A/N: Salam kenal minna-saan. Saya aji mumpung coba peruntungan di Fandom ini #lukirangelamarkerja. Saya bukan Author baru, kalau yang pernah berselancar di Fandom KHR dan Hetalia pasti pernah dengar nama saya (mahluk ngaret yang meninggalkan projectnya begitu saja #ditebas).

Harusnya benda ini jangan Cross Over, iya saya tahu, tapi anak ini adalah spesies malas dengan fantasi liar yang selalu mikir 'daripada satu-satu fandom mending dicampurin aja kayak gado-gado'. Alasan utama saya pilih post di fandom ini karena alur cerita dan tokoh utama ditekankan pada karakter-karakter KnB.


.

Don't Like, Don't Read

Warning: cerita didominasi oleh konten Boys Love a.k.a Yaoi, OOC demi keperluan cerita, slight OC, miss typo, no sensor. Cross Over. Alur nge-slow~.

Pairing: AkaKuro, MuraHimu, MidoTaka, AoKise. Slight other pair. Request dipertimbangkan.

Note: Teikou di sini adalah nama SMA. Akashi di cerita ini adalah Ore-shi. Switch karakter ke Boku-shi akan dipertimbangkan sesuai jalan cerita. Slight character dari fandom lain (beberapa berperan penting tapi tidak semua). Tokoh utama tetap para karakter KnB dan jalan cerita fokus pada karakter mereka.

Summary: Kita membicarakan masa depan, hari esok dan esoknya. Berbagi cerita masa lalu, tentang pengalaman, juga masa kecil. Saling memeluk. Saling menepis. Kita bersaing di sini. Kita bersorai di sini juga. Kontradiktif, tapi itulah hidup. /"Okaa-san... Tetsuya mau sekolah. Bukan clubing di tempat remang-remang."/—/RnR/


.

Ada kisah yang tidak bisa diceritakan, terlingkup dalam katup kunci rahasia. Ada kisah yang akan selalu terkenang dalam hati, membuat haru dan tangis saat diingat. Ada duka. Ada cinta. Ada persahabatan. Ada pertikaian. Pahit dan manis. Hangat dan dingin.

Kita membicarakan masa depan, hari esok dan esoknya. Berbagi cerita masa lalu, tentang pengalaman, juga masa kecil. Saling memeluk. Saling menepis. Kita bersaing di sini. Kita bersorai di sini juga. Kontradiktif, tapi itulah hidup.

Dan suatu saat nanti. Kala semua itu berakhir, kami melempar topi kelulusan. Memegang toga di dada. Melambai senyum haru. Menangis bahagia dan menyorakkan perpisahan. Saling merangkul dengan sahabat kemudian tertawa di bawah sakura terakhir.

Tapi itu suatu saat nanti.

Setelah kisah ini berakhir.


.

12 Seasons In My Life

(...karena itulah aku di sini. Bersamamu. Bersama kalian semua. Di tempat yang akan menjadi kenangan...)

.

Original Story by Rin

Beta Reader by BLANK-98

Disclaimer Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

Gintama © Hideaki Sorachi

Ansatsu Kyoushitsu © Yuusei Matsui

Drama, Humor, Romance, Friendship, Family

Rated T

.


1st. Season: [Spring] One Step toward The Gate.


.

Brusk—

"See-lesaaai..." lirih bergumam dari bibir seorang remaja 16 tahun bersurai baby blue. Peluh nampak menderas seolah dia habis kerja rodi lima tahun.

Kuroko Tetsuya—nama si empu surai baby blue—merebahkan diri setelah tiga jam bergumul dengan tumpukan barang-barang dan lipatan kardus di sudut ruangan. "Yeah, my sweet room..." pandang manik biru itu ke sekeliling ruangan persegi—mantan gudang perkakas dengan debu setebal tiga senti, mengingatnya saja bikin asma—menjadi tempat bersinar-yang-bisa-ditiduri alias kamarnya sambil tersenyum puas. Dia bukan orang yang jago bersih-bersih, tapi setidaknya tidak separah sebelumnya.

"Tetsuya-kun, aku masuk ya." ketuk pelan sebelum pintu terbuka. Senyum tipis terulas melihat sosok yang dipanggilnya tengah merungkel di kasur seperti kucing, dan kagum melihat tempat yang tadinya 11-12 dengan tempat sampah menjadi ruang yang layak huni.

"Wow." tanggapnya dengan muka lempeng.

"Aku membersihkan tempat ini tiga jam hadiahnya cuman wow? Wow sekali Tasuke-nii." si biru merajuk, walau perubahan emosinya nampak tidak ketara. Biasanya dia juga bisa mengendalikan emosi, tapi mungkin lelah lebih mendominasi dibanding pengendalian diri.

Yang disebut namanya hanya tertawa kecil. Ember dan pel ditangannya ditaruh di dekat tembok, tangannya mulai mendekat untuk mulai mengacak rambut biru sang sepupu. "Iya, Tetsuya hebat. Sepupuku top markotop deh." binar jenaka nampak terpantul di kelereng hitam, tangannya mengacak semakin gemas.

"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil Tasuke-nii."

Si pelaku hanya tertawa kecil—lagi. "Kau memang masih kecil Tetsuya-kun,sebelas tahun di bawahku. Maaf kau jadi membereskannya sendiri. Hari ini Cafeku lagi ramai-ramainya. Sebagai gantinya aku akan bantu pel kamar. Kamu boleh mandi dulu."

"Ini sudah setengah sepuluh... Tidak mau."

"Baumu seperti ikan busuk. Aku sudah siapkan air hangat. Habis mandi kita makan."

"Nggak usah Tasuke-nii..."

"A, a. Kita sudah sepakat saat kau bilang mau tinggal ditempatku kan?" Senyum teduh yang nampak licik di mata Kuroko. "Kau harus ikuti peraturan rumah ini."

