Disclaimer: Masashi Kishimoto-sensei

Genre: Romance, Hurt/Comfort, sedikit Humor

Rate: T semi M

Warning: gaje, jelek, abal, bahasa kasar, OOC, dll

Halo semuanya, aku coba buat fic Gaahina. Semoga kalian menyukainya. Maaf kalau ada kemiripan dengan cerita-cerita lain...

Desert

"Aku, para tetua klan, serta para tetua Konoha telah sepakat untuk menikahkanmu dengan Kazekage Sunagakure sebagai lambang hubungan persahabatan antara Konoha dan Sunagakure. Dan jangan coba-coba menolak. Buatlah dirimu berguna dengan menikahi Kazekage. Lalu aku tidak ingin mencoba kabur, jangan membuatku malu. Kalau itu sampai terjadi aku akan membunuhmu. Mengerti?" kata Hyuuga Hiashi dengan nada yang tak mau dibantah.

"I-i-iya," Hinata hanya bisa pasrah. Ayahnya sudah jelas-jelas memberitahu dirinya bahwa ia tak diterima. Apalagi yang bisa ia perbuat. Jujur ia shock dan terima. Ia ingin menikah dengan orang yang dicintainya. Bukan dengan orang tak dikenal. Mengapa harus dirinya yang dijadikan tumbal?

"Sekarang kembalilah ke kamarmu. Besok kamu akan berangkat pagi-pagi sekali ke Sunagakure."

"Ba-baik Otou-sama," kemudian Hinata membungkukkan badannya sebagai tanda hormat lalu keluar dari ruangan itu.

Setelah berada di kamarnya Hinata menangis terisak-isak. Ia tak berani menolak perintah Ayahnya. Ia tahu bahwa sejak dulu Ayahnya menganggap dirinya tak berguna. Tak becus. Tak pantas menjadi seorang Heiress. Ia tahu Ayahnya menginginkan adiknya, Hanabi yang menjadi Heiress. Karena adiknya kuat dan ia lemah. Karena itukah Ayahnya menyingkirkan dirinya?

Ia hanya ingin dicintai. Ia hanya ingin diterima. Ia hanya ingin orang lain tahu bahwa ia ada. Dan ia bukan orang yang tak berguna. Apakah bila ia menikahi Kazekage, Ayahnya akan senang? Pikiran tersebut melintas di kepalanya.

Lagipula ia memang tak memiliki pilihan. Kabur? Kemana, ia tak memiliki tempat dan Ayahnya sudah mengancam akan membunuhnya bila ia kabur. Jadilah berguna kata Ayahnya. Ya, ia bisa berguna bila menikahi sang Kazekage. Tapi meski begitu ia tetap merasa bahwa Ayahnya telah membuangnya. Menjualnya pada sang Kazekage.

Sementara pikiran-pikiran buruk terus-menerus melintasi benaknya. Ia tertidur dengan air mata yang masih mengalir.

.

..

...

Kini Hinata tengah berdiri di depan gerbang Konoha bersama teman-temannya. Mereka semua mengucapkan salam perpisahan untuk Hinata. Serta Kurenai-sensei dan Hokage ke Lima juga berada di sana. Tapi ia tak melihat Ayahnya serta adiknya mengantarkan kepergiannya. Ia sedih. Ia sakit hati.

Kurenai-sensei menatap Hinata dengan cemas, "Kamu yakin dengan pilihanmu Hinata?" tanyanya.

"Ya"

"Kamu bisa menolak bila kamu tak mau," katanya lagi.

Hinata hanya menanggapinya dengan senyuman sedih. Lalu ia berpamitan dengan Kurenai-sensei.

Kini Hinata, Shikamaru, dan Neji bersiap berangkat menuju Sunagakure. Shikamaru ditugaskan kesana karena ia mengenal daerah Sunagakure dengan sangat baik. Berhubung ia kerap kali ditugaskan ke sana. Dan Neji berperan sebagai pendamping Hinata.

