Drrt. Drrt.
"OR. Dokter, telpon untuk Anda."
Pria itu mengangguk. Kedua tangannya masih sibuk menjahit sisa jaringan yang terbuka. Telinga mendengar dan mata tetap terfokus.
"Yes, dengan Erwin."
'Erwin, aku baru saja menerima faksimili dari rumah sakit di Jerman. Kasus unik, kurasa. Kuharap kau berminat melihatnya. Datanglah ke kantorku setelah jam makan siang.'
"Hn, oke. Aku akan ke sana setelah menyelesaikan operasi di operating room 7."
Telpon terputus. Pria itu mengangguk sekali lagi dan tersenyum di balik maskernya. Perawat yang menerima sambungan telpon meletakkan gagang telpon OR ke tempatnya. Operasi berlangsung kembali dan tepat selesai di angka lima lewat satu. Sang operator, pria bernama Erwin Smith, melepaskan satu per satu balutan pakaian operasi di tubuhnya dan mencapai wastafel khusus. Lampu-lampu menyala terang. Peserta yang menyaksikan jalannya operasi secara live mulai meninggalkan ruangan steril tersebut setelah pasien meningioma* keluar menuju ruangan pemulihan. Tiang-tiang infus ditegakkan, monitor terpasang, dan hilir mudik petugas berpakaian biru terlihat bersiliweran.
Rush hour di ruang operasi sebuah rumah sakit ternama di Inggris. Erwin menyebutnya demikian. Sebagai ahli bedah syaraf anak yang namanya sudah sangat terkenal, ia bisa menemukan sisi lain dari kehidupan di dalam bilik yang tidak seluas lapangan bola itu. Jejeran pasien yang dibatasi dengan dinding-dinding kaca seolah mengingatkannya akan betapa rapuhnya tubuh seorang manusia. Apa yang dimilikinya saat ini hanyalah sebuah mukjizat. Karunia atau apapun juga. Sebab, tanpa Ia, tangan-tangan ini hanyalah tangan-tangan biasa. Sepertinya ia mengingat sesuatu atau tepatnya seseorang yang pernah menyentil egonya yang teramat labil di masa dahulu kala. Ia tidak tahu persis kapan itu, tetapi mungkin saja orang itu sudah melanglang buana mencari pelarian di tanah-tanah yang dipenuhi dengan konflik. Bagaimana ia dan orang itu seolah memiliki dua jiwa yang berkontradiktif. Tak suka pengekangan dan diatur oleh organisasi tertentu. Menjadi abdi Tuhan atas nama kemanusiaan.
Konyol rasanya, namun itulah sesungguhnya makna di balik sumpah Hipocrates kepada setiap calon pengikutnya. Karenanya, ia mendengus sementara pikirannya menebak-nebak kasus unik macam apa yang ditawarkan oleh atasannya melalui telpon ruang operasi. Benak dan tindakannya tidak mengalami sinkronisasi. Ia membiarkan pancuran air dalam kran wastafel mengalir meski jemari-jemarinya telah bersih. Sebuah tepukan di punggung menyandarkannya akan sesuatu.
"Yahoo, Erwin! Bagaimana operasimu? Berjalan lancar? Oh iya, kau tahu, gila rasanya saat tahu aku harus membuat flap* untuk pasien luka bakar delapan puluh persen. Dan, kau tahu—donornya kudengar adalah saudari kembarnya sendiri—yang naasnya meninggal saat rumah mereka terbakar. Gila, bukan? Haha. Sudah dua minggu penuh aku belum merasakan ranjang di apartemen. Atau setidaknya menikmati secangkir frappuccino buatan ibuku. Hahhh."
"Hanji."
Wanita berkacamata dengan masker yang diletakkannya di bawah dagu itu nyengir kuda. Ahli bedah plastik yang sangat mahir menggambar struktur anatomis manusia hingga bagian paling detil. Biar ditegaskan, melukis dengan menghapal dan bukan dengan menyontek. Sesungguhnya, wanita ini seolah memiliki dua kehidupan yang sangat berbeda. Jika di dunia medis, ia dikenal sebagai dokter nyentrik yang berkelakukan tak biasa. Maka, di dunia cyber, ia komikus handal dengan sejuta fans. Tetapi, menunggu karya-karyanya untuk dipublikasikan secara berkala adalah hal yang nihil. Terkadang ia harus membuat kebohongan dalam jurnal pribadinya. Entah sedang ke luar negeri untuk mencari ide atau sekadar menghilang.