Kuroko tidak bisa membantah lagi. Yah, memang dia yang memutuskan untuk tinggal bersama setelah tahu kalau ternyata sepupu jauhnya itu tinggal tidak jauh dari sekolah pilihannya—Teikou.

.

.

Bukan tanpa alasan dia memilih sekolah itu, terlepas dari klub basket yang kuat, sahabatnya saat kecil juga mengabari dia akan masuk ke sana, makin kuatlah alasannya untuk masuk walau mungkin harus kos di luar.

Bayangkan dirinya yang bertempat di Kyoto—sementara Teikou sendiri ada di Ibukota Tokyo, andai dia nekat bolak-balik kereta setiap harinya (karena Ayah dan Ibunya terlalu paranoiddengan anak mereka yang kelewat imut dan larangan keras tinggal di tempat asing karena takut sang buah hati kenapa-kenapa—tolonglah, anak mereka berpotensi jadi korban tindak kriminal pedofilia) pastinya dia akan terkapar di hari keempat.

Di saat dirinya menggalau perihal mencapai cita-cita masuk sekolah impian atau semaput overdosis naik kereta dan sekarat di depan gerbang karena 5L—tingtong. Ada tamu yang harus disambut.

Pekik kecil sang Ibu yang membuka pintu membuat Kuroko penasaran, apa itu rampok? Kok sopan sekali ya pake pencet bel dulu?

"Ya ampun...! Ayaaah, Tetchaaan! Sini, sini!"

Eh, beneran rampok nih?

"Ada apa sayang, kalau salesnya maksa tendang saja."

"Sini! Ya ampun ini bukan sales, Ayah! Tidak kusangka aku bisa bertemu denganmu lagi Tacchan!" Ibunya semakin heboh sambil menarik masuk seseorang ke dalam ruang tamu. Orang itu langsung melepas fedora dan membungkuk sopan.

"Selamat sore, maaf saya mengganggu."

Kuroko yang melihat raut wajah ayahnya yang nampak terhenyak ikut-ikutan memperhatikan tamu –spesial- sang ibu.

... Euh. TOLONG, ITU SIAPA?

"Lama tidak bertemu Paman, Bibi... dan Tetsuya-kun."

Kuroko mematung, bola matanya menatap penuh ketidakpercayaan melihat sosok didepannya yang tersenyum kearahnya.

"Tetchan, kok diam saja."

"Okaa-san..." Setelah sekian menit diam Kuroko membuka suara. Sang ayah menyerngit heran melihat ekspresi -tumben-tumbenan eksis- kalut dari wajah sang anak.

(Katanya kalau ketemu orang yang mirip denganmu kamu harus hati-hati, artinya kamu mati sebentar lagi.)

"Tetsuya gak akan mati, kan?"

...

.

.

Krikkrik

Plis, Tetsuya sayang. Dia bukan dopelmu.


.

Namanya Kurokono Tasuke, walau usianya menginjak 27 banyak yang mengira dia masih SMA, maksimal kuliah—babyfacenya tidak larut termakan usia, awet muda yang mengerikan. Status percintaan single—bukan jomlo, dia yang memilih untuk sendiri, lulusan fakultas manajemen dan saat ini menjalankan bisnis Cafe.

Wajah, silakan bayangkan wajah Kuroko Tetsuya dengan rambut dan bola mata hitam. Sungguh mirip, bahkan sampai suaranya, jika Kurokono bilang kalau dia kakak kandung Kuroko toh tidak akan ada yang menyangkal. Perbedaan lainnya ada pada tinggi badan—tingginya 181 senti, Kuroko mau ngambek karena dirinya sendiri mau mencapai 170 susah tenan, ditambah aura dewasanya yang membuat orang-orang enggan untuk macam-macam dengannya (padahal mukanya sama-sama baby face, hidup ini kadang tidak adil—Kuroko mendecih dalam hati).

Kurokono itu yatim piatu sejak kecil—kata okaa-san nya, dia tinggal di Hokkaido sampai tamat SMP dengan saudara dari ibunya, keluar rumah saat SMU dan hidup dengan biaya sendiri sampai lulus universitas. Sejak saat itu keberadaannya putus kontak sama sekali.

"Lama tidak melihatmu, tidak kusangka sekarang kau sudah sukses." binar kagum sekaligus bangga terpancar dari bola mata sang kepala keluarga Kuroko. Bagaimanapun melihat anak yang masa lalunya bisa dibilang kurang beruntung kini sudah menjadi pemuda yang memiliki usaha sendiri dan dibilang cukup sukses itu sungguh membuat lega. Sebagai seorang ayah—sekalipun dia bukan anak kandungnya—tidak ada yang lebih membanggakan dari itu.

Kurokono mendehem—setelah puas tertawa diam-diam melihat kelakuan adik sepupunya, yang...—polos? Oh, apa dia begitu mirip dewa kematian di mata Kuroko?

"Terima kasih Paman. Berkat doa anda juga. Lagipula saya masih belajar juga, masih belum sesukses yang Paman kira." Kurokono membungkukkan kepalanya pelan. Ayah Kuroko langsung mendengus senang sekali lagi, walau dia hidup sendiri itu tidak mempengaruhi tata krama dan sopan santunnya.

"Kau tidak perlu merendah. Kau punya kehidupan yang baik sekarang. Paman senang melihatmu baik-baik saja."

"Hai, Paman."

"Maa, maa... Tacchan ikut makan malam dengan kami bagaimana? Kau menginap saja nanti."

"Saya tidak mau merepotkan, Bibi." Tolaknya sopan.

"Mou, sama sekali tidak. Kau tidak perlu sungkan begitu dengan Bibi, kau sudah Bibi anggap anak sendiri. Ya ampun... Bibi benar-benar khawatir saat kontakmu benar-benar terputus dulu."

"Mohon maaf untuk hal itu, saya tidak bermaksud putus kontak sama sekali sebenarnya. Kebetulan saya sedang mencari barang-barang untuk keperluan Cafe di daerah sini, dan saya teringat dengan kalian. Saya ingin minta maaf dan berterima kasih karena dulu sudah sangat merepotkan."

