Disclaimer : Selamanya Bleach bukan milik saya melainkan punya Tite Kubo sensei, saya hanya meminjam karakter-karakternya untuk kepentingan pembuatan fic ini.
Warning! AU, OOC, gaje bin abal, bahasanya aneh, ngaco, Neliel's POV, dan err—entahlah!
Saya persembahkan fic ini sebagai request untuk Fayaluzzaline, salah satu teman saya yang manis dan imut di FFN. Saya harap, kamu dan senpai-senpai sekalian terhibur dengan persembahan dari saya. Selamat membaca dan ditunggu review-nya. m(-_-)m
Bukan Salahmu, Grimm...
Pairing : GrimmNel
Rated : M for implisit lemon
Presented by : Rigel Pendragon Draven
Special Requested from Fayaluzzaline (I hope you like this story, my friend)
Genre : Romance/Angst
Kecemburuanku tak dapat kutahan lagi. Aku berlari meninggalkannya di tengah kerumunan teman-teman sekampusnya. Perempuan yang dipanggilnya Tia itu membuat darahku menggelegak. Sikapnya terhadap Grimmjow begitu manja. Sikap Grimmjow terhadapnya pun begitu mesra. Dianggap apa aku ini? Mentang-mentang aku masih SMA lalu diangap masih bau kencur di depan mereka yang rata-rata sudah mahasiswa? Cih! Atau karena aku adalah orang luar di antara mereka?
Aku mendengus keras. Kalau saja Grimmjow tak setengah merengek mengajakku menemaninya ke pesta itu, aku tak akan mungkin mau. Tapi kalau dia sudah seperti itu, aku benar-benar tak tega untuk menolaknya.
Masih kuingat dengan jelas, bagaimana pria berambut biru itu membujukku beberapa hari yang lalu...
Flash Back...
"Mereka—teman-temanku—pasti akan datang bersama pasangannya ke pestanya Orihime. Masa' hanya aku yang datang sendirian? Percuma dong punya pacar," kata Grimmjow berusaha membujuku. Aku menghela nafas, tak habis pikir. Kenapa dia mau jauh-jauh datang ke rumahku hanya untuk meminta kesediaanku hadir di pesta temannya yang baru saja disebutkannya itu.
"Lusa kami ada ulangan, Grimm," balasku dengan nada memelas, memohon untuk tidak dipaksanya ikut.
"Kita cuma sebentar, kok. Satu jam saja cukup. Sekedar memenuhi undangan Orihime saja. Orihime teman baikku, Nel. Dia akan kecewa kalau aku tidak datang. Lagipula, katanya dia ingin kenal dengan kau. Aku sering menceritakan hubungan kita padanya, makanya dia penasaran ingin kenal dengan calon Nyonya Jeagerjaquez, begitu katanya," Grimmjow terus mendesakku. "Tolonglah, Nel! Satu jam saja! Ya?" pintanya lagi dengan nada berharap.
Aku tercenung sejenak. Berusaha menimbang-nimbang permintaan pacarku itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Lusa ulangan Kimia, dan soalnya pasti nggak tanggung-tanggung rumit dan banyaknya. Mana gurunya masuk ke dalam kategori 'killer' lagi! Duuuhh!
"Ayolah, Sayang," sekali lagi Grimmjow membujuk ketika dilihatnya aku tengah berpikir keras.
Aku pun akhirnya mengalah melihat wajahnya yang memelas itu. "Tapi janji, tak boleh lebih dari sejam, ya?"
Grimmjow menganggukkan kepalanya dengan semangat. Dia gembira sekali mendengar aku mengiyakan untuk datang ke pestanya Orihime.
End of Flash Back...
Tapi... keparat. Siapa si Tia itu? Pacar Grimmjow kah? Ah, mustahil ia tega mengkhianatiku. Tapi mengapa sikap mereka begitu mesra? Pasti, pasti! Grimmjow mempermainkanku selama ini.
Melihat semua itu terjadi di depan mataku membuat pikiranku kalut, tapi aku terus saja berlari ke jalan. Sebuah angkot lewat. Aku melambaikan tangan. Angkot itu berhenti, dan aku pun buru-buru naik. Dari atas angkot yang mulai berjalan, aku melihat dari kejauhan Grimmjow berusaha untuk mengejarku, tapi ia terhenti ketika dilihatnya aku telah naik angkot.