"Nah, kudengar Professor Zacklay punya kasus unik untuk ditawarkan kepadamu. Telpon dari kerabatnya sesama neurosurgeon* di Jerman. Aaah—bicara soal Jerman, aku jadi ingat sama si pendek itu. Kasus terakhir yang dibuatnya bersamamu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berpisah dari institusi ini tercetak cukup baik dalam rekor medis dunia, bukan? Ckck. Tak ada ahli anestesi—bius—yang berani membuat jantung seseorang berhenti selama tiga jam. Itu—gila! Kau tahu, terakhir kali ia mengirim email padaku sekitar dua tahun lalu. Ia sedang merencakan tindakan operasi untuk pasien dempet kepala di Thailand. Kau menerima surel yang sama darinya?"
Erwin menggeleng. Mematikan pancuran kran dan berbalik.
"Kurasa—ia tidak hanya berniat melakukan segalanya seorang diri. Tetapi, diperparah dengan kebenciannya yang sudah seluas neraka padaku."
Hanji melotot. Tetapi, nyaris tersedak ludah sendiri saat tertawa terbahak-bahak. Petugas yang melirikinya mengerutkan kening.
"Seluas neraka, katamu? Haha, lucu sekali kau ini, Erwin. Aah—kau ingat ya, membenci sedalam apapun, kita semua tetap terikat oleh sumpah. Jadi, jika suatu saat kau harus dipertemukan kembali, kebencian seluas neraka akan membentuk semacam tebing. Pasti jembatan yang menghubungkan kedua tebing akan terbentuk. Sama seperti kedua belah otak kita. Keduanya memiliki karakteristik yang bersifat kontra. Tetapi, ada semacam pipa yang menjadi saluran antara dua belah otak itu agar tubuh kita bisa berjalan. Nah, sebagai ahli kabel-kabel listrik yang terlalu rumit itu, semestinya kau bisa memahaminya dengan sangat baik, bukan?"
"…"
"Kita tak bisa berjalan seorang diri. Bagaimana mengatakannya ya? Umm—well asal kau tahu saja—kita semua takkan berani merobek daging-daging pasien kita jika para ahli bius itu tidak diciptakan. Dan, si pendek itu adalah ciptaan terbaik dari yang terbaaaaaaik!"
Erwin mendesah. Bukannya tidak setuju dengan pendapat wanita di sampingnya itu, melainkan pada kenyataan yang sudah menamparnya.
"Oi, Erwin! Kalau kau butuh bantuan untuk menyelesaikan kasus Professor Zachlay, jangan sungkan menelponku yaaa!" seru Hanji sebelum pintu OR yang terhubung dengan kantor para supervisor tertutup. Erwin mengajukan jempolnya. "Haha, dia itu—mau sampai kapan bersikap seperti anak kecil? Yah, tak ada bedanya dengan kau juga—Levi."
Attack on Titan © Hajime Isayama
no profit taken from this fanfiction
AU, heavy theme, medical approach theme
LIGHT BULB
by Leon
.
.
.
[1]
It comes to shine every fragile living things
.
.
.
Bocah itu bernama Eren Yeager. Berusia lima belas tahun. Lahir normal tepat saat bianglala terindah selepas hujan terlihat sangat jelas di angkasa kota Leipzig. Tumbuh sehat dan diberkahi wajah yang tidak begitu buruk untuk anak-anak seusianya. Berambut coklat seperti daun maple yang mengering di musim gugur. Mata berwarna hijau turquoise seperti dalamnya danau. Namun sebuah kecelakaan kecil dua tahun lalu membuat bocah ini tak bisa bertahan hidup lebih dari sepuluh menit. Tubuhnya tak bisa beradaptasi cepat terhadap perubahan metabolisme selnya. Jika berlari, maka jantungnya akan berhenti berdetak. Hingga, sejak saat itu, bocah ini memilih menghabiskan waktu-waktunya di dalam rumah. Dengan ditemani seorang gadis cilik berambut pendek yang sudah dikenalnya delapan tahun lalu.
