Ace of Diamond by Terajima Yuuji

Hearts of Glass by Revantio

Warnings: AU. Kinda AllEijun.

Chapter 1: Furuya Satoru

.

.

.

Furuya Satoru tidak akan pernah mengakuinya dengan keras bahwa ia merasa kesepian.

Orang tuanya terlampau sibuk dengan pekerjaan dan teman-temannya di Hokkaido kesulitan berkomunikasi dengan perangai kalemnya. Baseball adalah satu-satunya yang membuat Furuya senang, yang bisa membuatnya lupa akan bagaimana rasanya kesepian—walau hal itu sama sekali tidak terlihat di wajahnya.

Tentu saja, 'teman-teman'nya itu harus pergi ketika tidak sanggup menghadapi lemparan bola Furuya.

Maka ia memutuskan untuk datang ke Tokyo mencari seseorang yang bisa menangkap lemparannya. Furuya memberi tahu sekenanya pada kedua orang tuanya. 'Oh ya, tentu saja, nak, silahkan' telah diberikan padanya tanpa Furuya meminta sejak lama. Terkadang Furuya berpikir apa mereka masih akan mengangguk acuh seperti itu ketika ia meminta izin untuk bunuh diri, namun Furuya tidak tahu apa masih bisa bermain baseball setelah mati nanti, jadi ia berhenti memikirkan soal itu. Furuya tahu ia pasti diizinkan pergi ke Tokyo sendirian, ia hanya memberi tahu karena ia perlu biaya.

Udara panas Tokyo hampir membuatnya pingsan, Furuya akui dengan sebal, dan ia (sangat) iri bahkan hampir frustasi melihat anggota tim Seidou yang tampaknya baik-baik saja dibakar matahari. Tidak hampir dehidrasi setiap lima jam sekali.

(Furuya Satoru takut kalau ia akan dibuang lagi karena tubuh lemahnya di bawah sinar terik matahari Tokyo, seperti mereka yang membuangnya karena tidak mampu menghadapi lemparannya.)

Tetapi Furuya adalah seseorang yang keras kepala, sinar terik matahari Tokyo tidak cukup untuk menghentikannya.

(Setidaknya belum, belum, jangan sampai, ia menyukai tempat ini lebih dari apapun.)

.

.

Di mata Furuya, Sawamura Eijun adalah seseorang yang sangat berisik. Mendeklarasikan kalau mereka adalah rival, seolah memaki dengan suara berisiknya yang sama sekali tidak gentar dibawah terik matahari tokyo, stamina gilanya yang berlari menantang. Selalu berhasil membuat Furuya ingin berlari lebih banyak tidak peduli jika sekujur tubuhnya menjerit panas dan lelah. Seorang pemuda berambut cokelat yang gila. Dan mungkin Furuya lebih gila karena terpancing olehnya.

Furuya tidak mengerti kenapa orang gila dan bodoh seperti Sawamura meliriknya terus menerus, pandangannya khawatir atau kadang sebal (hei, Furuya tidak melakukan apapun selain menatap jarinya yang cedera tempo hari, kenapa Sawamura yang jadi sebal?) dan saat Furuya menatap balik lautan madu itu, bentuk mata Sawamura berubah menjadi seperti mata kucing. Apa yang Sawamura lihat pada Furuya, memang?

Kenapa ia melempar tatapan khawatir seperti itu? Bukankah lebih baik kalau ia mengkhawatirkan kemampuannya sendiri dalam baseball daripada jari Furuya yang cedera tempo hari?

Bukannya Furuya menunjukkan rasa sakit atau emosi apapun di wajahnya, juga. Furuya sangat yakin ekspresi wajahnya belum berubah sedikitpun. Karena bagi Furuya, kesepian dan frustrasi seperti ini terasa terlalu familiar, ia sudah tidak yakin harus bereaksi seperti apa.

(Tentu saja Furuya juga tidak mau bilang rasa kesepian dan takutnya kali ini lebih terasa dari sebelumnya, tapi sial, sial, sial, cepatlah pulih, jari sialan. Cepatlah pulih sebelum mereka berubah pikiran sebelum mereka memutuskan untuk membuang.)

Furuya menghela napas halus. Ia tetap mengabaikan Sawamura yang semakin mengernyit khawatir padanya

.

.

Furuya mengerjap saat Sawamura menyodorkan sebuah liontin berbentuk bola baseball berwarna kuning kusam padanya. Kanji 'Furuya Satoru' diukir halus di tengah garis-garis halus bola baseball. Ia mengernyit (sangat) halus saat mengambilnya, menatapnya lamat-lamat. Warnanya terlalu kusam untuk jadi perhiasan yang dihitung berharga dan Furuya tidak yakin liontin itu terbuat dari apa. Seperti percampuran kaca dan keramik?

"...jelek."

"AP—Kalau kau tidak mau ya dibuang saja!"

Sawamura memekik sebal dan Furuya mengabaikannya—melewatkan bagaimana wajah Sawamura berubah pucat dalam sekejap—sebelum kedua iris jelaga miliknya menatap lurus iris milik madu Sawamura, bertanya dalam diam, meminta penjelasan.

"Itu jimat." Seolah mengerti, Sawamura segera menjelaskan. "Itu akan... memberimu keberuntungan. Dan perlindungan. Dan mengingatkan kalau kau tidak sendirian."

