"Dari setiap tetes darah yang keluar dari tubuhku, dari tiap tetes keringatku, dan dari tiap tetes penderitaanku, aku selalu berharap akan ada yang mendengarkan teriakanku. Selalu berharap akan bahagia. Aku selalu berharap dicintai. Seseorang yang mencintaiku."
"Tess...tess..." Sakura memandang tempat asal suara itu keluar dengan tatapan kosong, melihat tetes demi tetes darah yang mengalir keluar dari pergelangan tangannya.
Seorang pria berusia 17 tahun, memakai kemeja putih lengan panjang dan celana Jeans biru gelap duduk sendirian di samping tempat tidurnya. Tangan kanannya memegang cutter dan pergelangan tangan kirinya mengalirkan darah sebagai hasil dari luka torehan yang dia buat sendiri dengan cutter di sisi tangannya yang satu lagi. Lengan baju sebelah kirinya digulung agar tak terkena darahnya. Berwajah cantik dengan mata yang besar runcing seperti mata kucing dan bibir yang kecil.
Badannya terbilang kurus untuk pria seumurannya. Rambutnya coklat terang lurus. Terhitung cukup panjang hingga menutupi wajahnya. Tapi diselipkannya di kedua sisi telinganya sehingga menambah kesan cantik pada dirinya.
"Aku harus sesegera mungkin menghilangkan kebiasaanku ini." Katanya sambil terus melihat pergelangan tangannya.
"Aku tak mungkin selamanya menyembunyikan luka ini di balik handband. Bekas lukanya semakin lama semakin banyak. Aku juga tak mungkin menoreh kembali di tempat yang sudah pernah kutoreh. Nanti akan berbekas dan tak akan pernah hilang."
Sakura melewatkan sore itu dengan tetap bergumam seperti itu tanpa sedikitpun niat untuk menghentikan pendarahannya. Menurutnya, darahnya akan berhenti mengalir dan lukanya akan tertutup dengan sendirinya karena dia menorehnya dengan sangat hati-hati sehingga tidak mengenai pembuluh darah vena nya.
Tiba2 terdengar suara ribut dari luar.
Sakura pun melihat apa yang terjadi dari jendela kamarnya. Sebuah truk besar berhenti di sebuah rumah yang letaknya persis di sebelah rumahnya yang besar. Awalnya, rumah di sebelah itu kosong.
"Apa ada yang mau pindah ke sana,ya?"
Dan sepertinya, dugaannya tepat.
Dari dalam truk itu keluar beberapa pria berseragam yang mengangkut barang2 dari dalam truk untuk diangkat ke dalam rumah itu. Kemudian disusul dengan kedatangan truk 1 lagi. Dari dalamnya, keluarlah sepasang kakek nenek beserta seorang pria yang usianya sepertinya sama dengan Sakura.
"Mmm? Apa dia cucu mereka? Eh, sepertinya aku pernah melihatnya. Dimana,ya?" Sakura memandangi pria itu dengan seksama dari balik jendela kamarnya. Dia tidak dapat melihatnya dengan cukup jelas. Karena walaupun jarak rumahnya dan rumah pria itu sangat dekat,tapi lokasi kamar Sakura berada di lantai 2 dan itu artinya jarak mereka terpaut cukup jauh.
Lama Sakura terus memandanginya, pria itu menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
Dia mengadah ke atas dan menemukan sosok orang yang sejak tadi melihatnya. Pria itu tersenyum kepadanya. Seketika itu saja, tanpa Sakura sadari, wajahnya bersemu merah dan dengan cepat dia menarik tirai,menutupi jendelanya sehingga pria itu tidak dapat melihatnya lagi.
"Apaan ?! Kenapa aku harus malu sewaktu dia tersenyum seperti itu padaku? Aku bahkan tidak mengenalnya. Dasar bodoh!"
Akhirnya, Sakura hanya membalut lukanya seadanya dan langsung beranjak tidur tanpa niat menyantap makan malam sedikitpun.
