DIVER
by Satsuki Tsuri
Naruto is Masashi Kishimoto has.
.
Aku 99% yakin sedang bermimpi.
Alasan mengapa aku begitu yakin aku sedang bermimpi adalah, pertama kumpulan orang berbaju hitam yang mengelilingi sebuah makam dengan anomali musim panas adalahnya nyata. Sepanjang ingatanku hal itu terjadi lebih dari bertahun-tahun yang lalu. Semakin berjalannya waktu ingatan itu terasa begitu rapuh dan menyadarkanku bahwa saat itu adalah peristiwa yang tak perlu diingat, dan –kedua, aku sedang menatap Hana Inuzuka berjalan menyisir kerumunan orang berbaju hitam yang perlahan hilang disapu oleh setuhan tangannya yang lembut. Bukan suatu hal yang aneh –kalau saja Hana Inuzuka telah meninggal lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Berdiri tak lebih dari sepuluh meter dariku dan menatapku sudah menjadi bukti solid kalau aku sedang bermimpi.
Hana tak banyak berubah; wajahnya masih sama seperti yang kuingat. Rambut coklatnya yang indah tergerai dan tampak masih begitu lembut. Wajahnya yang lembut dihiasi senyum tipis yang begitu manis. Lama –hingga aku tak sadar perlahan ia mendekat ke arahku seiring dengan langit yang mulai meredup.
Aku membuka mulut –ingin bertanya bagaimana aku bisa memimpikannya setelah bertahun-tahun yang lalu –namun tidak jadi setelah melihatnya begitu dekat. Pertanyaan yang tadi sudah di pangkal tenggorokanku kembali kutelan. Sekejab –aku menangis ketika menyadari aku begitu merindukannya. Sahabatku –yang telah meninggal bertahun-tahun yang lalu datang dalam mimpiku.
Hana memandangku lama sekali –sebelum akhirnya menyentuh pergelangan tanganku. Kulitnya terasa dingin dan keras seperti marmer hingga bisa kurasakan rasa tersengat begitu ia melepaskannya. Kami berdiri di sebuah lengkungan pohon yang begitu kukenali. Di Konoha. Tak lama –ia menuntunku lagi. Kami menuju sebuah bukit kecil di sebuah ujung gapura kuno. Disana berdiri pohon sakura yang berbunga penuh. Langit sudah gelap ketika kami sudah sampai dipuncak dan Hana telah hilang –digantikan sosok Kazahana Koyuki yang semakin melebur seiring terpaan angin.
Di depan pohon sakura itu berdiri seseorang. Begitu gelap dan dingin. Ia menghampiriku dengan langkah ringan –yang anehnya seolah bisa menyerap seluruh oksigen di terdekatku. Kepalaku mendadak pusing ketika melihat sosok itu begitu jelas –lebih seksama. Ia masih sama.
"Selamat datang kembali." Bisiknya.
Aku terbangun kaget –kelopak mataku terbuka lebar –dan terkesiap. Beberapa saat –seolah sedetik, cahaya terang benderang menyerbu mataku yang telanjang –menggantikan sinar buram yang kuingat dari mimpiku. Hangat –dan beruntung aku sadar kalau aku masih di ranjangku. Aku tersenyum lega ketika melihat Ibuku berdiri dihadapanku, -setidaknya aku hanya bernar-benar bermimpi.
"Aku tidak tahu kenapa kau masih memakai jam weker yang jelas-jelas tidak berfungsi padamu." Katanya sebal sebagi pengganti ucapan selamat pagi.
Aku segera berjinjit ke kamar mandi sebelum Ibuku akan mengkuliahiku atas jam weker tidak bersalah. Mendengarkannya bicara tanpa henti setidaknya lima belas menit cukup membuat telingaku panas dan kepala pusing. Hal itu akan terulang setiap paginya –yang sialnya tidak pernah bisa kuhindari.
