Disclaimer: J.K Rowling yang punya HP, bukan Draco ya :P cumen author yang emang 'sudah menuju gila'
Summary: bagaimana kalau yang menciptakan Harry Potter adalah seorang pemuda benama Draco Stevenson, bukan J.K.R? Draco mencari ide untuk bukunya, disebuah Cafe tidak jauh dari kediamannya. Bertemu dengan gadis bernama Astoria RnR don't like don't read.
A/N: author mikir, misalnya Harry Potter bukan dibuat J.K.R jadi gimana, dan ide ini muncul begitu saja. Maafin author ya klo gaje. Tap masih bisa dicobakan?
Draco Stevenson, seorang sekertaris , yang diam-diam seorang penulis ini sedang mencari ide untuk buku-nya. Draco sudah lama sekali ingin menjadi seorang penulis, tapi keluarga tidak mendukung.
Setelah jam 9:00 malam Draco yang lelah dan baru saja pulang dari perkerjaannya itu, memutuskan untuk berkunjung ke Cafe 24 jam yang baru beroperasi selama beberapa minggu ini.
Cafe baru itu terlihat elegant, walau sepertinya banyak sekali warna-warna cerah seperti pink yang dicampur dengan coklat tua tersebar sebagai tema cafe tersebut. Mudah sekali di tebak kalau pemiliknya seorang wanita.
Setelah beberapa lama Draco duduk merenung di meja dekat dengan jendela cafe, seorang pelayan akhirnya datang menghampirinya.
"mau pesan apa, sir?"
"satu cappucino latte" kata Draco tanpa memandang si pelayan balik.
Setelah pelayan itu pergi Draco merogoh isi tasnya, mengeluarkan pena dan lembaran-lembaran kertas yang berisi semua tulisannya.
Beberapa lama kemudian, sebuah cupcake coklat diletakan di depan kertas yang sedang dituliskannya.
"um..." Draco barus saja ingin memberitahu si pelayan kalau dia salah memberi pesanan, tapi Draco baru sadar kalau hanya dia yang duduk di cafe itu.
"aku hanya merasa kalau kau baru saja mengalami hari buruk" kata pelayan itu, dan Draco yang baru sadar bahwa si pelayan masih berddiri disitu.
"aku merasa kau bukan pelayanku yang tadi, dan mana Cappucino-ku?" ujar Draco kepada pelayan itu dengan dingin.
"oh, aku hanya menirukan suara orang-orang yang aku temui hari ini" pelayan itu mengubah suaranya dengan gaya accent amerika
"sebenarnya pekerjaanmu itu pelayan atau actress?" Draco mencoba mengembalikan fokusnya kepada tulisannya.
"aku bisa menjadi keduanya, karena aku berkerja sebagai actress pemula di theater Aidran" Pelayan itu memberikan Draco cappucinonya, yang ternyata dari tadi disembunyikannya.
"dari mana kau mendapatkan cappucino yang jelas-jelas tidak ad di nampan-mu tadi?" kata Draco.
"aku juga berkerja sebagai pesulap jalanan disekitar jalanan panti asuhan Xavier" pelayan itu membersihkan gelas-gelas pajngan di counter kasir.
Draco memandang pelayan itu dengan binggung dan Aneh.
"oh ya, ngomong-ngomong, apa yang dari tadi kau sibuk tulis?" pelayan itu memaparkan senyum tanpa besalah, yang membuat Draco sedikit merinding.
"hanya ideku untuk buku yang akan kuselesaikan tahun ini" kata Draco, yang kembali lagi menulis "dan aku tidak percaya aku baru saja mengatakan itu kepada mu"
"well, kalau aku boleh tah tentang apa itu?" pelayan itu kembali berjalan kearah Draco dan duduk di kursi kosong didepan Draco.
"apa kau yakin mau mendengar cerita super panjang, dan boss-mu tidak akan memarahi kita?" Draco tertawa kecil, memandang kearah mata coklat itu, yang memandang balik mata kelabunya dengan kilau antusias.
