COME BACK

Naruto © Masashi Kishimoto

Story by Imee-chan Uchiha

.

Chapter 1

.

Sasuke menatap langit-langit kamar rumah sakit yang remang-remang. Ia menggunakan tangan kanannya yang tidak di gips sebagai bantalan kepalanya. Seberkas cahaya rembulan menyusup melalui jendela yang dibiarkan terbuka. Membuat ruangan itu tidak terlalu gelap karena lampu yang tidak dinyalakan. Angin malam yang masuk melalui jendela tak membuat tubuh itu kedinginan. Padahal pemuda itu sama sekali tidak memakai selimut dan hanya mengenakan kaos hitam tipis. Selimut yang ada ia biarkan begitu saja—terlipat rapi di ujung ranjangnya.

Onyx itu terpejam. Pikirannya menerawang. Pemuda itu sungguh tak menyangka bahwa ia benar-benar kembali ke Konoha setelah selama hampir tiga tahun ini ia hidup di dunia luar untuk membalaskan dendamnya—yang justru berujung pada penyesalan dan air mata.

Setelah perang dunia ninja keempat berakhir, Naruto berhasil membawa—mungkin lebih tepatnya memaksa dan menyeret—dirinya untuk kembali ke desa asal mereka. Konohagakure. Memulai lagi kehidupan yang baru. Membangun kembali apa yang telah hancur. Menyatukan kembali ikatan—yang Sasuke yakini—telah terputus.

Sasuke kalah. Pemuda berambut raven dengan style unik berbentuk seperti pantat ayam itu akhirnya mengaku kalah pada Naruto. Suatu hal yang paling ia benci bahkan mungkin tak akan pernah diakuinya. Harga diri Uchiha-nya yang agung membuat ia harus menelannya bulat-bulat demi mengakui hal itu pada sahabat sekaligus rival sejatinya.

Setelah perang terjadi sekitar sebulan yang lalu, para penduduk desa mulai membangun kembali desa yang telah hancur dan hampir sama rata dengan tanah. Namun rasa senang dan bangga karena aliansi shinobi dapat memenangkan perang, membuat semangat mereka berkobar sehingga tak ada satupun yang mengeluh dan mulai bekerja keras untuk membangun kembali rumah-rumah mereka.

Sikap para penduduk desa juga berubah drastis terhadapnya. Ia yang dulu selalu dibicarakan karena statusnya sebagai missing-nin dan pengkhianat desa, kini orang-orang berubah bersikap baik padanya. Selain karena ia juga merupakan salah satu pahlawan utama dalam memenangkan perang, namun juga karena faktor-faktor yang lain. Apalagi setelah rahasia dibalik peristiwa pembantaian klannya terkuak—membuat hampir semua warga desa merasa semakin bersalah padanya. Hal itu semakin ditunjang dengan wajahnya yang memang berada diatas rata-rata membuat para gadis—dari yang kecil sampai dewasa—semakin tergila-gila padanya. Dan jangan lupakan juga marga Uchiha—sebagai klan paling terpandang dan disegani di Konoha—yang disandangnya. Sikapnya yang cool semakin menambah nilai plus pada makhluk adam satu ini.

Oleh karena itulah, banyak warga desa yang menaruh simpati terhadapnya. Setiap hari ada saja bunga, cokelat dan kue yang dibawakan petugas rumah sakit Konoha—karena ia tidak suka dijenguk kalau bukan orang terdekatnya—dari para penggemarnya yang sebagian besar perempuan serta kartu ucapan semoga cepat sembuh. Bahkan sampai ada yang nekat memberikan surat cinta.

Oh, tolong jangan tanyakan kenapa Sasuke tahu hal seperti itu—mengingat sifatnya yang bahkan tidak peduli pada hal apapun yang ada disekitarnya—Naruto lah yang sering memakan hadiah-hadiah dari para penggemarnya bersama teman-temannya yang lain. Tentu saja Sasuke tak keberatan, karena ia memang tidak suka menerima pemberian dari orang yang tidak dikenal. Apalagi ia tidak suka dengan segala sesuatu yang berbau manis.

