Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Pairing : Uchiha Sasuke x Haruno Sakura

Rating : T


Aku mematut diriku di cermin untuk yang terakhir kalinya sebelum berangkat ke kampus. Seluruh keperluanku telah lengkap dan tersimpan rapi di ransel besarku dan tas kecilku, aku sudah siap menuju Suna.

Hari ini komunitas pecinta alam kampusku mengadakan acara tour untuk mendaki gunung, dan panitia meminta para peserta pendaki untuk berkumpul di kampus untuk berangkat bersama menggunakan bus. Para peserta pendaki tidak semuanya anggota komunitas, contohnya saja aku. Aku merupakan mahasiswi yang sama sekali tidak aktif apalagi populer, dan aku juga tak berminat untuk jadi seperti itu. Aku tak tertarik untuk mengikuti komunitas-komunitas seperti itu, karena semua itu merepotkan bagiku.

Aku mendaftar ekspedisi pendakian ini sebenarnya hanya untuk bisa mencapai Suna dengan biaya murah. Aku ingin menemui nenek-ku disana, dia satu-satunya keluargaku sekarang ini. Tapi untuk mencapai Suna dari Konoha, aku perlu tiket kereta atau paling tidak tiket bus yang lumayan menguras kantong seorang mahasiswi pekerja paruh waktu seperti diriku.

Aku sudah punya rencana matang untuk ini. Tubuhku sama sekali tidak dirancang untuk mendaki gunung. Daya tahan tubuhku cukup kuat, dan akupun juga pernah mengikuti kelas bela diri saat SMP sampai SMA, jadi aku tak bisa dibilang anak manja ataupun lemah.

Aku hanya tidak pernah, tidak mengerti, dan sedikit khawatir mengenai kegiatan mendaki yang merepotkan itu. Aku khawatir jika aku kesulitan melakukan hal-hal manusiawi yang urgensi seperti buang air, mandi, dan hal lainnya. Memang alasan itu menggelikan untuk sebagian orang, tapi aku berani bertaruh sebagian orang lagi di dunia ini memiliki pemikiran dan pandangan sama denganku.
Jadi, rencanaku adalah aku akan kabur dari rombongan setibanya di Suna. Aku akan menuju rumah nenekku.

Sialnya aku, kereta yang kutumpangi mengalami gangguan sinyal sehingga aku terlambat sampai di kampus. Saat tiba di kampus, bus yang mengangkut rombongan mahasiswa pendaki sudah berangkat. Aku menjatuhkan tubuhku di trotoar lapangan parkir kampus. Musnah sudah harapanku satu-satunya untuk pulang ke Suna. Jangankan dapat tumpangan bus murah, yang ada uangku yang telah kubayarkan untuk biaya akomodasi tour ini melayang begitu saja.

.

.

::

Druella Wood

Presents

::

ANOMALI

::

.

.

Suara deruman mobil yang berisik menarik atensiku. Mobil antik yang aku bahkan tak bisa mengestimasi kapan kiranya tahun keluaran mobil holden kingswood metalik ini. Ah, cat mobilnya sudah banyak mengelupas di beberapa bagian. Kaca mobil itu dilapisi kaca film gelap yang akan menghalangi cahaya matahari berlebih dan pandangan dari luar mobil.

Karena aku tak bisa melihat siapa orang yang ada di dalam mobil bobrok itu, jadi yang kulakukan hanyalah tetap duduk dan menatap tajam ke jendela hitam pekat itu seakan-akan mataku dapat melihat orang di balik kemudi.

Perlahan kaca jendela depan mobil itu turun dengan tersendat-sendat, diiringi decitan berisik yang sepertinya berasal dari pemutar tuas jendela yang sudah karatan. Setelah kaca jendela berhasil turun setengah jalan, kaca itu kemudian berhenti turun. Sepertinya pemilik mobil ini sudah menyerah dan tak mau memaksakan jendelanya untuk membuka lebih lebar lagi.