Mikasa mengantarkan sepiring jeruk yang sudah dikupas baik-baik. Carla, ibu Eren, meminta kepada si gadis berparas dewasa itu untuk menemani putranya sementara ia bergegas menuju kantor tempat ia bekerja untuk melengkapi data kependudukan dan dikirimkan bersama lembaran riwayat pengobatan Eren selama di Jerman melalui faks ke rumah sakit Inggris. Situasi rumah keluarga Yeager saat itu tidak begitu baik. Karenanya, Mikasa akan hadir jauh lebih intens. Seolah, bocah lelaki ini adalah keluarganya jua.
Eren merengut saat Mikasa menyuruh bocah remaja itu untuk membuka mulutnya.
"Aku bukan anak kecil lagi, Mikasa." Gadis itu menghela nafas dan menyerah. Jari-jari Eren mengambil jeruk-jeruk untuk dikunyahnya. "Hei, kenapa murung begitu, huh? Aku hanya pergi selama sebulan saja kok. Kau boleh menjenguk. Dan, ini hanya di Berlin, bukan Inggris. Kata mum, rumah sakit di Berlin juga sebagus rumah sakit di Inggris."
Mikasa nampak mendengus. Wajahnya sedatar alas wajan. "Akan terlalu banyak peraturan nantinya. Aku tahu itu karena aku pernah menjaga nenek di rumah sakit selama nyaris seminggu dan—hah—terlalu banyak peraturan." Gadis ini mengulang kata yang sama. Terlalu banyak peraturan.
"Kau bisa tinggal di rumah paman Hannes kalau kau mau." tawar Eren, memberi ide. Tapi, si gadis menjulurkan lidahnya—tanda tak setuju.
"Lebih baik menetap bersama yeti daripada tinggal seatap dengan paman Hannes. Kau tidak tahu bagaimana ia hidup, Eren." tukas Mikasa sembari melipat lengan di dada. "Botol-botol bir berserakan. Entah apa yang membuatnya tetap bisa bertahan sehat. Aku pernah membuka isi kulkasnya sekali dan kau pasti takkan mau mendengar bagaimana jamur-jamur itu—"
Eren masih sibuk mengunyah sisa jeruk dalam piring selagi mendengarkan tanpa khidmat penjelasan Mikasa tentang betapa kumuhnya isi rumah seorang laki-laki pengangguran bernama Hannes. Pria berkumis yang dikenalnya saat keduanya tengah melakukan liburan musim panas di area perkemahan kira-kira lima tahun lalu. Yang secara tidak sengaja membantu dua bocah itu memilih makanan dalam hutan dengan cara-cara yang abnormal saat keduanya tersesat dan tertinggal dari barisan anak lainnya. Oh, Mikasa tak ingin mengingat bagaimana ia akhirnya bisa memuntahkan makanan lunak yang ternyata tersusun dari puluhan katak itu. Mereka selamat, pada akhirnya, tetapi si gadis menghabiskan separuh liburannya di rumah sakit.
"…kemudian Armin membantuku membuat alasan yang bagus untuk kabur dari perkemahan."
Barulah Mikasa mengakhiri sesi monolognya. Eren meletakkan piring yang kosong kembali ke pangkuan gadis bersyal merah itu. "Armin? Ah, dia masih liburan di Norway?"
Mikasa memberi tampang kecut, merasa diacuhkan, sementara ia berdiri untuk membetulkan letak selimut Eren yang menciut. Salju di luar masih bertumpuk. "Penghangat kamarmu rusak ya?"
Bocah itu menggeleng, "hanya perasaanmu saja. Oh ya, sebelum kau pergi, mum menitipkan cupcake buatannya—sisa Christmas kemarin—untukmu. Ada di dalam kulkas. Terbungkus karton merah bergaris. Kalau mum tidak salah bilang."
"Oke."—si gadis terduduk kembali. Memilih tetap memandangi si bocah meski pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Wajahnya jelas sedatar hatinya, tetapi Eren jauh lebih tahu apa yang ingin keluar dari bibirnya itu. Seperti kata-kata: baik-baiklah atau juga aku akan menelpon setiap hari. "Aku akan menelpon setiap hari." Bingo.
"Gunakan email. Kita tidak hidup di jaman Hittler lagi, Mikasa." tukas Eren menampik. Ia sempat menahan tawa saat pipi si gadis membentuk balon udara.
"Tidak akan sama seperti mendengar suaramu. Telpon atau email hanya benda mati."