Pagi harinya Sakura memulai harinya dengan berjalan menelusuri koridor di rumahnya menuju ke dapur untuk sarapan. Dapurnya luas dan penuh dengan alat2 memasak yang super lengkap. Di sana terlihat 2 orang koki yang duduk2 sambil mengobrol dengan asyiknya di meja dapur. Saking asyiknya, mereka bahkan tak menyadari Sakura yang berada di sana memandangi mereka sebentar. Tanpa niat menyapa mereka, Sakura langsung menuju ke meja makan yang letaknya tak jauh dari dapur.
"Selamat pagi, tuan muda. Sarapannya telah saya siapkan."
Seorang wanita berusia sekitar 40 tahun mempersilakan Sakura untuk duduk di kursi makan. Dia mengenakan baju pelayan ala Inggris tahun 80an. Memakai kacamata dan rambutnya disanggul ke belakang.
"Brinda, mana ayah?" Sakura menanyakan hal itu sambil melihat ke sekeliling meja makan yang hanya ada mereka berdua dan seorang pria lanjut usia memakai setelan jas hitam berdiri di sudut meja makan.
"Tuan besar sudah berangkat sejak pagi tadi, tuan muda." Brinda menjawab pertanyaan Sakura itu sambil sedikit menunduk dan tidak melihat Sakura.
"Oh, begitu..." Sakura hanya tersenyum pahit seolah hal ini sudah biasa terjadi.
Sakura menyantap sarapannya dengan tidak berminat sama sekali. Belum sampai 5 menit dia makan, dia mengelap mulutnya dan beranjak dari tempat duduknya.
"Sebastian, siapkan mobil !" Sakura mengatakannya kepada pria lanjut usia yang berdiri di dekatnya itu.
"Baik, tuan muda."
" Tuan muda Sakura, anda hampir tidak menyentuh sarapan anda. Semalam juga anda tidak ikut makan malam, bukan ?!"
"Aku tidak berselera. Lagipula aku tidak lapar." Sakura melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun, meninggalkan wanita itu yang melihatnya melihatnya dengan cemas.
Tak lama, Sakura pun sampai di sekolahnya. St. Belletary Academy. Kedatangannya menarik perhatian banyak orang. Tentu saja. Tidak banyak murid yang datang ke sekolah dengan mobil Mercedes Benz tipe terbaru. Tanpa memperdulikan sedikitpun tatapan orang2 kepadanya, Sakura melangkah masuk ke dalam kelasnya. Kedatangannya disambut hangat oleh beberapa cewek yang langsung menyerbu ke arahnya.
"Selamat pagi, Sakura !"
"Ya, selamat pagi." Sakura hanya menimpalinya dengan sedikit senyum di wajahnya.
Saat Sakura nyaris menempati tempat duduknya, ada seseorang yang menepuk punggungnya dengan lembut dari belakang.
"Hei, semalam itu benar kau, kan?"
Sakura pun berbalik dan melihat orang yang tepat berada di belakangnya.
Seorang pria bertubuh cukup besar dan tinggi. Rambutnya cukup pendek bewarna coklat kehitaman. Raut senang tergambar di wajahnya sewaktu melihat Sakura. Pria yang semalam dilihatnya dari jendela kamarnya.
"Aku lho, yang semalam pindah ke sebelah rumahmu. Rumahmu besar sekali, ya?! Apalagi dibandingkan dengan rumahku."
Sakura sama sekali tak berminat pada apa yang dikatakan pria itu. Dia hanya mendengarkannya dengan tidak tertarik.
"Lalu, kenapa?"
"Eeh...eemm...kenapa? Eh, yah. Maksudku, kita kan sekarang menjadi teman sekelas sekaligus 'tetangga'. Jadi, mungkin kita bisa menjalin hubungan yang lebih akrab. Oh, iya. Mungkin kau tidak ingat. Namaku Reiji." Seraya mengulurkan tangannya hendak bersalaman.
"Aku tak tertarik !" Sakura menimpalinya dengan dingin dan kembali duduk tanpa memperdulikan Reiji yang terdiam mendengar kata-katanya.
"Hei, kau ini apa-apaan sih? Aku kan bicara baik-baik padamu !"
Emosi Reiji saat itu juga meledak dan dia menarik pundak Sakura ke arahnya.
Tapi Sakura hanya memandanginya sebentar dan berkata
"Terus ? Mau memukulku?" dan kembali diam, hanya menatap tajam Reiji.
