Disclaimer :: Shingeki No Kyojin ©Hajime Isayama. I do not own the characters, except for this story.
Genre:: Shonen-ai/Yaoi, Romance, Humor, AU.
Rate::T+ (Bad language, explicit sex content (SOFT))
Pairing:: RiRen (Rivaille x Eren)
Warning:: Fluff til Sexy romance of them! Please read on your own risk! Don't Like, Don't Read!
Malam itu langit dipenuhi oleh sekumpulan bintang tak terhingga yang bersinar dengan terang, temaram bulan indah menerangi rumah sederhana dari keluarga Jaeger, Meskipun suasana terasa sangat hening dan sunyi, namun jika ditelaah lebih dekat, di sebuah ruangan berpetak dari rumah yang bertanggar ditanah nan keras itu sedang ramai dengan senandungan dari ketiga anggota keluarga Jaeger.
"Happy birthday to you… Happy birthday to you… Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday, Eren!" lalu sorakan dan kegaduhan kedua gumpalan daging simetris berbentuk tangan saling bertabrakan satu sama lain. Disaat yang bersamaan, pemuda yang ditujukan sebagai objek perayaan keluarga kecil itu meniup api-api yang sedari tadi berkoar-koar di atas pucuk lilin dengan semangat.
"Nah, Eren. Kamu sudah berumur 20 tahun sekarang. Apa keinginanmu, Nak? Dihari kedewasaanmu ini kami akan mengabulkan segalanya untukmu," ucap seorang lelaki paruh baya yang dikenal sebagai Dr. Jaeger, Ayah sang Eren. Di sampingnya duduk seorang perempuan berambut hitam lembut yang kurang lebih sebaya dengannya, tersenyum bahagia, penuh arti dan harapan, tak beda dengan wajah yang ditunjukkan oleh sang ayah.
"Segalanya? Sungguhkah, Yah? Aku akan mendapatkan apapun yang kumau?" kedua bola emerald terang membulat dengan antusias.
"Tentu saja, Sayang," suara seorang wanita lain menyahut, tersenyum dengan penuh kasih sayang kepada anak lelaki semata wayangnya itu. Seraya beranjak dari kursinya, Carla Jaeger—yang tak lain adalah Ny. Jaeger, berjalan menuju rak piring dan mengambil beberapa gelas bening—yang teramat bersih,"—Apapun itu, baik aku dan Ayahmu akan berusaha mengabulkannya," lanjutnya.
"Apa kau ingin membeli sesuatu, Eren?" tanya seorang gadis yang sebenarnya memiliki ekspresi yang tak kalau jauh dari datarnya nampan, Mikasa Ackerman. —Tunggu, 'Ackerman'? Ya, Mikasa bukanlah anak dari pasangan sejoli Jaeger. Namun, sejak 8 tahun yang lalu—dimana ketika kedua bakal bibit dari gadis ini mengalami suatu peristiwa mengenaskan. Keduanya mati terbunuh di depan mata kepala sang pewaris Ackerman belia itu oleh perampok yang menargetkan rumahnya sebagai korban mereka —Sungguh malang nasibnya, tetapi semua kejadian itu tak membuat gadis ini patah semangat, apalagi setelah bertemu dengan Eren Jaeger—lelaki cinta pertama dan satu-satunya itu. Mikasa bukanlah mahluk yang bisa tersenyum akibat kejadiaan naas 8 tahun silam tersebut, namun, bila itu demi Eren, dia selalu mampu menjadi dirinya sendiri, dimana ia bisa tersenyum dengan indah dan cantik—laiknya sayap kupu-kupu yang baru saja lahir dari kepompongnya.
Mikasa Ackerman bukanlah darah daging dari Mr. dan Mrs. Jaeger. Namun gadis itu sama derajatnya dengan anak kesayangan mereka. Mikasa adalah anak yang mereka angkat sebagai keluarga berharga mereka.
