapannya. Kata orang, kedua bola mata sekelam batu onyx itu selalu memberi kesan dingin dan mengintimidasi. Tetapi bagi Sakura, mereka adalah sepasang permata paling indah dan paling hangat yang pernah ada.

.

.

BUKAN SESTOPLES CINTA

A oneshot story by Arlene Shiranui

Naruto belongs to Kishimoto Masashi

Sakura & Sasuke belongs to each other ^_^

Warning: Alternate Universe, maybe out of character :/

.

.

Sakura duduk termangu di sofa di ruangan kantor yang berukuran cukup luas itu. Sepasang mata hijaunya yang sembab menatap nanar kedua tangannya yang saling remas di pangkuannya. Tenggorokannya tercekat, bukan hanya karena radang yang sedang ia derita sekarang, namun lebih karena usahanya untuk menahan isakan. Rasa sakit akibat pemecatan mendadaknya dari peran di sebuah pertunjukan yang seharusnya menjadi batu loncatan untuk bisa debut di dunia opera masih terasa jelas.

Dan itu hanya karena hal sepele yang seharusnya dapat ia cegah. Betapa mirisnya. Rasanya seperti melihat impianmu hancur di tanganmu sendiri.

Sakura no baka!

Cairan bening itu kembali bergulir dari sudut matanya. Sakura menyekanya segera, sembari meneguk ludah dengan susah payah. Barangkali terdengar cengeng, tapi rasanya sangat sulit untuk tidak menangis di saat-saat seperti ini.

Sakura menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu mengedarkan pandangannya berkeliling. Meja kerja itu masih sama seperti biasanya; minimalis, rapi, tanpa debu setitik pun. Papan nama bertuliskan 'Uchiha Sasuke—General Manager' yang terbuat dari kaca terpampang di muka, ditemani dua buah pigura—satu foto keluarga, dan satu lagi foto seorang gadis berambut pink yang tengah tersenyum. Ruangan itu hampir tak berubah sejak Sakura berkunjung ke kantor lelaki itu beberapa minggu yang lalu.

Saat ia datang untuk memberitahukan keberhasilannya mendapatkan sebuah peran setelah hampir satu tahun bergabung di sebuah teater opera. Memang bukan peran utama, tapi saat itu Sakura gembira sekali, karena setidaknya ia mendapatkan scene untuk bernyanyi solo. Pada akhirnya kemampuannya mendapat pengakuan, bukan hanya sebagai anggota paduan suara. Dan itu berarti satu langkah maju untuk menggapai impiannya sebagai seorang diva opera.

Walaupun reaksi Sasuke saat itu tak seperti yang ia harapkan.

Sakura masih ingat ekspresinya yang terheran-heran ketika dirinya menerobos kantor General Manager di tengah jam kerja, terengah-engah dan berkeringat, dengan senyum secerah mentari mengembang di wajahnya. Lelaki itu masih terperangah ketika Sakura mulai berteriak-teriak girang mengumumkan keberhasilannya mendapatkan peran setelah perjuangan berbulan-bulan—terkadang Sakura memang tak dapat menahan diri, tanpa sadar melakukan hal-hal gila jika sedang sangat senang—dan tanggapannya hanya,

"Baguslah." –dan tanpa perubahan ekspresi berarti—seolah ia tidak terlalu peduli—Sasuke kembali menekuni pekerjaannya.

"Sasuke-kun ..." kata Sakura dengan nada memohon. Senyum di wajahnya sedikit memudar. "Ini adalah impianku. Kau tahu, kan?"

"Aa." Sasuke mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas yang tengah ia kerjakan.

Berusaha menelan habis sekelumit perasaan kecewa yang muncul karena sikap dingin kekasihnya itu, Sakura berkata dengan nada ceria, "Kau tidak ingin memberiku ucapan selamat?"

"Hn. Tentu. Selamat, Sakura," ucap Sasuke, terdengar agak tidak sabar ketika ia mengangkat wajahnya menatap Sakura yang berdiri di depan meja kerjanya yang berpelitur. "Dengar. Hari ini aku sangat sibuk, aku tidak punya waktu membicarakan ini. Kau mengerti, kan?"

