Disclaimer:

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

Happy Reading!

.

.

Sakura melepas headphone dan duduk di kursi. Kemudian membuka botol minum dan segera meneguknya. Hah, tenggorokannya mulai serak setelah berulang kali menembangkan lagu yang sama. Setelah memijat pelipisnya Sakura menyandarkan kepalanya pada dinding disusul helaan napas. Dia lelah. Staminanya turun drastis hanya untuk menyanyikan lagu yang sama berkali-kali. Entah kenapa Sakura tak bisa mendapatkan emosi yang tepat untuk menyanyikan lagu itu.

Kakashi sudah meninggalkan studio karena berjanji pada Rin untuk pulang cepat hari itu, namun Sakura merasa resah jika tanpa panduan sang produser. Lagipula memang hanya Kakashi yang dibutuhkan nasihatnya saat mendapat masalah dalam melakukan rekaman. Ya, selain pengaransemen yang lain pastinya.

Naruto, pengaransemen lagu, memutar kursinya untuk menatap Sakura.
"Istirahatlah, kita bisa coba lagi nanti jika kau masih belum puas dengan apa yang kita punya sekarang," ujar Naruto sebelum berbalik menatap layar komputer. Pada kenyataannya, Naruto sudah puas dengan apa yang mereka punya sejauh ini namun Sakura tetap merasa ada sesuatu yang kurang dari aransemen lagu yang sudah mereka upayakan. Naruto menghela napas lega sambil berpikir betapa perfeksionisnya gadis Haruno itu. Namun ya, itu adalah prinsip KG Ent. Tidak memberikan apa-apa kecuali yang terbaik.

Sakura melihat jam dinding, kemudian bangun dan mengambil mantelnya.
"Aku mau ke café. Ada yang mau kau titip?" tanya Sakura pada Naruto yang masih mengurus hasil aransemen mereka dari layar komputer. Naruto hanya menggeleng sebagai jawaban, sibuk mengedit hasil rekaman mereka terakhir kali.

.

.

.

Sakura berjalan meninggalkan Studio, dia melangkah di tepi jalan, sebelum akhirnya menyebrang. Sakura menikmati saat seperti ini, bernapas di kesunyian malam dan melihat napasnya keluar bagai uap begitu bersentuhan dengan udara di luar tubuhnya.

Tiba-tiba, Sakura merasa diikuti. Sakura berhenti sebentar, ingin memastikan dugaannya. Dia mendelik fokus mendengar, dan ya, langkah kaki terdengar dari arah belakangnya. Sakura mulai parno. Dia merasa jantungnya berdetak cepat dan mulai berjalan lebih cepat.

'Persetan dengan kesunyian malam! Aku belum mau mati.'

Dengan langkah cepat, akhirnya Sakura tiba di perempatan lampu merah. Sakura menekan tombol lampu merah berulang kali dan sambil dapat merasakan tangannya lembab bersamaan dengan darahnya yang mengalir cepat di pembuluh darahnya. Dia berpikir jika sudah sampai di café, dia akan aman bersama dengan staf café pastinya. Lampu lalu lintas berubah hijau dan Sakura segera berlari menyebrang. Namun sesaat kemudian dia mulai mengurangi kecepatan larinya, sadar bahwa berlari hanya akan membuat 'penguntit' itu disadari keberadaannya. Dari sudut matanya, Sakura mendapati seorang pemuda berjalan di belakangnya. Dia memakai jaket hijau dan celana kelabu yang tampak dari pencahayaan lampu jalan. Kupluk jaketnya menutupi kepalanya, membuat wajahnya tak tampak jelas dan terkesan misterius lantaran tertutup bayang-bayang lampu jalan.

Sakura sampai di sisi lain jalan dan lanjut berjalan cepat menuju destinasinya. Sakura membuka pintu café, menghela napas lega begitu melihat wajah familiar sang barista. Sakura pun berjalan tenang menuju counter. Dia menempatkan tangannya di atas counter.

Kring!

Sampai saat pintu café terbuka dan masuk seseorang, Sakura yang hendak memesan justru membulatkan mata ke arah pintu. Dia tidak sadar kalau mulutnya setengah menganga.

'Oh, tidak!' batin Sakura. Sakura mana tahu penguntit tadi adalah orang yang baru saja memasuki café tepat setelah dia? Benar saja. Itu sosok berjaket hijau tadi.

Sakura mengutuk nasibnya yang dia duga dalam bahaya dan memutuskan untuk keluar dari situasi ini secepatnya. Sakura berniat memesan minuman dengan kemasan take-out tapi jika diingat lagi mungkin lebih aman jika dia tetap di sini. Akhirnya, Sakura memesan iced latte dan setelah meninggalkan counter, dia menatap sosok itu yang hanya terlihat profil sampingnya. Sosok itu ada di sana, baru berjalan menuju tempat memesan yang baru ditinggal Sakura.

Melihat lebih dekat dengan pencahayaan di dalam café sekarang, Sakura sadar lelaki itu memakai headphone. Matanya tak lepas dari layar ponsel. Di balik jaket hijau ada kaos putih yang seketika memusnahkan asumsi mengerikan Sakura. Sakura merasa tensi saat menyadari semuanya. Haruno Sakura, perasaan parnomu menyusahkan diri sendiri.

"Malam, apa yang mau kau pesan?" Sosok itu mendongak dan segera mengantongi ponselnya. Dia mendongak untuk melihat menu yang terpampang di dinding counter, membuat kupluknya sedikit terbuka.

