Smile : Ini fanfict pertama saya, mohon di review ya ?! :)
Pairing : GinRan
Disclaimer : Tite Kubo
Summary : Sesedih apakah dia, sampai menagis seperti itu, tanpa bersuara? Kenapa ya?
Love at the First Sight
Chapter 1 : Hujan di Hari Senin
Namaku Rangiku Matsumoto, Kelas 3 SMA. Tinggal di kota kecil di pinggir pantai.
Awal minggu di hari senin, hujan turun.
Hari dan cuaca yang paling tidak kusukai.
Terdengar suara debur ombak menyapu pasir.
Udara laut pada musim dingin terasa mengigit tulang di pagi buta bulan Januari.
Sambil menghirup udara laut yang berbau garam, setiap pagi aku memulai hari-hariku dengan berjalan-jalan di pantai bersama Haineko, kucing kesayanganku.
Yup, Haineko suka sekali berjalan-jalan.
Ketika aku sedang menyusuri pantai berpasir dan hendak menuruni tangga batu, tiba-tiba aku berhenti.
Ternyata, di pantai yang kukira sepi tak berpenghuni, kulihat seorang cowok dengan rambut berwarna silver-nya berdiri melamun.
Ia berdiri sendirian di pantai berpasir, sambil terus… terus memandang ke arah laut.
Di laut tampak bayangan warna langit yang biru keabu-abuan.
Buuur… buuur… terdengar suara deburan ombak yang yang menyemburkan buih berwarna putih ke udara dingin yang lembap.
Tiba-tiba hujan turun. tetes-tetes air yang berwarna keperakan jatuh membasahi bumi. Aku menengadah ke langit. Ah… hujan. Aku menatap tetes-tetes air yang jatuh dari langit bagaikan untaian benang perak.
Titik-titik air itu semakin lama semakin besar.
Gerimis pun berubah menjadi hujan deras.
Air membasahi tubuhku. Aku segera mengerudungkan tutup kepala mantel hujanku.
Untunglahlah aku juga memakai sepatu bot tahan airku yang ringan.
Memang biasanya aku suka menatap pantai di kala hujan turun. Rasanya begitu indah, damai dan menggugah perasaan.
Tapi aku harus pulang.
Saat ini aku hanya ingin berjalan-jalan santai, eh… malah kehujanan.
Sambil berpikir begitu, aku segera menuruni tangga batu yang menuju pantai.
Mengapa hujan mesti turun pada hari senin?
Hmm, suatu perpaduan kondisi yang paling tidak menyenangkan. Sebenarnya aku masih malas untuk pulang.
Tapi Haineko dengan gembira memandangku, seakan mengajak, "Ayo cepat. Kita turun ke pantai saja." Ya, ia memang sangat menyukai laut.
Aneh, kucing kok tidak takut hujan. Sepertinya ia tidak sadar kalau dirinya seekor kucing.
Haineko menarik-narik dengan sekuat tenaga ujung mantel hujanku . "Iya… iya… sabar dong, Haineko." Mataku mengisyaratkan hal itu. Kami lalu turun ke pantai berpasir.
Namun, cowok berambut silver itu sepertinya tidak mempadulikan kedatangan kami. Dia tetap tidak bergerak—diam seperti patung. Kenapa ya? Aku jadi penasaran, nih.
Walaupun cowok itu tampak aneh, tapi tubuhnya atletis. Dengan tenang ia berdiri sendirian di pantai yang udaranya sangat dingin. Wah, kakinya panjang. Penampilannya boleh juga.
Cowok itu tetap diam—tidak bergerak, walaupun membasahi rambutnya, pundaknya…
Mestinya ia memakai baju hangat rangkap dan tutup kepala. Aduh, kasihan. Ia pasti kedinginan karena badannya basah kuyup seperti itu. Bisa-bisa malah masuk angin nanti.
Sambil berpikir begitu, tanpa sadar aku berhenti melangkah, lalu kurang lebih sepuluh meter di depannya. Semakin dekat aku memandangnya, cowok itu semakin terlihat tampan.
Oh, bukan… bukan karena itu.
Aku terkejut melihatnya. Ia meneteskan air mata. Ya, kulihat air mata mengalir di pipinya yang mulus.
Apa? Cowok itu menangis? Apa aku salah lihat? Mungkinkah itu hujan yang kebetulan bergulir di pipinya? Tidak mungkin.
Penglihatanku masih normal, seratus persen. Aku bisa membedakan air hujan dan air mata.
Ia menangis… tanpa mengeluarkan suara, sambil memandang laut. Baru kali ini aku melihat seorang laki-laki menangis. Sangkin kagetnya, aku berdiri terpaku di tempat itu.
Rasanya dada cowok itu terasa sesak menanggung beban kepedihannya. Raut wajahnya tampak begitu sedih.
Benar-benar tetesan air mata yang menyiratkan kepedihan mendalam.
Ah, aku telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh kulihat. Begitu menyadarinya, aku segera beranjak dari hadapannya, dan berjalan di jalur yang biasanya kulewati.
MEONG!
Astaga, suaranya besar sekali, seperti berlomba dengan bunyi ombak laut musim dingin.
Mendengar suara Haineko, cowok itu menoleh ke arah kami.
Jantungku serasa berhenti berdegup. Mataku bertatapan dengan mata merah yang penuh dengan kesedihan mendalam.
Aku takkan pernah melupakan mata merah itu.
Aku segera mengalihkan pandangan, lalu mengajak Haineko berlari.
Entah mengapa tiba-tiba dadaku bergelora, bagaikan gelora gelombang air laut saat itu.
Bersama-sama dengan Haineko, aku menuruni tangga batu, lalu berlari pulang ke rumah.
Di langit tampak awan kelabu bergulung-gulung. Hujan turun semakin deras.
Saat membuka pintu rumah, aku berusaha menenangkan diri. Jantungku masih berdebar-debar.
Ah… Masih terbayang di benakku… bola mata merah cowok itu.
Hei, mengapa tiba-tiba dadaku terasa sesak? Apa yang terjadi dengan dadaku? Lalu, Sesedih apakah dia, sampai menagis seperti itu, tanpa mengeluarkan suara? Kenapa ya?
To Be Continue
Smile : Akhirnya jadi deh ! Review, please ! :)