Sasuke yang gila kerja. Tak ada yang lebih penting baginya dari Uchiha Enterprises, perusahaan yang didirikan dan dibesarkan oleh kerja keras dan cucuran keringat Klan Uchiha. Tempat di mana beratus-ratus kepala keluarga menggantungkan hidup mereka, yang bagi Sasuke, itu adalah sebuah tanggung jawab besar. Selain itu ia juga tidak ingin mengecewakan sang ayah yang telah memberikan kepercayaan penuh padanya. Bagi lelaki itu, penilaian Uchiha Fugaku adalah segalanya.

Tentu saja Sakura sangat memahami hal itu—jangan salah—dan ia selalu mendukungnya dengan apa pun yang ia mampu. Selama ini Sakura sudah banyak mengalah, rela dinomorduakan demi urusan pekerjaan. Hanya saja untuk kali ini, Sakura ingin lelaki itu lebih memerhatikannya dan bisa ikut merasakan kegembiraan yang ia rasakan.

"Sasuke-kun ... aku hanya—"

Belum sempat Sakura menyelesaikan kata-katanya, telepon di atas meja berdering. Sasuke segera mengangkatnya.

"Ya?—Aa. Aku akan ke sana sekarang." Sasuke kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya, merapikan berkas-berkasnya dan beranjak mengitari meja. "Sakura, sekarang aku harus pergi. Kau pulanglah. Nanti saja kita bicara." Sorot tajam matanya tatkala menatap Sakura menunjukkan bahwa dirinya tak ingin dibantah.

Sakura tersenyum kecut. Lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama hampir lima tahun itu memang tipe orang yang memiliki kecenderungan bersikap tak acuh menanggapi sesuatu—termasuk soal kekasihnya sendiri. Terkadang Sakura merasa heran pada dirinya sendiri yang sanggup bertahan dengan sikap Sasuke sampai sejauh ini. Jika bukan karena cintanya yang mendalam terhadap lelaki itu, mungkin Sakura sudah meninggalkannya sejak lama.

Akan tetapi meski Sasuke bisa bersikap sedingin batu, entah mengapa Sakura tak dapat lepas darinya. Sasuke baginya, sama pentingnya seperti tarikan napas. Tak peduli seberapa sering dirinya dikecewakan, dalam kondisi apa pun, senang atau sedih, gadis itu selalu datang, datang dan datang lagi padanya.

Tiba-tiba saja Sakura dihantui perasaan resah. Gadis itu bertanya-tanya sendiri, apakah selama ini Sasuke merasa terbebani oleh dirinya? Itukah sebabnya ia selalu bersikap tak acuh padanya? Dirinya yang begitu merepotkan, cerewet dan keras kepala. Dirinya yang terlalu tergantung ... Oh, Tuhan ...

Kepalanya mulai berdenyut-denyut tatkala berbagai pikiran buruk menyerbu ke dalam otaknya.

"Sakura?"

Sebuah suara membuat Sakura melonjak terkejut. Ia menoleh, mendapati salah seorang bawahan Sasuke yang juga teman seangkatannya di sekolah menengah dulu, Shiho, memberinya senyum meminta maaf sementara meletakkan cangkir berisi teh hangat yang masih mengepul di atas meja.

"Gomen ne, sepertinya aku mengejutkanmu."

"Ah—ti-tidak apa-apa, Shiho-chan," Sakura menyahut dengan suara parau. Ia terbatuk.

Senyum menghilang dari wajah Shiho, digantikan ekspresi khawatir. "Kau baik-baik saja?"

"Hm ..." Sakura mengangguk kecil, memaksakan seulas senyum—rasanya itu menjadi seratus kali lebih sulit dilakukan saat suasana hatinya sedang buruk.

Shiho memerhatikan kawan lamanya itu. Wajah Sakura tampak memerah seperti orang demam, kedua matanya bengkak, belum lagi suaranya yang nyaris menghilang. "Kelihatannya kau sedang tidak sehat."

"Hanya flu biasa," jawab Sakura serak.