Aku memicingkan mata, berusaha menangkap wajah di balik jendela yang terhalang bayangan atap mobil. Sebuah kepala bersurai hitam kebiruan muncul dari balik jendela. Seorang pria ternyata. Tentu saja, memang apa yang kuharapkan? Seorang gadis pirang yang cantik dan modis mengendarai mobil seperti ini? Ia berdeham sebentar sambil membenarkan letak kacamatanya pada pangkal hidung mancungnya sebelum bicara. "Apa kau butuh tumpangan?" begitu kira-kira kalimat yang kudengar jika telingaku belum rusak.

Aku menatapnya dengan skeptis dan dia menghela napas panjang.

"Kau... Haruno Sakura kan?" tanyanya ragu.

Sebelah alisku semakin naik. Benarkah dia mengenalku? Tapi aku tak mengenalnya. Seingatku, aku bukan gadis populer.

"Ya, bagaimana kau mengenalku?"

Dia sedikit salah tingkah dan menggaruk bagian belakang kepalanya. "Umm... a..ak... aku.. sering melihatmu di koridor saat pergantian kelas." akhirnya dia berhasil menyelesaikan kalimatnya tanpa menggigit lidahnya sendiri.

Matahari semakin terik dan aku malas untuk kembali membuang uangku hanya demi naik bus atau kereta lagi. Aku harus berhemat hingga gajiku cair akhir bulan nanti. Jadi aku langsung masuk ke mobilnya tanpa pikir panjang, dan meletakkan tas ransel besarku di kursi belakang.

"Kau akan kemana? Aku akan ikut denganmu hingga batas jalan dimana tujuanmu dan tujuanku berpisah." aku membuka suara terlebih dulu saat ia mulai men-starter mobilnya.

Tangannya berpangku pada roda stir dan dia menoleh padaku. "Bukankah kau akan ke Suna untuk hiking?" dia bertanya.

Aku mengerucutkan bibirku dan kembali menatapnya skeptis. Aku langsung menyuarakan pikiranku. "Bagaimana kau tahu?"

Dia menunjuk tas ransel besarku di jok belakang dengan ibu jarinya. Ah benar juga, bawaanku meneriakkan dengan jelas bahwa aku akan pergi jauh.

"Aku juga akan kesana. Hanya saja saat aku mendaftar, panitia bilang kuota kursi untuk peserta sudah penuh. Jadi aku tetap akan ikut ke Suna dengan kendaraanku sendiri."

Aku menatapnya takjub, ia dapat berbicara dengan lancar tanpa tersendat-sendat seperti sebelumnya. Tapi kurasa tindakanku merusak kepercayaan dirinya. Ia menyadari tatapanku lalu menundukan kepalanya. Lucu sekali, dia pemalu! Aku bisa melihat semburat merah muda di pipinya. Aku menggigit bibirku agar tidak tertawa.

Aku berdeham pelan untuk menghilangkan rasa geliku sebelum kembali bicara "Wow... kalau begitu kebetulan sekali! Tadi itu ada sedikit kendala pada kereta yang kutumpangi menuju kemari, jadi aku ketinggalan rombongan. Umm.. kalau begitu, sebaiknya kita jalan sekarang." aku melemparkan senyumku padanya.

Dia mengangguk patuh dan mulai menjalankan mobilnya keluar gerbang kampus. Aku memperhatikan sekelilingku. Interior dalam mobil ini sebelas dua belas dengan bagian luarnya, sama-sama oldy . Tapi walau begitu, sepertinya pria ini merawatnya dengan baik. Aku bahkan berpikir kalau ia menamai mobilnya.

Bagian dalam mobil ini bersih dan harum, ada bantalan dibelakang leherku, membuatku nyaman. AC-nya juga menyala walau tidak terlalu dingin, aku tidak tahu dengan penghangatnya. Tangannya menggapai dashboard dan memutar radio lokal. Mobil dipenuhi alunan musik klasik yang aku tak mengerti.