"Haha, ya ampun Tacchan tidak apa! Yang penting sekarang kamu baik-baik saja sekarang. Oh, iya. Kau masih ingat Tetchan, kan?"

Mendengus kecil sambil menatap remaja bersurai biru yang sedari tadi membisu di samping sang ayah. "Tentu saja." seraya tersenyum sambil menatap Tetsuya jenaka. "Tetsuya-kun sekarang sudah besar saja."

Yang dipandang jadi agak jengah sendiri—dia agak sensi karena ditertawakan tadi. "Anoo..." kok dia merasa ditirikan, ya?

"Tetchan, kamu ingat tidak sama Tacchan sepupumu? Kalian kan dulu pernah ketemu."

Sama sekali nggak. Dia malah kaget punya kembaran yang beda warna begini. Lebih-lebih okaa-san nya bilang kalau Kurokono itu sepupu. Tidak, bukannya mau menyangkal atau apa. Tapi, dengan perawakan Kurokono yang bagai pinang dibelah dua (sayang dibelahnya agak melenceng, jadinya pembagian tinggi badannya tidak setara) mungkin dia akan lebih menerima kenyataan andaikan Kurokono itu adalah sang kakak yang tertukar—atau terlupakan. Atau ternyata ayahnya memadu seorang wanita jauh-jauh dan menghamilinya sebelum menikah dengan sang ibu.

Mungkin dia akan merasakan hidup bak pameran utama sinetron yang pernah dilihatnya di TV interlokal.

Kurokono yang melihat reaksi si biru hanya tersenyum kecil seolah tahu apa yang dipikirannya. "Mungkin tidak, Bibi. Waktu itu Tetsuya-kun kan masih bayi."

"Fufu, benar juga ya. Ah, Bibi mau siapkan makan malam dulu. Kau mau apa Tacchan?"

"Ya ampun Bibi. Sungguh, tidak usah."

"Tolong terima saja Tasuke. Anggap saja ini penyesalan kami karena tidak menjagamu saat kecil."

Kurokono Pasrah. Kalau kepala keluarganya sendiri sudah angkat bicara makin tidak sopan kalau ditolak. "Baiklah, Paman. Tapi, saya tidak akan menginap. Saya harus kembali ke Tokyo malam ini."

"Eh, tidak menginap? Tapi, sudah malam Tacchan. Berbahaya, kau tahu Kyoto tidak terlalu aman sekarang. Apalagi kau dan Tetchan mirip sekali!"

Kuroko menatap sang ibu yang panik sendiri. Kok dia dibawa-bawa? Memangnya kenapa kalau mirip? APA YANG SALAH DENGAN MUKANYA?

"Tidak masalah, saya bisa beladiri kok."

"Tapi..."

"Sayang, sudahlah. Tasuke punya kepentingannya sendiri. Kita tidak bisa memaksanya."

"Hhh... Baiklah. Tapi, kau harus makan masakan Bibi sampai habis, lho. Jangan disisakan. Berlaku untuk Tecchan juga!" selepas kata-kata itu, sang ibu langsung pergi untuk mengacak dapur.

Uh, kenapa dia kena lagi, sih? Dengusnya sebal.

Ayahnya dan orang-yang-katanya-sepupu sudah mulai terlibat percakapan. Lebih ke arah menanyakan keadaan Kurokono atau yang terjadi selama dia di Tokyo dan pekerjaannya.

Kalau mau jujur Kuroko tidak begitu mengerti dengan apa yang terjadi, lagipula dia juga tidak terlalu mengenal dengan sosok bernama Kurokono Tasuke ini. Tapi, melihat kedua orang tuanya sangat senang dengan kedatangannya, lebih-lebih nampak bangga padanya walau dia sepupu jauhnya pastilah karena Kurokono memiliki hal yang lebih dalam hidupnya. Tertarik? Ya. Siapa yang tidak tertarik dengan kehidupan seorang sepupu yang setelah dilansir sukses dalam hidupnya walaupun sebatang kara. Bahkan memiliki usaha Cafe di Ibuko—

...Tunggu—

"Anoo, maaf. Tasuke-san?"

Kedua bola mata hitam dan biru nampak menghentikan percakapan dan mengalihkan perhatian pada si biru muda. Seulas senyum kecil nampak di wajah si surai hitam.

"Aku lebih senang kalau kau menganggapku kakak, Tetsuya-kun." Ucapnya.

"Baiklah, Tasuke...-nii?" sufiks itu sedikit kelu di lidah karena tidak biasa, bagaimanapun dia anak tunggal. Tapi, melihat sebuah senyum mengembang senang Kuroko diam saja. "Tasuke-nii, kau tinggal dan bekerja di Tokyo?" Kuroko langsung tanya to the point.

Menaikkan alis, "Ya, begitulah. Aku membeli rumah tingkat, bagian bawah kujadikan Cafe. Lantai 2 dan 3 kujadikan tempat tinggal. Ada apa dengan itu?"

Kuroko nampak berbinar, akhirnya! Mungkin ini petunjuk dari Tuhan untuk pemecahan masalahnya mengenai sekolah lanjutan yang diimpi-impikannya dalam bentuk seorang sepupu. Bagaimanapun Kurokono adalah kerabatnya bukan? Orang tuanya memang tidak mengizinkan kalau dia nge-kos atau tinggal menumpang dengan orang asing. Tapi, kalau sepupu? Belum lagi ayah dan ibunya nampak senang dengan keberadaan Kurokono. Mungkin ini ... Ah, tidak! Ini satu-satunya kesempatan untuknya!

"Tasuke-nii, aku boleh minta sesuatu?" Sang ayah mulai nampak serius dengan arah pembicaraan ini, tidak biasanya anaknya itu mengakrabkan—tepatnya meminta sesuatu dari orang yang baru dia temui. Sekalipun itu adalah sepupunya sendiri.

