Title: The End
Summary: Kalau apa yang dia berikan padamu tidak bisa jadi milikku, biar kuambil milikmu.
Pairing: Err… Izaya/Shizuka? Saia ga bikin romance kali ini, jadi ga terlalu ada pairing-nya.
Rate: T aja.
Disclaimer: Sampai nanti saia jadi millionaire juga, Narita Ryohgo-sensei ga mungkin rela nyerahin durarara! ke saia.
Bacotan: Jadi… di cerita ini, umur Shizuka 19 tahun, Izaya 22 tahun, Psyche dan Delic 13 tahun, Hibiya 10 tahun, Roppi 9 tahun, Tsuki ama Tsugaru kembaran, umurnya 8 tahun.
Hehe, enjoy~! :D
"Okaa-san, Otou-san tidak akan pulang lagi?"
Umurku empat belas tahun saat itu. Aku hanya ingat Okaa-san mengangguk kecil dan menangis lagi sambil menggendong adikku yang baru berumur satu tahun. Aku tidak mengerti dulu. Kukira mereka berdua berkelahi lagi dan tidak mau kembali akur.
Kalau begitu, Okaa-san tidak seharusnya menangis seperti ini, kan?
Setahun berlalu dan aku baru tahu. Otou-san meninggal dalam pekerjaannya, meninggal dengan hormat, dalam kewibawaan seorang polisi. Mati dalam tugas, kata Otou-san dulu, adalah keinginannya. Memang tidak sekeren tentara yang mati dalam tugasnya berperang. Tapi,mati dalam tugas membawa damai untuk penduduk tidaklah buruk juga.
Okaa-san menikah lagi setelah aku berumur enam belas tahun. Dia orang yang cukup baik, ayah baruku ini. Dia punya waktu bagi aku dan adik-adikku, dia selalu membantu kami mengerjakan pekerjaan rumah, dia bisa masak—tidak seperti Otou-san yang masakannya selalu berakhir gosong, dan dia selalu menjemput kami dari sekolah tidak peduli sesibuk apa dia di kantor.
Kukira hidupku akan berlangsung bahagia.
Semuanya berubah ketika ibu mulai sakit-sakitan dan harus dirawat di rumah sakit.
Mungkin karena stress, atau mungkin karena memang inilah warna aslinya, dia mulai sering menelantarkan kami. Dia pulang dengan seorang wanita yang tidak kami kenal yang sepertinya ketumpahan parfum seember karena wanginya menyengat sekali.
Ketika Okaa-san akhirnya meninggal, semuanya bertambah buruk. Dia mulai suka memukuli kami kalau kami tidak menurut, dia memaksa kami untuk tidur di luar kalau kami nakal, dia mengurung adikku yang paling muda di gudang yang gelap kalau dia menangis, dan dia mulai memaksaku tidur dengannya.
Aku muak.
Dan suatu hari, semuanya berhenti. Berhenti begitu saja.
Dia tidak pernah pulang dan tidak ada lagi tanda-tanda bahwa dia masih hidup. Dia berhari-hari menjadi headline di koran sebagai orang hilang.
Tidak ada lagi yang memukuli kami, tidak ada lagi yang mengurung kami, tidak ada lagi yang menyiksa kami.
Semuanya berhenti.
"Shizuka, kau masih belum memikirkan tentang lamaranku?"
Gadis berambut pirang itu menggeleng. "Maaf, kau tahu sendiri aku sibuk."
Pemuda berambut cokelat yang duduk di sofa itu menghela napas. "Ayolah, kau sudah sembilan belas tahun. Kau tidak bisa terus-terusan hidup mengurus adikmu, kau juga perlu senang-senang."
"Dan, menurutmu, menikah adalah senang-senang?" balas gadis itu sambil menuangkan teh ke dalam cangkir berwarna putih dengan ulir berwarna biru tua dan menawarkannya kepada pemuda yang dari tadi merengut. "Orangtuaku sudah tidak ada. Kalau aku menikah, siapa yang akan mengurus mereka? Tidak mungkin aku bisa karena aku akan punya anak dan tentu saja aku akan sibuk mengurus anakku."
"Kita bisa tinggal bersama? Rumahku besar."
Shizuka, nama si gadis itu, menghitung anak-anak yang berkeliaran dalam rumah itu. "Kau mau ada tambahan tujuh orang dalam rumahmu?"
"Hei, aku hanya akan membawa adikmu. Tidak mungkin aku bawa adik Izaya juga."
Shizuka tertawa. "Itu dia masalahnya. Aku tidak mngkin meninggalkan mereka semua. Izaya sangat sibuk dengan kerjanya."
"Dia bisa sewa babysitter. Dia orang kaya."
"Dan membiarkan babysitter itu kena serangan jantung karena adik-adiknya bisa berlaku seperti setan?"
"Kukira kau bilang dulu mereka baik seperti malaikat."
"Tapi kau sendiri yang bilang tidak akan ada babysitter yang sanggup mengurus mereka karena mereka seperti setan."
Pemuda itu memandang anak berambut hitam dengan mata merah muda dan pakaian serba putih-merah muda senyum menang di wajah anak itu ketika Shizuka lebih memilih mereka ketimbang si pemuda itu.
"Nee-chan, Tsugaru tidak mau tidur," sebuah suara terdengar dari arah kamar.