"Well, terima kasih atas tumpangannya. Jadi... siapa namamu?" aku menatap wajahnya yang sedang fokus menatap jalanan di depan. Wajahnya tampan juga dilihat dari samping sini.

Dia menoleh saat menjawab, "Sama-sama. Aku Uchiha Sasuke." dia tersenyum tipis sebelum kembali memandang ke depan.

Aku sempat terpaku sebentar melihat wajah dan senyumnya. Dilihat dari samping dia tampan, tapi saat dilihat dari depan dalam jarak lebih dekat, dia terlihat jauh lebih tampan. Dan senyumnya... astaga! Itu nilai plus-plusnya!

Aku mengedipkan mataku dan memalingkan wajahku menuju jendela.
"Aku tak pernah melihatmu di kampus."

"Aku sudah memasuki semester akhir, jadi aku jarang berkeliaran di kampus kecuali di area perpustakaan dan kantor manajemen kampus."

"Aaa..." gumamku.

Kesunyian kembali mengelilingi kami. "Apa kau sering mengikuti acara kampus seperti ini sebelumnya?" tanyaku.

"Tidak." ia menjawab sambil mengedikan bahunya.

"Kau tahu? Sebenarnya aku mendaftar kegiatan ini bukan untuk benar-benar ikut mendaki." Ia melirikku dari ujung matanya sebelum kembali memandang ke depan. Aku berdeham sebentar dan melanjutkan "Aku hanya bermaksud menumpang kendaraan rombongan untuk sampai ke Suna."

"Kau mau ke tempat seseorang?" Sasuke menebak tepat sasaran.

"Nenekku." jawabku cepat.

Dia tak merespon apapun, jadi aku mencoba memastikan. "Jika kau berubah pikiran dan menjadi keberatan kalau aku menumpang padamu aku bisa turun selagi kita belum melewati perbatasan Konoha. Di dekat sini ada stasiun, kau bisa menurunkanku di halte terakhir sebelum perbatasan."

"Tak perlu sungkan, aku tak mempermasalahkannya. Dari awal aku yang menawarimu tumpangan karena tujuan kita searah, jadi bukan menjadi urusanku kemanapun tujuan akhirmu sebenarnya."

"Arigatou." kataku.

"Hn."

Baik aku maupun Sasuke, tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Satu-satunya yang menyelamatkan suasana dalam mobil dari keheningan adalah suara dari radio yang kini sedang memainkan lagu country seperti yang biasa diperdengarkan dalam film cowboy. Aku memandang keluar jendela dan memperhatikan kelebatan warna orange yang berasal dari daun-daun menguning musim gugur yang bertebaran di sepanjang jalan yang kami lewati.

Sasuke mengendarai mobil dengan kecepatan stabil. Aku meliriknya, dia masih fokus berkendara. Wajahnya datar, namun matanya terlihat sangat dalam dan menyimpan banyak misteri.

Aku meraih ranselku di jok belakang dan mengambil sekotak stick cokelat dan sebotol minuman isotonik. Aku menyodorkan minuman itu padanya, dan ia melirikku.

Aku membukakan tutup botolnya dan kembali mengulurkan minuman padanya "Minumlah. Kita sudah menempuh empat jam perjalanan dan kau belum minum sama sekali. Kau bisa dehidrasi."

"Arigatou." katanya sambil meraih botol dengan tangan kanannya dan menenggak isinya hingga setengah.

Aku meliriknya saat minum, dan tanpa sadar aku memperhatikan lebih intens dari yang seharusnya. Aku melihat gerakan jakun-nya yang naik turun saat menelan air isotonik, bahkan aku dapat melihat sedikit air mengalir keluar dari ujung bibirnya. Aku meneguk ludahku kasar saat ia berhenti minum dan menatapku sambil menyodorkan botol kembali.

"Kenapa tak kau habiskan? Kelihatannya kau sangat haus." tegurku, tapi aku tetap mengambilnya kembali agar kedua tangannya dapat kembali mengendalikan roda stir.

"Kau juga perlu minum." jawabnya singkat.

