If Only

.

.

A MarcoAce fanfiction special for Mari Chappy Chan

This is the first time I write fanfiction for One Piece

.

.

One Piece dengan segala isi dan atributnya adalah milik Oda-sensei.

.

.

Warning: pendek, random, kemungkinan OOC

.

.

Happy reading~

.

.


Hujan baru saja reda. Sinar matahari akhirnya bisa lewat dan menyapa makhluk bumi. Sebagiannya turun melalui celah jendela dan sampai ke ruangan tempat Ace duduk santai. Ruang baca tempat Marco biasa melewati sorenya –tapi tidak dengan sore yang ini.

"Dia lama," Ace menggumam.

Ace bosan. Seharian ini waktunya ia habiskan dengan tidur-tiduran dan keliling-keliling rumah. Marco sudah pergi dari pagi. Penghuni yang lain juga sedang tidak ada. Praktis, rumah sebesar ini jadi super sepi. Mau pergi-pergi, Ace malas duluan. Lagipula ia ingin berada di rumah. Ingin segera bertemu dengan Marco.

Ingin cepat-cepat minta maaf soal pertengkaran tempo hari.

Sungguh Ace menyesal. Beberapa hari yang lalu, ia dan Marco bertengkar hebat. Pertengkaran paling serius yang pernah terjadi antara mereka. Ace sadar benar bahwa dirinya memang terkadang sangat kekanakan. Tapi kekesalannya pada Marco saat itu tak terbendung. Dan alasannya untuk marah sebenarnya sangat masuk akal. Jadi ia berteriak, melempar beberapa barang. Marco membalas teriakannya dengan beberapa nada tegas. Mata Ace terpejam, benaknya mengulang apa yang terjadi hari itu. Pagi yang redup. Ekspresi yang ditunjukkan Marco saat itu menyakitinya. Pun kata-kata dari Marco yang sampai sekarang masih terngiang dengan jelas.

"Kalau begitu pergilah. Lakukan sesukamu."

Dan seharusnya Ace menyambut ucapan itu dengan gembira karena apa yang diinginkannya terpenuhi.

Tapi bukan begitu, tidak dengan cara seperti itu. Batin Ace berkecamuk.

Ia merasa seolah dibuang. Perasaan itu merenggut, mencubit sakit dengan intensitas bertubi. Ace menatap kuyu pada kursi tempat Marco biasa duduk

Senja sudah menghadang. Semburat jingga merebak langit. Malam akan menjelang. Marco tak kunjung pulang.

Ace nyaris terlelap namun bunyi derit pintu membuyarkan kantuknya.

Marco!

Ace tergugup. Lidahnya mendadak terasa kelu. Marco menoleh sekilas ke arah sofa tempat Ace duduk lalu segera menuju mejanya. Mendudukkan diri di atas kursi setelah menaruh tas dan menyampirkan jasnya asal.

"Hei," Ace mencoba membuka percakapan.

Tapi tak ada sahutan dari Marco. Setitik respon pun nihil.

Apa dia masih marah?

"Marco," Ace menelan ludah, "aku minta maaf."

Marco menunduk. Letih terpeta di tubuhnya. Kata-kata dan keberanian yang Ace sudah berusaha himpun kembali runtuh.

Apakah ia yang sudah membuat Marco menjadi seperti ini? Marco begini karenanya?

"Ace..." lirih suara Marco merambati udara yang sunyi. Sesak menyeruak. Ace berjalan mendekat ke arah Marco. Samar ia melihat segaris air mata turun di wajah Marco yang terlihat sangat kusam. Bersamaan itu pula Ace merasakan wajahnya basah.

"Ace, aku minta maaf."

Tidak. Bukan. Marco tidak perlu meminta maaf.

Sekarang, Ace bahkan tak bisa menyebut nama Marco. Sekedar untuk menyentuh Marco sedikit jua pun tak mampu.

Emosinya meledak-ledak tanpa bisa tertumpah. Ace mengutuki dirinya semakin dalam.

Mengapa Ace harus kehilangan nyawanya begitu cepat. Ace membenci Tuhan. Tapi ia lebih membenci dirinya sendiri.

Sosok Ace yang tak bisa dilihat Marco berdiri di sana. Di samping Marco. Dan sunyi semakin merajam seiring bulan yang timbul di langit malam.


-FIN-


Gaje banget ya :")