Untuk terakhir kalinya Hinata melambaikan tangannya pada teman-temannya dan membalik badannya. Mungkin ini kali terakhir ia melihat Konoha. Ia menangis dalam diam dan berjalan ke depan. Ia tak mau melihat ke belakang karena itu akan membuat dirinya semakin berat untuk meninggalkan kampung halamannya. Teman-temannya. Cintanya. Untunglah Naruto tak ada untuk mengantarkan kepergiannya. Bila ia melihat Naruto mungkin ia akan hancur lebur tak sanggup untu bertahan lagi. Ia tahu Naruto serta timnya dalam misi karena itu mereka sama sekali tak mengetahui tentang kepergian Hinata. Hinata bersyukur karenanya. Ia teringat perkataan Kurenai-sensei yang persis sama dengan Kiba dan Shino menanyakan apakah ia yakin dengan pilihannya? Yah ia tidak punya pilihan bukan? Atau dalam keadaannya ia tak bisa menolak. Tapi, sungguh Gurunya serta teman-teman timnya adalah orang yang sungguh mengerti dirinya. Mereka sadar bahwa ia tak menginginkan pernikahan ini. Mereka tahu bahwa ia mencintai Naruto. Selalu. Meski mereka sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Bukan berarti mereka dapat menolongnya. Ini tanggung jawabnya sebagai anggota klan Hyuuga, karena ia tak mampu menjadi seorang Heiress. Andai ia lebih kuat, mungkin Ayahnya takkan mencampakkannya seperti ini.

Neji dan Shikamaru yang sedari tadi berada di kanan dan kiri Hinata hanya diam melihat Hinata menangis. Mereka sedikitnya mengerti bagaimana perasaan Hinata. Maka dari itu mereka membiarkan saja Hinata menangis untuk melepas segala kesedihannya. Dengan begitu Hinata akan menjadi lebih tenang nantinya. Akhirnya setelah satu jam perjalanan Hinata berhenti menangis. Membuat kedua laki-laki yang bersamanya mendesah lega. Bagaimanapun mereka berdua bukan tipe yang mampu menghibur perempuan yang menangis.

"Kamu tak apa Hinata?" tanya Neji.

"A-a-aku ba-baik-baik saja Nii-san," jawab Hinata dengan tergagap.

"Kalau kamu tak mau kita bisa kembali," kata Neji lagi.

"Tak apa kok Nii-san," jawab Hinata.

Neji mengerutkan keningnya menanggapi perkataan Hinata, "Kamu yakin? Kazekage itu sepertinya bukan tipe orang yang punya kasih sayang. Ia tampaknya orang yang kejam," kata Neji lagi.

"Ia tak seburuk itu," kata Shikamaru. "Gaara adalah orang yang memiliki kasih sayang juga. Ia hanya tak tahu cara menunjukkan kasih sayang itu."

Neji mengerutkan kening menanggapi perkataan Shikamaru, "Mengapa kamu bisa berkata seperti itu? Kamu bahkan tak mengenalnya."

"Aku bisa melihatnya saat ia bersama Temari dan Kankuro."

"Oh, perempuan berkucir empat itu? Bagaimana hubungan kalian? Kapan kalian akan menikah," tanya Neji.

Wajah Shikamaru yang selalu tenang itu menampakkan semburat kemerahan yang tipis, "Bukan urusanmu," jawab Shikamaru gugup.

"Oh ayolah Shikamaru. Pantas saja kamu senang sekali kalau ditugaskan ke Sunagakure. Padahal yang lain tak betah ke sana, tempat itu kering dan panas."

"Tak seburuk itu. Sunagakure adalah tempat yang indah."

"Ya buatmu. Karena kekasihmu tinggal di sana," kata Neji dengan senyum mengejek.

Hinata yang sedari tadi diam saja mendengarkan percakapan keduanya mulai tertarik. Ia tersenyum senang saat kakak sepupunya itu menggoda Shikamaru.

"Benarkah itu Shikamaru? Jadi kamu sering datang ke Suna?" tanya Hinata senang.

Shikamaru hanya mengangguk kecil. Hinata tersenyum senang melihat jawaban Shikamaru. Setidaknya ia tak betul-betul ditinggalkan sendirian pikirnya.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan itu. Yah perjalanan ke Suna membutuhkan waktu tiga hari. Waktu yang cukup lama dan akan membuatmu lelah secara fisik. Serta mental untuk Hinata. Karena semakin dekat ke Suna membuat Hinata semakin gugup dan takut. Meski ia mengenal Gaara. Well, teknisnya ia hanya pernah melihat Gaara saat ujian Chuunin. Lalu berikutnya ia diberitahu oleh Naruto bahwa Gaara menjadi Kazekage Suna. Sepertinya Naruto menganggap Gaara sebagai sahabatnya. Tapi tetap saja ia tak pernah berbicara sepatah katapun dengan Gaara. Teman-temannya bilang Gaara berubah. Tidak seperti Gaara saat ujian Chuunin dulu. Teman-temannya bilang Naruto yang mengubah Gaara.