Shiho memandanginya beberapa saat lagi sebelum berkata, "GM sedang mengikuti rapat penting dengan dewan direksi, entah kapan selesainya. Kau yakin mau menunggunya, Sakura?"

Selama beberapa saat, Sakura sempat bimbang, sebelum akhirnya mengambil keputusan. Kali ini ia tak mau merepotkan Sasuke. Kali ini, biar ia menghadapi masalahnya sendiri.

"Kurasa aku mau pulang saja, Shiho-chan." Sakura beranjak dari sofa, mengambil mantelnya. Namun sebelum meninggalkan ruang kantor itu, ia berpesan pada Shiho, "Ano ... jangan beritahu Sasuke-kun aku kemari."

.

.

Hari sudah menjelang senja ketika Uchiha Sasuke kembali ke kantornya. Setelah melewatkan waktu seharian menginspeksi pabrik, lalu dilanjut dengan berkutat di ruang rapat, akhirnya sekarang ia bisa sedikit meregangkan tubuh. Benar-benar melelahkan.

Dihempaskannya tubuhnya yang letih di kursi kulit di belakang meja kerjanya, menghembuskan napas keras-keras. Jemarinya yang panjang menarik simpul dasi, melonggarkannya sedikit. Sasuke menyandarkan kepalanya ke sandaran kursinya, memejamkan mata sejenak, merilekskan otot-otot tubuhnya yang tegang sementara pikirannya mulai berkelana memikirkan rencananya esok malam. Sudut-sudut bibirnya melengkung membentuk seulas senyum tipis membayangkan reaksi kekasihnya nanti.

Sakura ...

Secara naluriah, pandangannya terjatuh pada salah satu pigura foto di atas meja kerjanya. Gadis bermata hijau itu balas tersenyum manis dari sana. Ah, tiba-tiba saja Sasuke merasa rindu. Sudah berapa lama mereka tidak bertemu? Sehari? Dua hari? Atau malah sudah seminggu atau lebih? Sasuke tidak terlalu ingat. Selama ini komunikasi mereka lebih banyak dilakukan lewat email atau telepon, dan itu pun tidak terlalu sering. Salahkan pekerjaannya yang sudah sangat menyita waktu dan pikirannya.

Tetapi malam ini—dan tentunya, esok—Sasuke pasti akan membayarnya.

Sasuke mengerling arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Pertunjukkan opera Sakura dimulai pukul tujuh, berarti ia hanya punya waktu satu jam untuk pulang ke apartemennya dan bersiap-siap. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, sang GM muda bergegas mengumpulkan barang-barangnya dan meninggalkan kantor yang mulai sepi.

.

.

Terbiasa dengan pola kerja yang serbagesit, dalam waktu setengah jam, Sasuke sudah duduk di belakang roda kemudi mobilnya dengan penampilan lebih rapi, bersiap meluncur ke Hidden Leaf Theatre. Tubuhnya yang tegap menguarkan aroma bersih sehabis mandi. Tergeletak di bangku penumpang, sebuket mawar merah segar yang baru dibeli di toko bunga dekat apartemennya, diselipi kartu ucapan dengan tulisan tangannya sendiri. Sasuke memang bukan tipe lelaki romantis, tapi ia berharap ini cukup.

Ini adalah pertunjukkan yang sangat penting bagi Sakura, sebuah langkah maju untuk mencapai impiannya. Sasuke tidak pernah lupa bagaimana Sakura begitu menggebu-gebu jika berhubungan dengan opera—betapa gadisnya begitu mencintai seni pertunjukan musikal itu. Sakura sudah belajar bernyanyi secara otodidak sejak di sekolah menenga, bahkan ia sampai berhenti dari kuliah manajemennya demi fokus belajar opera. Sekarang Sakura sudah semakin mendekati impiannya, dan Sasuke pasti akan mendukung kekasihnya itu sepenuh hati—dan tentu saja, ia akan memastikan malam ini mereka akan merayakannya bersama.