Aku tak menyahut, dan aku langsung menenggak habis sisa minuman itu. Tepat setelah tegukan terakhir aku menyadari sesuatu. Kamisama! Aku meminum dari wadah yang sama dengan Sasuke!

Oh tidak! tidak! Aku tak boleh bersikap seperti anak remaja dalam masa pubertas yang akan mempermasalahkan hal seperti ini dan menggunakan istilah 'Ciuman Tidak Langsung'. Itu menggelikan. Dan bodoh.

Aku menggigit stick cokelat-ku dengan berlebihan hingga menimbulkan suara kretak yang berisik karena pemikiran bodohku tadi. Sasuke melirikku tapi tak mengatakan apa-apa. Aku mengalihkan wajah maluku ke jendela samping dan menyadari kalau sekarang sudah senja.

"Aku akan mengisi bensin di pom bensin pertama setelah perbatasan Amegakure. Jika kau mungkin ingin ke toilet atau membeli sesuatu untuk dimakan selama perjalanan, kau bisa membelinya di supermarket 24 jam di area pom bensin." Sasuke bicara sambil melirikku dari balik kaca matanya.

Aku hanya mengangguk dan kembali menatap jendela. Suara penyiar radio yang sama sekali tidak jernih dan putus-putus karena jaringan yang buruk mengisi keheningan diantara kami. Tanpa sadar aku telah terlelap sambil meringkuk di jok penumpang.

.

Langit sudah berwarna biru gelap saat Sasuke menepikan mobilnya ke area pom bensin. Aku melirik jam tanganku, waktu menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh. Aku telah terbangun sejak lima belas menit sebelum sampai di tempat ini. Sasuke keluar lebih dulu dan aku segera melepas sabuk pengamanku dan ikut keluar. Udara malam musim gugur menyambut kulit lenganku yang hanya terbalut kaus putih tipis.

Sasuke meraih selang bensin kemudian menggesek kartunya di mesin dan menekan beberapa angka disana. Ia menunggu bensin mengalir ke tankinya, lalu menatapku.

"Pergilah ke supermarket disana jika ada yang kau butuhkan, nanti aku akan menyusul." dia berkata, lalu melanjutkan, "Dan oh... toiletnya ada di sebelah utara supermarket Sakura. Bangunannya masih menyatu dengan bangunan supermarket."

Bibirku menyunggingkan senyum tanpa persetujuanku saat mendengar Sasuke menyebut namaku.

"Daaann... Sakura." panggilnya.

Aku menatapnya menunggu. "Udara malam ini dingin, pakai jaketmu." Sasuke kembali sibuk dengan mesin pengisi bensin setelah mengatakan itu. Masih tersenyum, aku mengangguk kaku dan membuka pintu mobil kembali untuk mengambil jaket dan dompetku.
Aku masuk ke supermarket dan mengambil beberapa makanan ringan, dua botol besar air mineral, dua potong sandwich tuna, dan dua buah hotdog. Aku akan membiarkan Sasuke memilih makanan apa yang diinginkannya. Antrian di kasir tidak terlalu panjang, tapi kandung kemih seperti meneriakiku untuk segera memuntahkan isinya. Jadi aku meletakan keranjang belanjaku di sebelah meja kasir, dan beranjak ke sisi utara memutuskan untuk ke toilet lebih dulu sebelum membayar.

Aku mendapati satu satunya pintu disana. Letak pintu itu agak menjorok ke dalam, membuatnya terlihat seperti lorong kecil sepanjang satu meter. Tak ada label pada pintu itu yang menunjukan apakah itu toilet pria atau wanita. Satu-satunya alasan kenapa aku tetap masuk adalah papan bertuliskan 'TOILET' dengan warna hitam yang ditempel di bagian depan pintu.

Aku langsung masuk bilik paling kanan dan menyelesaikan urusanku di dalam sana. Setelah selesai, aku menghampiri wastafel dan mencuci tanganku disana. Tak ada seorangpun di toilet selain aku. Aku menatap wajahku di cermin buram yang dipenuhi bintik jamur di sisi-sisinya dan mendapati wajahku terlihat kusam. Aku tak membawa apapun untuk mencuci muka, maka aku hanya membasuh dan menggosoknya berkali-kali dengan air dari wastafel.