Dan... semoga ini bukan soal cinta pada pandangan pertama yang berujung sang anak ingin terus bersama sang pujaan hati. Tidak! Anaknya masih polos dalam hal percintaan! Dan lagi mereka sedarah!

Di sisi lain Kurokono juga tampak penasaran. "Boleh saja."

"Kalau begitu..." Tetsuya berdiri dan berhadap-hadapan dengan Kurokono, dan langsung membungkuk 90 derajat. "Izinkan aku tinggal denganmu!"

Jackpot!

"EEEH, TETCHAN! KAMU GAK BOLEH KEMANA-MANA!" sang ibu yang di dapur malah yang bereaksi duluan. "KAMU GAK BOLEH TERLIBAT PERGAULAN BEBAS, NAK!"

Kok nyambungnya kesana?

"Okaa-san... Tetsuya mau sekolah. Bukan clubing di tempat remang-remang. Okaa-san jangan memperlakukanku seperti anak kecil terus."

"Kau memang masih kecil Tetsuya." Ayah Kuroko langsung mengangguk. "Mimpi basah saja belum."

What—ini namanya penyebaran aib!

"Uph!" Kuroko langsung mendelik tajam—tepat pada sepupu yang menutup mulut dan menghadap sofa, mati-matian menahan tawa agar tidak terbahak.

"Otou-san, Okaa-san. Tetsuya ke Tokyo itu mau sekolah! Tetsuya mau masuk ke Teikou, aku sudah janji dengan Ogiwara-kun untuk sekolah bersama ke sana."

"Tetchan kan gak bisa ngurus diri sendiri, bangun sendiri saja gak bisa."

"Aku bisa menyesuaikan diri kok."

"Pakai dasi saja gak bisa."

"Uh... aku bisa belajar itu nanti."

"Terus, gimana untuk makannya? Tetchan cuman bisa masak telur rebus. Masa mau beli di luar terus. Itu kan nggak sehat. Terus, Tetchan kalau gak diawasi pasti beli vanilla milkshake setiap hari, kamu bisa radang kalau minum itu terus-terusan. Tetchan juga masih polos, ya ampun, Tetchan! Okaa-san gak bisa bayangin kalau kamu diculik terus diapa-apain sama orang-orang tidak bertanggung jawab itu!" sang Ibu langsung meraung dalam tangis dan ratapan anaknya yang imut akan dikotori gemerlap kehidupan malam.

"Tetsuya, minta maaf pada ibumu."

"Okaa-san, maaf. Tetsuya tidak bermaksud membuat Okaa-san sedih."

Kurokono merasa harus menengahi ini—atau drama picisan ini akan berlanjut lebih lebay, seperti Tetsuya pakai pierching lalu mabok-mabokan.

"Maaf menginterupsi Paman, Bibi." Kurokono berdehem. "Mm, Kurasa Tidak masalah kalau Tetsuya mau mandiri dengan memilih sekolah yang diinginkannya." Kata orang yang terbiasa luntang-luntung di jalanan. "Dan... kurasa Bibi tidak perlu sekhawatir itu. Lagipula, tadi Tetsuya-kun minta izin untuk tinggal bersamaku dan bukan tinggal sendiri."

"Tasuke, bukan apa-apa. Kami tidak mau merepotkanmu dengan Tetsuya. Lagipula kau tinggal sendiri, kan?"

"Aku janji tidak akan merepotkan, Ayah. Aku janji akan bantu-bantu Tasuke-nii juga."

"Aku tidak masalah, Paman. Ada beberapa kamar kosong yang kujadikan gudang, kalau dibersihkan Tetsuya-kun bisa tidur di sana."

"Tuh—eh, aku harus bersih-bersih dulu?"

Bisa-bisanya mereka berkolaborasi untuk hal begini. Sekarang mengertilah ayah Kuroko kalau Kurokono dan anaknya tidak terlalu berbeda sifatnya.

"Ehem, baiklah."

"Sayang!"

"Sssh... dengar sayang. Kurasa ini sudah saatnya kita mulai membiarkan Tetsuya untuk hidup mandiri. Lagipula aku yakin Tasuke bisa menjaga Tetsuya."

Kurokono mengangguk pelan, walau dia merasa salah karena seperti mau meminang anak orang. Seulas senyum dilayangkan oleh Kepala Keluarga Kuroko itu, menepuk kepala anaknya yang ketara senang karena diberi kesempatan. Ditambah lugas mantap dari sang sepupu yang membangkitkan senyum percaya sang ibu.

"Anda bisa percayakan Tetsuya-kun pada saya, Paman."

.

.

("Tapi ada satu hal penting harus kuberitahu padamu, Tasuke.", "Apa itu Paman?", "Aku tahu kalian anak muda yang masih perlu menjalani percinntaan, gairah dan nafsu itu wajar.", "Hmm, lalu?" Mulai bingung arah pembicaraan ini akan kemanadan dia sudah tidak muda lagi sebenarnya. "Walau begitu aku menentang hubungan incest. Jangan coba-coba menodai kepolosan Tetsuya-ku. Kau mengerti Tasuke?", "Hah?")

.


.xOx.


.

Beberapa pakaian dilipat rapi, dijejalkan dalam koper. Memilah barang lalu dimasukkan. Mengambil tas yang lain saat dirasa satu koper tidak akan cukup untuk mempak sempurna kebutuhannya. Pakaian, buku, alat komunikasi dan lainnya nampak berserakan di kasur berseprai putih satin. Menunggu untuk dipilih dan dijejalkan paksa ke dalam tas.

"Kau bersiap-siap seperti akan kabur, nii~san~." Gelegak air terdengar dari belakang sang pemuda crimson. Bersamaan dengan suara itu pergerakan tangan juga terhenti, pemiliknya memilih menengok untuk melihat seorang remaja bersurai sama merah tengah bersandar di ambang pintu sambil menenggak sebotol air mineral. Kilat mata merah-nyaris oranye berpendar jahil sesuai dengan cengir yang ditampilkan. "Hee... jangan-jangan beneran mau kabur lagi?"