Eren menggaruk-garuk tengkuknya. Tiap ucapan Mikasa selalu terdengar filosofis. Melontarkan pendapat ke arahnya akan terpantul kembali. "Yah, jika itu tidak membuatmu kepayahan. Sekolah saat ini melarang siapapun untuk membawa alat komunikasi, bukan?"
"Pokoknya aku akan menelpon!" serunya. Sebelum memulai sesi perdebatan sengit, suara debam pintu dari kejauhan menjadi bukti kedatangan seseorang. Sontak, gadis itu berputar dan berlari. Menemui seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik tengah melepaskan diri dari boot setinggi lutut. Seperti baru saja menerjang setengah hari di antara lautan salju.
Eren melirik dinding kamarnya. Lalu, menuju jendela. Pemandangan yang sama setiap harinya akan menghiasi sebagian besar waktunya selama hidup. Belum lagi tembok-tembok berwarna sama di tempat yang berbeda. Semuanya serba putih.
Lalu, dua hari setelahnya, Eren dan Carla terbang menuju Berlin. Meninggalkan Mikasa dengan setumpuk harapan.
Seperti digigit ribuan semut. Begitu orang awam menyebutnya. Frostbite tidaklah seburuk terbakar oleh suhu delapan puluh derajat celcius. Anggap saja ini sebuah perumpamaan, tetapi sosok yang terbungkus turban dan syal kecoklatan ini benar-benar nekad melalui gunung demi gunung pasir—belum lagi dengan angin panas membara yang selalu muncul beberapa menit sekali. Kaki-kakinya sudah lemas dan melumer, persis es balok yang diletakkan lama di bawah sinar matahari. Bibirnya mengering dan rasa haus yang tak bisa dipuaskan dengan menenggak sebanyak apapun air sudah membuat ubun-ubunnya mengalami nyeri yang tak berkesudahan. Perjalanan panjang ini pernah dilaluinya saat ia memilih tergabung dalam kesatuan tim bantuan medis daerah konflik di Timur Tengah. Tepatnya, Afganistan. Di bawah yayasan global milik PBB, ia bekerja. Karenanya, ia tidak begitu peduli dengan ancaman ganasnya alam di dataran berpasir ini.
Ia tiba tepat di sebuah petak-petak rumah jauh dari gunung pasir. Sebuah kehidupan kecil terbentuk di sana, dengan penduduknya yang nyaris tidak memiliki apapun untuk digantungkan harapan, baik kepada pemerintah mereka sendiri ataupun pihak asing. Pria kecil ini buru-buru berlari menggapai satu kemah saat sosok besar Erd memanggilnya dari kejauhan.
"Kondisi pasien saat ini tidak terlalu bagus dan—persalinannya macet. Fasilitas kesehatan terdekat berjarak sepuluh mil dan menimbang-nimbang, kurasa hasilnya akan lebih buruk. Aku sudah melakukan sebisaku."
Pria berpostur kecil ini mengangguk. Tidak mengatakan sepatah kata pun hingga tangan-tangannya yang lihai mulai menilai kondisi leher bayi yang tertahan di liang sang ibu. Wanita berkebangsaan Arab itu masih sadar saat namanya dipanggil. Ia seolah menyebut-nyebut nama Tuhannya dan banyak hal yang tidak terlalu dipahami si pria.
"Peralatan sudah kau sterilkan?" Ia berbicara dengan nada monoton. Kalimat pembuka pertama.
"Ya. Ahli obstetrik* yang semestinya bertugas sedang tidak berada di pusat kesehatan terdekat. Hanya aku dan Petra saja. Sekarang, Petra sedang berbicara dengan kepala desa setempat untuk meminta bantuan akomodasi sementara aku berusaha menyelamatkan pasien. Tetapi—"
Peluh dan keringat membanjir di sisi wajah Erd. Pria berambut pirang itu menekukkan wajahnya seolah tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya yang setengah steril bersusah payah menahan air yang entah sudah bercampur keringat juga air mata. Si pria kecil sibuk mengenakan jas luaran steril yang disediakan bersama sarung tangan karet dan buru-buru memasukkan cairan obat ke dalam tabung spoit. Dengan cekatan bersama perhitungan yang cermat, pria itu menyuntikkan isi spoit ke dalam karet selang infus.