Penerangan toilet sangat payah, karena hanya berasal dari satu buah bohlam dengan watt kecil di tengah ruangan. Dan saat aku mengelap wajahku dengan tissue sambil bercermin, aku baru memperhatikan kalau ruangan ini sangat memprihatinkan dan tak terurus. Lantainya berkerak di beberapa sudut dan sebagian besar warnanya sudah kecokelatan. Pintu-pintu bilik berjamur di bagian bawah, dan wastafelnya dihiasi bintik dan kerak cokelat disekeliling keran.

Ini... menjijikan.

Tapi aku sedang dalam keadaan mendesak. Bisa menemukan toilet dan air di perjalanan jauh saja itu sudah sangat baik. Aku memoleskan sedikit lipglos pada bibirku yang terlihat kering, dan membereskan dompetku. Sebelum keluar, aku memandang wajahku di cermin sekali lagi, namun aku melihat sekelebat bayangan seperti ada yang baru masuk ke bilik paling kiri. Tapi tak ada suara berisik apa-apa. Aku menggelengkan kepalaku dan berusaha tenang.

Aku berjalan ke pintu dan hendak membukanya, namun kelihatanya engselnya yang sudah karatan sedang macet. Aku menarik-nariknya dengan keras, tapi pintu tak juga terbuka. Suara deritan panjang pintu dari arah bilik paling kiri membuatku menoleh cepat. Aku yakin kalau tak ada seorangpun disini selain aku, dan aku juga yakin kalau sekelebat bayangan tadi hanyalah halusinasiku akibat paranoia singkatku. Jadi... apakah derit itu karena angin?

Mataku menggembara ke sekeliling ruangan dan tak menemukan fentilasi atau apapun yang bisa menjadi sumber angin. Ruangan ini bahkan lembab. Tanganku kembali menarik-narik gagang pintu dengan lebih membabi buta, tapi pandanganku tetap ke arah pintu bilik paling kiri. Tiba-tiba lampu di tengah ruangan yang sejak awal memang sudah bersinar menyedihkan, kini tampak berkedip-kedip seperti akan mati. Napasku memburu dan adrenalinku berpacu. Aku mulai menggedor pintu dengan membabi buta, dan berteriak minta tolong untuk dibukakan pintu.

Tak ada seorangpun yang datang untuk menolongku, sedangkan lampu masih terus berkedip dan semakin cepat intensitasnya. Tanpa kusadari, air mataku mulai mengalir. Aku... ketakutan.

Aku sudah hampir menyerah dan memikirkan skenario menyedihkan mengenai nasib akhirku di tempat seperti ini, saat tiba-tiba pintu menjeblak terbuka dengan suara keras.

Sasuke disana. Mata hitamnya menatapku khawatir.

Aku menyerbu tubuhnya dan memeluknya erat. Aku benar-benar ketakutan, tubuhku gemetaran dan kehilangan kendali diri. Aku menangis di dadanya dan dia balas mendekapku lembut. Tangannya membelai kepalaku. Aku menatapnya sebentar, lalu tersentak dan menarik tangannya untuk segera pergi dari tempat terkutuk ini.

Aku sama sekali tak sudi menoleh kembali sedikitpun ke toilet laknat itu. Tanganku masih menggenggam erat tangan Sasuke dan kami hampir berlari.

Saat sampai di meja kasir, aku tetap melaju menuju pintu, namun Sasuke menahan tanganku dan menunjuk keranjang belanja di samping kasir.

Aku hampir merengek pada Sasuke. "Aku tak mau berada disini lebih lama lagi Sasuke! Kita bisa membelinya di tempat lain yang akan kita jumpai selanjutnya." Aku yakin sekarang wajahku tampak lebih menyedihkan dari anak-anak yang merengek minta permen dan balon pada ibunya.