Pukul tujuh kurang sepuluh menit, Sasuke sudah memasuki pelataran depan teater terbesar di Konoha tempat pertunjukan opera dilangsungkan. Segera setelah menyerahkan kunci mobilnya pada petugas valet, lelaki itu bergegas memasuki gedung megah itu, bergabung dengan antrian penonton berpakaian necis.

Sebenarnya Sasuke tidak terlalu suka keramaian seperti ini. Aroma parfum yang menguar di udara dan dengung obrolan dari segala arah membuatnya pusing. Belum lagi tatapan orang-orang padanya yang membuatnya terganggu. Terkadang Sasuke merasa heran sendiri dengan bakatnya untuk menarik perhatian orang-orang sementara dirinya tak melakukan apa-apa. Tidak masalah jika itu terjadi di ruang rapat atau semacamnya, itu malah menguntungkan. Tapi di keramaian seperti ini, itu sangat membuat jengah.

Padahal Sasuke bisa saja mengajak seseorang—Naruto atau kakak lelakinya, Uchiha Itachi—untuk menemaninya. Dengan begitu perhatiannya sedikit teralihkan. Tetapi tidak. Malam ini Sasuke akan berusaha menampik perasaan risih itu, tentu saja, demi Sakura. Saat-saat istimewa seperti ini, kalau bisa Sasuke ingin melewatkannya berdua saja dengan Sakura.

Dan omong-omong soal Sakura, Sasuke bertanya-tanya dalam hati sedang apa gadisnya itu sekarang? Sebelum berangkat tadi ia sudah mencoba menghubungi ponselnya, tetapi tidak aktif. Awalnya Sasuke sempat khawatir, karena Sakura nyaris tidak pernah menonaktifkan ponselnya. Namun ia segera menepis pemikiran itu. Mungkin saja Sakura sedang berkonsetrasi pada persiapannya dan tak ingin diganggu.

Tak lama kemudian, Sasuke akhirnya diantar ke tempat duduk VIP-nya di dalam teater mewah tersebut. Dari sana ia bisa melihat ke arah panggung—yang saat ini tirainya masih tertutup—dengan jelas. Sempurna.

Sementara menunggu pertunjukkan dimulai, Sasuke membuka-buka booklet yang ia dapatkan di depan tadi. Melewatkan bagian yang memperkenalkan orkestra dan para pemain utama, Sasuke langsung mencari-cari nama gadisnya. Foto Sakura yang tengah tersenyum dalam balutan kostumnya terpampang di deretan para pemain pendukung. Sudut bibir Sasuke terangkat sedikit. Bahkan dalam foto tersebut lelaki itu bisa melihat kebahagiaan terpancar dari kedua bola mata Sakura yang hijau.

Lampu diredupkan, tanda pertunjukan akan segera dimulai. Suara dengung orbolan yang semula memenuhi ruang teater perlahan mereda sampai nyaris sunyi. Perhatian seluruh pentonton kini terpusat pada panggung. Orkestra mulai memainkan musik dan perlahan layar beludru yang menutupi panggung diangkat—pertunjukkan pun dimulai.

.

.

Sasuke merasa ada yang salah di sini.

Pertunjukan sudah hampir separuh jalan, tetapi gadis berambut merah muda itu tidak kunjung muncul di atas panggung. Meskipun ada kemungkinan Sakura mengenakan wig, tetapi Sasuke pasti akan langsung mengenali suaranya. Sakura sudah beberapa kali memperdengarkan lagu yang akan dinyanyikannya dan ia tidak mungkin salah. Mengapa di saat adegan di mana Sakura seharusnya bernyanyi, yang muncul malah orang lain?

Ada apa ini?

Dengan perasaan was-was, Sasuke kembali membuka-buka booklet-nya, memastikan. Foto di booklet itu memang Sakura, tetapi perempuan di atas panggung itu, yang mengenakan kostum yang seharusnya dikenakan Sakura dan melantunkan lirik yang seharusnya dinyanyikan Sakura, sama sekali bukan kekasihnya. Tiba-tiba saja gelombang perasaan cemas menerpanya.

Di mana kau, Sakura?