Pagi hari adalah saat dimana aku terkurung selama –minimal setengah jam untuk sarapan dan berhadapan dengan Ibuku. Tinggal dengannya hampir separuh hidupku tak cukup membuatku terbiasa dengan sikapnya yang terlalu antusias untuk menatapku sedang menyantap panekuk di seberang. Barangkali ia harus memastikan panekuk-ku masuk ke mulut dan tidak dibuang –seperti yang sering kulakukan saat berumur 5 tahun. Tapi itu tak lebih buruk ketika Ibuku menatap intens seolah aku berlagak tidak tahu diri yang telah tertangkap basah berbohong. Hal itu akan sangat mengganggu dan tidak rasional bahkan mengingat Ibuku bisa menghitung jumlah kedipan mata kiriku ketika bohong.
Aku memang tidak terlalu baik pagi itu. Mimpi yang menyerangku barusan –entah kenapa menciptakan kegelisahan yang membuatku semakin takut saat mengingat keberangkatanku ke Jepang nanti malam. Ibuku pasti akan curiga kalau aku membatalkannya tiba-tiba tanpa dilandasi alasan berbobot baginya dan terlalu merepotkan untuk menjelaskan mimpiku semalam yang berhasil membuatku paranoid.
Sebenarnya Ibuku tidak begitu mengerikan. Pada dasarnya, Ibuku adalah seorang yang berisik, dengan otak kreatif dan sangat aktif. Sikap yang diturunkannya pada adikku, Naruto. Selebihnya Ibuku adalah orang yang baik dan cukup menyenangkan di beberapa waktu. Meskipun terkadang aku sangat mengeluhkan sikapnya yang kelewat antusias terhadap suatu hal dan tipe yang sangat mudah dibodohi –kecuali orang yang (tanda kutip) dekat dengannya -, kau justru yang akan dibodohi.
Ibuku selalu mengerti diriku, entah apa yang kurasakan, kulakukan, dan kupikirkan ia akan tahu. Sama halnya sekarang –ketika ia merasakan suatu hal yang ganjil, ia kan mengerjap dan menatapku seolah ingin menusuk mataku dengan sumpit dan sedikit mengancam lewat hembusan napasnya yang tajam. Sungguh –meskipun begitu, Ibuku tidak semengerikan itu.
"Katakan padaku." Katanya terdengar tak ingin dibantah.
Aku mengacuhkannya dan menghindari tatapan matanya. Kalaupun ia mendapatkanku –kebohonganku untuk berlagak tidak ada apa-apa akan terbongkar. Dan ia –memang sangat mengerti diriku dan memilih untuk diam. Meskipun aku tahu sudah tersusun rencana untuk membuatku membuka mulut –namun kuhindari untuk memikirkannya. Rasanya terlalu berat untuk membahas mimpiku yang aneh di tengah pagi yang mendung di langit Paris.
"Naruko." Ibuku berkata untuk ribuan kalinya padaku –kali ini terdengar putus asa, "Apa harus secepat itu? Kita bisa ke Jepang bersama minggu depan."
Aku tidak pernah suka mengangkat topik ini. Terlebih ketika di hari keberangkatanku nanti malam dan di pagi yang sebenarnya cukup buruk untukku dan membuatku untuk menangis saat itu juga.
"Mom, kami tidak bisa menundanya lebih lama lagi. Kita sudah bicarakan ini ratusan kali." Kataku jengah –sebisa mungkin memberikan kesan kalau aku terlalu membahas topik ini. Ibuku –Uzumaki Kushina sangat tahu maksudku dengan 'kami'. Ia hanya diam dan memainkan potongan panekuk yang sudah dingin tanpa berniat menyuapnya sekali lagi.
"Kau tinggal dimana? Minato?"
"Tidak mungkin, Mom. Terlalu jauh dari agensi." "Aku tinggal dengan Sasori." Tambahku meyakinkannya. Dan sejauh yang kutahu akan berhasil.