"tidak, karena aku adalah boss-nya" kata gadis itu.
Draco memandang gadis itu dengan tidak percaya, "well, kalau itu memang benar, ceritanya tentang seorang gadis yang ingin mengubah masa lalu kedua orang tuanya. Lalu akhirnya dengan mesin waktu kembali ke masa lalu. kelanjutannya kemungkinan dia akan jatuh cinta kepada ayahnya."
"kenapa terlalu cheesy?" kata gadis itu tanpa berpikir panjang.
"hey! Itu ide keren okay, ada kemungkinan yang lain-nya" kata Draco, membela dirinya sendiri.
"kau bisa membuat gadis itu mati, dan ayahnya akan bertemu dengan ibunya, dan ibunya mati di masa depan, dan cerita akan terus terulang balik." Kata gadis itu, menceritakan seluruh isi buku seolah buku itu akan mudah ditebak.
"well..."
"semuanya mudah ditebak, dan cerita tidak akan berkembang" gadis itu berjalan ke arah counter kasr lagi dan mulai mengepak beberapa kotak teh ke dalam dus kecil.
"apa kau menyindierku?" kata Draco sambil menatap gadis itu dengan bercanda.
"tenang saja, bukumu itu tidak akan laris, walau para percetakan dan agency akan menyukainya"
"jadi kau mau aku mengubah seluruh isinya?" Draco sekali lagi terrbelalak oleh gadis ini 'sebenarnya apa maunya' pikir Draco. "kau sepertinya bukan tipe orang yang suka membaca, sejak kapan kau tahu apa yang harus aku ubah?"
"hey... aku membaca novel anak-anak hingga novel dewasa seperti Sherlock Holmes dan sebagainya"
"ok, ok, aku percaya padamu, lalu menurutmu apa yang harus aku ubah?" Draco terrsenyum memandang wajah cantik gadis itu.
"apa rating buku-mu?" gadis itu mulai mengambil pensil yang dari tadi ada di telinganya dan mulai menyatat-nyatat dari buku notes yang sebenarnya untuk mencatat pesanan pelanggan.
"dewasa" Kata Draco dengan nada yang jelas, seolah bukunya memang untuk dewasa dan tidak bisa diubah lagi.
"ubah menjadi anak-anak" gadis itu tersenyum, yang menurut Draco 'licik'
"APA! Itu akan mengubah semua plot yang sudah kubuat sebulan ini!"
"hey, kau mau bukumu laku tidak?" dahi gadis itu berkerut.
"ya... tapi disaat seperti ini buku anak-anak tidak laku"
"hey kau meragukan ku? Kemampuan melamar alamiku itu biasanya akurat loh" kata gadis itu
Draco menatapnya dengan lekat-lekat, ia baru sadar dia tidak akan mungkin memanggilnya dengan sebutan 'gadis-tak-dikenal'
"um... aku lupa menanyakan namamu" kata Draco, dengan senyum menawan yang bisa membuat semua gadis disekitar itu pingsan.
"Astoria, Astoria Greyson" Astoria membalas "panggil aku Tori"
"well, Tori, apa yang ada dikepalamu?"
"sekolah sihir!" Tori menyeringai lebar kearah Draco.
"apa?"
"sekolah sihir, Hogwarts, aku yakin buku ini akan membuat semua orang tidak bisa meletakannya!" Tori melompat kegirangan.
"tunggu, tunggu, kau benar-benar ingin mencetakan ini? karena aku masih ragu" kata Draco dengan keraguan.
"yep, namanya Harry Potter, seorang penyihir yang tidak tahu kalau dirinya penyihir-"
"tunggu, bagaimana dia tidak tahu kalau dirinya penyihir?" tanya Draco, yang sibuk menulis, dan berhenti saat itu.
"sudah ikuti saja, kedua orang tuanya meninggal karena melindungin dari penyihir jahat yang ingin membunuhnya!" Astoria mengambil sebuah sumpit dan mulai mengayunkannya bagai tongkat.