Sungguh ironis, akhirnya ia harus menikahi sahabat orang yang ia cintai. Kita tak tahu takdir kita bukan. Orang yang kita cintai belum tentu orang yang ditakdirkan untuk kita.

"Kita hampir sampai," kata Shikamaru. "Itu gerbang depan Suna," katanya sambil menunjuk ke suatu bangunan di tengah hamparan pasir.

"Kamu yakin Hinata? Kita masih bisa kembali sekarang. Tapi saat kamu memasuki gerbang itu kamu benar-benar tak bisa kembali," kata Neji.

"Ya Neji-niisan. Aku yakin," jawab Hinata mantap.

Neji menatap Hinata sejenak. Neji melihat keteguhan dari mata Hinata. Ia tersenyum tipis lalu mengelus kepala Hinata.

"Semoga kamu bahagia," kata Neji lirih.

"Ayo cepat! Mereka sudah menunggu kita," teriak Shikamaru yang sudah jauh di depan.

"Iya, iya. Aku tahu kamu sudah tak sabar untuk menemui kekasihmu," ejek Neji.

"Bukan itu! Kamu tak lihat ada rombongan Suna yang menunggu kedatangan kita di gerbang," tunjuk Shikamaru ke arah gerbang. Disana ada sebuah rombongan yang terdiri dari beberapa orang.

"Ah iya. A-ayo kita tak boleh membuat mereka menunggu lebih lama," kata Hinata.

Mereka berjalan dengan cepat menuju gerbang itu. Ternyata apa yang mereka kira salah. Rombongan itu bukan rombongan kecil melainkan rombongan yang sangat besar. Tampak di kiri dan kanan jalan ada penduduk Suna yang datang untuk melihat calon istri Kazekage mereka.

"Aah..." desah Hinata. Ia gugup melihat rombongan yang besar itu. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang. Tampak seorang perempuan dengan kucir empat yang cantik.

"Kamu pasti Hinata," katanya. "Aku Temari, kakak Gaara dan itu Kankuro, adik laki-lakiku juga kakak Gaara," tunjuknya pada seorang laki-laki yang membawa boneka. "Senang bisa bertemu denganmu Hinata. Aku harap kamu akan senang tinggal di sini," katanya lagi.

"I-iya," jawab Hinata.

"Ayo! Aku akan mengenalkanmu dengan Gaara," kata Temari sembari menarik tangan Hinata.

"Nah Hinata, ini Gaara calon suamimu," kata Temari. Lalu ia menyerahkan diri Hinata pada adik laki-lakinya dan berbalik pergi ke tempat Shikamaru. Meninggalkan keduanya ke dalam kecanggungan.

"Uhm...hai," kata Hinata gugup.

"Kita akan menikah dua minggu lagi," kata Gaara .

Hinata terkejut dengan pernyataan Gaara itu. Tapi ia tetap menjawab, "Iya."

Di tengah kecanggungan itu, seorang anak laki-laki kecil yang kira-kira berusia tujuh tahun menyelinap di antara Hinata dan Gaara.

"Ini," kata anak itu malu-malu sembari menyerahkan sebuket bunga daisy.

"Terima kasih," kata Hinata sembari menerima buket bunga itu. Lalu ia menjongkok di depan anak kecil itu. "Siapa namamu?"

"Kei," kata anak itu malu-malu.

"Nama yang bagus," kata Hinata. Lalu ia mengusap kepala anak itu dan membawanya ke dalam pelukannya. Lalu ia berdiri sambil menggendong anak itu dengan buket bunga di tangan kanannya.

"Sini," kata Gaara. Lalu ia mengambil buket bunga itu dari tangan Hinata.

"Terima kasih," kata Hinata sembari tersenyum pada Gaara. Lalu ia mengalihkan pandangan lagi ke Kei. "Jadi Kei, mana Ibumu?" tanya Hinata lembut.

"Di sana," tunjuk Kei ke arah penduduk desa yang berdiri di sepanjang jalan.

Hinata tersenyum lagi sembari mendekap Kei.

Tiba-tiba datang para tetua Suna ke tempat mereka berdiri. "Kamukah Hyuuga Hinata itu?" tanya salah satu dari para tetua.

"I-iya," jawab Hinata. Lalu ia menurunkan Kei dan melepaskannya dari pelukannya. Kei berlari menuju arah kerumunan sembari melambaikan tangan.