Yang lebih tua mendesah pelan tidak suka. "Jangan masuk sembarangan ke kamar orang Karma. Kau lupa sopan santunmu." Pernyataan, tentu saja. Tidak perlu berbasa-basi untuk anak yang tingkahnya seperti Karma. "Dan ini sudah lewat jam malammu."

"Aku tidak bisa tidur, jadi aku mandi."

"Malam-malam begini? Kau bisa sakit." Kilau mata merah sang Kakak mendelik marah. "Berapa kali kubilang untuk menuruti kata-kataku—dan Otou-sama."

Mendecih pelan mendengar kata-kata –sok- absolut yang suda sering dia dengar. Terlalu sering, karena ayahnya pasti akan selalu memberi mandat dengan penuh kuasanya. Ya, Karma tahu satu hal kalau dia membenci ayahnya sendiri.

"Kata-katamu seperti dia, kau menyebalkan nii-san." Desisnya dingin.

Akashi Seijuurou merutuk dalam hati. Anak ini perang dingin lagi dengan Ayah. Pikirnya.

"Karma, kalau kau kesini hanya ingin menggangguku sebaiknya kau tidur. Aku harus bersiap untuk berangkat pagi besok."

"Kau bisa sekolah di Kyoto, kan? Kenapa harus pindah ke Teikou?"

Ini lagi.

Akashi tahu kalau adiknya ini mulai melancarkan protes lagi. Ya, semenjak pemberitahuan bahwa dia akan pindah ke Tokyo untuk sekolah di Teikou, Karma mengamuk seolah tidak terima. Akashi sendiri? Tidak ada.

Lebih tepatnya tidak masalah dimanapun dia berada dia akan—dan pasti akan selalu jadi yang nomor satu. Jadi, sebenarnya dia tidak khawatir atau merasakan apapun saat ayahnya menyuruhnya untuk bersekolah di Teikou. Dan Akashi setuju, karena dia tahu walau dingin dan otoriter ayahnya selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Lagipula, nama Teikou yang melambung 10 tahun terakhir ini justru akan memudahkannya untuk masuk universitas ternama suatu saat nanti.

Tapi, kelihatannya itu tidak berlaku untuk adiknya.

"Aku tidak mau dengar kata-kata 'kau terlalu menuruti Otou-sama' atau 'tidak lebih dari bonekanya'. Aku yang memilih dan setuju untuk sekolah di sana."

"Kau setuju karena dia yang memerintahmu."

"Aku tidak diperintah. Ini keputusanku. Berhenti berpikiran negatif tentang Otou-sama, Karma!"

"AKU TIDAK MENGERTI KENAPA KAU MASIH MENGANGGAP ORANG ITU AYAH!"

"Tutup mulut Karma!"

"KAU YANG DIAM NII-SAN! AKU MENGHORMATIMU KARENA AKU TAHU KAU YANG LEBIH MENGERTI AKU DIBANDING ORANG ITU! TAPI, KAU BAHKAN TIDAK MEMBANTAH TIAP APA YANG DIKATAKANNYA!"

"KARMA!"

BRAAAKH—!

Sebuah koper menjadi sasaran kekejaman tajamnya gunting merah—benda yang selalu tersedia di saku jas—hancur menjadi dua seolah benda itu hanya terbuat dari plastik—atau bahkan kertas. Satu hentakan kasar lagi dan bendanya terlempar jauh, menabrak tembok dan menjadi keping, pakaian yang tertata sudah berserakan bagai anai-anai.

"Jangan membuatku ingin membunuhmu Karma. Pergi ke kamar dan dinginkan kepalamu, aku tidak mau melihatmu malam ini." desis berbahaya menguar, menambah dingin atmosfer yang sudah hancur. Selalu begini kalau dua anak adam berdarah Akashi terlibat adu mulut. Kekeraskepalaan keduanya sudah tidak bisa ditolerir, walau kali ini Akashi mencoba sabar nampaknya sikap Karma yang menurutnya sudah lebih dari keterlaluan menghancurkan sumbu toleransinya.

Terkadang dia juga capek menghadapinya. Karena, identikalnya emosi mereka. Seperti menghadapi dirimu sendiri, hanya saja jauh lebih sulit karena dia bukan yang punya hak menyelami dasar hati sang adik.

"...baiklah, kalau itu maumu. Kau tidak perlu repot-repot mencariku besok. Aku tidak akan mengantar kepergianmu." Karma langsung berbalik, membanting pintu bukti bawah dia serius dengan ucapannya. Kalau sudah begini mau tidak mau Akashi hanya bisa merutuk, antara ingin memaki adiknya atau memaki dirinya sendiri yang tidak bisa menghadapi adiknya itu.

Entah sejak kapan Karma mulai begini. Padahal dulu hubungan mereka masih baik-baik saja.

"Kau menyebalkan nii-san... ."

atau mungkin dia yang berubah.

Di saat seperti ini matanya selalu terasa perih.

.


.

Pagi itu selalu menyakitkan mata, kata orang-orang yang biasa bangun saat matahari sudah di bukit langit. Tapi, bagi Akashi Seijuurou yang terbiasa bangun bahkan sebelum matahari muncul itu tidak berarti apa-apa. Jadwalnya tidur dan kapan dia bangun sudah terset ditubuhnya tanpa perlu alarm digital.

Surai sewarna darah itu nampak layu tersiram air, pemiliknya membiarkan saja jalur air itu membasahi keramik dingin di bawah sana. Duduk terpekur di atas kasurnya sementara manik crimsonnya mengawang.

Jarang sekali seorang Akashi Seijuurou terlibat dalam pertentangan emosi dan membuatnya melamun sepagian. Tentu saja tidak ada yang pernah melihatnya begini—mau dibawa kemana nama Akashi kalau sampai ketahuan melamun. Akashi itu harus sempurna. Sesuai doktrin yang ditanamkan sang Ayah sejak dia masih belia—bisa mengendalikan situasi yang ada, berkepala dingin namun berambisi tinggi. Jangan mau dijatuhkan. Jangan termakan emosi. Buat orang lain menuruti pendirianmu dan berada diatas mereka.