Tanpa menunggu pertunjukkan selesai, Sasuke bangkit dari tempat duduknya dan bergegas keluar. Ia sama sekali tak memedulikan gerutuan tidak senang beberapa penonton yang merasa terganggu. Yang ada dalam kepalanya saat ini hanya Sakura. Tanpa berpikir panjang, Sasuke langsung menuju area back stage yang pernah Sakura tunjukkan padanya di salah satu kencan mereka hampir setahun lalu.

Seorang lelaki bertubuh tinggi besar langsung menghadangnya begitu Sasuke melangkah memasuki ruangan tersebut.

"Maaf, Tuan. Pengunjung umum dilarang memasuki tempat ini."

"Aku mencari Sakura," kata Sasuke cepat, seraya menyapukan pandangannya ke area di belakang lelaki yang menghadangnya. Tempat itu dipenuhi orang-orang berkostum, tapi ia tidak melihat sosok berambut pink yang dicarinya di antara mereka.

"Maaf?"

"Haruno Sakura," ulang Sasuke, memelototi lelaki di depannya tak sabar. "Aku mencarinya. Dia ada di dalam, kan?"

Lelaki itu tak langsung menjawab. Air mukanya berubah, dan entah mengapa ia tampak menyesal. "Oh, dia—" Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, perhatiannya teralih seseorang yang baru saja muncul di belakangnya.

"Oi, Juugo! Sedang apa kau di sini?" Seorang lelaki bertubuh lebih kecil dan berambut biru terang menghampiri mereka. "Babak ini hampir selesai. Kita harus siap-siap—" Lelaki itu langsung berhenti begitu melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana—Sasuke—Matanya yang berwarna keunguan melirik ke arah buket bunga mawar di tangan lelaki berambut gelap itu. Seringai muncul di wajahnya. "Wah, wah, wah ... siapa ini? Penggemar fanatik Nona Hanare yang lain?"

"Suigetsu, dia ini—"

"Kalau Anda ingin menemui Nona Hanare, kusarankan setelah pertunjukan selesai saja, Tuan," ujar lelaki berambut biru itu dengan lagak sok, tak memberi kesempatan pada kawannya untuk menjelaskan. "Dia tidak suka ditemui di tengah jeda."

Sasuke memberi lelaki itu pandangan aneh, sebelum memutuskan mengabaikannya. "Jadi, apa Haruno Sakura ada di dalam?"

"Haruno Sakura?" Seringai di wajah lelaki bernama Suigetsu itu lenyap, digantikan ekspresi bingung. "Sakura—Si Pink itu maksudnya?"

"Sayang sekali dia tidak ada di dalam, Tuan," jawab lelaki pertama—Juugo—dengan nada menyesal. "Tepatnya, dia tidak ikut pertunjukkan ini."

Mendengar jawaban itu, hati Sasuke mencelos. "Apa maksudnya tidak ikut—"

"Sudah jelas, kan? Dia dikeluarkan dari pertunjukan," Suigetsulah yang menjawab. Tapi tidak seperti temannya, tak ada nada menyesal dalam suaranya. Jelas ia tidak peduli soal itu. "Gadis bodoh itu benar-benar sudah mengacaukan hidupnya. Membuat dirinya sendiri sakit di saat yang tidak tepat. Memangnya gampang mendapatkan peran?"

Pelipis Sasuke berkedut mendengar kata-kata Suigetsu. Ia sama sekali tak suka dengan cara orang itu membicarakan kekasihnya. Kalau saja ia tak mampu menahan diri, bisa dipastikan tinjunya akan melayang. Tetapi sekarang ini ada hal lain yang jauh lebih penting dibandingkan meladeni omong kosong orang yang tak ia kenal. Setelah melempar tatapan marah terakhir pada Suigetsu, Sasuke lantas berbalik dan melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.

"Lain kali dipikir dulu kalau mau bicara," tegur Juugo, memandang gusar pada temannya.

Suigetsu balas membeliak. "Apa? Aku kan mengatakan yang sebenarnya!"

.

.

"Ayolah, Sakura. Kumohon, angkatlah ..." Sasuke bergumam sendiri. Jemarinya mengetuk-ngetuk roda kemudi dengan tak sabar sementara mobilnya meluncur menuju apartemen Sakura.