"Aku lihat kamu pintar menghadapi anak-anak," kata tetua yang lain.

"Aku menyukai anak-anak," jawab Hinata sembari tersenyum.

"Oh itu bagus!" seru tetua. "Kalau begitu kamu dan Gaara bisa cepat-cepat membuat anak," katanya dengan penuh semangat.

"Iya itu benar. Penduduk Suna pasti akan senang sekali menyambut kelahiran calon pemimpin Suna," jawab tetua yang lain.

Sementara para tetua berdebat tentang hal itu. Wajah Hinata semakin merah padam. Yang benar saja, ia bahkan belum menikah dengan Gaara. Ia saja baru berbicara dengan Gaara untuk pertama kalinya beberapa menit yang lalu dan langsung disuruh membuat anak oleh para tetua ini.

Gaara melihat wajah Hinata yang telah berubah merah padam hanya tersenyum dalam hati. Ia tahu bahwa perempuan yang akan dinikahinya ini sangat malu atas perkataan para tetua. Yah para tetua memang sangat ingin Gaara menikah dan memberikan mereka pewaris. Bahkan sebelum ia menerima Hinata sebagai calon istrinya. Para tetua terus-menerus mencerca dirinya untuk menikah dan tak henti-hentinya memberikan foto anak-anak perempuan yang menurut mereka pantas. Kalau saja mereka bukan tetua Suna dan ia tak menghormati mereka. Mungkin ia akan membunuh mereka dengan pasirnya karena telah mengganggu. Sementara kakak laki-laki dan kakak perempuannya menatap Gaara dengan geli. Pernah Gaara memprotes mereka untuk membelanya. Tapi mereka malah bilang bahwa ia harus menikah. Gaara tahu apapun yang akan dikatakannya tak akan membuat mereka membela dirinya. Bagaimana tidak kedua kakaknya sedang di mabuk asmara. Ya Kankuro dengan murid Gaara, Matsuri. Dan Temari dengan bocah Nara itu. Gaara tahu mereka berdua menikmati penderitaan Gaara lari dari kejaran para tetua yang memaksanya untuk menikah. Setidaknya sekarang sudah berakhir, katanya dalam hati.

"Cukup!" kata Gaara pada tetua. "Kalian membuatnya malu."

"Ah, untuk apa malu. Lagipula dalam dua minggu ini kalian akan menjadi suami-istri."

"Ya. Tapi bukan berarti kalian dapat membicarakan hal tersebut di depan umum."

"Haha... Baiklah kami mengaku salah. Selamat datang di Suna, Hinata," setelah mengatakan itu para tetua pergi meninggalkan mereka berdua.

"Para tetua sudah pergi, angkat kepalamu!" perintah Gaara pada Hinata yang sedari tadi terus menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Terima kasih," kata Hinata pada Gaara. Masih tampak semu kemerahan di wajah Hinata.

Gaara lalu memberikan buket bunga daisy yang dipegangnya pada Hinata lagi. "Ini," kata Gaara.

Hinata menerima buket bunga itu dari Gaara dan wajahnya yang bersemu menjadi merah padam. 'Menarik,' pikir Gaara.

"Gaara apa yang kamu lakukan sampai wajah calon istrimu merah padam seperti itu? Kamu tak berbuat yang aneh-aneh pada Hinata selagi kalian kutinggal berdua bukan?" tanya Temari dengan penuh selidik.

"Untuk apa bertanya, jelas-jelas Gaara melakukannya. Lihat saja wajah Hinata yang merah padam," kata Kankuro sambil tertawa.

Setelah ia mengatakan itu. Ia mendapat pandagan mematikan dari Neji dan Gaara. Lalu ia tertawa gugup.

"Ia memerah karena kepanasan," kata Gaara.

"Oh begitu. Ayo cepat kita ke rumah," kata Temari.

"Kalau begitu aku dan Neji akan mencari penginapan untuk malam ini. Kami akan kembali ke Konoha besok pagi. Ohya, Gaara, ini surat perjanjian Konoha dan Suna dari Hokage," kata Shikamaru sembari menyerahkan sebuah gulungan.

"Datanglah nanti malam ke rumah untuk makan malam dan merayakan kedatangan Hinata," kata Temari.

"Haah... mendokusai"

Temari hanya tersenyum mendengar jawaban kekasihnya itu, "Sampai jumpa," kata Temari. Lalu ia mencium Shikamaru, kemudian pergi sembari melambaikan tangan.

.

..

...