"lalu kita punya Dumbledore, kepala sekolah Hogwarts yang sangat bijak dan sangat menyayangi murid-muridnya" lanjut Tori.
"bisakah kau santai sedikit? Aku yang menulis kecuali kau inging gantian menulis" kata Draco yang tertawa melihat aksi Tori yang tiba-tiba.
"well, kau bisa mencantumkan namaku disamping namamu nanti" kata Tori penuh harap.
"ide yang bagus itu" Draco tertawa renyah. "dari mana kau mendapat semua ini?"
"oh, perjalanan dari tempat asalku ke London" kata Tori "lalu aku memutuskan membuka cafe dari pada menulis. karena aku tidak punya cukup uang untuk menunggu selama satu tahun sampai ada yang akan membaca bukuku"
Draco tersenyum dengan perasaan prihatin, ternyata ada orang yang mengalami hal yang sama sepertinya, mimpi yang terputus.
"hey. Jangan bengong begitu saja! Ayo lanjutkan!" kata Tori dengan semangat.
"hei! Tunggu, kau benar-benar memiliki tempat ini?" tanya Draco
"tidak juga sih, aku menyewanya, peralatan yang ada disini adalah hasil kiriman uang ayahku, tapi aku tidak ingin memberatkannya" kata Tori, wajahnya terlihat sedih.
"ada apa?"
"ah tidak kok, kenapa tidak kita lanjutkan?" kata Tori, tersenyum.
"okay"
"Harry dibesarkan oleh the Dursleys yang nanti akan kita perkenalkan dihalaman pertama sebelum Harry muncul. Dursleys tidak pernah menyukai Harry, Harry tidur di lemari bawah tangga sebelum dia pergi ke Hogwarts...
Semalaman Draco dan Tori membicarakan tentang buku itu sampai...
"hey aku tahu aku akan menambahakan karakter bengis satu lagi setalh Snape" senyuman 'licik' Tori mulai terlihat lagi.
"siapa itu" Draco yang penasaran memandang Tori dengan senyum
"Draco Malfoy!" Tori tertawa
"oh yang benar saja?! Kau pikir itu lucu" senyuman Draco langsung hilang sekejap.
"hey, kau bisa jadi karakter yang keren okay, karena dia akan dijadikan ferret di tahun keempat" Tori tertawa kencang. Draco masih belum mengangap itu lucu.
"baiklah, tapi kau juga harus punya karakter yang nanti akan kubuat" Draco mulai memamerkan senyuman licik.
"oh, kau tahu tidak the Golden Trio itu aku, mereka semua aku!" Tori membalas senyuman Draco dengan senyuman kemenangan.
"oh yang benar saja?!"
Draco dan Tori tidak tidur semalaman dan baru sadar ketika matahari menyinari ruangan cafe dari jendela.
"aku benar-benar harus pulang Tori" kata Draco dengan kecewa.
"ahh... ya.. aku minta maaf sudah menahanmu semalaman" kata Tori yang merasa bersalah
"ya... jangan menyalahan dirimu, ini sangat menyenangkan, hari yang indah!" Draco keluar dari cafe menuju rumahnya yang tidak jauh dari situ.
Pintu apertementnya tidak terkunci, menandakan Pansy sudah pulang.
"oh ya aku lupa..." ujar Draco yng membenturkan kepalanya ke pintu.
"DRACO!" Pansy yang baru saja membuka pintu langsung memeluk Draco dengan erat.
"Pans... kau minum alkohol lagi?" kata Draco yang mencium bau alkohol dari tubuh Pansy ketika memluknya.
"well.. apa kau tidak? Dimana kau semalaman ini?! kau pasti berselingkuh dengan wanita lain dan... dan..." Pansy belum sempat menyesaikan perkatannya dan tertidur lagi di depan pintu.
