Legend Of Erathia

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

Final Fantasy Series © Square Enix

Prologue:

A Tale Of The World


.

.

.

Dahulu kala... Jauh di masa lampau, di mana manusia meringis di bawah cakar monster buas dan hidup dalam ketakutan. Dahulu kala, ketika manusia jauh dari rasa aman, jauh dari cahaya. Di mana matahari terbit memberi pertanda akan perjuangan untuk tetap bertahan hidup, dan senja memberi waktu untuk mengenang mereka yang gagal. Jauh di masa lampau, di mana makhluk buas dengan bebas masuk ke desa, menghancurkan rumah-rumah serta bangunan-bangunan, merenggut tawa riang dari jalanan desa. Di mana manusia hanya bisa berlarian menyelamatkan diri, menangis, melihat makhluk-makhluk itu menghancurkan rumah-rumah mereka, merampas kebebasan mereka, merenggut teman-teman serta keluarga mereka. Dahulu kala, ketika manusia tidak berdaya. Dahulu kala...Jauh di masa lampau. Di suatu ketika yang disebut Era Kegelapan—Era Sine.

Dahulu kala...Di suatu ketika.

Para dewa dan dewi, merasa kasihan melihat air mata dan darah yang mengalir dari mereka, memutuskan untuk turun dari lembah para dewa untuk memberikan anugerah mereka. Tidak hanya pada manusia, namun bagi seluruh anak-anak Erathia.

Yang pertama adalah Train, membawa anugrahnya bagi mereka yang di timur. Menakhlukan monster berekor yang meneror wilayah itu dan menyegelnya. Mempercayakan kristal hijaunya kepada mereka. Mengubah tebing terjal yang tandus dan gunung berbatu mereka menjadi lembah subur dan hijau. Serta memberi mereka perlindungan di bawah naungan para naga.

Yang Kedua adalah Ectra, membisikan pengetahuan kepada mereka yang di barat. Menuntun tangan mereka untuk membuat senjata dan menakhlukan monster berekor di wilayah mereka. Menganugerahkan kristal biru kepada mereka. Melindungi kulit mereka dari badai salju abadi, mengajarkan mereka teknologi peradaban kuno, dan menjadikan mereka yang paling maju dari seluruh Erathia.

Eren adalah yang ketiga. Ia mengantarkan anugerahnya jauh ke suatu pulau, yang terletak di suatu tempat di wilayah utara, yang tersembunyi di balik dedaunan rimbun pepohonan hutan. Mempercayakan kepada mereka anugrah kristal kuning. Menarik kabut tebal untuk menyelimuti wilayah mereka dan merapatkan pepohonan untuk melindunginya. Membisikan pengetahuan ke telinga mereka, pengetahuan yang mengajarkan mereka untuk mengendalikan makhluk misterius, Summons.

Selanjutnya adalah Rito sang penakhluk, yang menundukan seluruh monster berekor yang tersisa dan menyegel mereka di berbagai tempat di muka Erathia. Dengan sayap api serta pedang yang membara, memberkati tanah tandus mereka yang dicemari darah. Menancapkan pedang apinya ke Erathia dan meniupkan keajaiban pada genangan darah di tanah mereka, melahirkan burung api abadi dan membiarkannya terbang bebas ke langit. Melingkari langit selatan dengan jejak merah keemasan di tempat yang dilewatinya—memberi anugrahnya pada wilayah selatan. Mengantarkan kristal merah kepada mereka, serta memberi mereka sepotong keajaiban lainnya. Meniupkan api ke darah mereka, menyatukannya dengan jiwa mereka. Menanamkan keberanian dan tekat yang kuat di dalam jiwa mereka.

Kemudian salah satu dari mereka yang terpaku di sana bangkit dan meraih pedang api yang ditancapkan ke tanah, mencabutnya dan menjunjungnya ke langit. Bulu-bulu merah keemasan burung abadi yang diselimuti oleh api berjatuhan dari langit membetuk spiral cahaya di udara di atasnya. Bulu-bulu itu berkumpul menyelimuti tubuhnya dengan api serta cahaya keemasan yang menyilaukan setiap mata yang menyaksikannya. Api itu menjilati luka-luka di kulitnya dan menyembuhkannya dalam sekejap, membakar rasa takut dan putus asa di dalam hatinya dan menggantinya dengan keberanian. Memakan habis pakaian kumal dan robeknya yang dinodai dengan lumpur serta darah, menggantinya dengan baju zirah api yang membara. Kemudian ia kembali mengangkat pedang apinya ke angkasa, meneriakan teriakan kebebasan ke seluruh dunia.