"Erd, percepat ketiga infusnya. Aku akan memulai anestesinya. Kita akan melakukan Sectio*."
"Eh?"
Mata Erd membulat sempurna. Kebingungan untuk hal yang sulit dijelaskan. "Ta-tapi, tempat dan—"
Si pria terdiam sejenak sembari menyibukkan diri dengan spoit-spoitnya. Obat-obatan berstempel merah bertulis high alert* menyertai ampul kaca obat. Pilihan zat bius yang umum digunakan untuk pelumpuh saraf saat operasi buka perut dilakukan.
"Aku pernah melakukan Sectio pada wanita yang nyaris tertimbun jatuhan batu bata saat Mesir bergejolak. Kuharap, hasilnya akan sama dengan wanita ini." jelasnya cepat. Ia juga menambahi. "Yang jelas, kemungkinan sepsis* sangatlah tinggi. Tapi, nyawa kedua atau salah satunya adalah hal yang utama di saat seperti ini. Kita bisa mengobati sepsisnya dengan antibiotik dosis tinggi."
"Ba-baik, doctor." cicit Erd.
"Levi. Panggil aku Levi saja."
Pria itu tertegun. Mengawasi bagaimana pria yang entah sudah berapa banyak menelan pahitnya kehidupan itu dipaksa untuk membuat keputusan meski keadaan tidaklah semulus yang diharapkan . Relawan yang bekerja 24/7 di daerah terpencil seperti Timur Tengah. Dengan ilmu dan kehebatan di dalam otaknya itu, ia malah membuang-buang waktunya di lokasi-lokasi yang well sangat tidak menguntungkan secara finansial. Meski hanya mencuri dengar dari kabar burung, sosok dokter bernama Levi yang sudah berstatus sebagai ahli anestesi semenjak enam tahun lalu ini telah berkecimpung pada dunia emergensi. Jauh—jauh saat dirinya dikukuhkan sebagai pengikut kaum Hipocrates. Lahir dan dibesarkan di daerah konflik adalah motivasi terbesarnya melakukan pekerjaan itu. Erd turut mengangguk, lalu menuruti permintaan tiap permintaan Levi.
Jam demi jam berlalu. Tetesan darah demi tetesan darah terjatuh. Levi membawa lima kantung darah sesuai permintaan Petra melalui pesan telegram. Sialnya, kondisi mobil yang mengangkutnya bersama tas-tas obat darurat macet di tengah jalan. Menyisakan sesosok pria kecil yang berjalan menyambut deburan ombak pasir dan teriknya matahari.
Merobek sisi perut secara vertikal, mengidentfikasi lembaran pelapis organ terdalam perut, lalu menilai kondisi rahim dengan tangan. Levi tampak memasukkan satu tangannya ke dalam rahim si wanita melalui luka robekan yang dibuatnya dan berhasil menemukan kaki bayinya. Sebelum leher si bayi benar-benar terhimpit oleh tulang pinggul ibunya, Levi menarik kuat-kuat kaki-kaki bayi yang tampaknya berjenis kelamin perempuan itu. Gumpalan darah mulai bergerumul.
"Erd, mulai masukkan dua kantung darah!" pekiknya. Cipratan darah mulai membasahi wajah hingga dada Levi. Si asisten—Erd—dengan cekatan mengganti cairan infus pasien. Dalam waktu sepersekian detik, Levi menilai banyak aspek. Mulai wajah, warna kulit, pengembangan nafas, nadi, tekanan darah yang dihitung otomatis, dan tentu saja bayi yang berhasil digendongnya. Naasnya, si bayi tak bernafas spontan. Erd buru-buru mengambil alat penghisap lendir dan menerima bayi dari tangan Levi untuk ditangani sementara dokter bertubuh kecil itu mengendalikan laju perdarahan si ibu. Membuang sisa-sisa jaringan yang tertinggal kemudian diakhiri dengan penjahitan lapisan dalam hingga terluar.
Deburan ombak pasir di luar kemah semakin menggila, tetapi mereka merasa cukup aman.
Rengeken kecil terdengar bias. Erd mendapatkan dada si bayi mengembang kecil. Dan, menangis.
Betapa saat ini ingin rasanya ikut menangis, Erd membatin. "She cries. The-the baby is crying."