Yeah, mari kembali ke cerita awal.
Sang pemuda dengan rambut dark chocolate belah tengah itu menggeleng kuat, lalu menampakkan deretan giginya yang putih dengan gembira,"Aku akan pergi ke kota Wall Maria* dan menjadi seorang novelis," ucapnya normal.
—hening.
Tak ada sahutan dari anggota keluarga lainnya.
Tak ada perubahan dari wajah ketiga manusia lain di ruangan itu yang sebelumnya menyembunyikan kedua mata mereka dibalik kelopak matanya dengan kedua sudut bibir yang terangkat manis.
Sampai pada saat sebuah gelas yang Mrs. Jaeger genggam terlepas dari tangannya yang halus dan bertubrukan dengan jutaan partikel padat yang membentuk sebuah benda padat lainnya—
—yaitu lantai ubin.
.
Earl Yumi
mempersembahkan
cerita fiksi ini hanya untukmu
.
.
~Endless Love Story~
Chapter 1
"Wall Maria"
.
.
"Apa kau bilang?" sepasang bola silver redup terbelalak dari persembunyiannya, menggambarkan ekspresi yang tidak percaya dari sang pemiliknya.
"Sudah kubilang, aku akan pergi ke kota dan mewujudkan impianku sebagai penulis terkenal, Mikasa," balas sang suara parau oleh pemuda berambut warna tanah di hadapannya.
Seorang gadis yang diketahui bernama mikasa dan memiliki tinggi yang sepadan dengan pemuda di hadapannya itu mengepalkan kedua tangannya yang mulus dengan kencang —diikuti oleh desisan tajamnya,"Kalau begitu aku juga akan—," belum sempat ia menyelesaikan pernyataannya, sang pemuda berparas tampan itu memotong kalimat Mikasa dengan tegas.
"Tidak," ia menggelengkan kepalanya perlahan,"Aku akan pergi sendiri, kau harus tetap di sini bersama Armin," jawabnya mantap.
—Dan seorang Mikasa itu terdiam sesaat setelah argumen itu berakhir.
"Tunggu, Eren! Ibu tidak bisa memberikanmu hal itu—" Carla Jaeger berjalan cepat menghampiri sang Jaeger muda—yang akhirnya tertahan oleh satu jari dari pemuda itu.
"Aku bisa meminta 'Apapun' kan, Bu?" ucapnya dengan penuh percaya diri.
—Kedua pasangan Jaeger kalah telak.
Yah, mereka tak bisa menyalahkan siapa pun sih. Tapi ingin rasanya mereka menenggelamkan diri ke dalam bak wastafel dan bersumpah atas kesalahan janji manis mereka—meskipun itu tidak mungkin.
Eren sudah berumur 20 tahun, rasanya rancu jika seseorang berumur yang terbilang 'baru dewasa' tersebut dijajal dengan janji hadiah ulang tahun bak anak SD yang ingin barang ini-itu dengan semangat '45. Pemikiran untuk seorang dirinya tentu saja sudah berbeda dan memiliki prinsip yang kuat atas masa depannya—meskipun sebenarnya cara meminta—atau bisa lebih dibilang 'memaksa' Eren 11-12 dengan anak SD lainnya.
—Dan sejak saat itulah, petualangan sang Jaeger muda dimulai di kota besar nan metropolitan yang bernama, 'Wall Maria'.
=================—Ө—=================
"Hm…. Seharusnya sih di sini," Eren Jaeger, yang baru-baru ini berhasil menembus tembok protective dari kedua orangtuanya, ditambah dengan sahabat tapi mesra sang Mikasa—meskipun dengan cara licik itu memandangi papan nomor pintu dan kertas yang digenggamnya secara bergatian dan seksama. Pintu yang seharusnya menjadi rumah barunya itu tertutup rapat dan tampak tak berpenghuni.