Padahal pemuda kyuubi satu itu juga mendapat hadiah yang tak kalah banyak dari Sasuke namun ia hanya menyayangkan cokelat dan kue itu jika tidak dimakan. Dengan jahilnya juga pemuda berambut kuning itu membacakan surat-surat itu dihadapan Sasuke. Adik dari Uchiha Itachi itu sedikit tersenyum tipis kala mengingat kejadian itu. Bayangan wajah Naruto yang membacanya lengkap dengan ekspresi wajahnya yang terkesan didramatisir membuat ia mau tak mau tertawa geli—walau tak terlalu ditunjukkannya. Dan ia ingat sekali ketika ia berusaha menahan tawanya, Naruto ikut tersenyum tipis. Senyum yang tulus. Ia sangat tahu itu. Senyum yang sama yang selalu ditunjukkan oleh kakaknya dulu untuknya—sebelum insiden yang membuat hidupnya berubah drastis terjadi.

Sasuke membalikkan tubuhnya menyamping menghadap jendela. Pandangannya terpaku sejenak pada vas bunga—di atas meja kecil di antara jendela dan ranjangnya—dimana terdapat bunga daffodil yang sudah layu. Seperti sudah berhari-hari tidak diganti—walaupun pada kenyataannya memang seperti itu.

Biasanya Sakura-lah yang akan menggantikan bunga itu setiap hari. Dulu ketika mereka masih genin—ah, sayangnya ia dan Naruto sampai saat ini memang masih berstatus sebagai genin—saat ia berkali-kali dirawat di rumah sakit, Sakura pasti setiap hari menjenguknya. Tak lupa membawa setangkai bunga daffodil kemudian mengganti bunga yang sudah layu dengan bunga yang baru.

Dan lihatlah sekarang, bunga itu bahkan sudah mati karena sudah beberapa hari tidak diganti. Itu berarti Sakura sudah hampir seminggu tidak menjenguknya. Bahkan semenjak perang berakhir sebulan yang lalu, terhitung baru dua kali gadis itu menampakkan diri di depannya. Itu pun hanya untuk mengecek kondisi tangan kirinya yang terluka dan memberinya ramuan obat yang memang harus Sakura yang memberikannya—mengingat itu bukan ramuan sembarangan dan gadis itu sendiri yang meraciknya. Bahkan kunoichi murid kesayangan Tsunade itu yang seharusnya rutin mengecek kondisinya setiap hari menyerahkan tugasnya pada Ino.

Ah, apakah ia barusan mengharapkan Sakura menjenguknya? Bahkan setelah hal-hal yang terjadi selama ini yang dilakukannya pada gadis itu ia masih berharap Sakura kembali memperhatikannya? Sasuke mendengus. Mengingat gadis merah muda itu hanya akan semakin membuat hatinya sesak.

Sasuke membalikkan tubuhnya kembali terlentang diatas kasur. Pemuda tampan itu melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu kamar. Sudah pukul dua pagi. Dan ia sama sekali tidak mengantuk—walaupun ia berusaha berkali-kali untuk memejamkan matanya—namun otaknya terus dipaksa bekerja.

"Sst, Teme…!"

Sasuke mendengus. Baru saja pemuda tampan itu berhasil memejamkan matanya, ia kembali terusik dengan suara cempreng Naruto. Walaupun begitu, pemuda Uchiha itu sama sekali tak berniat membuka matanya.

Mereka memang sekamar dan hanya dibatasi sebuah tirai di antara ranjang mereka. Jangan tanyakan kenapa Sasuke mau sekamar dengan pemuda berisik itu—karena Naruto lah yang memaksanya. Apalagi setelah ia diancam oleh Naruto. Walau dicegah sekalipun pemuda itu pasti akan tetap bersikap keukeuh. Dan jangan tanyakan juga kenapa Sasuke tidak terkejut bahwa Naruto belum tidur—karena ia sama sekali tak dapat melihat pemuda itu karena tirai yang menghalangi mereka. Tidak adanya suara berisik karena dengkuran pemuda rubah itulah yang membuatnya berasumsi bahwa Naruto juga masih terjaga.