"Uukhh..." Memandangi wajah Sakura dan mendengar kata-kata seperti itu, Reiji pun tidak dapat bertindak maupun berkata apapun lagi. Dia hanya melepaskan pegangannya dari Sakura dan beranjak pergi ke tempat duduknya dengan kesal.
Sesampainya di rumah, di depan pintu gerbang berdiri Brinda yang sudah menanti kepulangannya.
"Selamat datang, tuan muda."
"Ada apa, Brinda ? Tidak biasanya kau menungguku di depan gerbang seperti ini."
Brinda menjawab dengan ragu-ragu dan cemas.
"Tuan besar...sudah menunggu anda dari tadi di ruang tengah."
"Apa...untuk apa dia mencariku ? Mau apa dia kali ini ?!"
"Se...sepertinya kepala koki melapor kepada tuan besar mengenai keadaan tuan muda yang semakin jarang menyantap makanan yang disediakannya." Kali ini, Brinda menjawabnya dengan perasaan takut dan cemas.
"Oh, karena itu dia mencariku ?!" Lagi-lagi Sakura mengeluarkan ekspresi yang seperti sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.
"Maafkan saya. Seharusnya saya bisa menghalanginya." Brinda menunduk dan tidak berani melihat wajah Sakura.
"Tak apa. Bukan salahmu. Kau juga tak akan bisa berbuat apapun. Tidak masalah. Aku sudah terbiasa." Sakura tersenyum kecil pada Brinda dan melangkah masuk ke dalam rumah. Dan Brinda hanya bisa berdiri mematung mengantar kepergiannya dengan cemas.
"PLAKKK !" dan satu tamparan mendarat di pipi Sakura.
"Apa maumu, hah ?!"
Sakura terduduk di lantai dan tidak berniat melihat ayahnya yang memukulinya.
"Tidak makan berhari-hari... Apa kata orang nanti ! Aku tidak memberimu makan dengan segala kecukupanku ?! Itu yang kau mau, hah ?! Anak sialan !"
Sakura tidak menjawab. Dia tahu, menjawab apapun tidak akan ada gunanya. Dia hanya diam dan memegangi pipinya yang ditampar.
"Sekarang, kau makan ! Jangan buat aku semakin kesal melihat perilaku mu !
Sakura pun beranjak bangun dengan patuh dan duduk di meja makan. Sedangkan ayahnya keluar dari ruang makan dengan kesal. Di depan pintu ruang makan, dia berhadapan dengan Brinda yang melangkah masuk.
"Tuan besar, anda tidak ikut makan bersama dengan tuan muda ?"
"Aku tidak berselera. Lagipula aku tidak lapar !" Dia mengatakannya keras-keras dengan penuh kekesalan dan beranjak pergi dengan cepat. Tak lama, terdengar suara bantingan pintu depan dan suara deruman mobil.
"Tuan muda baik-baik saja ? Astaga ..., sampai seperti ini..." Brinda melihat bekas tamparan di pipi Sakura dan tampak cemas melihatnya.
"Tidak masalah. Untung cuma segini." Sakura melihat makanan yang terhampar di hadapannya dengan jijik, namun dimakannya juga sambil menggerutu.
"Kenapa tuan besar tidak mau makan bersama saja,ya ?"
Sakura terhenti makan sebentar dan tersenyum pahit dengan tatapan kosong.
"Brinda, dia tidak mau makan karena ada aku. Mana mungkin dia mau makan 1 meja denganku ?"
Dan kemudian melanjutkan makannya kembali.
"Haahh... Padahal kalian berdua sangat mirip. Yang dikatakan tuan besar barusan tadi sama persis dengan kata-kata tuan muda semalam."
Sakura berusaha tidak memikirkan kata-kata Brinda dan terus menyantap makanannya dengan tidak berselera.