Sejak meninggalkan teater sudah beberapa kali ia menghubungi Sakura, tapi sampai sekarang masih tidak ada hasil. Ponsel Sakura masih belum aktif sampai sekarang dan setiap kali menghubungi telepon apartemen gadis itu, yang didengarnya sebagai balasan hanya rekaman suara Sakura di mesin penjawab telepon. Teman-teman Sakura yang ia kenal tak ada yang tahu di mana gadis itu berada.

Sasuke sempat mempertimbangkan akan menghubungi orangtua Sakura, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia mengenal Sakura, dan kecil kemungkinan gadis itu pulang ke rumah orangtuanya. Hal terakhir yang diinginkan Sakura adalah membuat orangtuanya khawatir—tapi justru yang dilakukannya sekarang adalah membuat kekasihnya sendiri khawatir sampai hampir mati—Satu-satunya kemungkinan adalah Sakura berada di apartemennya, karena ia tidak mungkin berkeliaran di luar dalam keadaan sakit.

Sakit—Ya, Tuhan ...

"Haallooo!" lagi-lagi rekaman suara ceria khas Sakura menjawab panggilannya, "Sekarang aku sedang tidak ada di tempat. Soo ... silakan tinggalkan pesan setelah bunyi piip!"—beep!

"Sakura!" Sasuke tak bisa menahan diri berteriak. "Astaga, kenapa tidak angkat teleponnya? Gadis bodoh—apa yang sebenarnya kaulakukan, hah?!—"

.

.

"Haaallooo! Sakura-chan di sini! Sekarang aku sedang tidak ada di rumah. Soo ... silakan tinggalkan pesan setelah bunyi piip!"—beep!

"Sakura, ini aku, Sasuke. Kau ada di apartemen? Kalau iya, tolong angkat teleponnya."

.

.

"Haaallooo! Sakura-chan di sini! Sekarang aku sedang tidak ada di rumah. Soo ... silakan tinggalkan pesan setelah bunyi piip!"—beep!

"Sakura, aku tahu kau ada di apartemen. Kenapa kau tidak mengangkat telepon? Aku sudah tahu apa yang terjadi. Bicaralah padaku. Oke?"

.

.

"Haaallooo! Sakura-chan di sini! Sekarang aku sedang tidak ada di rumah. Soo ... silakan tinggalkan pesan setelah bunyi piip!"—beep!

"Sakura, ini Sasuke lagi. Baiklah, kalau kau tidak ingin membicarakannya, aku mengerti. Tapi tolonglah, angkat teleponnya—Tuhan ... kau benar-benar membuatku gila!"

.

.

"Haaallooo! Sakura-chan di sini! Sekarang aku sedang tidak ada di rumah. Soo ... silakan tinggalkan pesan setelah bunyi piip!"—beep!

"Sakura! Astaga, kenapa tidak angkat teleponnya? Gadis bodoh—apa yang sebenarnya kaulakukan, hah?! Jawab-teleponku-SEKARANG!"

.

.

Untuk kesekian kalinya pesawat telepon itu berbunyi nyaring. Dan nama Sasuke sekali lagi berkedip-kedip di layar kecilnya, berpendar di ruangan yang gelap itu. Tampaknya sang penelepon terlalu keras kepala untuk menyerah. Sama keras kepalanya dengan gadis pemilik telepon yang hingga sekarang masih enggan beranjak untuk menjawab.

Sakura menarik kakinya lebih rapat ke tubuhnya, menenggelamkan wajah di antara kedua lutut. Rambut merah mudanya diikat asal-asalan di belakang kepalanya. Penampilannya yang berantakan seakan merefleksikan suasana hatinya yang kacau-balau. Belum lagi ia bisa menerima pemecatan nya dari pertunjukan dengan besar hati, rentetan pesan dari Sasuke membuat perasaannya semakin tidak keruan.