Levi mengangguk takzim. Namun, perhatiannya masih terfokus pada kondisi ibu sang bayi yang tidak benar-benar baik. Semenit setelahnya, wanita itu bergerak-gerak tak stabil. Kejang oleh hemodinamik dalam sirkulasi tubuhnya yang labil pasca operasi. Belum lagi waktu persalinan yang terlalu lama dengan perdarahan yang nyaris melebihi sepertiga liter total cairan tubuhnya. Levi bergerak cepat. Memasukkan beberapa obat dengan kalkulasi dampak positif-negatifnya.
"Pergilah dan bersihkan bayi itu. Aku akan di sini dan mengawasi kondisi si ibu."
"Ba-baik."
Melawan hujan pasir dan berlari menuju pemukiman yang sudah disiapkan untuk mencuci bayi yang lahir. Di sisi lain, tokoh utama di kisah heroik itu dibiarkan sendiri dan memikirkan cara menyelamatkan sosok yang bertarung mati-matian agar janin yang dikandungnya berhak atas kesempatan hidup di dunia. Levi bersandar sebentar dan membiarkan imajinasinya berputar-putar. Mengingat banyak angka dalam numerik teori yang berpostulat. Tak ada satupun dari teori ataupun angka itu yang mampu memberinya harapan kali ini. Bahwa, saat mengamati tangan-tangan penuh darah itu, ada nyawa yang digantungkan kepadanya.
Hingga, secara tak sengaja ia melihat senyum di bibir si ibu. Berusaha meraih jemari Levi walau tak ada tenaga lagi yang tersisa. Bibirnya bergerak lemas.
Seolah ingin mengatakan…
"Syukron."—terima kasih.
Ini bukanlah kegagalan, Levi menguatkan diri. Walau, hal itu justru menambah rasa takut dalam dirinya.
Deburan ombak pasir semakin kencang. Membuat gerakan berputar dan suara ribut. Tak lama kemudian, segalanya seperti tak beresonansi. Simfoni dalam diam, lalu banyak pasang mata seakan menelanjanginya. Pria ini sudah terlalu sering melihat hal yang sama. Ia tahu menyikapinya meski jelas setidaknya ia patut berbangga hati. Tepat saat seorang pria berturban memeluknya dengan kencang. Menyebutkan kata syukron berkali-kali. Berpuluh kali.
Mobil-mobil tentara bertengger di luar tapal batas yang tersisa bata-batanya saja. Sekelompok tim kesehatan darurat milik WHO turun sembari membawa suplai obat dan emergency bed menuju kemah yang baru saja ditinggalkan Levi. Kali ini, ia bisa bernafas lega. Salah satu prajurit memberi pose hormat pada sosok dokter itu sebelum mengikuti bawahannya. Levi menarik sudut bibirnya tidak penuh. Lalu, membiarkan seisi kampung membuat doa yang terbalut harapan. Meninggalkannya bersama gundukan pasir pasca badai dan sesosok gadis berambut pastel.
"Doctor Levi, maaf tapi… ada telpon untuk Anda."
"Hm?"
Ada yang aneh dari pancaran mata si gadis. Belum lagi dengan cara ia meremas jemarinya. Sebelum ia melanjutkan, pria itu menepuk bahu gadis bernama Petra itu.
"Te-terima kasih, Doctor. Dan—ah! Katanya dari seorang pria yang menyebut namanya dengan Smith. Er-Erwin Smith?"
Seketika, Levi berhenti melangkah. Kecurigaan membuat pria itu menyipitkan mata. Ia menoleh sebentar untuk menilai ekspresi wajah Petra. Namun, ia tidak membalas apapun. Memutuskan untuk melanjutkan langkah kembali.
"Huh, liburan akhirnya berakhir." bisiknya. Terbias cepat oleh angin berselimutkan panas membara di dataran Timur Tengah. "Kuharap kau punya alasan bagus karena sudah mengganggu liburanku, Erwin."