Ia mungkin kecewa dan marah melihat sikapku yang dianggapnya terlalu cemburuan dan kekanak-kanakkan. Tapi, masa bodohlah! Aku yakin, ia pasti punya hubungan yang istimewa dengan si Tia itu. Perempuan pesolek genit yang kurasa memang lebih cantik daripada aku. Aku menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat. Berusaha membuang jauh-jauh pikiranku yang tengah membanding-bandingkan diriku dengan wanita sialan itu.
Ketika pikiranku telah jernih kembali, kulihat ke sekeliling tempat yang dilalui oleh angkot ini. Angkot yang kutumpangi membelok ke sebuah jalan kecil tak beraspal dan penuh kubangan. Aku mengernyitkan alis. Ini bukan rute yang seharusnya. Tubuhku bergoncang-goncang karena angkot berjalan cukup cepat dan tanpa mempedulikan kubangan-kubangan yang menganga di sepanjang jalan itu.
Aku melihat ke arah kaca depan, mencoba memastikan apakah aku salah naik? Ternyata tidak! Angkot ini memang melayani rute yang lewat di ujung jalan arah ke rumahku seperti yang dapat kubaca di kaca depan secara terbalik. Aku mulai curiga. Terlebih-lebih setelah kulihat tiga lelaki yang duduk di samping dan di depanku tersenyum-senyum aneh melihat keheranan yang bercampur dengan kecemasan tertera di wajahku.
Sejak naik tadi, aku tak memperhatikan penumpang lain, mereka bertiga. Kini perhatianku terpusat pada mereka. Seorang penumpang lain yang duduk di depan, di samping sopir, juga melihat ke belakang, ke arahku sambil tersenyum-senyum. Pandangan mata mereka begitu menakutkanku. Aku segera tersadar kalau aku berad dalam bahaya.
Belum sempat aku berpikir lebih jauh, mendadak angkot menikung dengan mendadak, membuatku kehilangan keseimbangan, sehingga tubuhku terjungkal ke depan. Tetapi lelaki berewok yang ada di depanku segera memegangiku dengan sigap.
Aku kaget ketika angkot berhenti, juga dengan cara yang sangat mendadak, sehingga kembali aku terjatuh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya. Mereka tertawa-tawa, tapi tak satu pun dari mereka yang berbicara.
Aku melihat keluar, dan sadar bahwa angkot berhenti di halaman gedung sekolahan yang belum jadi. Yang ada baru temboknya saja.
"Apa-apaan sih?" sungutku ketika terasa di pahaku tangan lelaki yang memegangiku, merayap dengan jahil.
Mereka semakin tertawa.
"Seret dia ke dalam bangunan!" teriak lelaki yang tadi duduk di samping sopir, dan kini telah berdiri bersama si sopir di depan pintu angkot.
Aku meronta dan berteriak minta tolong. Tapi, sebilah katana berkilat tajam telah menempel di depan leherku.
"Teriaklah! Biar kugorok lehermu!" bentak lelaki berambut hitam panjang yang memegangiku.
Aku semakin gentar. Dan dengan paksa mereka mengeluarkan aku dari angkot, dan menyeretku ke dalam bangunan sekolah yang belum jadi itu. Oh, Tuhan! Aku mencoba berontak, tapi hasilnya gaunku robek dan memperlihatkan sebagian tubuh atasku. Dua orang di antara mereka mencengkeram kedua belah tanganku, dan memitingnya ke belakang. Sebuah tendangan di betis membuatku terjerembab ke tanah.
Lelaki brewok yang berambut coklat panjang yang tadi duduk tepat di depanku sewaktu di atas angkot, langsung menjatuhkan dirinya menerkamku setelah merobek sisa kain di tubuhku. Tubuhnya yang besar dan berat menindihku dan memasukiku dengan kasar. Aku meronta-ronta, tapi tenagaku jelas kalah. Dan sesuatu yang paling mengerikan terjadi dalam hidupku. Aku menangis. Ketakutan. Kesakitan.
Aku menjerit. Sia-sia. Tak ada yang mendengar, kecuali mereka berlima. Empat temannya yang berdiri memperhatikan tubuhku sambil menyeringai. Aku ketakutan setengah mati. Lelaki brewok itu membalikkan tubuhku dan kembali memasukiku dengan kasar. Bisa ditebak kalau aku hanya bisa menjerit dan menangis karena sakit.
