Kreshandra Ester proudly present :
One Truth Prevails
.
Detective Conan/Case Closed by Aoyama Gosho
Kami hanya meminjam karakter, latar, dll. One Truth Prevails orisinil karya kami. Kami tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfic ini.
Warning! typo(s), OOC?, sedikit-banyak ada angst, mungkin dark-themed, serta serentet ketidaksempurnaan lainnya yang terlampir.
.
Selamat membaca!
.
.
.
Prolog
Chapter 00
.
.
.
Sudah berapa lama Ai hidup untuk menanti hari ini tiba menghampirinya?
Ia memicingkan mata beberapa kali, memindai kembali konten-konten yang tertera di dalamnya secara saksama sekali lagi. Tangannya temenung di atas tikus hitam yang buntutnya telah disambungkan pada CPU. Sedang matanya masih tetap terpaku pada kalkulasi-kalkulasi beserta penjelasan-penjelasan singkat yang baru saja tertera dua menit lalu.
Ai bingung harus apa; berteriak gembira melalui euforia kebahagiaan atau berkubang dalam lumpur kesedihan.
Tangannya dibawa untuk mengelus pelipisnya pelan. Kedua matanya melirik pada jam digital di sudut kanan bawah layar komputernya: tengah malam; pagi buta. Mungkin ini momen yang tepat baginya untuk mengistirahatkan tubuhnya sembari ditemani secangkir kopi atau teh hangat di beranda lantai dua.
Tangannya kembali mengarahkan cursor untuk menyimpan data tadi dan mematikan komputernya. Kemudian ia bangkit, jas lab putih yang sedari tadi membungkus tubuh mungilnya ia tanggalkan di senderan bangku putar yang biasa ia duduki.
Beritahu atau tidak?
Meskipun tangannya tengah sibuk menakar bubuk kopi untuk dituang ke cangkirnya, pikirannya selalu sama. Bimbang. Dan Ai bertanya-tanya apakah memberitahunya adalah keputusan bijaksana untuk saat ini.
Lalu Ai lupa sudah berapa sendok gula yang ia masukkan dalam likuid hitamnya. Setelah mendengus pelan, dibawanya cangkir—yang isinya tidak tahu sudah cukup manis atau belum—itu ke balkon di lantai atas dekat kamarnya.
Punggungnya bersender di tembok pembatas dan tangan kanannya senantiasa menggoyangkan cangkir kopinya pelan. Terkadang dengan ujung hidung didekatkan ke mulut cangkir untuk menyesap aromanya. Pagi itu dingin, dan Ai menggumam kesal karena meninggalkan jas labnya tadi di bawah. Terlalu larut dalam kecemasannya membuat Ai lupa bahwa sekarang telah memasuki minggu-minggu akhir musim gugur.
Ia tidak habis pikir mengapa dirinya selalu seceroboh ini apabila memikirkan orang itu.
Pasti ada saja yang terlupa. Ada saja yang membuat batinnya gelisah. Dan Ai tidak mengerti mengapa hatinya selalu sulit untuk diajak berkompromi apabila telah berurusan dengannya. Ya, pokoknya situasinya sama dengan yang tengah dialaminya sekarang; seperti dulu pula.
Ai tertawa dalam hati. Bisa-bisanya langit cerah begini dan tengah digantung oleh bulan serta bintang yang orang-orang bilang indahnya bukan main. Mau mengejek, mungkin?
Dahi Ai mengernyit. Pahit.
Ia menatap permukaan gelap likuid itu sebentar. Getir masih terasa jelas di lidahnya. Jelas sudah bahwa ia bahkan tidak memberikan gula sesendok sekalipun saat di dapur tadi.
Ditaruhnya cangkir itu di atas balkon, sedang dirinya memilih untuk bersedekap di dada sembari melongokkan kepala ke belakang melalui atas tembok. Tubuh bocah benar-benar menyulitkan dirinya terkadang; seperti sekarang. Rasanya ingin melihat Beika dari sini saja susahnya bukan main.
Dan Ai hampir saja terbentur tembok saat merasakan sesuatu bergetar di pahanya, diikuti nada dering yang lumayan keras mengingat sekarang sudah pagi buta di mana manusia seharusnya terlelap seluruhnya.
Siapa orang sinting yang tega mengganggunya pada jam segini?
Ai merogoh saku celananya; berniat mengambil ponsel pintarnya yang harus cepat ia bungkam sebelum Profesor terbangun karenanya.