Bagi Eren, Berlin tidaklah seindah Leipzig. Ibukota akan disesaki dengan manusia dan bangunan metropolitan. Bisnis dan perputaran uang bekerja sangat baik di sana. Meski hanya bisa mengawasi dari balik kaca mobil di jok belakang, bocah ini terus-menerus membanding-bandingkan kota ia dilahirkan dengan kota ia harus menjalani masa pengobatan selama nyaris sebulan lebih. Ia bersandar kembali karena Carla mulai menceramahinya banyak hal terutama tentang sopan santun sekonyong-konyong keduanya telah tiba di rumah sakit pusat Berlin. Tetapi, bocah itu mengelabui sang ibu dan mencicit kata ya sebanyak puluhan kali walau fokusnya saat ini terletak pada ponsel cerdas di genggamannya. Sibuk bermain game hingga tanpa sadar ia memekik seorang diri.
"Eren, kau tidak mendengar mum, 'kan?" Bocah itu memajukan bibirnya. Mengernyit bosan. "Kita akan tiba di rumah sakit pusat sekitar sepuluh menit lagi. Perbaiki sikapmu, ok? Kita sudah berjanji untuk tidak—"
"Berteriak bosan, bersembunyi dari perawat bermuka seram, memainkan tiang infus, dan mematikan monitor. Mum, sudah berapa kali mum mengulangi hal yang sama terus-menerus selama nyaris dua puluh jam terakhir. Aku bukan bayi lagi." tukasnya manyun. Seketika, ponsel di tangannya itu bergetar. Ah, telpon dari Mikasa. Benar juga. Gadis ini sudah berjanji akan menelponnya setidaknya tiga kali sehari—seperti minum obat. "Yeah, aku sedang berbicara padamu. Dan, jangan khawatir karena aku tidak akan menutup atau sekadar merekamnya."
'…'
"Tumben kau tidak berisik." Carla melihat putranya yang membalikkan arah mata pada sisi kaca mobil. Wanita itu mendengus dan kembali mendengungkan celotehannya dalam bahasa Jerman pada si supir. "Ada apa? Kenapa malah diam?" tanyanya kembali.
'Hari ini aku menelponmu di dalam kamar mandi. Si wajah kuda, Jean, berniat melaporkanku karena membawa-bawa ponsel. Tapi aku sudah mencekiknya.'
Eren memekik kembali. Membuat seisi mobil terkaget dan si supir nyaris menabrak mobil di depannya. Pemuda itu berbisik-bisik melalui ponselnya sendiri. "Kau—gila. Kau bisa membunuhnya."
'Aku tidak benar-benar mencekiknya. Hanya menggertak saja. Oh ya, Armin mengirim surat. Di dalamnya, ia menyertakan kartu pos dan selembar foto dari Norwegia. Ia—bertemu Santa.'
"Hahaha. Sudah kuduga. Anak itu memang berambisi bertemu dengan kakek-kakek perut gendut itu!"
Dari sini, walau Eren tak yakin, ia tahu Mikasa tengah menyunggingkan senyum manisnya. Lalu, mendengus. 'Ia akan kembali dua hari setelah hari ini. Dan, membawa banyak oleh-oleh untuk kita. Karena itu—kau cepatlah kembali, oke?'
"Yeah, yeah. Sebulan tidak seperti dua hari, Mikasa." timpal si bocah. Mata hijaunya memandangi pepohonan maple yang ditutupi oleh tumpukan salju. Berlin seakan berubah menjadi kota kutub. "Aku pasti kembali. Yap."
'…'
Mobil itu berbelok. Menemui jalan yang lebih spesifik dengan dua alternatif cabang. Mereka memilih belokan kiri dan Eren bisa melihat pintu gerbang raksasa berwarna biru bertuliskan Charité – Universitätsmedizin Berlin. Rumah sakit tertua dan terbaik di seantero Jerman. Bocah itu tertegun sebentar sementara ia membiarkan gadis yang berbicara di balik sambungan ponselnya mengoceh seorang diri. Puluhan orang berbusana biru kehijauan berseliweran ke sana kemari. Ambulans menurunkan pasien orang tua yang tak bisa berjalan. Eren mengingat neneknya kemudian. Carla lalu berbalik cepat, menancapkan pandangan mata pada bocah yang tak lain dan tak bukan adalah putra semata wayangnya bersama Grisha Yeager.
"Kau baik-baik saja, dear?" tanya Carla, berusaha menenangkan Eren dengan kata-kata.
"Yap!" jawab si bocah mantap. Ia mengingat ada Mikasa yang belum menutup saluran telponnya. "Err, akan kutelpon lagi setelah ini." Bisiknya kemudian.
'Oke. Kau sudah sampai ya?'