"Kau sudah mengambilnya dan kita hanya tinggal membayarnya Sakura, ini tidak akan lama okay? Lagipula, jalanan yang akan kita lewati selanjutnya akan berupa kawasan jarang pemukiman apalagi toko. Kita akan lewat tol dan jalan panjang yang membelah perkebunan dan hutan."

Aku menundukan kepala dan dengan setengah hati melepas genggaman tangan kami sambil menghela napas kalah. "Tolong lakukan dengan cepat." kataku sambil membuka dompetku.

Gerakan tanganku berhenti saat dia bicara "Simpan saja uangmu. Aku yang traktir." Kata Sasuke sambil menunggu kasir menghitung belanjaan kami.

.

.

Kami keluar dari supermarket dan berjalan menuju parkiran. Udara hangat di siang hari tadi telah berganti dengan udara dingin malam. Tanganku memeluk diriku dan menggosok-gosok lengan atasku. "Kau seharusnya membiarkanku membayarnya Sasuke. Kau telah memberiku tumpangan, bahkan aku juga tak membayar bahan bakarnya."

Kami masuk ke mobil dan Sasuke segera menyetel penghangat yang ternyata bekerja lebih baik daripada AC-nya. Ia memasang sabuk pengamannya, begitupun denganku. Saat Sasuke memutar kemudinya untuk keluar dari area parkir, aku menoleh penasaran ke sisi utara bangunan supermarket. Dari sini aku dapat melihat bangunan sekitar empat kali lima meter yang menjorok ke arah tanah kosong yang terhalang pohon bambu dan alang-alang. Aku berani bertaruh kalau bangunan itu adalah toilet tadi. Otakku berputar mencari alasan kenapa bangunan itu terpisah dari bangunan supermarket?

"Aku memberimu tumpangan sebagai teman Sakura, bukan sebagai supir. Jadi terima saja dan tak usah sungkan." Setelah berhasil kembali ke jalan besar, Sasuke menjawab perkataanku saat di parkiran.

"Tapi paling tidak aku seharusnya mentraktirmu." kataku tak mau kalah.

"Baiklah, kau akan mentraktirku setelah kita pulang dari Suna." Sasuke menyunggingkan senyum tipis.

"Maksudmu?"

"Aku akan mencarimu di kampus dan menagih traktiranmu setelah kita kembali ke Konoha. Kita akan makan siang bersama." kali ini Sasuke menyeringai.
Kacamata dan gigi putihnya berkilau saat diterpa sekilas lampu jalanan. Aku tersenyum balik padanya. "Well, baiklah."

"Sakura, aku lapar." suara Sasuke menarik perhatianku. Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

Dia menyeringai kecil dan mengedikan bahunya, lalu berkata "Aku sedang mengemudi, boleh aku minta bantuanmu?"

Wajahku seketika memanas, dan aku mulai salah tingkah. Cukup sampai disini, jangan sampai aku juga jadi gagap.

"Ah, tentu. Kau mau apa? Sandwich atau hotdog?" aku mengangkat kedua roti itu dengan kedua tanganku.

"Sandwich." sahutnya.

"Umm... apa kau mau minum air putih dulu?"

"Hn." ia mengangguk, dan aku segera membukakan sebotol besar air mineral yang tadi kubeli. Aku menyodorkan botol ke arahnya.

Setelah ia minum, aku segera menyuapkan sandwich tuna padanya. Sasuke menggigit rotinya dalam gigitan besar. Aku terkekeh karena giginya mengenai jari telunjukku. "Kau sepertinya benar-benar kelaparan." ejekku.

"Tentu saja. Terakhir kali perutku terisi adalah sepuluh jam yang lalu." sahutnya setelah menelan kunyahannya.

Pintu masuk tol lumayan penuh karena saat ini adalah akhir pekan, jadi Sasuke menjalankan mobilnya sedikit-sedikit. Kepalanya mendekatiku dan sukses membuat jantungku berdisko. Setelah kurasa wajahku kembali merona, Sasuke membuka mulutnya. Brengsek, ternyata dia menunggu suapanku. Aku kembali menyodorkan sandwich ke arahnya.