"Shit! Kenapa aku harus setuju saja dengan Sasori? Menyebalkan, dattebane!"
Akasuna Sasori adalah tunanganku sejak lima tahun lalu, dan setelah cukup lama berpikir, kami memutuskan menikah di Jepang –satu ini atas permintaan Ayahku, Minato. Pernikahan kami akan berlangsung Mei nanti –yang artinya masih dua setengah bulan terhitung dari sekarang. Kushina –adalah satu-satunya orang di keluargaku yang sangat menyukai Sasori dan begitu akrab dengannya, berbanding 1800 dengan Minato dan Naruto. Mereka benar-benar akan memusuhi Sasori ketika kami bertemu dibeberapa waktu di tengah kesibukan dan jarak benua antara kami.
"Mom menyukainya. Jangan mengelak."
"Oke, oke. Aku memang menyukainya. Tapi awas saja, bergesek sedikit saja, aku masih menyimpan revolver di balik pakaianku."
"Simpan itu, Mom. Kupastikan tidak akan terjadi." Lalu kami tertawa.
Malamnya, Kushina mengantarku ke bandara Charles de Gaulle. Butuh lima belas menit bagi Kushina untuk benar-benar melepaskanku naik pesawat. Meskipun kurasa tidak perlu karena seminggu lagi kami akan bertemu. Namun, tak dapat kupungkiri, meninggalkannya selama seminggu mungkin akan menjadi sedikit kerusuhan. Kushina jelas adalah orang yang ceroboh dan labil, -butuh persiapan kalau sampai meninggalkannya lebih dari seminggu. Tapi, aku menahan diriku untuk tidak menangis, dan memeluknya erat sekali. Setelah itu, aku naik pesawat dan Kushina pun pergi.
Memakan waktu sebelas jam empat puluh lima menit untuk terbang dari Paris ke Tokyo, empat puluh lima menit menumpangi kereta api ke Stasiun Konoha, lalu dua puluh menit lagi untuk perjalanan ke apartemen Sasori. Sejauh ini tak ada masalah untuk perjalanan udaraku, -yang membuatku resah adalah disaat bersama Sasori.
Selama di pesawat, aku tertidur dan kembali memimpikan mimpiku yang sama. Jelas saja, aku hampir memekik saat itu, dan sekeras mungkin melupakannya. Bersyukur, melihat Sasori bisa sedikit melupakan mimpiku meskipun tidak seluruhnya. Aku hanya berharap sikapku tidak akan kelihatan aneh dan tentu saja –tidak terlihat paranoid.
Sasori melambai padaku di balik puluhan orang dan berjalan menyisir diantara mereka menghampiriku. Ia langsung memelukku begitu sampai dan menciumku beberapa saat.
Kami langsung menuju mobilnya –seperti yang ia lakukan saat menjemputku, dan cukup mengerti dengan tubuhku yang lemas akibat serangan jet lag, kami sama-sama terdiam di mobil. Koperku masuk begitu saja di bagasinya, dan menit selanjutnya mobil berjalan, lalu aku jatuh tertidur.
Waktu aku membuka mata, matahari sudah separo beranjak ke langit, namun bukan cahaya yang membangunkanku. Melainkan sentuhan lembut yang terasa hangat di kepalaku. Pada saat bersamaan, rasa sakit tiba-tiba memilin perutku, nyaris seolah perutku sehabis di tinju.
"Oh, Shit!" umpatku sebelum Sasori mengatakan apapun. Aku langsung menuju kamar mandi –yang sudah sangat kuhapal –dan memuntahkan segala isi perutku di kloset. Sisa-sisa jet lag masih enggan pergi dariku. Tubuhku langsung terasa lemas, dan tertunduk di lantai.