"well..." Draco menggendong Pansy masuk. 'aku harus menambahkan karakter bernama Pansy Parkinson' ujar Draco dalam hati.
Dihari-hari berikutnya Draco dan Tori mulai sering berbicara lewat telpon, hubungan antara co-writer menjadi semakin dekat, dan malah lebih dari sebelumnya.
"well.. aku sedang berpikir kalau kau ingin makan malam denganku" kata Draco lewat telpon.
"yah.. kau pacar, dan aku tidak, jadi kita tidak bisa kencan ganda" astoria berkata dengan diselangin dengan gugupan senang.
"tidak, hanya aku dan kau. Pansy pergi dengan Timothy, lagi pula aku merasa kami sudah putus" kata Draco yang ikut terseyum.
"well.. ya.. tidak.. ya.. maksudku"
"aku jemputkau jam 8.00 nanti" Draco tertawa geli.
"ya.. okay... bye"
"bye.."
"bye"
"ya... bye"
-0000000000000-
"kau tahu, kita harus memikirkan asal mula Voldemort" kata Tori yang memasukan sepotong steak sambil melihat kertas-kertas ide Draco.
"ya... nama belakanganya harus Riddle" ujar Draco.
"kenapa?" tanya Tori binggung.
"aku tidak pernah menyukai bosku. Dan dia pantas menjadi si tokoh jahat" kata Draco
"well.. itu bisa digunakan, aku ingin nama depanya Tom, karena dulu aku tidak suka dengan seorang anak bernama Tom." Kata Tori, yang meneguk segelas wine yang ada disampingnya.
"okay... hey Marvolo! Nama seseorang yang aku lihat dibuku yang pernah aku baca, aku cukup menyukainya"
Beberapa detik kemudian Draco memandang Tori dengan pandangan yang biasanya dia tunjiukan ketika ada ide yang baru saja muncul. Dia menulis nama Tom Marvolo Riddle dan 'I am Lord Voldemort' dengan pena dari sakunya dan sebuah tissue, lalu mulai membuat garis sambungan dari satu huruf ke huruf lainnya.
"apa yang kau lakukan?" Torimulai memindahkan perhatiannya ke Draco.
Draco melempar penanya ke meja, membuat suara 'plak' yang cukup besar, segera menyerahakn tissue itu kepada astoria.
"impressive" Tori ikut menyeringai
"jika disambungkan Lord Voldemort bisa menjadi Tom Marvolo Riddle. Dari situlah dia mengubah namanya!"
"lalu masa lalunya? Semua karakter jahat harus memiliki masa lalu suram..."
"dia seorang anak yatim, ibunya seorang keturunan darah murni yang jatuh cinta pada seorang muggle."
"okay... lalu apa yang terjadi dengan ayahnya?" Tori memainkan gelasnya lagi, namun pandangannya masih terarah kepada Draco.
"ibunya, memberikan ayahnya ramuan cinta – akan kujelaskan nanti- , namun karena ramuan itu berkerja selama bertahun-tahun, ibunya mulai merasa bersalah dan menghentikan pemberian ramuan cinta. Ayahnya meninggalkan ibunya yang sedang hamil dan, ibunya meninggal karena melahirkannya"
"itu cukup tragis.. apa itu ramuan cinta?" tanya Tori.
"ramuan yang kusebut Armontentia, harum-nya tergantung harum yang disukai oleh orang yang ad didekatnya, tentu saja berwarna pink, dan dapat membuat orang yang ingin dicintaimu menyukaimu."
"ya.. wangi apa yang kau cium"
"apa?"
"wangi apa yang kau cium kalau kau berada dekat ramuan cinta" wajah Tori mulai memerah, sepertinya dia tidak menyadari kata-kata yang baru diucapkanya.
"um.. kau tidak apa-apa?"
"ya... aku masih ingin tahu apa yang kau cium" nadanya menjadi seductive, membawa suasana makin panas.
"shampo-mu" kata Draco dengan jujur. Tanpa disadarinya bibir Tori menempel dengan bibirnya.
