Maybe This Is Wrong
Disclaimer: Tite Kubo
Warning: OOC, Typo, multi chap, alur kecepatan and any more.
….
"Whoa…," Seorang gadis kecil menatap hamparan sawah yang masih hijau di hadapannya dengan takjub. Napasnya yang tersengal-sengal sehabis berlari mendaki bukit, terbayar sudah. Karpet hijau yang terbentang sepanjang bukit barisan, aliran air terjun yang pecah di kaki bukit, kumpulan bangau yang bersiap kembali ke sarang, serta aliran irigasi yang tertata rapi benar-benar tampak spektakuler di matanya.
"Indah bukan?" seorang wanita dengan rambut yang dihiasi helai putih, tersenyum penuh kebanggaan pada si gadis kecil.
"Heem…," gadis kecil itu mengangguk, mengiyakan dengan semangat. Pipi gembulnya yang semula bewarna putih, kini berubah kemerahan terkena bias cahaya matahari yang semakin condong ke Barat.
"Suatu saat, kaulah yang akan mewarisi semua ini, Soifon," si wanita mengajak gadis kecil tadi berjalan menuju sebuah pohon besar di sudut bukit.
"Benarkah?" gadis kecil tadi meloncat girang, begitu si wanita mengangguk.
"Coba kau lihat ke atas," si wanita menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang sudah berubah jingga, diikuti oleh Soifon. Dia atas sana sekelompok Burung Bangau tampak baru saja melintas, melewati mereka. Si wanita lagi-lagi tersenyum, begitu mendapati cucunya yang berdecak kagum.
"Na, sudah sore. Sebaiknya kita segera kembali," ajak wanita itu, saat dirasa udara mulai tak bersahabat. Dituntunnya si gadis kecil menuruni bukit yang agak licin, menuju rumah mereka yang hangat.
"Obaa-chan,…" panggil si gadis kecil. Ia melanjutkan ketika sang nenek menoleh padanya "aku sayang pada Obaa-chan" gadis itu tersenyum lebar hingga deretan giginya yang putih tampak berkilauan karena pantulan cahaya matahari senja.
"Obaa-chan juga sayang pada mu," wanita itu balas tersenyum pada cucu yang sangat ia sayangi.
Maybe This Is Wrong
CRANG …. TRANG ….
Suara benda pecah belah yang beradu dengan ubin, memenuhi ruangan bercat cream itu. Tumpahan anggur dan coctail bertebaran, menciptakan aroma alkohol yang pekat. Pecahan botol-botolnya berserakan, hingga tak mungkin kau bisa keluar dari ruangan itu tanpa mendapati luka.
"Kau tidak mengerti,…"
"Apa yang aku tidak mengerti? Kau selalu,…."
Suara itu terdengar kian samar di telinga seorang bocah laki-laki, seiring dengan bantal yang menutupi kepalanya yang dihiasi kepangan. Hal ini sudah berlangsung semenjak ia bisa mengingat. Kedua orang tuanya tak pernah akur, selalu saja ada pertengkaran tiap malamnya. Walau begitu, semua sisa pertengkaran mereka -seperti beling botol-, selalu sudah bersih keesokan paginya.
"Aku sudah lelah, sebaiknya kita akhiri saja semuanya"
Bocah tadi dengan spontan melempar bantal yang menutupi kepalanya ke lantai. Suara ibunya yang terdengar lirih begitu menarik perhatiannya. Ia menempelkan telinganya ke daun pintu yang membatasi kamar tidurnya dengan ruang tengah, tempat orang tuanya selalu bertengkar.
"Baiklah, tapi Ggio harus ikut denganku," suara seorang laki-laki yang ia kenal sebagai ayah kemudian terdengar.
"Aku mengerti," Suara ibunya yang terdengar pasrah tak pelak membuat Ggio kecewa.
'Mengapa ibu tidak membantah saat ayah memutuskan dengan sepihak agar aku ikut dengannya? Mengapa ibu hanya pasrah? Apakah ibu tidak menyayangiku? Apakah ibu tidak peduli bahwa aku tak pernah merasa nyaman berada di tengah-tengah keluarga ayah?' pertanyaan itu terus berputar di kepala Ggio. Akhirnya ia kembali ke atas kasurnya, dengan perasaan terluka.
Maybe This Is Wrong
" Ohayou, Soifon," sapa wanita itu pada sang cucu yang tampak sudah rapi dengan seragamnya.
"Ohayou, Obaa-chan," Soifon membalas sapaan neneknya dengan riang. Ia melangkahkan kakinya menuju meja makan.
"Wah, sudah mau berangkat?" tanya sang nenek. Tangannya bergerak dengan cekatan, mengambilkan sarapan untuk cucu kesayangannya.
"Iya. Hari ini aku piket," jawab Soifon. Mulutnya mengunyah makanan pelan.
"Oh iya, mau membantu Obaa-chan menyiapkan makan malam hari ini?" tawar neneknya.
Soifon menyipitkan matanya melihat gelagat sang nenek yang tampak mencurigakan."Apakah ayah dan ibu akan pulang?" Soifon menatap neneknya penuh harap. Dan ia bersorak dalam diam begitu sebuah sabit terbit di bibir sang nenek.
Soifon buru-buru menghabiskan sarapannya begitu jam menunjukkan pukul setengah tujuh. "Aku berangkat, Obaa-chan," pamit Soifon. Ia berlari dengan langkah kecilnya yang selalu tampak luwes.
"Hati-hati di jalan," sang nenek melambaikan tangan ke arah soifon yang sudah menghilang di penurunan.
Maybe This Is Wrong
"Ggio, mulai hari ini kita akan tinggal di rumah kakek. Kau senang 'kan?" laki-laki itu tersenyum pada sang anak. Matanya sesekali beralih pada jalanan di depannya. Terkadang tangannya di lepas dari stir untuk mengusap kepala Ggio.
"Tentu saja," Ggio tersenyum ceria, lengkap dengan mata yang berbinar. Menyembunyikan rasa kecewanya. Dalam hatinya yang paling dalam, ia masih berharap apa yang didengarnya semalam adalah mimpi. Tapi hal tersebut sepertinya hanya tinggal harapan.
Ggio berlari ke pelukan kakeknya begitu mobil yang di kemudikan sang ayah berhenti di sebuah rumah. Atau mungkin lebih tepat di sebut puri. Dengan atap lancip dan taman bunga yang luas, serta disain yang rumit, benar-benar seperti puri.
TBC
Nb: up date chap 2, 3 mungkin masih bisa sampai akhir Desember. Tapi untuk chap berikutnya mungkin pas balik dari hiatus aja. Ga pa2 kan? #ga ada yg Tanya
Yosh, akhir kata review?