"Hn."

"Teme…"

Sasuke berdecak kesal. Ia menyesali keputusannya yang membiarkan Naruto—yang memang tidak bisa diam dan selalu berisik kapanpun dan dimanapun—sekamar dengannya. "Apa, Dobe?" tanyanya kesal. Ia membuka matanya. Oh, ayolah. Ia sangat ingin tidur sekarang.

"Aku rindu Sakura-chan," lirihnya.

Sasuke mendengus—lagi. Tidakkah si baka Dobe itu tidak membuat ia semakin kalut karena menyebut nama Sakura? Bungsu Uchiha itu memilih tak menjawab. Ia biarkan saja Naruto kembali mengoceh tak jelas.

"Dia jarang sekali menjenguk kita. Kita kan sahabatnya," ujarnya lirih. Namun terkesan dibuat-buat.

"Apa maumu, Dobe?"

Naruto nyengir, memamerkan deretan gigi-giginya yang tersusun rapi. "Bagaimana kalau kita yang menemuinya?"

"Ini sudah malam. Jika kau tidak ingin mati konyol karena membangunkan seisi rumah sakit dengan suaramu yang berisik itu. Lagipula belum tentu ia jaga malam hari ini."

"Aku kan tidak bilang harus malam ini, Teme. Berarti kau setuju?"

Sasuke terdiam. Onyx-nya kembali terpejam. Benar kata Naruto, apakah ia memang sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Sakura? Dan apakah ia sudah siap bertemu lagi dengan gadis itu? Walau sudah dua kali mereka bertemu, tetap saja baik Sasuke maupun Sakura tak ada yang mau memulai percakapan. Sehingga hanya menciptakan suasana canggung di antara mereka.

"Teme…!" Naruto berbisik sedikit keras.

"Tidurlah, Naruto. Ini sudah larut malam."

Naruto berdecak kesal, "Kau ini, Teme!"

Sasuke menarik selimut yang sedari tadi terbengkalai dan menyelimuti seluruh tubuhnya sampai dada bidang pemuda itu.

Naruto yang memang sebenarnya bosan setengah mati karena suasana rumah sakit yang membosankan—ditambah diabaikan oleh Sasuke—kembali mendengus kesal. Ia sudah berkali-kali memejamkan mata, namun pemuda berambut kuning seperti durian itu sama sekali tak bisa terlelap. Walaupun ia berusaha mengajak Sasuke mengobrol adalah karena dia bosan, namun tak dapat ia pungkiri ia juga merasa kesal pada Sakura.

Medic-nin cantik itu tidak menemuinya—bahkan hanya sekedar untuk mengecek kondisinya sekalipun. Padahalkan ia pahlawan utama disini—apalagi ia sedang terluka parah dan memerlukan perawatan khusus. Harusnya ia lebih diperhatikan. Apa mungkin gadis itu marah padanya dan Sasuke karena bertarung dan menyebabkan keduanya terluka parah sehingga hampir kehilangan salah satu tangan mereka? Entahlah, ia tak tahu. Tapi kemungkinan hal itu benar. Karena kelelahan oleh pikirannya sendiri, akhirnya pemuda itu jatuh terlelap.

.

To be continued...

.

Hai, semua. Salam kenal! Hehehe.. :D

Aku pendatang baru di ffn, dan ini fic pertamaku. Setelah selama ini cuma jadi silent readers, akhirnya aku nekat bikin cerita. Hohoho... :D

Gimana? Bagus nggak? Mau dilanjutin?

Kritik dan saran. Review, please?

.

.

Jakarta, 06 November 2014