Waktu terasa berjalan lambat. Aku merasa dadaku lapang sesaat, tetapi memang hanya sesaat. Karena kini ada yang menggantikan lelaki brewok tadi. Kembali aku menjerit.
Putih. Putih sekelilingku. Warna putih begitu dominan dalam ruangan tempatku berbaring. Bau refisol menyapa indera penciumanku. 'Ini... Rumah Sakit?' pikirku.
Aku berusaha untuk mengerjap-ngerjapkan mataku. Karena bayangan orang-orang di depanku sangat terlihat samar, meski akhirnya menjadi sosok-sosok yang jelas. Tou-san, Kaa-san, Apache adikku, seorang perawat, dan yang seorang lagi... mungkin dokter. Mereka mengelilingi pembaringanku. Di wajah Kaa-san yang kuyu, ada airmata menetes. Di wajah Tou-san juga. Di pipi Apache juga.
Kucoba mengumpulkan ingatan. Dan aku menjerit sejadi-jadinya. Perawat dan dokter, dibantu Tou-san memegangiku dan berusaha menenangkanku. Jeritanku melemah dan akhirnya sirna setelah dokter menyuntikku. Suntikan penenang, cukup untuk meredakan ketakutanku atau trauma yang baru kualami. Baru? Aah, belakangan aku tahu kalau aku... tak sadarkan diri selama dua hari dua malam.
Kaa-san membelai rambut hijau toskaku. Kucoba tersenyum. Lemah. Berat. Dan lidahku terasa getir.
"Tabahkan hatimu, Anakku," kata Kaa-san di sela isaknya.
Apache mendekat dan memelukku. "Nee-san!" teriaknya sambil menangis. Aku membalas pelukannya.
Tou-san hanya berdiri mematung sambil menundukkan wajahnya. Sesaat sepi hadir memagut. Kami semua tenggelam dalam bisu. Dalam lidah kelu. Hanya hati yang berbicara. Berbaur. Bercampur. Tak jelas. Seluruh ruang putih bersih. Aku tersenyum kecut. Aku tak putih lagi. Aku tak bersih lagi.
Sepi terusir ketika Tou-san memecahkan dukanya dengan isak. Dan dengan suara serak, beliau berkata, "Perbanyak sabar, Anakku. Cobaan Tuhan ini memang begitu berat. Tapi dukamu akan kita bagi rata. Kuatkan imanmu, Sayang."
Aku mengangguk lemah. Kucoba kembali mengingat-ingat apa yang telah kualami. Grimmjow. Angkot. Bangunan sekolah. Lelaki-lelaki buas hingga lelaki ketiga. Itu saja yang bisa kuingat. Selebihnya gelap. Kaa-san agaknya dapat menebak apa yang kupikirkan.
"Kau ditemukan oleh dua orang bocah kecil yang sedang bermain petak umpet di bangunan sekolah itu dalam keadaan pingsan. Mereka memberitahu penduduk, dan atas pertolongan penduduk kampung, kau diantar ke rumah sakit ini. Bajingan-bajingan itu sekarang sedang dicari polisi," Kaa-san menuturkan apa yang terjadi setelah aku pingsan.
Aku diam. Apatis. Dapat atau tidaknya bajingan-bajingan pemerkosa itu, toh milikku yang hilang tak akan pernah kembali lagi. Tak akan pernah.
"Grimmjow juga sudah dua kali kemari sewaktu kau masih pingsan, Nak," kata Kaa-san melanjutkan. "Ia juga sangat terpukul setelah mendengar musibah ini. Dan ia merasa semua itu adalah kesalahannya. Dan sudah dikatakannya kepada Kaa-san dan Tou-san bahwa dialah yang bertanggungjawab atas peristiwa tragis ini, karena dia yang mengajakmu ke pesta Orihime."
"Kesalahpahaman yang terjadi di antara kalian juga—sehingga kamu pulang sendiri—juga telah diceritakannya kepada kami," kata Tou-san menimpali.