Setelah sandwich-nya habis, Sasuke langsung menenggak minumannya dan memajukan mobilnya sedikit lagi. Kami sudah sampai di barisan ketiga. Lalu aku membuka bungkus hotdog dan memakannya dengan cepat. Aku kelaparan, sebelum berangkat, aku belum makan apapun.

Aku sedang meminum air mineralku untuk mendorong rotiku masuk, saat Sasuke melajukan mobilnya di jalan tol dengan kecepatan rata-rata. Ia melirikku sesaat, dan berdeham.

"Sakura." panggilnya.

"Ha'i."

"Apa yang terjadi di toilet supermarket tadi? Kau terlihat sangat panik. Aku menunggumu di ujung lorong dekat meja kasir hampir lima menit dan kau tak kunjung kembali."

Aku meneguk ludahku kasar. Aku menaikan kedua kakiku dan memeluknya, aku menghadap pada Sasuke dan memunggungi pintu, namun sabuk pengamanku tetap terpasang.

"Sasuke..."

"Hn?"

"Apa kau tak mendengarku menggedor pintu dan berteriak?" aku mendengar suaraku bergetar dan sedikit mencicit.

Sasuke mengerling padaku berkali-kali sambil tetap menatap ke jalanan. Dia terlihat khawatir.

"Tetap perhatikan jalan, dan dengarkan saja aku." aku memutar bola mata.

Dia mengangguk. "Lanjutkan." perintahnya.

Aku menceritakan kejadian di toilet pada Sasuke, sambil terus mengamati ekspresinya. Sebagai seorang pria dia bukanlah seorang penakut, aku bisa melihat ekspresinya. Tak ada rasa paranoid disana. Tapi aku melihat alisnya berkerut, kelihatannya ia tidak menganggap kejadian yang kualami sebagai hal sepele seperti yang biasanya dipikirkan cowok pada umumnya.

Aku diam dan menunggu dia bersuara, tapi pada akhirnya tak ada suara apapun yang keluar dari bibirnya.

"Bagaimana menurutmu? Apa kau pikir itu hanya halusinasi atau paranoiaku yang berlebihan?" aku mengalah dan lebih dulu bersuara.

Kulihat dari jendela depan, mobil kami sudah mulai memasuki perkebunan. Hanya ada batang-batang daun tinggi di kanan kiri kami. Aku tak dapat melihat dengan jelas ini perkebunan apa, jalanan terlalu gelap dan hanya diterangi oleh lampu mobil Sasuke dan lampu jalan yang sangat kurang membantu karena terpasang hanya setiap dua puluh meter di sepanjang jalan.

"Entahlah, aku memang merasakan aura aneh disekitar toilet itu. Oleh karena itu aku memutuskan untuk menyusulmu ke dalam. Tapi aku tak mendengar gedoran pintu dari dalam maupun suara teriakanmu. Bahkan aku membuka pintu itu hanya dengan gerakan ringan biasa, aku tak mendobraknya." tubuhku menegang mendengar pernyataan Sasuke.

Kemudian Sasuke melanjutkan, " Aku tak bisa memutuskan apa kau berhalusinasi mengenai bilik kamar mandi yang paling kiri atau tidak, tapi yang jelas sejak aku berdiri di ujung lorong, memang tak ada seorangpun yang masuk ke dalam toilet." tubuhku lemas seketika mendengar semua perkataan Sasuke.

Aku mengkerut menenggelamkan diriku di jok mobil. "Sasuke." panggilku.

Sasuke mengerling singkat padaku untuk mengisyaratkan bahwa ia mendengarkan.

"Aku takut." bisikku.

Suaraku mencicit. Memalukan.

Sasuke tersenyum tipis dan mengelus puncak kepalaku. "Tenanglah. Ada aku disini, apakah itu cukup?" suara baritonnya terdengar sangat lembut dalam keheningan malam.