"Yeah, begitulah. Mum terlihat sangat senang." tuturnya sembari membuka pintu mobil. Bersama itu pula, dengung suara dari berbagai arah mengganggu resonansi balik suara Mikasa. "Kalau begitu, akan kututup. Bye."
'Ah—tunggu! Umm—'
"Ada apa?"
Tas-tas serta koper besar turut diturunkan oleh sang supir. Carla menghitung jumlah barang yang dimasukannya di bagasi mobil dan meminta agar Eren cepat-cepat mengikuti langkahnya menuju pintu masuk rumah sakit. Wanita itu berlari meminta bantuan petugas untuk mengangkut barangnya setelah menyertakan kartu pasien berwarna biru keemasan—pasien yang didaftarkan secara spesial oleh ketua pusat penelitian dan pendidikan bagian bedah anak milik rumah sakit tersebut.
'Imissyou!'—dan sambungan telpon tertutup. Bunyi tuut tuut terdengar beberapa kali. Eren membulatkan mata tak percaya. Tetapi, suara keras Carla menarik perhatiannya.
Bocah itu sempat menghela nafas panjang sejenak. Memandangi tanpa minat pada pintu masuk rumah sakit entah keberaparatuskali yang pernah diinjaknya. Tetapi, ia merasakan segelitik hal yang aneh kemudian. Seolah, ada sesuatu yang beraroma berbeda yang akan menemuinya. Kaki-kakinya bergerak pelan, membuat langkah hati-hati, dan bukannya berlari seperti anak-anak lain di sampingnya. Ia hanya takut jika alat pacu jantung otomatis yang sudah dipasang di dalam bilik pusat kehidupan miliknya itu berhenti mendadak.
Lalu, ia mengawasi seorang laki-laki tua berjas putih selutut sedang berbicara empat mata dengan Carla. Bersama pula dengan seorang pria berambut pirang klimis yang tampak berjabat tangan dengan ibunya itu.
Eren merasa seperti alien. Di mana segala sesuatunya berwarna monoton dan terlalu asing.
.
.
.
To be continued
.
.
.
Glossary:
Meningioma adalah tumor di lapisan tipis yang disebut di meninges. Lapisan tersebut melapisi otak terluar.
Flap adalah salah satu teknik ilmu bedah plastik yang penjelasan singkatnya berupa cangkok seluruh bagian lapisan kulit. Biasanya dilakukan pada pasien-pasien luka bakar.
Neurosurgeon adalah ahli bedah syaraf.
Obstetric adalah ahli kandungan/kebidanan.
Sectio secara lengkapnya adalah Sectio Caesaria adalah operasi pembedahan yang dilakukan di perut untuk mengeluarkan bayi.
High alert dalam bahasa Indonesia artinya berbahaya termasuk di dalamnya obat-obatan yang memiliki sifat berpotensi untuk disalahgunakan seperti golongan opioid dan ahli anestesi menggunakan golongan obat-obatan tersebut untuk membius pasien yang akan dioperasi. Dosis dan mekanisme kerja berada dalam taraf aman.
Sepsis adalah kontaminasi mikroba dalam darah dan dapat menyebabkan syok.
A/N:
Fanfiksi pertama yang ngambil tema uhm—sangat berat—seperti dunia medis. Tertarik buat bikin fanfiksi bertemakan ginian karena pasca nonton Gifted Hands: The Story of Ben Carson. Cerita yang bikin trenyuh banget. Mungkin yang anak medis pernah nonton film ini yaa. TT3TT
Selain karena saya juga baru didepak alias selesai ujian dari bagian anestesiologi, maka ada waktu kosong menjelang masuk THT. Hahahaha. Naasnya, fanfiksi ini harus puas di chapter satu dulu. Chapter dua entah kapan mau saya apdet. Anw, kalau ada yang gak ngeh atau kurang paham, maaf banget! TT3TT
Saya kagum sama dokter dan petugas kesehatan yang bekerja di daerah konflik. Mereka punya skill yang sangat keren lho. /semangat buat dokter di pedalaman! Yeah. Hihi.
Saya tahu fanfiksi ini sangat jauh dari kesempurnaan dan—memang benar-benar jauh dari kata bagus. Tapi, saya puas dengan tulisan saya ini. /digibeng readers. XD
Thanks for reading. Reviews are pleased. :D