"Nah Hinata, ini adalah rumahmu yang baru," kata Temari pada Hinata.

Kini Hinata, Temari, Gaara, dan Kankuro tengah berdiri di halaman depan sebuah rumah. Rumah itu tak sebesar kediaman Hyuuga tapi cukup besar untuk ditempati sebuah keluarga. Tampaknya Hinata akan menyukai tinggal di dalamnya.

"Rumah yang indah, Temari-san," kata Hinata.

"Terima kasih Hinata. Dan jangan panggil aku dengan embel -san. Panggil dengan -nee," kata Temari sambil tersenyum.

"Oh, benar. Dan panggil aku dengan -nii," kata Kankuro ikut-ikutan.

"Baik Temari-nee, Kankuro-nii," kata Hinata sembari tertawa kecil.

"Ya. Dan panggil Gaara dengan sebutan honey," kata Kankuro sembari tertawa keras.

Perkataan Kankuro otomatis membuat Hinata memerah dan serta merta ia mendapat jitakan dari Gaara dan Temari.

"Tak usah kamu pedulikan," kata Gaara pada Hinata.

"Hei, apa salahnya? Itu panggilan yang wajar untuk orang yang akan segera menikah. Betulkan adikku sayang?" tanya Kankuro pada Gaara.

Gaara yang dipanggil sayang oleh Kankuro langsung memberikannya pandangan membunuh. Sementara itu Hinata menatap mereka sembari menyembunyikan senyumnya.

"Jangan menatapku seperti itu!" protes Kankuro.

"Seperti apa?" tanya Gaara geram.

"Uh...uh..."

"Kalian berdua hentikan itu!" perintah Temari. "Hinata ayo masuk! Aku akan menunjukkan kamarmu," ajak Temari pada Hinata.

Hinata masuk ke dalam rumah itu. Ruangan di dalam rumah itu didominasi dengan warna putih dan biru muda. Hinata bisa melihat sebuah foto keluarga yang dibingkai terpajang di ruang tamu. Foto itu menampakkan Temari dan Kankuro yang sedang tersenyum bersama Gaara yang terlihat tak nyaman. Terlihat jelas bahwa Gaara tak suka difoto. Tapi kedua kakaknya menahannya untuk berdiri tenang di sana. Hinata tersenyum kecil melihat hal itu.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Gaara yang tiba-tiba muncul di belakang Hinata.

"Ka-ka-kazekage-sama," kata Hinata dengan tergagap.

Gaara mengerutkan keningnya dan menatap Hinata. "Berhenti bicara dengan tergagap!"

"Maaf"

"Dan jangan panggil aku Kazekage. Panggil aku dengan namaku," perintah Gaara.

"Baik Gaara-kun," kata Hinata.

"Lalu apa yang kamu lihat?" Gaara mengulangi pertanyaannya pada Hinata.

"Uhm... itu," tunjuk Hinata pada sebuah foto.

"Oh"

"Gaara-kun tampak tak nyaman di foto itu," kata Hinata lirih.

"Uh, ya. Mereka menyeretku paksa dan tiba-tiba ada suara jepretan kamera," kata Gaara kesal.

Hinata tertawa kecil mendengar pengakuan Gaara, lalu ia berkata, "Kamu harus membiasakan dirimu untuk lebih sering tersenyum."

Gaara menatapnya bingung dan kaget. "Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu sedang ini adalah pertemuan kita yang pertama?"

"Ah, kamu lupa. Kita pernah bertemu saat ujian Chuunin."

Gaara menatapnya lagi. Bingung. Ia terdiam sebentar berusaha mengingat kenangan masa lalu. "Kamu yang bertarung dengan Neji."

"Ya"

"Gaara tunjukkan kamar Hinata!" teriak Temari.

"Ayo!"

"Ah...iya," Hinata mengikuti Gaara berjalan ke lantai dua. Gaara membuka sebuah pintu berwarna coklat. Lalu ia masuk dan melihat ke dalam. Ruangan itu berwarna putih. Ada tempat tidur di tengah-tengah ruangan itu dengan seprai bercorak bunga. Ada sebuah lemari, meja, dan kursi di dalam kamar itu. Lalu ada sebuah pintu lagi, sepertinya itu pintu kamar mandi.

"Beristirahatlah dulu. Kamu pasti lelah. Kalau ada perlu sesuatu bilang saja. Kamarku ada di sebelah."

"Uhm...ya. Terima kasih, Gaara-kun"

Gaara hanya mengangguk menanggapi ucapan terima kasih Hinata. Lalu ia keluar dari kamar Hinata.