"Braakk"
Sakura menutup pintu kamarnya dengan kasar dan kemudian mendudukkan dirinya dengan pasrah di pinggir tempat tidurnya. Lama dia hanya tertunduk diam tanpa suara seperti itu. Sampai akhirnya dia mengangkat kepalanya dan melihat cutter yang terletak di sebelah tempat tidurnya. Seolah menunggu untuk dipakai. Sakura pun menyambarnya secepat mungkin. Mendorong keluar pisaunya dan mengarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Nyaris pisau itu menyentuh pergelangan tangannya, gerakan Sakura terhenti karena mendengar suara dari luar jendelanya. Dia beranjak dari posisinya dan melihat ke jendela dari mana asal suara yang didengarnya.
" !"
Suara tawa yang menggelegar keluar dari rumah di sebelahnya. Dari jendela kamarnya, Sakura dapat melihat adegan dimana Reiji beserta kakek dan neneknya sedang bersenda gurau di suatu ruangan sambil menyantap makan malam. Melihat adegan itu, seketika di hati Sakura timbul perasaan iri dan benci yang selama ini belum pernah dirasakannya sejelas ini. Dia memandang potongan gambar yang terpantul di matanya itu dengan perasaan yang tak menentu.
Perhatian Sakura terputus karena melihat pandangannya bertemu dengan Reiji yang menyadari keberadaannya dan ikut melihat Sakura. Tirai jendela yang sejak tadi dicengkramnya kuat-kuat sekarang ditariknya sekuat tenaga sehingga dalam sekejap menutupi jendela kamarnya dari pandangan Reiji.
Seketika itu juga Sakura merasa mual. Perutnya serasa menolak makanan yang tadi dia makan.
Dengan kecepatan penuh Sakura berlari ke kamar mandi di kamarnya dan berhenti di depan washtafel. Di kepala Sakura terlintas potongan adegan sewaktu dia ditampar ayahnya dan adegan dimana tetangganya bersenda gurau.
"Sialan..."
"Sialan...Sialan...Sialaaann!" Sakura berteriak kesal sambil memukul-mukul permukaan washtafel dengan kepalan tangannya.
"Dia menyuruhku makan?! Bagaimana mungkin aku bisa makan di rumah ini?! Dengan keadaan seperti itu kau menyuruhku menyantap makanan, sialan ?!"
Dia merasa sangat mual. Makanan yang dimakannya tadi serasa ditolak mentah-mentah oleh tubuhnya.
Dia muak oleh apa yang dia masukkan ke dalam tubuhnya. Ingin rasanya dia mengeluarkan segala yang masuk ke mulutnya tadi.
Tiba-tiba terpikirkan sebuah ide terburuk di kepala Sakura.
"Ya, aku pernah mendengarnya di televisi. Mungkin aku bisa mencobanya." Pikir Sakura.
Dengan perlahan, Sakura mengarahkan jari-jari tangannya yang gemetar ke arah mulutnya.
"Tak apa-apa. Aku pasti baik-baik saja. Aku pasti bisa melakukannya."
Dengan takut-takut, Sakura mulai membuka mulutnya dan mengarahkan kedua jari tangannya ke dalamnya.
"Tak apa-apa ! Aku pasti bisa. Ini hanya menakutkan awalnya saja. Sama seperti sewaktu aku pertama kali menoreh tanganku." ulang Sakura dalam hati.
Jari-jari Sakura perlahan masuk ke dalam mulutnya. Genangan air mata mulai membasahi ujung-ujung mata Sakura hingga akhirnya jarinya menggapai ujung tenggorokannya.
"Ukhh..."
"Houukk...Hoeeekk..." Dan berhasil. Sakura memuntahkan kembali makanannya.
"Hookk... ohookk...ohouukkk..." Sakura terus memuntahkan makanannya sampai air matanya mengalir dengan deras.
"Ohokk...uhukk...uhukk..." Sakura akhirnya selesai melakukan aksi muntahnya dan mulai mengatur nafasnya kembali. Kepalanya masih tertunduk memandang aliran air yang mengalir deras di washtafel. Dia bermandikan keringat dan seluruh tubuhnya gemetaran.
"Haahh...Berha..sil...Hahhh...Hahhhh...Aku berhasil..." kata Sakura dengan senyum bergetar yang bersungging di wajahnya.
"Hahaha...Aku berhasil! Ternyata sangat mudah. HAHAHAHAHA..." Sakura tertawa keras dengan satu tangan yang menutupi wajahnya dan mendongkakkan kepalanya ke atas.