Dan pada detik itu...Lahirlah pelindung kristal merah, dan kesatria Rito yang pertama—Arion


"Lalu dengan keajaiban dari kristal-kristal, para Champion—yang terpilih—atau choosen one, mengusir kegelapan dari seluruh Erathia dan membuatnya bermandikan cahaya dari kristal. Membawa kedamaian bagi seluruh Erathia."

Sudut bibir wanita itu melengkung dengan senyuman lembut, menatap iris gelap anak lelaki kecil dalam pangkuannya yang berkilauan dengan rasa kagum. Ia mengusap lembut rambut hitam kebiruannya sambil mengeluarkan tawa kecil dari bibirnya. Anak itu menutup mulut kecilnya yang tadinya sedikit membuka tanpa ia sadari.

"Lalu, lalu, apa yang terjadi setelahnya?" tanyanya dengan antusias, kilau rasa penasaran terpancar jelas dari iris hitamnya yang besar dan jernih—penuh dengan ketidakberdosaan. Wanita itu bisa melihat dirinya yang tersenyum terpantul dari mata itu.

"Apa maksudmu?" katanya balik bertanya.

"Setelahnya," anak itu mengerucutkan bibirnya agak kesal. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dan berkata lagi. "setelah para Champion mengusir kegelapan dari Erathia, apa yang terjadi setelahnya Ibu?"

"Hmm." Wanita itu mengalihkan pandangannya dari mata anak itu keluar jendela, ke langit biru gelap yang dihiasi kerlap-kerlip bintang serta cahaya temaram bulan separuh. Mendengarkan suara samar jangkrik yang bersembunyi di balik semak-semak, kepak pelan sayap burung di angkasa, juga suara angin lembut menyapu daun-daun dari ranting pohon. Ia mengambil sejumput rambut gelap yang ditiup angin dari wajahnya dan menyelipkannya di belakang telinga. "Setelahnya, tidakkah kau berpikir bahwa yang terjadi setelahnya adalah seperti yang sekarang ini?"

Anak itu melihat ibunya tersenyum lagi dan mengerutkan keningnya, berpikir. "Ya, mungkin Ibu benar." Sahutnya sambil menganggukan kepalanya.

Wanita itu kembali membelai lembut kepala anaknya. "Tapi jika kau ingin tahu apa yang dilakukan oleh para kesatria Rito pada masa sekarang ini, well, tugas mereka adalah menjaga negeri Arion kan?"

Wajah anak itu kembali bersinar, ia kembali menunjukkan rasa antusiasnya. Matanya kembali berkilau dan wanita itu hanya tersenyum melihat putranya, tak habis pikir begitu mudahnya untuk mengembalikan rasa antusias kepadanya. Anak itu mengangguk dengan semangat, mengepalkan kedua tangan kecilnya di depan wajahnya dan menjawab dengan bangga. "Seperti yang Nii-san lakukan!"

"Ya, ya." Kata wanita itu sambil tertawa lagi.

"Ibu, Ibu! Aku akan berusaha keras," ucapnya dengan penuh semangat. Anak itu berhenti sejenak dan memejamkan matanya, seolah membayangkan sesuatu seraya menggigit bibir bawahnya sebelum kembali melanjutkan dengan berapi-api. "aku akan masuk akademi dan menjadi kadet! Lalu, lalu aku akan berjuang keras! Suatu saat nanti Ibu, aku juga akan seperti Nii-san, aku akan menjadi yang terbaik! Aku akan menjadi kesatria Rito!"

Wanita itu dapat melihat bayangan dirinya yang terkejut dari mata jernih putranya. Bukan hanya karena kata-katanya, namun juga kedua iris itu—penuh dengan kesungguhan. Ia dapat melihat matanya yang terbelalak, juga bibirnya yang membuka dari mata anak itu. Kata-kata itu, kesungguhan itu memberinya perasan deja vu yang kuat. Membawanya sejenak bernostalgia ke masa lalu, ke masa di mana jiwanya lebih muda dan naif, masa di mana ia belum mengenal dinginnya dunia, di mana menjadi yang terbaik adalah segalanya dan mimpinya adalah sebuah perjuangan untuk memperoleh kejayaan. Mengingatkannya pada dirinya sendiri...Dan orang itu.

Kesedihan sekilas menampakkan diri di mata itu sebelum ia memejamkan matanya dan tertawa seraya mendekap erat tubuh mungil putranya. Anak itu mengerang kesal, mencoba melepaskan dirinya dari pelukan ibunya, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya seraya mengerucutkan bibir mungilnya. "Aku bersungguh-sungguh ibu!"