Setelah Gaara keluar, Hinata meletakkan barang yang dibawanya di kasur dan merebahkan diri. Sejujurnya ia tak membawa banyak pakaian. Karena pakaian Konoha tak cocok digunakan di daerah sepanas Suna. Kulitnya bisa terbakar bila ia menggunakan pakaian tersebut. Besok ia akan meminta Temari untuk menemaninya berbelanja. Ia merebahkan diri di atas kasur. Sepertinya tinggal di sini tak seburuk pikirannya. Orang-orang di sini menerima dirinya. Temari-nee dan Kankuro-nii juga baik padanya. Gaara juga baik meski ia bersikap dingin. Tapi Gaara tak semenakutkan yang diingatnya saat ia bertemu di ujian Chuunin. Ia dapat melihat Gaara lebih lembut dari dulu. Sementara pikirannya terus melayang. Hinata jatuh tertidur.

.

..

...

Kini Hinata, Gaara, Temari, Shikamaru, Neji, dan Kankuro duduk di meja makan menikmati makan malam.

"Ini enak sekali Temari-nee," kata Hinata pada Temari.

"Syukurlah. Aku baru-baru ini belajar masak. Untunglah kamu menyukainya," kata Temari dengan senyum mengembang di wajahnya.

"Ya, belajar untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik," ejek Kankuro.

"Diam kamu!"

"Oh, ayolah kak. Kapan kalian akan menikah?"

"Itu bukan urusanmu!" balas Temari.

"Setelah pernikahan Gaara dan Hinata. Aku akan mengajukan permohonan pada Hokage," kata Shikamaru tenang. Yah, karena Shikamaru adalah seorang Shinobi Konoha, ia harus meminta izin Hokage untuk menikahi Temari yang notabane penduduk Suna agar ia bisa tinggal di Suna atau Temari tinggal di Konoha.

"Shika!" protes Temari. "Kenapa kamu memberitahu mereka?" kata Temari dengan wajah yang bersemu.

"Adikmu kan Kazekage. Cepat lambat dia akan tahu juga. Lagipula kita membutuhkan izinnya," jelas Shikamaru.

Temari menatap Gaara penuh harap, "Tunggu setelah dia mendapat izin Hokage baru aku memberikan jawaban."

Yah setidaknya Temari harus puas dengan jawaban yang diberikan Gaara. Lalu mereka melanjutkan makan disertai obrolan ringan. Sampai akhirnya Neji dan Shikamaru memutuskan untuk pamit.

"Kalau begitu sampai jumpa Hinata. Kami akan datang dengan yang lain saat pesta pernikahanmu," kata Shikamaru.

"Besok kamu tak perlu mengantar kami, karena kami akan berangkat sebelum matahari terbit. Lebih baik kamu beristirahat saja," kata Neji. Lalu ia memeluk adik sepupunya dan membisiki Hinata agar memberitahunya bila Gaara atau orang lain menyakitinya dan menyuruhnya untuk menjaga diri.

Setelah melepas pelukannya pada Hinata, Neji mengalihkan pandang pada Gaara. Neji berjalan ke arah Gaara dan membisikinya sesuatu. Kemudian ia pamit pada yang lain dan mengajak Shikamaru keluar dari rumah itu.

"Apa yang dikatakan Neji padamu?" tanya Kankuro.

"Bukan urusanmu," balas Gaara.

Ia berjalan masuk dan naik ke atas menuju kamarnya. Di dalam kamarnya Gaara memikirkan perkataan Neji padanya. Yah, sepertinya Neji sangat menyayangi calon istrinya. Bila berani berkata seperti itu pada Gaara. Kasih sayang. Gaara bukan orang yang dapat mengungkapkan perasaannya dengan baik. Mungkin di luar ia tampak dingin, tapi ia menyayangi Temari dan Kankuro. Dan Naruto. Hanya merekalah orang yang terpenting baginya. Mereka menerima dirinya. Tak seperti orang lain yang tak menginginkan keberadaannya. Bahkan Ayahnya menganggap dirinya sebagai alat. Sedang Ibunya, ia tak mengenal Ibunya.

Dua minggu lagi ia akan menikahi Hinata. Entah apa yang akan terjadi bila saat itu tiba. Kata-kata Neji tadi kembali terngiang di kepalanya.

'Kalau kamu sampai menyakiti Hinata. Maka saat itu juga, aku akan membunuhmu'