Setelah yakin bahwa itu memang benar-benar kamar apartement yang telah ia sewa sebelumnya, Eren memutar kenop pintu yang sedikit berdebu itu seraya memutar kunci yang telah ia cocokan dengan lubang kenop tersebut kea rah yang semestinya—dan pintu berwarna hijau kelabu itu terbuka dengan mudahnya. Eren menarik napas lega. Ia memang sedikit gugup memasuki ruangan itu—maklum saja, ini pertama kalinya sosok tampan bermata daun hijau segar ini tinggal sendiri.
"Lumayan juga," gumamnya senang sesaat setelah melihat keadaan kamar yang tidak terlalu luas namun cukup bersih dan nyaman—yah, meskipun perlu sedikit 'retouch' ulang agar keadaannya benar-benar bebas dari atom-atom yang terkadang memang menyebalkan—debu. Tapi apakah seorang 'Eren' peduli akan hal-hal semacam itu? Well, Kurasa tidak, namun juga bisa saja iya.
Eren menyapu permukaan tumpukan kardus di sudut-sudut ruangan utama yang merupakan barang-barang keperluannya untuk hidup di sini dengan jari-jarinya yang kurus. Tatkala meskipun ia berwajah datar, namun dapat terlihat senyum tipis di wajahnya.
"Aku harus lembur untuk membereskan semua barang-barang ini," lalu ia mendengus sebal—sebenarnya sih, dia cuma malas saja.
=================—Ө—=================
Jarum kecil sudah menunjuk ke angka 8 malam, Eren yang tewas seketika setelah bergelut dengan barang-barang biadab—maksudnya keperluan sakral hidupnya selama hampir 8 jam lamanya, dipaksa untuk kembali bangkit dari karpet di lantai setelah mendengar bel di depan pintu yang secara sengaja diperlakukan kasar oleh ego yang terkenal dengan nama 'tidak sabaran'.
Seraya menggerutu akan rasa khawatir kalau-kalau uang jajan bulanan—a.k.a warisan kecil Carla harus dikeluarkan di hari pertamanya untuk mengganti bel rumah, Eren membuka pintu dengan tidak kalah sabarannya pula,"Hei, tolong lebih sopan sedikit dong—" kedua permata hijau membulat sempurna lengkap dengan jeritannya yang tertahan,"—DEMI SAYUR TITAN, KUPIKIR KAU TUYUL!" Eren terjungkal ke belakang bersamaan dengan seruan kurang ajarnya.
"Sialan, jangan mentang-mentang aku botak jadi kau bisa panggil begitu," sang empunya si rambut jarang tersebut melotot kea rah lawan bicaranya,"Ada kiriman, dari Carla Jaeger untuk Eren Jaeger! Cepat tanda tangani berkas ini dan terima paketnya sebelum aku berubah pikiran untuk menyumpalnya ke dalam mulutmu yang menganga lebar itu!"
—Ternyata baik konsumen maupun pegawainya sama-sama tidak punya sopan santun.
Eren yang sedaritadi melongo mengerjapkan matanya kepada sosok cebol—maksudnya, mungil dan kepala plontos di hadapannya, lalu ia berdiri dan dengan sigap menandatangani berkas-berkasnya setelah mencerna ancaman dari sosok itu.
"—Maaf dan terimakasih sudah mengantarkannya!" Eren menyambar paketan yang awalnya digenggam si cebol dan buru-buru menutup pintu kamar apartement-nya tanpa basa-basi.
Sebenarnya sih dia takut dihajar oleh tukang antar paketan tadi, tetapi mungkin emang pada dasarnya dua mahluk ini memang gak konek atau gak cocok, sang delivery man tadi salah menafsirkan perbuatan Eren dengan perbuatan 'tidak tahu sopan santun'. Untung saja dia adalah pria yang baik hati dan tidak sombong, maka ia memilih untuk tidak melanjutkan niat kejinya untuk membakar rumah sang Eren Jaeger tadi—padahal dia bingung juga gimana ganti uangnya kalau-kalau malah satu gedung apartement ini yang ludes terlahap api dan ia pun melenggang pergi untuk mengantar paketan lainnya.