Wanita itu malah tertawa semakin keras seraya memegangi perutnya.

"Ibu!" katanya dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir yang gemetar.

Wanita itu akhirnya berhenti tertawa dan menatap putranya dengan tatapan lembut serta senyum di bibirnya. "Maaf, maaf." Katanya dengan tulus. Anak itu mengusap matanya dan mendengus kesal.

"Ibu lihat saja, aku akan membuktikanya! Aku akan seperti Nii-san!" ucapnya dengan angkuh, sambil tetap menyilangkan tangannya di depan dada. Sikap itu, keangkuhan itu, pikir wanita itu sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Ya, ya. Ibu mengerti," ucapnya seraya menghela napas sebelum tersenyum lagi. Memeluk putra kecilnya yang mulai mencoba melepaskan dirinya lagi dan membawanya ke tempat tidur. "Semua itu bisa kau lakukan nanti. Sekarang waktunya tidur."

"Tapi aku belum mengantuk ibu." Katanya seraya menatap ibunya dengan tatapan jengkel. "Ceritakan tentang Arion lagi, dan juga Sine, apa yang terjadi pada Sine?!"

Wanita itu menghela napas lagi sambil menggelengkan kepala kemudian tertawa kecil. Ia berdiri dari tempat tidur dan berjalan kearah jendela, mencuri pandang sejenak ke arah langit malam dengan cahaya temaram bintang sebelum menguncinya dan menutupnya dengan tirai krem yang agak kusam—seraya membuat catatan mental untuk mencucinya nanti. Anak itu memandanginya dari tempat tempat tidurnya dengan ekspresi agak kesal sambil menunggu jawaban ibunya.

Anak itu menghela napas, memalingkan pendangannya. Kemudian ia merasakan ibunya menyentuh lembut keningnya dengan jari telunjuk. Ia kembali menatap ibunya, yang ia lihat hanyalah senyum lembut dan tulus khas ibunya. "Lain kali, Sasuke."

Anak itu membuka mulutnya sejenak, seloah akan mengatakan sesuatu, sebelum menahannya dan menutupnya rapat-rapat. Berpikir bahwa ibunya tidak akan berubah pikiran lalu mengangguk pelan dan menyerah. Wanita itu kembali tersenyum sebelum menarik selimut biru tua untuk menutupi tubuh putranya. Anak itu menguap sejenak sebelum memejamkan matanya. Wanita tersebut membelai pelan rambut putranya beberapa kali sebelum mengecup lembut keningnya.

Ia bangkit dan berdiri dari tempat tidur. Matanya terpaku beberapa saat pada sosok putranya, memastikannya merasa nyaman dan aman. Sebelum berjalan keluar dari kamar sederhana dan sempit itu. Ia berhenti sejenak sebelum keluar untuk mencuri pandang pada sosok putranya yang tertidur, sebelum menutup pintu dengan perlahan.

"Lain kali."


Tangis dan jeritan bercampur dengan suara tembakan peluru dan dentuman granat malam itu. Juga suara derap langkah prajurit yang berbaris, serta komando-komando militer. Suara tapak kaki kuda, detingan metal beradu, juga langkah kaki penduduk desa yang berlarian menyelamatkan diri. Suara mendesis dari mesin-mesin raksasa mereka, angin kencang dari baling-baling kapal terbang mereka, juga auman bengis dari coeurl* yang mereka bawa dan mereka lepaskan untuk mengamuk.

Entah berapa lama ia berlari, entah berapa lama ia bersembunyi, entah berapa lama ia menangis. Tangannya gemetaran, ia ketakutan, seluruh tubuh kecilnya terasa sakit dan otot-ototnya menjerit kelelahan. Matanya yang basah dipenuhi air mata, entah berapa kali ia mengusapnya. Kepalanya dipenuhi rasa panik, takut dan cemas. Entah berapa lama setelah ia menuruti perintah ibunya untuk bersembunyi, meringkuk di bawah tumpukan kayu di sudut bangunan, memejamkan matanya dan menutup telinganya erat-erat. Entah berapa lama semenjak ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan jeritannya. Entah berapa lama semenjak ibunya meninggalkannya sendiri di sana.

Yang pertama kali ia dengar saat menyingkirkan tangannya yang gemetaran dari telinganya adalah kesunyian. Tidak ada suara peluru, jeritan, deritan mesin ataupun baling-baling—hening. Ia memberanikan diri untuk membuka matanya perlahan. Dan hal pertama yang dilihatnya dari balik tumpukan kayu adalah genangan darah tangan yang tergeletak.