"Oke, Oke, kau bisa mendengarku?" Sasori berkata panik. Namun, masih terlalu lemas menjawab pertanyaannya sehingga hanya menatapnya yang berlari keluar dan kembali dengan membawa segelas air. Ia menyodorkannya padaku, dan langsung kuteguk habis dalam sekejab.
Sasori menopang tubuhku dengan lengannya yang terasa hangat –yang langsung membuatku merasa baikan. Aku memejamkan mata sesaat dan merasakan lamat-lamat ketika mual dan sakit di perutku sudah mulai berkurang. Kepalaku terasa agak berdenyut, namun selebihnya aku masih bisa melihat Sasori dengan jelas. "Aku, oke. Aku oke." Sergahku ketika ia masih mengatakan hal-hal yang jelas sekali terdengar panik.
Sasori menggendongku –dan kuletakkan lenganku di sekelilingnya. Ia membawaku ke kamarku dan meletakkan tubuhku dengan hati-hati di ranjang. Ia masih bersamaku, dan aku enggan melepaskannya. Tubuhku berangsur-angsur membaik saat merasakan hembusan napasnya yang menenangkan dan hangat tubuhnya menyelimuti tubuhku.
Aku terbangun lagi saat matahari sudah tinggi, dan Sasori tak berada di sampingku. Gorden kamarku sudah terbuka –yang praktis membuat kamarku terang benderang oleh cahaya matahari. Kini aku bisa mengingat jelas bagaimana keadaan kamarku setelah kemarin tidak berdaya akibat jet lag –dan melupakan hal-hal sepele. Bagaimana nasib koperku, misalnya. Namun, tanpa kupikir lebih jauh, pakaianku sudah tertata rapi di lemari dan tentu saja aku tahu siapa pelakunya.
Aku menuju dapur saat mendapati perutku berbunyi dan menyadari aku belum makan apapun sejak kemarin. Dapur sangat rapi saat aku masuk –benar-benar tipikal Sasori. Setelah mengaduk isi kulkas –dan hanya menemukan cottage pie yang masih tersisa terparuh, segera saja kuhangatkan di microwave dan pergi mandi selagi menunggu.
Kirimi aku kabar kalau kau sampai. Apa kau kenapa jet lag lagi? kau mungkin harus naik kapal laut saja. Kamis sore aku ke Jepang, jemput aku kalau kau bisa. Dan aku mengancammu kalau tidak segera balas e-mailku. Mom
Aku mendengus dan membaca email selanjutnya sambil mengeluarkan cottage pie-ku dari microwave.
Naruko,apa yang kau tunggu? Setengah jam lagi tidak balas email-ku, aku akan telpon Minato. Mom
Yang terakhir, jelas sekali bukan Kushina. Seperti ketika ia menjadi pribadi lain saat bersama Sasori.
Oh, baiklah. Dia memang sangat ceroboh. Aku sudah telpon Minato dan mengabarinya kalau Naruko agak sakit. Aku yakin kau akan menjaganya. Pastikan ia bangun pagi tepat waktu dan makan sayur, oke? Kushina.
Kali ini aku mendengus keras sekali. Ibuku berkata seolah aku anak lima tahun yang dititipkan pada babysister. Email sebelumnya telah dibalas Sasori, yang telah meringankanku untuk mengendalikan Kushina kalau saja ia menelpon Minato sebelum Sasori membalas pesannya.
Sudah pukul satu siang –jelas saja Sasori tidak ada di rumah. Ia praktis berada di rumah sakit, dan menjelaskan pasti dugaanku setelah menemukan memo yang ia tinggalkan di pintu kulkas.