Seharusnya ia sudah menduganya. Sasuke yang datang ke teater pasti sangat bingung saat tak mendapatinya di panggung. Namun saat memutuskan untuk tak memberitahu Sasuke, Sakura jelas sama sekali tidak memikirkan ini. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sasuke kedengarannya sangat marah di pesannya yang terakhir ...

"Sasuke-kun ..."

"Haaallooo! Sakura-chan di sini! Sekarang aku sedang tidak ada di rumah. Soo ... silakan tinggalkan pesan setelah bunyi piip!"—beep!

"Sakura ... ini aku, Sasuke," suara Sasuke yang terekam di mesin penjawab teleponnya kembali menyapa indra pendengarannya. Namun kali ini nadanya tak setinggi sebelumnya—bahkan terdengar agak lelah.

Sakura mengangkat wajahnya perlahan. Matanya yang merah dan bengkak menatap nanar pesawat telepon di atas meja kopi.

"Maafkan aku soal yang tadi,"—Sasuke hela napas berat—"Aku tahu kau mendengarkanku, Sakura. Jangan membuatku bingung seperti ini, hm? Kalau kau ingin aku menyingkir—"

Sakura sudah tidak tahan lagi. Disambarnya gagang telepon dari tempatnya. "Aku tidak ingin kau menyingkir—" suaranya tercekat. "—Sasuke-kun ..."

Sejenak Sasuke terdiam. "Akhirnya kau menjawab juga."

"M—maafkan aku," bisik Sakura terbata, berusaha keras tidak menangis.

"Tidak perlu." Jeda sejenak. "Bagaimana keadaanmu?"

Sakura menelan ludah dengan susah-payah. Dengan tenggorokan yang meradang seperti ini, bicara saja rasanya begitu menyiksa. "A—aku baik-baik saja—"

Tepat saat itu dari arah seberang ruangan tempatnya duduk, terdengar suara kunci kombinasi pintu yang terbuka. Sakura menegakkan tubuhnya terkejut ketika seseorang membuka pintu depan apartemennya dari luar. Cahaya dari lampu koridor membentuk siluet figur jangkung di depan pintu. Sakura refleks berdiri, tatkala figur itu menekan saklar lampu dan cahaya lampu membanjir di ruangan itu.

"Sasuke ... –kun?"

Uchiha Sasuke balas menatapnya dari ambang pintu, dengan sebelah tangan masih menggenggam ponsel di telingannya.

"Lain kali jangan begini lagi." Sakura masih bisa mendengar suara lelaki itu di sambungan telepon.

"A—aku tahu," sahut Sakura parau, menyeret langkahnya mendekat. Tangannya yang masih mencengkeram erat gagang telepon gemetar.

Sasuke masih menatapnya selama beberapa saat lagi, memerhatikan kedua matanya yang merah dan bengkak, wajahnya yang merona oleh demam, rambutnya yang berantakan ... Malam ini seharusnya bisa menjadi saat-saat yang membahagiakan bagi Sakura—saat-saat yang bersejarah. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sasuke nyaris bisa merasakan bagaimana terpukulnya Sakura saat ini. Dadanya terasa sesak seolah ditimpa sebuah batu besar

"Jangan bilang kau baik-baik saja, Sakura. Karena kau tidak."

Sakura memaksakan diri tersenyum, namun gagal. Cairan hangat yang sejak tadi mendesak-desak di pelupuk matanya pada akhirnya tak dapat ia tahan lagi ketika gelombang emosi menyapu dirinya tanpa ampun. Saat berikutnya gadis itu sudah menemukan dirinya terisak keras di dalam pelukan kekasihnya.

.

.


Sebuah fic sederhana dariku, dengan tema yang mungkin pasaran, tapi mudah-mudahan masih bisa menghibur. Special kupersembahkan buat S-Savers! :D

Akhirnya memutuskan untuk menjadikan fic ini twoshots karena terlalu panjang. Niatnya sih sengaja dipanjangin dikit, tapi malah kepanjangan. Ya sudahlah ... Special thanks buat Ay yang sudah bantuin ngasih judul. Judulnya khas Ay banget kan, yah? *wink

Chap 2 mudah-mudahan besok jadi. Thanks for reading! ;)