"Hha!" ucapnya terkejut, seraya menarik tubuhnya menjauh. Matanya terbelalak, bibirnya gemetaran dan ia kembali mengigitnya untuk menahan takut. Ia membawa tangan kecilnya ke kepalanya dan mencengkram erat rambutnya, mengumpulkan semua keberaniannya untuk melihat lebih jelas.

Ia merangkak pelan ke celah dari balik tumpukan kayu. Bau mesiu, asap, dan juga amis darah begitu pekat tercium di udara. Mencekiknya dan nyaris membuatnya tak bisa bernapas, anak itu bertanya-tanya bagaimana bisa ia baru merasakan udara pekat itu sekarang. Matanya kembali bertemu dengan genangan darah dan tangan yang tergeletak tadi, bibirnya lagi-lagi mengeluarkan beberapa erangan takut sebelum mengumpulkan tenaga pada tangannya yang gemetaran untuk menyingkirkan tumpukan-tumpukan kayu yang melindunginya.

Ia merangkak keluar perlahan dari celah-celah dan matanya bertemu dengan tubuh pemilik tangan yang tergeletak tadi. Seseorang yang dikenalnya—paman yang pemilik toko kecil tempat ibunya sering berbelanja, lelaki baik yang sering memberinya tomat gratis sebagai hadiah setiap ia ikut berbelanja dengan ibu.

Ia masih ingat senyumnya yang ramah juga kumis tebalnya yang agak menyeramkan, namun yang sekarang ia lihat adalah ekspresi mengerikan di wajahnya. Tubuh besarnya yang dipenuhi peluru juga mata terbelalak kosongnya yang menyiratkan rasa takut, seolah kematianlah yang terakhir ia lihat.

Anak itu segera menyingkir darinya dan berlari. Yang ia dengar adalah detak jantungnya yang berpacu kencang juga keheningan yang memekakkan. Suara angin meniup api yang melahap rumah-rumah serta bangunan di desa, juga deritan kayu-kayu yang menyerah dimakan api. Kemanapun matanya melihat, api berkobar di mana-mana, namun anehnya tubuhnya yang basah oleh darah dan keringat tetap merasa kedinginan.

"Ibu, ibu!" teriaknya tanpa henti. Namun jawabannya hanya sunyi, tidak ada siapapun. Ia tetap berlari dan menjerit tak memperdulikan otot-otot di tubuh mungilnya yang meronta kelelahan. "Ibu, i—!"

Ia merasa tubuhnya terangkat ke udara dan kakinya tak lagi menapak di tanah. Sekejap ia mendengar derap kuda—atau tepatnya ia berada di samping kaki kuda tersebut dan seseorang sedang mencengkram pakaiannya dari belakang. "Lepaskan! Lepaskan!"

Ia tidak tahu sudah berapa lama ia meronta, mencoba melepaskan diri sebelum ia berhasil dan tubuhnya jatuh membentur bebatuan jalan sebelum terguling ke tanah. Ia menjerit kesakitan, ia bahkan nyaris tak dapat merasakan kaki kanannya. Belum lagi jantungnya yang berdetak kencang seolah akan loncat keluar dari rongga dadanya. Napasnya terangah-engah, ia lelah, pendangannya kabur dan telinganya berdenging. Kelopak matanya terasa berat dan ia tergoda untuk menutup matanya dan terlelap. Ia benar-benar lelah.

Telinganya samar-samar mendengar derap kuda itu melambat sebelum meringik dan berhenti sepenuhnya. Ia berusaha keras mengumpulkan tenaga untuk bangkit, hanya untuk terjatuh lagi. Pandangannya yang kabur menangkap sosok penunggang kuda tersebut. Seorang lelaki dengan rambut gelap dan separuh wajah yang tertutup syal merah, serta jubah yang berkibar ditiup angin. Breastplate—pelindung dada peraknya yang mengkilap memantulkan cahaya kemerahan dari api di sekitar mereka, menyilaukan matanya.

"Kau-" ucap anak itu dengan lemah. Ia menyeka darah yang keluar dari hidungnya, sebelum kembali menatap ke lelaki itu dan melihat hal mengerikan yang berada di belakangnya. Di antara abu dan kayu-kayu sisa reruntuhan rumah penduduk desa yang berserakan, di antara kobaran api yang tiada ampun dan genangan darah di tanah, tubuh-tubuh tak bernyawa bertebaran di mana-mana. "Hha...!"

Lelaki itu menatap ekspresi ketakutan anak yang tergeletak di depannya beberapa detik, sebelum memejamkan matanya sejenak dan meraih anak itu.