Aku di rumah sakit. Lakukan sesukamu. Lalu telepon Minato segera –Kushina sudah memperingatkanku tiga kali pagi ini. Jangan lupa, oke? Aku mencintaimu. S
Segera setelah itu aku menelpon Minato untuk memberitahunya bagaimana keadaanku dan menjelaskan sikap Sasori padaku yang tentu saja dibalas dengan gumaman tidak percaya –yang sudah kuduga. Lalu, melakukan apapun seperti kata Sasori seharian. Menonton film dan langsung tertidur begitu bagian awal di mulai.-
Hari-hariku berjalan dengan sangat normal di Konoha. Aku sudah mulai aktif melakukan pemotretan. Sejauh ini tidak ada yang mengusikku –selain mimpi-mimpi yang terasa begitu nyata –sebagian besar sama seperti malam sebelum aku terbang ke Jepang dan mimpi buruk tentang Koyuki. Tentu saja mimpiku tak beralasan, karena tidak ada satupun petunjuk murni kalau mimpiku adalah pertanda. Dan aku sekeras mungkin melupakan mimpi itu meskipun yang kutahu akan sia-sia saja.
Kushina sudah di Jepang lebih cepat dari yang di rencanakan. Ia mulai mengurusi segala tetek bengek pernikahanku, yang tidak ingin kusentuh meskipun ingin. Aku lebih menyibukkan diri berlenggok untuk Tokyo Fashion Week beberapa hari yang lalu, dan menyabet projek pemotretan banyak sekali. Sasori tak sedikitpun mengeluhkan sikapku yang mungkin acuh dengan pernikahan kami, tapi ia kerap menyeretku ketika dibutuhkan untuk beberapa hal.
Hari ini, Sasori berangkat ke Korea untuk menjenguk neneknya yang sakit. Aku menolak untuk ikut dan beralasan ada pemotretan hari ini dan tidak ingin membayar penalti –toh, ia menyerah. Aku mengantarnya ke Haneda Airport dan langsung menuju lokasi pemotretan.
Tempat pengambilan gambar kali ini di Pantai Hanosentan yang terletak di ujung tenggara Konoha. Pantai Hanosentan merupakan pantai berpasir putih yang memiliki ombak tenang yang penuh batu karang besar dan indah.
Pemotretan kali ini sedikit berbeda dari biasanya karena ada sepuluh model yang akan berpose bersama untuk gaun floral rancangan Kurenai Yuhi –pemrakarsa rumah mode Rubby. Beberapa dari mereka adalah wajah-wajah yang kuingat sewaktu aku ikut andil di Tokyo Fashion Week minggu lalu dan teman lama-ku yang menjadi kejutan.
Kazahana Koyuki –orang yang telah mengusik waktu tidurku dengan mimpi-mimpi buruk yang berkaitan dengannya. Koyuki adalah teman seperjuanganku di dunia permodelan di Paris. Belakangan ini, ia memilih berpindah karir di Jepang dengan alasan yang sama sekali tidak kuketahui.
"Namikaze Naruko!" Koyuki melambai padaku begitu masuk di tenda dan menyerbu dengan pelukan. "Ah, lama sekali tidak bertemu denganmu."
"Aku juga merindukanmu."
"Aku tidak tahu kalau kau ikut di pemotretan ini. Pasti menyenangkan sekali!" ia berkata dengan riang.
Kami tak melanjutkan obrolan lebih lama karena harus berganti baju dan segera pengambilan gambar yang berlangsung satu setengah jam. Setelah berganti dengan pakaian semula, kami –pada model berkumpul usai pemotretan di Redpoint Bar yang tak jauh dari Pantai Hanosentan.
Seperti pada umumnya, Redpoint bar adalah klub malam di pinggir pantai dengan lantai dansa dan longue mewah. Kami memesan meja bundar di tengah ruangan dan berbotol-botol bir untuk menemani. Selama satu jam bertahan, beberapa di antara kami telah pulang, begitu pun Koyuki –setelah mengabarkan ia akan menikah dalam waktu dekat. Aku segera beranjak, namun tidak langsung pulang begitu keluar dari klub.