Eren terkesima atas surat yang diturahkan oleh sang ibu tercinta kepadanya, Well, lebih baik kita pelajari surat ini. jadi—
—paketan ini berisi kue khas Wall Trost**, dan ibunya menyuruh Eren untuk membagikannya kepada tetangga-tetangga barunya, dan kue-kue ini Eren ketahui bahwa jenis kue yang 'selasi'—atau bisa dibilang Sehari Langsung baSi. Seharusnya paketan ini sudah sampai dari siang tadi, dan baru sampai malam hari—dasar tukang antar paket sialan. Yang berarti kesimpulannya, Eren harus mengantarkan ini semua sekarang juga sebelum masa kadaluarsanya habis.
Setelah sadar akan kesimpulan akhirnya, Eren langsung panik dan berlari kedepan pintu dengan paketan kue tersebut di tangan. Sebenarnya, kalau Eren masih dapat beripikir jernih dengan otak liciknya, ia bisa saja memanipulasi kue-kue tersebut ke perutnya sendiri tanpa perlu diketahui sang penyuruh. Tapi yah, entah Eren yang terlampau polos atau memang loadingnya lama, namanya juga manusia yang lagi panik— Manusiawi saja rasanya.
Tinggal 1 paket yang belum ia antarkan, kamar 304—bersebelahan dengan kamarnya sendiri. Eren yang daritadi berlari tergopoh-gopoh kesana kemari, mengetuk pintu tujuan terakhirnya itu. Bel pintunya direspon dengan cepat—Syukurlah.
"Eh?" Eren cengo. Napasnya yang sedikit tersengal menelengkan kepalanya kearah segala penjuru kamar itu. Pintunya terbuka, tapi mana orangnya?
"Ada perlu apa?"
—Dan untuk kesekian kalinya, Eren menjerit tertahan. Lagi-lagi ia serasa mendengar suara gaib entah dari alam mana ketika melihat sosok yang tak kalah pendeknya dari si botak tadi. Suara rendah yang bertanya tadi ternyata berasal dari lelaki yang memiliki tinggi—setengah setengah. Maksudnya, tidak terlalu tinggi maupun pendek. Mungkin sedang, Ya, sedang. Anggap saja begitu jika ingin tetap hidup. Percayalah.
Wajah datarnya mengingatkan eren pada sosok sang Mikasa. Rambut hitamnya yang sedikit cepak tak bisa menyembunyikan ketampanan sosok itu meskipun ekspresinya sama sekali tak bisa dibaca dengan sekali lihat.
"A—anu….maaf, Dik. Ayah dan Ibumu ada?"—Eren cari mati ternyata.
Sebelah alis sosok yang ditanya berkedut dan 'sedikit' terangkat—sekitar 0,003 mili mungkin. Ia terdiam dan justru malah memelototi sang pemuda yang baru berulang tahun beberapa hari yang lalu itu.
Eren yang sadar diabaikan oleh sosok itu kembali berucap,"Aku baru saja pindahan di kamar sebelah, dan ini ada sedikit oleh-oleh dari kota lamaku. Tolong sampaikan ini kepada Ayah dan Ibumu ya—" belum sempat ia menyelesaikan perkataan bak kakak yang baik hatinya, sebuah tangan yang pastinya bukan miliknya melesat kearah pipi sang pemuda berambut coklat.
PLAK!
"Jaga bicaramu, Bocah keparat," sang pelaku yang menampar pipi mulus Eren akhirnya angkat bicara dan menyambar kotak kue dari tangan Eren. Seraya melotot kepadanya, sang lelaki tanpa ekspresi itu menutup pintu dengan keras. Eren yang bengong akibat perlakuan tetangganya itu tertuntut untuk mendaratkan pantatnya ke lantai.