*Slap*

Ia menarik tangannya yang ditolak anak itu. Tatapan matanya sama sekali tak menunjukkan ekspresi terkejut ketika anak itu berusaha untuk duduk dan mulai menangis, membawa tangan kecilnya yang dikotori oleh lumpur dan darah ke kepalanya dan mencengkram rambutnya seraya menjerit. "Kau, kau! Apa yang kau lakukan."

Namun kata-kata anak itu membuatnya terkejut sejenak sebelum ia mencoba kembali untuk meraihnya, dan meletakan tangannya diatas kepala anak itu dengan lembut. Anak itu menampis tangahnya dengan kasar dan terus menangis. "Kau, bagaimana bisa kau membiarkan semua ini! Kau kesatria Rito! Seharusnya ini tidak boleh terjadi, seharusnya kau-"

"Tidak ada yang bisa aku lakukan." Ujarnya singkat, menyela kata-kata bocah lelaki itu. Sepasang iris gelapnya menatap lurus pada iris serupa milik anak lelaki di hadapannya. Anak itu menatapnya balik dengan ekspresi tak percaya.

"Ta-tapi kau kesatria Rito!" balas anak tersebut dengan berteriak marah padanya. "Pasti ada yang bisa kau lakukan, pasti ada."

Anak itu kembali menangis terisak-isak sambil memeluk kakinya, seraya terus mengutarakan apa yang ada di kepala kecilnya. Namun yang didengar lelaki itu hanyalah isak tangisnya serta desisan marah kayu-kayu rapuh yang dilahap api. Juga hembusan angin yang seolah menyemangati api tersebut untuk memakan habis desa tersebut dan merubahnya menjadi debu.

"Ibu..." ucapnya anak itu ditengah isak tangisnya, pikirannya berkelana ke senyum tulus ibunya yang lembut. Bagaimana ibunya selalu menyipitkan matanya sedikit seraya menciptakan lengkungan indah itu di bibirnya, bagaimana senyuman itu selalu membuatnya merasa tenang dan aman.

Lelaki itu membelai perlahan kepala anak dihadapannya seolah menenangkan anak yang menangis tersebut, sebelum meraihnya dan membawanya ke kudanya yang sedari tadi menunggu dengan setia. Ia memandang desa yang dibelenggu oleh api itu untuk yang terakhir kalinya sebelum memacu kudanya dengan kencang ke kegelapan. "Perang sudah dimulai."


Author's Note: Halo semuanya! Salam kenal!

Fanfic ini terinspirasi dari serial RPG Final Fantasy buatan Square Enix yang rata-rata mengambil tema tentang kristal dan warrior of light. Terutama tentang mitos di Fabula Nova Crystallis seperti Final Fantasy XIII dan XV oh iya, jangan lupa Final Fantasy Type-0 juga Final Fantasy Agito, karena saya fans berat serial Final Fantasy! (Nggak ada yang nanya—abaikan )

Saya juga sudah lama ingin mencoba membuat cerita tentang mitos-mitos dan petualangan seperti ini, ya saya pikir mungkin bakalan seru aja dan akhirnya saya coba dan cukup puas dengan prolognya. Belum lagi proses mengarangnya juga menyenangkan karena banyak sekali ide yang bermunculan. Saya aja sampai kaget, ternyata mengarang itu bisa sampai se-menyenangkan ini—agak berlebihan yah hahaha. Mengapa di fandom Naruto, well, karena saya suka Naruto? Haha, saya cuma ngerasa kalau Naruto cocok aja dengan cerita-cerita yang seperti ini. Coba bayangin deh Naruto bawa-bawa buster sword punyanya Cloud Strife sambil pake armor...

Naruto: Berat, 'ttebayo...

Haha. Juga fanfic ini main pairingnya bakalan SasuSaku, why? Because it's canon right?! ;) —ditampar.

Oh iya, mitos di fanfic ini karangan saya dengan sedikit pengaruh ide dari mitos Fabula Nova Crystallis-nya Square Enix juga dari beberapa seri Final Fantasy lainnya (Oops jangan lupa, saya juga pinjam beberapa istilah dan monster-monsternya). Jika ada yang membingungkan, well, salahkan saja saya—sumimasen.

Oke, bagi semua yang telah membaca, saya ucapkan terima kasih banyak, dan juga mohon bimbingan serta koreksi dari semuanya : )

—Alec.

*Coeurl: monster fiktif dari serial Final Fantasy, bentuknya menyerupai kucing besar seperti macan atau leopard dengan kumis besar dan panjang.