Setelah semalam pertengkarannya membuat Akashi enggan untuk sekedar sarapan. Dia absolut. Ya—tapi bukan robot tak berhati tanpa ekspresi. Sekodratnya manusia dia adalah mahluk bernurani—perasaannya sebagai seorang kakaklah yang membuatnya selalu terperangkap emosi.

Karma adik 2 tahun lebih muda. Sebagai sosok lebih muda dan harus dilindungi olehnya, Karmalah korban afeksi—tak langsung—dirinya, dan mungkinlah ini yang membuat Karma menggantungkan diri padanya.

saat tahu tempatnya bersandar pergi, dia akan kemana? Apa dia akan tahan? Mungkin itulah yang Karma rasakan dan membuatnya menentang keras kepergiannya.

Berpikir masalah ini tidak akan selesai, dia langsung beranjak. Mengambil setelan ganti dan menggeret koper. Tidak akan ada yang berubah mau dia menunggu siang atau malam sekalipun, toh, dia tetap akan pergi. Karena itulah dia memutuskan untuk memulai perjalanan lebih awal.

Membangunkan supir pribadi dan memintanya untuk bersiap dalam waktu tiga puluh menit. Menolak saat beberapa pelayan menawarkan sarapan dan hanya mengambil susu kotakan.

Tangan mulai meraih kenop pintu, namun suatu gaya membuatnya membeku sejenak. Pandangannya berputar, beralih pada meja kecil tersorot mentari yang malu-malu. Langkahnya membawa pelan ke sebuah meja kecil. Dia pun mematung.

Surai crimson nampak termenung, perasaan teduh namun damai telukis di kanvas indah ciptaan Tuhan. Tangannya mulai meraih mengelus pelan pigura foto di meja, senyum tipis tergambar menatap objek dalam foto yang tersenyum manis berlatar hamparan hijau berwarna oleh sapuan warna bebungaan di bawah biru langit tergurat putih awan.

Ibunya.

"Aku pergi dulu, Okaa-sama."

Sepatah kata itu, lalu pergi. Menutup pintu dan meninggalkan debam kesunyian.

...

sendirian.

.

.

.

Suara halus mobil yang dikendarainya bergaung sepanjang perjalanannya ke Tokyo. Akashi Seijuurou hanya memandang jauh melalui kaca mobil selama itu. Tanpa musik atau hiburan lain, matanya nampak mengawasi pemandangan sakura berbunga di luar sana walau tidak ada yang tahu pasti apa isi kepalanya.

Mobil berbelok, Akashi tahu tempat ini, dia pernah ke daerah ini saat diajak oleh ayahnya—untuk urusan bisnis pastinya. Cukup sekali perjalanan dan Akashi sudah hapal bahwa tinggal beberapa ratus kilometer lagi dia akan sampai ke apartemen tujuannya.

Di Tokyo ini dia memang akan menempati apartemen yang khusus dibeli oleh ayahnya kalau ada perjalanan bisnis ke sana, dan sekarang dialah yang akan menempatinya selama tiga tahun ke depan dia bersekolah.

Entah apa ada sesuatu yang merasukinya, Akashi meminta pada supirnya. "Hasegawa, putar balik. Aku mau melihat sekolahku dulu."

"Bukankah sebaiknya kita tiba di apartemen dulu, Seijuurou-sama?"

"Tidak apa, aku mau memeriksa kondisi lingkungannya saja." Bohong, sebenarnya Akashi hanya penasaran, bagaimanapun dia hanya mendengar sekolah barunya dari rumor—gambarnya hanya dia lihat dari beberapa foto saja. Tapi, tidak ada yang perlu tahu.

Katakanlah dia cukup bersemangat dengan sesuatu yang baru—Ayolah, Akashi masih remaja normal dengan semangat masa muda.

"Baik. Seijuurou-sama." Sang supir langsung memutar balik dan mengarahkan tujuannya ke sebuah gedung sekolah. Jaraknya tidak cukup jauh dari Apartemen tujuan awal mereka.

Saat gelinding roda itu berhenti di depan sebuah gerbang yang terkunci, Akashi turun sambil memperhatikan sekolah barunya. Kelihatannya dia tidak akan bisa masuk kedalam. Melihat kondisi sepi dan gerbang yang terkunci. Akhirnya, Akashi hanya memperhatikan sekilas dari balik terali besi.

Pepohonan sakura di dalam sana mekar dengan indah, kelopaknya berjatuhan tiap angin berhembus pelan. Gedung sekolah terlihat modern, nampaknya sekolah ini akan membuatnya betah.

—dan, dia merasa akan menemukan sesuatu di sini... sesuatu yang berharga.

.


.xOx.


.

Silver Black—judul dari sebuah Cafe di pinggiran jalan kota, letaknya strategis di dekat pemukiman, asri karena ada di seberang taman dan sering dilewati lalu lalang siswa sekolahan juga mahasiswa. Gedungnya berwarna klasik, dominasi coklat, hitam dan putih sedikit sepuhan berwarna hijau, biru dan merah. Interiornya bernuansa muda, tidak terlalu girly untuk lelaki dan terkesan manis untuk para gadis. Ya, Cafe yang dirintis oleh Kurokono memang menjadi basis nongkrong para murid-murid yang kelelahan dan cari hiburan untuk menenangkan diri—atau sekedar wifi gratis—walau tidak sedikit ada yang menggunakannya untuk mengerjakan tugas. Toh, dia tidak melarang. Karena dasarnya dia mahluk budiman.