"ah..." Tori kembali sadar. Dan suasana kembali menjadi canggung.
"kau... kuantar pulang?" Draco berdiri dari kursinya.
"ya, ya" Tori menganggukkan kepalanya dan ikut bangkit dari kursinya.
-00000000-
Beberapa bulan berlalu, Pansy pindah dari apartemen Draco. Seperti biasa, Draco selalu mengunjungi cafe Tori sebelum pergi kerja. Hari ini Tori tidak ada di kasir seperti biasanya, melainkan seorang wanita berambut pirang, menggunakan seragam Tori.
"um.. permisi?" Wanita itu tersenyum ramah kepada Draco. "kau tahu dimana Tori?"
"dengar, kau bernama Draco Stevens?" tanya wanita itu dengan wajah geram.
"ya... ada apa?"
"dengar, jangan pernah mendekati adikku lagi!" air mata mulai membasahi wajah wanita itu, walau raut wajahnya masih terlihat geram.
"hey! Apa masalahmu denganku? Mana Tori?!" tanya Draco yang binggung ditempat.
"lebih baik kau pergi sekarang juga atau aku panggil security" ujar wanita itu.
"tunggu! Sejak kapan ada security disini? Siapa kau?!" wanita itu mendorong Draco keluar dari ruangan itu.
"maafkan aku aku benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa padamu" wanita itu mengubah tanda 'open' di depan pintu menjadi 'close'.
-00000000-
Draco, yang masih ingin tahu apa yang terjadi dengan Tori, sengaja menggunakan jalan memutar menunggu wanita tadi.
"tunggu! kau yang tadi pagi" kata Draco pada wanita itu, yang sedang berjalan menuju mobilnya.
"Mr Stevens" wanita itu tersenyum sedih kearahnya.
"ya, dan kalau aku boleh tahu, siapa anda?" kata Draco, menyilangkan kedua lengannya kedepan dadanya.
"aku Daphne Grayson. Kakak Tori"
"senang bertemu denganmu" Draco mengeluarkan tanganya untuk menjabat tangan Daphne.
"tidak terlalu sopan untuk bersalaman dengan lawan jenis" kata Daphne dengan dingin.
"well..."
"bisakah kita membicarakannya di tempat lain?" kata Daphne, mengarahkan tangannya menuju mobilnya.
Setelah mereka sampai di sebuah restoran, Daphne mulai menceritakan semuanya pada Draco.
"ini akan sangat mengejutkan untukmu" Daphne diam sesaat, meneguk segelas sampanye "Tori, pingsan kemaren malam. Dia... kondisinya tidak terlalu baik"
"APA! Dan kau baru memberitahuku sekarang?" Draco terbelalak, tidak mempedulikan bahwa orang-orang disekitar mereka mulai menatap mereka.
"Ayah kami mengatakan bahwa ini semua salahmu! Dia bilang, kau membuat Tori sakit dan sebagainya, padahal aku tahu kalau Tori jatuh cinta..." Daphne menatap Draco, berharap kalau Draco tidak akan memberi tanggapan pada kata-katanya barusan, karena itu akan mempersulit keadaan.
"orangtua kalian tidak meninggal? Karena itulah yang Tori beritahu kepadaku!" kata Draco.
"Tori dititipkan kepada bibi dan pamanku di desa. Aku bersama ayah dan ibuku. Setelah paman dan bibi meninggal saat usia Tori 11 tahun, Tori dikembalikan ke orangtuaku. Dan mereka memperlilakukan Tori dengan sangat buruk" Daphne memandang hiasan bunga yang dari tadi berada diatas meja makan itu.
"Dursleys..." ujar Draco pada dirinya sendiri, yang tanpa sengaja terdengar Daphne.
"ya, Dursleys, dan perilakuku padanya juga tidak berbeda jauh." Mata Daphne bergelinang.