Sudah pukul 10.30 malam, pantai sudah sepi. Aku berjalan –dengan sadar menyeret tas-ku dan masuk ke sebuah kedai yang menggelar acara gokon. Sudah agak sepi –dan tidak menguntungkan buatku masuk, aku sudah memiliki Sasori –dan laki-laki di kedai ini, tidak pantas sama sekali dibandingkan dengannya. Namun setelah ingat, Sasori tidak akan menyambutku di rumah, aku tidak ingin pulang terburu-buru.
Aku sudah memesan sebotol sake dengan asinan rebung, dan memilih duduk di meja di luar ruangan. Angin malam memang sangat dingin di musim semi –tampak wajar. Seseorang telah mengantarkan pesananku, dan tanpa ragu kuteguk langsung sake-nya dari botol.
Entah sudah pukul berapa sekarang –melihat kedai lebih sepi dari sebelum aku masuk. Beberapa diantara mereka tampak kepayahan setelah mabuk sehingga harus digotong keluar kedai. Aku mengacuhkan mereka dan diam-diam mimpi itu merebak di permukaan. Aku hampir saja terlonjak ketika bayangan Hana kembali terlintas dengan rasa khas tersetrum di pergelanganku terasa nyata. Seseorang telah duduk di hadapanku.
"Namikaze Naruko, ya?"
Suara itu mengalun begitu lembut, terasa sangat familiar.
"Wah, kebetulan sekali, bukan?" Kurasa aku tidak pernah bisa menirukan cara bicaranya yang terdengar bening dan jernih.
Aku terlonjak –kali ini berhasil –setelah menatapnya. Orang itu, yang juga berada di mimpiku. Yang membuatku terus berteriak sepanjang malam karena ia begitu menyeramkan. Namun, orang itu berbeda. Ia tidak menyeramkan. Ia masih sama seperti yang kuingat. Ia misterius.. dan menawan.. dan sempurna.. dan tampan.. dan barangkali bisa membuatku sakit jantung di menit berikutnya.
"Uchiha Itachi." Gumamku tidak percaya.
"Kau masih ingat padaku." Ucapnya yakin, seyakin aku kalau sekarang aku mulai sesak napas. "Selamat datang kembali."
Sialan! Aku ingin menangis. Air mataku sudah menggenang dan sangat sulit di tahan. "Mmm.."
"Ada apa dengan Jepang? Kukira kau betah di Perancis, begitu?" –sarkatis, tentu saja! "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi."
"Ya, kejutan yang menyenangkan." Ucapku berusaha sinis, namun lebih terdengar sia-sia. Bahkan terdengar agak rapuh di sela-sela kekuatanku untuk tidak menangis.
"Terima kasih sudah kembali." Ia berkata lirih –namun tidak cukup pelan untuk kudengar.
Kakiku terasa lumpuh saat ini. Bahkan untuk merasakannya menapak di tanah –rasanya tidak bisa. Aku tidak bisa untuk bertahan dalam siatuasi seperti ini. Kembali bertemu dengan Itachi Uchiha setelah sepuluh tahun lamanya, tak urung membuatku bisa mengendalikan diri. Mimpi-mimpi burukku sudah saling tumpang tindih, membuatku tubuhku bergetar karena takut. Angin dingin yang menerpa tubuhku terasa sangat dingin dan menggigil, dan sekeras aku mencoba, aku merasa lumpuh total sekarang.
"Ah!" Ia berseru dengan ringan, hampir membuat jantungku naik ke tenggorokan. "Bagaimana kalau kita melakukan genjata senjata?"
Dia gila!
Tubuhku –yang serasa telah terprogram untuk aktif disaat genting –membuatku berdiri. "Kau gila, ya?!" teriakku tepat di wajahnya.
Entah bagaimana prosesnya, Itachi sudah memenjarakan tubuhku antara kukungan tubuhnya dan dinding kayu kedai. Jarak kami begitu dekat hingga bisa kurasakan hembusan napasnya menampar wajahku. Sesejuk embun pagi, semanis lemon, dan sedingin angin malam. Ia mengikis jarak antara tubuh kami, dan seketika, seluruh organ dalam tubuhku tidak bekerja.