Ya. Ternyata yang meneleponnya memang orang sinting yang sejak tadi bergelayut di otak dan hatinya. Ia menghela napas pendek. Sejujurnya ia enggan untuk mengangkatnya sekarang.
"Jadi," katanya memulai percakapan, "untuk apa kau mengangguku, Kudo-kun?"
Yang di seberang sana menggerutu, "Hoi, hoi, begitu ya caramu menjawab telepon?"
"Salahmu sendiri kau mengangguku, Kudo-kun."
"Aku tahu kau belum tidur." balasnya, masih dengan nada sebalnya seperti biasa. "Apa yang membuatmu begitu lama untuk mengangkatnya?"
Ai terdiam. Entah bagaimana ia menyesal karena telah menjawab dan Si Detektif Menyebalkan malah main menganalisis dirinya. Dan lebih parahnya lagi, ia benar.
"Tidak penting." kata Ai akhirnya. "Aku sibuk. Langsung saja."
Ia menebak bahwa di seberang sana Conan sedang memutar matanya malas—entah benar atau tidak, "Jadi? Mana yang kau janjikan padaku? Kau tak kunjung menelepon, aku malah semakin penasaran."
"Janji apa?"
Ya, pura-pura lupa saja dulu.
"Jangan berlagak. Aku tahu kau sudah menyelesaikannya."
Sepertinya Conan memang berbakat untuk membuatnya bungkam; kehilangan kata-kata. Dan sialnya, nampaknya ia sendiri memang tidak pandai berbohong. Terutama pada cowok menyebalkan yang kini berhasil memojokkannya entah untuk yang keberapa kali.
"Ya. Memang sudah."
"Bagaimana? Kau berhasil?" nada sebal diganti dengan nada riang, kentara.
Dadanya perih. Haruskah ia beritahu sekarang?
"Haibara?"
"Ah, iya. Berhasil."
Bibir bawahnya digigit, jemarinya tanpa sadar pun menggenggam ponselnya erat. Sudah terlanjur ia katakan, ia sudah tak bisa mengelak lagi. Sial.
"Wah! Kapan kau akan memberikannya kepadaku?"
"Jangan bodoh. Memangnya kalau sudah kuberikan kau akan apa?"
Untuk sementara ini, semoga saja suara ketus dan dingin miliknya dapat menutupi hatinya.
"Tenang saja. Aku akan melaksanakan rencanaku yang itu."
"Tidak mau. Rencana bodohmu itu terlalu riskan."
"Ayolah, Haibara! Kujamin pasti berhasil."
"Penawar itu masih belum sempurna. Kau masih dapat kembali menjadi Conan Edogawa tiba-tiba. Dan sebaliknya, mungkin saja penawar itu akan membuatmu menjadi Shinichi Kudo selamanya." sahut Ai dingin. "Gunakan kepalamu baik-baik, Tuan Detektif."
Perasaan tak enak semakin menyelusup pada dirinya seiring dengan urungnya Conan merespon dalam beberapa waktu.
"Baiklah." putusnya. "Kutelepon lagi nanti."
Ai mengangguk lambat—walau dirinya tahu anggukan itu takkan terlihat oleh lawan bicaranya. Sambungan telepon itu telah diputus sebelum ia sempat berkata apa-apa. Ia masukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia berbalik, kemudian menumpu kepalanya pada lengan yang dilipat di atas balkon.
Matanya memilih untuk memindai kota dalam diam sebelum jemarinya gatal untuk menyentuh kembali cangkir kopi yang terabaikan tadi.
Dingin dan pahit bercampur dalam lidahnya. Persis seperti kalimat terakhir Conan sebelum memutus telepon.
Bahkan Ai merasa bahwa kopinya jauh lebih pahit dari sesapan pertamanya.
to be continued.
A/N : Halo semua~! *lambaikan tangan* Kenalkan, kami Kreshandra Ester! Kreshandra Ester adalah akun collab antara itsabsurdmind dan Tsukkika Fleur. Silakan cek di bio kami untuk lebih lengkapnya. Oh iya, ini adalah fanfic collab pertama kami dan kami memilih fandom Detektif Conan :3 Kami akan publish bergantian per chapter dan Tsukki kebagian bikin prolog ini, hehehe. Chap depan akan menjadi giliran itsabsurdmind~
Terima kasih sudah membaca!^^
How about kritik dan saran?:3
.
(07/11/2015)