—Karma, Eren.
Kau kena karma oleh duo cebol.
=================—Ө—=================
Waktu pagi hari telah tiba, Eren memasang jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Sesekali ia melirik kea rah kaca besar yang terpampang di kamar mandinya, berpose laiknya model tampan yang biasa ditampilkan di acara televisi ternama. Hari ini dia merasa sedikit terhibur. Kenapa? Ini hari pertama ia dapat bekerja di perusahaan percetakan impiannya. Akhirnya, mimpi untuk menjadi seorang novelis ternama sudah selangkah lebih maju dari hanya sekedar angan-angan belaka.
Apalagi, perusahaan yang baru saja menerimanya itu adalah perusaahan percetakan yang paling terkenal di Wall Maria. Sebutkan, apalagi yang bisa membuatnya lebih bangga dari hal itu? Meskipun statusnya sekarang masih seorang trainee, setidaknya ia sudah berusaha sebaik mungkinuntuk mencapai semua hal ini—termasuk cara liciknya menipu orang tuanya. Dan, kesampingkan soal bencana semalam dan segala tetek bengeknya yang mampu membuatnya kembali muram. Bekas tangan yang tergambar di pipi kanannya sudah memudar, ia juga sudah melupakan segala yang terjadi tadi malam—lebih tepatnya memaksa untuk melupakannya sih.
Eren membenahi dasi yang memeluk kalung lehernya, dan lagi-lagi, tak lupa ia memakai senyum tampannya seraya merapikan dasinya di kaca.
— Eren narsis seperti biasa.
"Oke, file siap, baju siap, sepatu sudah kinclong," ia melirik ke arah kakinya yang tebalut sepatu kulit hitam mengkilat dengan bangga—maklum mumpung masih baru makanya Eren berani memakainya di dalam rumah,"Sarapan sudah, wajah juga sudah oke," ia meringis, menampakkan barisan giginya lagi di kaca.
"Sekarang jam 7.30, naik bus hanya 20 menit dari sini. Cukup lah," ia berasumsi dengan mantap tatkala ia melirik jam tangannya,"Scouting Legion Publisher, Aku siap menantangmu!" Eren mengangkat kedua kepalan tangannya tinggi-tinggi. Bangga dengan penuh sukacita.
—Tanpa tahu bencana apalagi yang akan menunggunya di ujung sana.
=================—Ө—=================
~To Be Continue.
A/N ::
Heyya! Earl Yumi here~~~~~ UvU
Sudah lama sekali sejak aku hiatus dari fandom-fandom lamaku. Dan kini aku kembali dengan cerita abal dan fandom baru lagi. Sekarang aku sedang berusaha melanjutkan cerita-ceritaku yang sempat hiatus karena kehilangan mood menulis selama beberapa waktu. Dan kini setelah moodku kembali, aku malah lupa plot cerita-ceritaku ;;;;;;;;;;;A;;;;;;;;;;;;
Ahhhhh~ pokoknya aku harus berusaha semaksimal mungkin supaya semua ceritaku rampung! Dan ITU HARUS.
Dan untuk cerita ini, RiRen adalah pairing fave ku setelah RiHan dan ErwinxRivaille. UvU
Semoga kamu suka. Segala masukan, Kritikan dan saran akan ditampung dengan senang hati UvU dan aku juga aku berusaha update secepat mungkin~~ Terus ikuti yaa~ maaf juga kalau ceritanya kurang menarik. UvU
*Wall Maria, ** Wall Trost :: Aku memakai nama ini karena dunia disini berbeda dengan yang kita tinggali, bisa dibilang dunia lain yang bukan bumi namun kehidupannya sama seperti bumi yang kita tinggali sekarang XD dan disini Wall Maria itu sama dengan Jakarta di Indonesia, Jadi seperti kota metropolitannya XD
That's it~~ Thank you for reading~~
see you later :)