Sepasang manik jelaga melebar halus, sebelum pemiliknya menganggukan kepala sangat pelan, tidak terlalu paham dengan perkataan rivalnya dan liontin di tangannya. Furuya memasukkan liontin itu ke dalam kantung seragamnya sebelum meninggalkan Sawamura yang mengernyit dan mengomel soal 'kenapa kau meninggalkanku?!' dan 'mau mendahuiliku latihan ya?!' dan 'setidaknya bilang terima kasih!.' Semua itu jatuh ke telinga tuli karena Furuya hanya mendengar apa yang ia pedulikan.

.

.

Lalu Furuya bertanya-tanya apakah lemparannya yang semakin cepat setelah jarinya sembuh, teman-teman kelasnya yang membantunya belajar (mereka tidak sebaik itu sebelumnya), dan tubuhnya yang terasa ringan saat berlatih itu adalah berkat jimat dari Sawamura. Kalau Furuya orang yang tidak peka mungkin ia berpikir itu semua hanya kebetulan tetapi Furuya memperhatikan sekitarnya seperti elang. Dan ia sadar kalau semua hal yang terjadi itu terlalu... tiba-tiba.

Tiba-tiba udara Tokyo menjadi hangat (bukan panas) baginya. Tiba-tiba teman-temannya di kelas membantunya menulis catatan. Tiba-tiba tidak terasa terlalu melelahkan untuk berlari kejar-kejaran keliling lapangan dengan Sawamura. Semua terjadi tepat setelah ia mendapatkan jimat itu.

Furuya tidak pernah meninggalkan jimat pengasih itu, tidak juga memakainya. Jimat itu selalu ada di kantung seragamnya, selalu ada disana untuk ia gengga, saat ia merasa kesepian dan frustrasi.

Kadang ia bertanya apakah imajinasinya yang terlalu liar atau memang jimat itu berkilau emas dan terasa hangat di genggaman tangannya.

Tanpa Furuya sadari, jimat itu sudah menjadi sesuatu yang penting untuknya, bahkan bagian dari dirinya. Pikiran bahwa mungkin, mungkin, Sawamura hanya memberikan jimat itu untuknya seorang pun membuat mood-nya membaik dari hari ke hari.

.

.

Sampai suatu hari Furuya melihat liontin (jimat) berwarna kuning kusam yang mirip dengan miliknya, hanya saja liontin itu berbentuk mitt. Kanji 'Miyuki Kazuya' terlihat diukir halus di atasnya.

Sepertinya Furuya terlalu lama menatap jimat yang tergeletak di atas meja makan saat sesi makan malam tim, hingga Miyuki mengambil jimat itu dan mengangkat satu alis tanda bingung pada Furuya.

"Kenapa?"

Furuya menggeleng halus, "apa senpai mendapatkannya dari Sawamura?"

Miyuki terlihat terkejut, entah karena pertanyaannya atau karena Furuya mengatakan satu kalimat panjang padanya.

"Iya." Jeda, "kau mendapatkannya juga, ya?"

Furuya tidak menjawab, meninggalkan si senior yang bingung melihat wajahnya samar-samar menunjukkan ekspresi merajuk.

.

.

Setelahnya, Furuya berpikir rasa penasarannya soal jimat itu sama sekali tidak penting, karena di sampingnya Sawamura Eijun terjatuh limbung bersamaan dengan manik jelaganya melirik liontin Miyuki di pinggir lapangan sana pecah terinjak begitu saja. Mengapa Sawamura menangis? Mengapa ia terjatuh bersamaan dengan jimat yang pecah? Mengapa Furuya merasakan jimatnya sendiri di dalam kantung celananya terasa semakin berat? Mengapa Sawamura merintih kesakitan?

(Mengapa dadanya terasa sesak? Mengapa detak jantungnya tidka mau mendengarkan perintah sederhana seperti 'tenanglah'? Kenapa air matanya pun tidak mau menurut dan memilih menggenangi pelupuk matanya ketikamelihat Sawamura merintih menangis di pangkuannya?)

Furuya sulit berpikir saat anggota tim baseball Seidou menghampiri mereka berdua di tengah lapangan baseball, panik menggendong Sawamura yang tidak sadarkan diri ke ruang kesehatan.

Matahari yang terbenam terlihat bersinar oranye bahkan emas, seolah mengejek jimat milik Furuya yang warnanya semakin kusam dan terasa dingin di antara jari jemarinya. Senja melihat determinasi Furuya yang berjanji menjaga jimat miliknya baik-baik.

.

.

Sawamura Eijun kembali mendengarkan lantunan crescendo dari Furuya, tercabik antara menangis dan kesal karena rivalnya berkembang jauh lebih cepat berkat jimat itu atau tersenyum lebar karena kerja kerasnya menyembuhkan terbayar dengan rasa puas dan senang yang sudah lama ia rindukan.

.

.

.

To be Continued

A/N: Yay TBC.

TAPI SUMPAH INI PLOTLESS ABIS JADI GA ADA RENCANA UNTUK DI PUBLIKASI. Salahkan Acchan dan Mbak Dori yang minta dipublikasi (lemah sama permintaan). Lihat saya nyampah bikin MC fanfik lagi dengan tanpa plot. Apalah hidup. Lihat aja nanti kalau saya ada plot ya hikseu.

Spoiler next chapter: Kuramochi Youichi.