"Ya" desahnya pelan di telinga –kentara sekali terdengar putus asa. "Aku tidak pernah segila ini saat bersamamu."
Aku tak menjawab. Lidahku ikut lumpuh bersama seluruh tubuhku.
"Bukan begitu, Naruko?" Ucapnya lambat-lambat di leherku.
Bibirnya masih di leherku –menghantarkan listrik untuk mengejutkan nadiku namun tak cukup berarti untuk membuatnya berhenti. Ia semakin naik, dan menatap mataku. Perlahan, kurasakan tubuhnya memanas dan sedetik kemudian bibirnya sudah berada di bibirku.
Menakjubkan. Rasanya seperti menjilat wine berumur ratusan tahun. Bersifat adiktif –dan sangat berbahaya. Tubuhku mungkin lumpuh, namun otakku kembali bekerja. Aku berusaha melawan turus tubuhnya yang semakin menekanku. Dibalik kegilaan saat hembusan napasnya yang membuat kakiku seperti jeli, aku berkeras untuk tetap sadar.
Kami tidak seharusnya seperti ini.
Usahaku sia-sia. Api di tubuhku menyambar sekilas, dan perlahan berkobar pelan dan dalam. Menghanguskan seluruh logika dan kesadaranku. Ketika angin membawaku ke permukaan, aku teringat, aku masih tidak lupa. Itachi yang kuinginkan.
Aku tak bisa memproses dengan jelas apa yang terjadi. Namun, ketika kehangatan tubuhnya melebur dalam tubuhku –aku tidak ingat apapun, selain lintasan peristiwa sepuluh tahun yang lewat tumpah tindih bagaikan film. Perasaanku menuntunku, untuk mendekapnya, dan merasakannya lebih dalam. Dijauh yang kusadari, aku menginginkan Itachi. Dan sejak awal –logikaku terbakar, menggantikan kegilaan kami. Semuanya terasa sempurna –sangat pantas seperti yang kuinginkan.
Lama –terasa pelan, Itachi menghempaskanku dalam kelegaan, dimana kulihat ia tersenyum, hampir seperti yang kuingat, di mimpiku.-
Matahari, terasa panas di punggungku yang terbuka, membangunkanku di pagi hari. Mungkin sudah menjelang siang, atau tengah hari, aku tidak tahu. Tapi, satu yang kuketahui; hanya dimana aku di sebuah ruangan asing. Dengan jendela kamar terbuka lebar yang membuat sinar matahari menyorot masuk, dan kelambu yang melembutkan sinarnya.
Aku enggan membuka mata. Merasa bahagia untuk mengubah apapun. Yang terdengar hanyalah deburan ombak di kejauhan, hembusan napas kami, dan detak jantungku.
Ketiga hal itu tercerna lamat-lamat di otakku secara berulang. Logikaku berkumpul, menjelaskan kebahagiaan yang tidak seharusnya. Aku melompat menjauh dari ranjang dengan sangat terkejut. Secara berurutan otakku menelaahnya secara perlahan dan membuat kesimpulan dimana aku telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang sangat besar dan fatal.
Kupungut pakaianku dan memakainya kembali lalu pergi tanpa berpatah lagi. Kegilaanku membuatku sulit berpikir dan membiarkan kemarahanku meluap. Aku menyetir mobil dengan kencang dan tidak peduli bagaimana keadaanku. Aku mencoba untuk menangis, namun terasa sangat sulit dan sesak.
"Hei, Kau pulang?" Sasori –ia sudah pulang. Tepat begitu aku melihatnya, aku tidak bisa untuk tidak menangis.
Tuhan, Apa yang harus kulakukan?
_o0o_
Masih dilanjutkan.