"kau membaca naskah kami?" kata Draco
"ya, dan aku sangat menyuakainya, kau harus melirisnya" Daphne tersenyum, mengangkat gelas sampanyenya lagi.
"aku harus melihatnya"
"aku sudah mengatakannya padamu! Kamar Tori dijaga ketat, kau tidak bisa kesana!"
"aku harus mencoba! Karena kami harus menyelesaikan buku ini!"
"aku akan mencoba, tapi kau harus 'hati-hati'" kata Daphne yang bangkit dari kursinya.
-0000000000-
Draco sudah mennunggu cukup lama diruang tunggu. dia benar-benar harus melihat Tori!. Akhirnya Draco bangkit dan pergi menuju kamar Tori.
"Draco!" Daphne berlari kecil kearahnya.
"jangan bilang dia mati" kata Draco dengan mata yang berkaca-kaca.
"tidak, ini lebih buruk, Tori diagnosa kanker stadium 4" kata Daphne dengan air mata yang berlinang membanjiri kedua pipinya.
"aku harus melihatnya" kata Draco dengan gemetar. Draco berjalan melewati tatapan 'galak' Mr Greyson. Menuju kamar Tori.
"Tori.." Draco duduk disampingnya, menggengam tangan pucatnya.
"Drake... kau harus meliris buku itu! Aku harus membacanya dan itu hal terakhir yang akan kulakukan dihari terakhir aku hidup.
"Tori.. aku belum menyelesaikannya, aku tidak bisa tanpamu" Draco tidak percaya, dia menangis didepan wanita yang ia cintai.
"hey.. aku kira kau tidak pernah menangis..." canda Tori.
"aku akan berusaha semampuku untuk menyelesaikanya" kata Draco.
-0000000000-
"Mr Stevenson..." Christhoper Little melihat nasakahnya kembali dengan lekat-lekat.
"ya Mr Little?" Draco yang gugup meminum segelas tehnya lagi.
"kami, tertarik dengan bukumu... Harry Potter..."
"tidak, aku mengerjakannya berdua dengan tunanganku" kata Draco, membetulkan.
"ah.. ya.. itu mungkin sedikit bermasalah... nama.. akan lebih panjang dan tidak muat di cover..." kata Mr Little.
"ya, aku bisa mengubahnya" kata Draco.
-00000000000-
"D. , aku menyukainya" kata Tori, pada Draco. "Harry Potter by D.A Stevens"
-00000000000-
Satu tahun kemudian...
"Tori! Buku ini akan dipajang di toko buku diseluruh dunia, dan aku yakin itu" Kata Drac dengan bangga.
"kau berhasil!" Tori berteriak kegirangan dari tempat tidur rumah sakitnya.
"aku selalu ingin anak ku membaca buku itu, dan aku akan membiarkannya memberikannya pada cucuku" ujar Daphne yang sedang hamil itu.
0-0
Sembilan tahun kemudian...
"Mr Stevens?" tanya sang pembawa acara.
"ya" Draco kembali lagi sadar dari kenangannya itu.
"jadi itulah mengapa anda memasangkan Draco dengan wanita yang tidak dikenal, Astoria Greengrass?" tanya sang pembawa acara dengan antusias.
"ya, karena dia isteriku" gurau Draco, sang pembawa acara ikut tertawa dengannya.
"apakah anda selalu tahu kalau 'Harry Potter' akan menjadi sebesar ini?"
"ya, karena aku percaya pada Harry" jawab Draco.
"baik, terimakasih Mr Stevens untuk waktunya, aku sangat bertermakasih!"
"aku harusnya berterimakasih pada para penggemar yang sampai saat ini percaya kepada Harry. Sampai paling akhir" jawab Draco dengan senyum. "Tori... I did it... We did it..."
~fin~
A/N: sebelum pada bilang saya gila. Saya sangat terharu dengan perjalanan J.K Rowling dengan saya entah ingin cerita itu diperbarui dengan cerita saya sendiri. Kalau nggak suka jangan dibaca ya x( maaf.