Pendapat Kuroko Tetsuya saat melihat plang namanya adalah—("Untung bukan silver bullet, atau nanti dikira tempat dagang senjata." Yang dibalas Kurokono. "Maklum saja, naming sense-ku payah." Sungguh orang yang jujur. Dia bilang dia dibantu temannya untuk mencari nama—dan menurutnya ini yang paling normal—karena temannya itu kumpulan orang yang kepalanya agak gesrek. satu orang bahkan mengusulkan 'Jouishishi' dan langsung ditolak sepenuh hati. Enak saja, Cafenya bukan basis samurai teroris.)

Pagi itu Kuroko—yang diajarkan oleh Tasuke untuk selalu bangun lebih pagi dari waktu biasanya, latihan sebelum masuk sekolah katanya—turun dari lantai dua kamarnya untuk mencari sosok sang Sepupu. Kepalanya celingak-celinguk mencari, karena hasilnya nihil dia pun memberanikan diri masuk ke ruang pegawai dan melihat ke bagian dalam Cafe melalui celah pintu.

Kondisi Cafe waktu itu di luar dugaan cukup ramai untuk ukuran pagi hari, ada kumpulan anak muda -kelihatannya mahasiswa- yang tengah berkutat di depan laptop di bangku sudut yang dikhususkan untuk banyak orang. Tiga-empat orang berjas rapi yang meminum kopi sambil menyantap makanan. Dan dua orang manula yang nampak duduk santai di dekat jendela.

Pantas Kurokono selalu tidak kelihatan pas pagi-pagi dia bangun (paginya Kuroko di hari libur itu jam 9, bahkan lebih)—ternyata dia sudah sibuk sepagi ini.

Jadi malu sendiri, dia saja bangun harus digulung dari kasur dulu.

Jrot

"Aduh!" saking asyiknya mengamati Kuroko tidak sadar ada yang mau masuk ke ruangan itu dan berakhir dengan mukanya tertabrak pintu.

"Lho, aku menabrak orang ya? Eh, tidak ada siapa-siapa..."

"Anoo..."

"AH!" pemuda berponi sebelah itu nampak kaget, perasaan tadi tidak ada orang di sana. "Kamu tidak apa-apa?" pemuda itu langsung membantu Kuroko untuk duduk. Kuroko meringis sedikit, hidungnya agak merah, untung tidak sampai mimisan.

"Mau aku kompres?" pemuda itu nampak sedikit panik. Iyalah, anak orang nih. Kalau sampai berdarah-darah dia yang repot.

"Tidak usah. Hanya sakit sedikit kok." Jawabnya dengan nada lempeng dan wajah yang datar.

"Hum, syukurlah..." nampak bola mata keabuaannya meneliti sosok bersurai biru di depannya. "Aku tidak pernah melihatmu, apa kau adiknya master?" tanyanya. Yah, orang yang baru ketemu pasti akan langsung menduga dia adalah adik Kurokono—atau mungkin yang ekstrim, anak—wajah mereka memang mirip.

"Bukan."

"Eh—?" pemuda itu langsung kaget, kepalanya langsung membuat perandaian kalau anak yang didepannya bukan adik master-nya berarti dia an—.

"Bukan, aku juga bukan anaknya." Kuroko buru-buru menengahi, ternyata orang ini termasuk golongan ekstrim dalam membuat perkiraan. "Lebih tepatnya adik sepupu, Namaku Kuroko Tetsuya. Aku di sini sejak dua hari lalu, salam kenal." Kuroko langsung membungkuk sopan.

"Oh, begitu—kukira kau anak master di luar nikah." Pemuda itu langsung tersenyum maklum seolah kata di luar nikah itu adalah kosakata umum. Ah, master-nya yang baby face itu ternyata memang masih perjaka. "Namaku Himuro Tatsuya, aku pegawai disini. Kau mencari master?Biar kupanggilkan."

Mendapat tawaran begitu Kuroko mengangguk saja, dia juga tidak mau membuat rusuh di bagian depan dengan kemunculannya—yang memang berpotensi membuat orang jantungan. Syukurlah, orangnya baik.

Kuroko nampak menunggu di ruang pegawai sambil memegangi hidungnya yang sudah tidak terlalu sakit, tapi masih merah kayaknya. Kepalanya langsung menoleh saat mendengar suara pintu dibuka dan sosok Kurokono berdiri.

"Ada apa Tetsuya-kun? Himuro-kun bilang kau memanggilku."

"Ya, aku mau izin keluar Tasuke-nii."

"Boleh, kau mau kemana—eh, hidungmu kenapa?" ah, ternyata hidungnya masih merah.

"Aku mau ke toko buku, ada yang lupa kubeli untuk sekolah besok ternyata. Yang ini... tadi tertabrak pintu. Himuro-san tidak sadar kalau aku di depan pintu."

"Oh... kalau kau mau ke toko buku ada yang kecil di dekat sini. Sebentar, kugambarkan petanya. Aku tidak bisa meninggalkan Cafe, tidak apa-apa kan sendiri?"

"Tidak apa-apa Tasuke-nii." Kuroko menerima peta yang digambar Tasuke. Dekat ternyata. "Lagipula aku juga mau tahu keadaan sekitar sini." Kalau bisa mau lihat Teikou malah. Tapi, tidak diutarakan, takut dilarang.

"Kalau begitu hati-hati, jangan terima ajakan orang tidak dikenal. Tetsuya-kun kan belum terlalu tahu daerah sini. Bawa handphone, kan?"

"Iya, aku bawa kok."

"Kau boleh jalan-jalan atau melihat Teikou, tapi jangan sampai tidak bisa dihubungi, ya." Senyum tipis penuh arti. Kuroko curiga Kurokono bisa baca pikiran orang. Kelihatannya dia tidak akan bisa berbohong didepannya.

.

.

"Terima kasih atas kunjungannya." Senyum ramah penjaga toko buku mengudara. Kuroko sudah selesai dalam acara belanjanya, tangannya menenteng kantung cokelat berisi beberapa buku notes dan novel—pengarang kesukaannya sudah terbit buku baru, apa yang bisa dilakukan memang?