Bagus! Sekarang perasaanku campur aduk. Aku ketakutan, bahkan bulu kudukku masih berdiri dan tubuhku masih lemas. Tapi aku juga merasakan perutku bergejolak karena sentuhan dan kata-kata gentlemen milik seorang Uchiha Sasuke.

Radio sedang memutarkan lagu Count On Me milik penyanyi Amerika bernama Bruno Mars. Akhirnya ada juga lagu normal yang akan mengurangi perasaan mencekamku.

.

.

Saat lagu selesai, siaran breaking news berkumandang. Mereka memberitakan bahwa ada sebuah kecelakaan di perbatasan jalan raya antara desa Kunci dan dan Kirigakure. Kecelakaan yang dialami sebuah bus bermuatan 30 penumpang dari Universitas Konoha ini diduga terjadi dikarenakan supir bus mengantuk, karena tak ada kendaraan lain maupun seorangpun saksi yang berada disana. Jalanan sangat lenggang dan kemungkinan supir bus melajukan kendaraannya dengan kencang hingga tergelincir dan membanting stir ke kanan. Bus ini sukses menabrak pepohonan di pinggir hutan. Korban jiwa belum dipastikan, tapi supir bus dinyatakan tewas di tempat. Salah seorang penanggung jawab perjalanan yang terluka cukup parah, sempat memberikan daftar nama penumpang sebelum akhirnya meninggal. Setelah proses pengecekan, ternyata ada beberapa nama yang hilang.

Aku menutup mulutku dengan kedua telapak tangan dan menatap Sasuke yang juga sedang menatapku dengan pandangan horror.

Kami terdiam sekitar lima menit penuh, untuk menenangkan gejolak hati masing-masing. Aku mendengar Sasuke berdeham dan aku memasang telinga baik-baik.

"Sakura." aku selalu suka caranya menyebutkan namaku, tapi untuk yang kali ini, kurasa aku sama sekali tidak merasa senang. Yang kurasakan justru ketegangan.

Aku menatapnya dan menunggunya melanjutkan kalimatnya. "Aku bersyukur kau ketinggalan bus dan berada disini bersamaku sekarang " katanya hampir berbisik.

Aku mengerutkan keningku. Dia bilang apa tadi?

Dia memang shock. Aku dapat melihatnya, dan aku berani bertaruh kalau saat ini wajahku juga tampak tak jauh berbeda dengannya. Tapi ia dapat menguasai emosinya dan tetap mengemudi dengan stabil.

Tapi... kembali lagi! Barusan tadi dia mengatakan apa?

Dia bersyukur aku ketinggalan bus dan berada disini sekarang bersamanya?

Apa maksudnya? Kalimat itu akan lebih masuk akal jika dia bilang kalau ia bersyukur karena kami kehilangan kesempatan untuk mengisi bus itu dan menjadi orang selamat disini.

Tapi kenyataannya ia hanya menyebutkan namaku! Dia memikirkanku, tapi apa dia tak bersyukur atas dirinya?

"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanyaku.

Sasuke mengedikan bahunya dan menjawab, "Entahlah, aku hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Terima kasih. Tapi kupikir seharusnya kau juga bersyukur karena kau tidak mendapat tempat di bus itu."

"Ya. Kau benar."

Tiba-tiba Sasuke menghentikan mobilnya dan membuat tubuh kami terhempas ke depan. Aku menatapnya dan dia tak menatapku balik, matanya menatap tajam kedepan. Aku mengikuti arah pandangannya dan seketika mataku membelalak melihat apa yang ada di hadapan kami.

.
.
.

To Be Continue


A/N : Arsip lama... Hehe, gak kuat nge-keep ini tanpa diposting. Awalnya mau posting kalo ceritanya udah kelar, tapi ternyata mood dan inspirasi bersekongkol untuk menghambat fict ini. Semoga fict ini gak sepi review kaya fict saya yang sebelah ^^" #LirikKakashiRokudaime =.="

Druella Wood