Aku tetap diam. Bagaimana bentuk kesalahpahaman itu? Akukah yang salah paham? Tapi buah dari kesalahpahaman itu—seandainya yang terjadi memang kesalahpahaman—aib dan kepedihan yang kutanggung, hanya aku yang merasakannya. Grimmjow tak dapat merasakan kesakitan yang kualami. Batasnya hanya perasaan simpati dan turut berduka, paling-paling tak jauh dari itu. Apa gunanya bagiku? Masa depanku sebagai wanita telah hancur. Ia toh bisa saja mencari gadis lain yang masih utuh, seperti Tia barangkali. Ah, mengingat itu, pikiranku bertambah galau.
"Sebaiknya ia dibiarkan beristirahat dulu, Pak, Bu," tegur perawat yang sejak tadi ada di antara kami. Aku menoleh ke arahnya. "Jangan terlalu banyak berpikir dulu, Dik Neliel," sambungnya. Kali ini terhadapku, sambil tersenyum. Aku mencoba membalas senyumannya dengan sunggingan pipi yang lemah dan perlahan.
Tapi aku tetap berpikir. Masa depanku. Teman-teman di sekolah. Seandainya mereka tahu. Ah, mungkin mereka bersimpati, tapi mungkin juga mencibir. Membayangkan itu aku jadi ingin berhenti sekolah, atau mungkin pindah saja ke sekolah lain. Tapi toh tinggal beberapa bulan lagi, aku akan tamat SMA. Apakah aku harus bertebal muka, seandainya mereka memandangku dengan sinis? Bukankah semua ini bukan kehendakku? Oh, Tuhan! Ampuni hamba-Mu ini.
Aku tak bisa beristirahat seperti anjuran perawat yang mengawasiku, karena apa yang barusan kupikirkan kini muncul di pintu. Serombongan teman-teman sekelasku bersama Bu Rangiku—wali kelas—menjengukku. Mereka menyalamiku dan teman-teman wanita juga mencium pipiku.
"Tabah ya, Nel," begitu bisik mereka lembut di telingaku berulang-ulang. Setiap yang mencium pipiku atau menjabat tanganku... selalu mengucapkan kalimat itu. Tabah ya, Nel.
Ah, ternyata mereka tak mencibirku. Tapi, mungkin sekarang. Bagaimana nanti? Yah, setidaknya kehadiran dan sikap yang mereka tunjukkan cukup menyejukkan hatiku. Mereka toh tahu apa yang kualami adalah kecelakaan yang tak pernah kukehendaki, dan pasti juga tak pernah dikehendaki oleh wanita lain mana pun di dunia ini.
Tapi bisa saja datang menimpa sewaktu-waktu. Sering kubaca di surat kabar berita-berita pemerkosaan, tapi tak pernah terpikirkan olehku akan mengalaminya suatu saat. Kini mungkin juga kejadian yang kualami telah dibaca orang banyak di surat kabar. Dan komentar mereka akan beragam, atau menganggapnya kejadian biasa barangkali.
Teman-temanku yang sekitar tiga puluhan itu tak dapat berlama-lama menjengukku, karena jumlah mereka yang terlalu banyak itu mungkin dianggap perawat mengganggu ketenanganku sebagai pasien, sehingga ia meminta mereka keluar ruangan. Dengan patuh mereka mengikuti perintah perawat itu. Kulihat mereka berkerumun di pintu masuk. Di dekatnya Kaa-san sedang berbicara dengan Bu Rangiku. Tak terdengar olehku apa yang mereka bicarakan. Tapi pastilah tentang aku.
**TBC**
Curhatan sang author :
Faaayyy, maaf baru saya publish sekarang. Kemaren saya dilarang pakai komputer malam-malam sama Tou-san, makanya jadi tak bisa saya publish. Euuuhh, kenapa ficnya jadi seperti ini, ya? Ampun, ternyata UAS telah membuat otak saya kacau balau. Dan eeeuuu, kenapa saya malah bikin rate M yang seperti ini? Gomenna atas imajinasi nista saya ini. *mesum amat sie?* Maafkan saya dan cerita gaje saya ini, Fay. Saya harap ceritanya bagus dan tidak mengecewakan.
Saya mohon maaf sebesar-besarnya kalau gaje, abal, nggak nyambung, nggak bisa dimengerti, dan lain sebagainya, minna- chan. Jika ada typo, tolong beritahu saya, ya?
Sampai jumpa di chapter selanjutnya! Saya harap two shoots ini berkenan di hati kalian para pecinta Bleach.
Keberatankah jika saya meminta saran dan kritiknya lewat REVIEW?
PLEASE
REVIEW
IF
DON'T
MIND