"EEEEHH? SASUKE-SENPAI?" Sakura tak bisa menutupi keterkejutannya begitu mengenali sosok yang disebutnya 'penguntit'. Pemuda itu menoleh merasa ada yang menyebut namanya, sampai akhirnya mata hitamnya membola.

"Oh, Sakura-san," gumam Sasuke. Awalnya dia pikir itu teriakan fans namun suffix 'senpai' yang digunakan sempat menepis dugaan itu.

"Kenapa larut malam ke sini?" Sasuke memicingkan matanya. Memang tidak aman bagi seorang gadis ngeluyur di jam-jam begini.

"Aku dari studio," jelas Sakura.

"Oh, jadi yang berjalan cepat di depanku itu kau." Kesimpulan Sasuke membuat Sakura merona malu dan tertawa hambar.

Sang barista berdehem untuk menarik perhatian mereka. Mereka berdua menoleh ke barista dengan mengerjapkan mata.

"Pesananmu?" ulang barista pemilik manik magenta.

"Oh, sorry man." Sakura tertegun melihat santainya gaya bicara mereka. Sasuke pasti biasa di sini. Setelah lama memperhatikan menu, Sasuke pesan iced cappuccino.

"Tidak!" Seruan Sakura spontan membuat Sasuke dan barista memandangnya.
"Kenapa? Kenapa kau pesan itu, ya ampun."

"Apa yang salah dengan es cappuccino?" tanya Sasuke. Sakura memutar bola mata dan mengisyaratkan barista untuk pergi dan membuatkan pesanan Sasuke. Sakura menoleh pada Sasuke.

"Apa yang salah, kau bilang?" ulang Sakura. Sakura dengan yakin menyayangkan minuman yang dipilih Sasuke.

"Ini seperti, oke, kau ingin susu dan kopi, memang tak buruk. Tapi itu adalah alasan latte diciptakan." Sakura memulai.
"Jadi apa perbedaan antara latte dan cappuccino? Busa krimnya. Tidak salah jika ingin busa klasik di atas minuman dingin. Tapi untuk membuat busa kau harus merebus susu dan menuangnya di atas iced cappuccino, sayangnya suhu tinggi pastilah akan membuat es meleleh dan minuman tak sedingin iced latte atau americano."

Sasuke bersandar di counter, menyeringai melihat betapa ahlinya Sakura soal yang seperti ini. Sasuke menunggu untuk Sakura melanjutkan.

"Jadi, menurutku, jika kau mau busa ya mau tidak mau buat cappuccino panas. Minum busanya, tuang sisa cappuccinonya ke dalam segelas es. Solusi yang logis kan?"

Sasuke tersenyum tipis dan menggeleng.
"Begitukah?"

"Ya," balas Sakura sebelum melanjutkan
"…senpai."

"Bagus, karena minummu sudah siap." Sasuke mengarahkan dagu ke iced latte yang diletakkan di atas counter. Sakura terlalu antusias membicarakan iced cappuccino hingga tak sadar barista sudah meletakkan pesanannya di sana. Sakura menggumamkan terimakasih dan membawa minumannya menuju meja di pojok café.

"Cappuccino-mu, Sasuke," ujar barista membuat Sasuke menoleh.

'Sial, aku lupa minta di cup take-out.'

"Kau tahu, gadis itu benar," ujar sang barista yang mengelap telapak tangannya pada apron ungunya

"Oke, aku paham memesan iced cappuccino adalah kesalahan yang bodoh. Tapi kenapa kau tak membuatkan untukku di cup take-out? Kau tau aku selalu pesan dengan kemasan itu." Sang barista mengusap tengkuknya khilaf. Kemudian menunjuk Sakura dan berkata.

"Kupikir karena dia pesan untuk minum di sini, kau juga begitu."

Sasuke berpikir sesaat dan memang tak bisa membantah. Di samping itu, akan lebih aman pasti jika ada seseorang yang menemani Sakura kembali ke studio. Sasuke tak ingin hal buruk menimpa seorang gadis.

"Lagipula," barista yang diketahui bernama Hidan itu bicara lagi, seringaian terpatri apik di wajahnya.
"…dia punya paras menawan yang pasti kau suka."

Sasuke menoyor kepala Hidan. "Kau datang untuk bekerja, bukan menggoda pelangganmu!" umpat Sasuke, namun dia tak membantahnya juga. Namun setelah dipikir lagi, Sasuke memilih menggeleng kepalanya cepat. Tidak seharusnya dia memikirkan hal itu saat ini. Akhirnya, Sasuke pamit dengan Hidan dan berjalan menuju meja di pojok café.

"Boleh gabung?

TBC

A/N:

Lampu merah yang dipencet-pencet itu yang kayak di negeri sana(?) itu loh. Yang kalau mau nyeberang bisa pencet tombol biar kendaraan berhenti. Sekalian FYI, Kakashi itu salah satu produser KG Entertainment yang ngurus urusan karier musik Sakura. Kakashi sudah beristrikan Nohara Rin. Sakura manggil Sasuke pake suffix itu karena Sasuke memang seniornya di dunia musik. Sasuke juga seorang musisi. Mungkin artis agensi yang sama atau agensi tetangga, itu urusan chapter depan, wkwk. Itu juga kalo dilanjut :3 *ditabok*

Kalau fict ini diperkenankan lanjut, habis baca, silahkan review ^w^)/

Thanks for Reading!