Manik birunya nampak memperhatikan sekeliling yang cukup ramai semakin siang menjelang. Pukul sebelas lewat delapan, pantas matahari terasa terik. Kuroko melenguh pelan. Dia berpikir apa langsung pulang atau jalan-jalan dulu.

Pada akhirnya Kuroko memilih untuk menunggu di halte bus, dia menuruti niat awalnya untuk pergi melihat Teikou. Sebenarnya, Cafe Kurokono tidak begitu jauh dari Teikou—terbukti dengan dominasi pengunjungnya adalah murid sekolah. Tapi, Kuroko merasa akan lebih cepat kalau naik bus—lagipula panas udara Tokyo bisa memanggangnya, rasanya dia bisa menghitam kalau disuruh berdiri setengah jam saja. Beruntung busnya datang tepat waktu.

Mencari tempat duduk dekat jendela, Kuroko memperhatikan pemandangan di sekeliling. Nampak jejeran pohon sakura mekar dengan indah memenuhi pandangannya selama perjalanan. Tangannya meraih handphone disakunya. Untuk memberitahu Kurokono kalau dia pulang agak siang dan Ogiwara. Entah kenapa dia merasa tidak enak kalau tidak menghubungi teman kecilnya itu.

Tapi, niat itu diurungkan saat melihat halte yang menuju Teikou sudah berhenti. Uh, ternyata memang dekat. Jadi rugi buang uang.

Menyusuri tembok sekolah barunya itu sambil memperhatikan sakura yang mekar di seberang tembok. Suasananya sepi, tentu saja. Upacara masuk sekolah masih besok, anak-anak lain pasti lebih memilih untuk bergelung di kasur menikmati libur terakhir mereka sebelum kembali menjalani rutinitas sekolah. Kelihatannya dia saja yang memang kelewat semangat untuk pergi sekolah seperti bocah—sampai matanya menangkap mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari gerbang.

Kuroko pikir itu hanya guru yang mengurus persiapan, tapi kelihatannya salah karena dia melihat sosok pemuda dengan tinggi tidak jauh darinya nampak memperhatikan isi sekolah dari balik terali besi.

Kuroko sendiri tidak sadar tercekat melihat sosok yang cukup—memang tampan didepannya. Bahunya tegap walau perawakannya tidak jauh darinya, surai merah itu nampak seperti noda pemanis yang berdiri di tengah kungkungan kelopak yang berjatuhan tertiup. Manik crimson sewarna rambutnya pun menatap Kuroko dengan tajam dan menyelidik—eh, tunggu? Menatapnya?

"Apa kau sekolah di sini?"

Tidak biasanya ada orang yang bisa menyadari keberadaannya secepat ini sebelum dia bersuara.

"Kau tidak bisa bicara?"

Kuroko baru sadar kalau dia hanya membisu. "Aah... akan. Aku akan mengikuti upacara masuk besok." Tunggu, kenapa dia menjawabnya? Jangan bicara dengan orang asing Kuroko Tetsuya!

Di luar dugaan pemuda itu mendengus pelan dan tersenyum. "Aku juga, kalau begitu kita teman seangkatan."

Eh, tidak disangka. Mungkin tujuan orang ini juga sama sepertinya. "Umm... salam kenal."

"Aku belum tahu namamu." Pemuda bersurai merah itu nampak meminta namanya dengan nada memerintah, Kuroko menyerngit. Sedikit tidak suka dengan nada bicaranya.

"Perkenalkan dirimu terlebih dulu, sebelum itu aku tidak akan menjawabnya."

Pemuda itu menaikkan alis, nampak sedikit tersinggung. "Kenapa aku harus duluan?"

"Karena kau yang mengajakku bicara terlebih dulu, Tuan Muda." Kuroko membalas sarkas tidak mau kalah. Dia cukup kepala batu untuk urusan ini.

"Baiklah, namaku Akashi Seijuurou. Kau?" pemuda itu pun akhirnya menjawab duluan—Akashi-kun, eh? Walau nada bicaranya kelihatan tidak ikhlas. Kuroko jadi tidak yakin bisa berteman dengan orang ini.

"Namaku Kuroko Tetsuya, yoroshiku." Kuroko membungkuk pelan, kebiasaan lama memang sulit dihilangkan.

Lalu, hening. Tidak ada yang bersuara lagi setelah itu. Entah apa karena Kuroko malas membuka percakapan atau Akashi yang terlalu sibuk menyelidiki Kuroko atas bawah—orang ini kelihatannya kurang sopan. Pikir Kuroko sebal.

"Seijuurou-sama, kita harus segera kembali." Interupsi diraungkan oleh supir pribadi sang Akashi muda. Hari sudah semakin siang dan jalanan Tokyo tidak memberi toleransi pada kemacetan.

Akashi pun akhirnya mengangguk pelan pada supirnya. "Kalau begitu sampai besok, Kuroko." Senyum tipis dilayangkan dari bibir si surai merah.

Sekejap—sebelum tubuh itu benar-benar tertelan pintu mobil, manik merah dan biru itu saling beradu pandang dibawah deburan sakura yang jatuh. Seolah mencoba menghisap keberadaan masing-masing dalam warna yang begitu murni.

Dan kenapa Kuroko tidak melepas pandangannya dari orang itu—bahkan sampai mobil itu membawanya berlalu?


.

.

TBC

.

.


A/N: Kalo yang gak tahu Gintama, Kurokono Tasuke adalah karakter parodi Kuroko Tetsuya di Gintama. Profilnya tentu saja itu ngarang bebas #loncat. Kalo Karma, mungkin pada tahu, kan, ya? Si koro-sensei itu loooh...

Biasanya saya kalau buat jalan cerita to the point aja. Tapi karena genrenya drama saya agak mengubah cara penulisan. mohon maaf kalo OOC.

Bagi yang berkenan meninggalkan kritik dan pesan, uhum, klik benda imut bernama review dibawah yaa...

Lanjut?

Thank's a Lot for You

REVIEW~


Published date: 5th. July 2015