"Sebentar, Delic," balas Shizuka. Dia memandang si pemuda berambut cokelat. "Mungkin aku pikirkan lagi nanti, Harue-san. Cepat minum tehmu, kalau dingin tidak enak lagi."
Shizuka berlalu begitu saja, meninggalkan seorang pemuda yang kesal karena diabaikan.
"Tsugaru, kau harus tidur siang," terdengar samar-samar suara gadis berambut pirang bernama Shizuka yang sedang membujuk adiknya untuk tidur.
"Lagu?"
"Baiklah, aku nyanyikan. Habis itu, kau tidur, ya?"
Tidak lagi terdengar apa-apa kecuali suara Shizuka menyanyikan lagu pengantar tidur agar adiknya yang berambut pirang dan bermata biru mau tidur.
Harue berdiri dan meninggalkan rumah itu dengan kesal.
Kenapa Shizuka lebih mementingkan adik Izaya dari dirinya?
Kau yang mendapatkan suaranya, bukan aku. Bagaimana kalau suaramu kurebut, kalau begitu?
"Delic, kau dan Psyche jaga adik-adik kalian. Aku tidak mau ketika aku pulang nanti rumah ini sudah menjelma menjadi kapal pecah. Mengerti?"
"Mengerti, Nee-chan."
"Anak baik. Aku berangkat."
Shizuka pergi dari rumahnya. Delic dan Psyche langsung kembali masuk dan langsung mengunci pintu. "Sekarang apa, Psyche-chan?"
"Aku lapar."
Keduanya setuju untuk ke dapur dan membuat makanan saja. Mereka lupa, jendela kamar Tsugaru belum dikunci.
Psyche dan Delic sedang asik mencari roti dalam kabin ketika terdengar jeritan Tsugaru dari kamar. Mereka berdua langsung berlari hanya untuk menemukan Tsugaru terbaring di lantai dengan luka sayatan yang cukup dalam di lehernya.
"Psyche, ambulans!"
Tidak banyak yang bisa dilakukan dua anak kecil dengan satu adik mereka mendapat luka sayat di lehernya.
"Pokoknya cepat kesini atau Tsugaru bisa mati!" terdengar jeritan putus asa Psyche di telepon.
"Tsugaru… Tsugaru, kau masih bisa napas, kan? Ayolah, nanti Nee-chan bisa membunuhku kalau kau mati!"
Shizuka tersentak ketika mendengar handphone-nya berbunyi. "Delic? Ah, maaf, Tom-san. Aku harus menerima telepon dulu."
Sebuah anggukan dan Shizuka langsung menjawab telepon dari Delic.
"Halo?"
"Nee-chan…"
Suara Delic agak serak, seperti habis menangis, dan terdengar suara-suara orang, bunyi mendecit, bunyi sahutan-sahutan, bunyi seperti indikator detak jantung, dan entah bunyi apa lagi. Shisuka bisa menyimpulkan, setidaknya, bahwa ini tidak akan baik.
"Ya, Delic? Kenapa?"
"Tsugaru…" terdengar isakan kecil.
"Delic? Tsugaru kenapa, Delic?"
"Rumah sakit…"
Shizuka lagsung memutus telepon itu dan berlari tanpa peduli lagi bahwa dia masih harus bekerja. Panggilan dari Tom dan Vorona juga tidak dia hiraukan. Dia hanya peduli tentang Tsugaru sekarang.
Rumah sakit? Kenapa adiknya bisa sampai ada disana?
"Maaf, kami sudah mencoba semuanya," adalah kalimat yang pertama kali Shizuka dengar dari dokter yang merawat Tsugaru. Wajahnya terlihat suram dan sepertinya tidak akan ada berita bagus yang akan didengar Shizuka hari ini.
"Dia… meninggal?"
"Tidak, dia selamat. Hanya saja…"
Baiklah, setidaknya Tsugaru selamat. Shizuka menyiapkan hatinya untuk mendengar 'hanya saja'-nya.
"Lukanya dalam dan kami tidak bisa…"
"Tidak bisa apa?" teriak Shizuka marah.
"Maaf, nona, tapi dia tidak bisa bicara lagi."
"Hah…?"
"Onee-san, kalau aku besar nanti, aku mau jadi penyanyi."
"Kau bilang kau mau jadi pemain musik saja."
"Tidak. Aku mau menyanyi saja. Habis kata Onee-san, suaraku bagus."
Kenapa harus itu yang dia ingat? kenapa dia tidak mengingat yang lain? Seperti misalnya alasan Tsugaru tidak banyak bicara, atau alasan Tsugaru senang mendengar suaranya, atau apapun asal bukan cita-citanya yang tidak akan pernah dia raih itu.
Shizuka terjatuh di atas lantai rumah sakit yang dingin. Siapa yang bisa melakukan ini? Kenapa?
Dia menangis. Dia menangis dan bahkan Delic tidak bisa menghentikan tangisnya, walaupun sudah dibantu oleh Psyche, Hibiya dan Tsukishima. Roppi hanya memandang orang yang selama ini merawatnya.
Tidak pernah dia lihat Shizuka menangis selama ini. Terakhir kalinya adalah ketika ibunya meninggal berapa tahun yang lalu.
"Shizu-nee,"panggilnya. "Kalau kau menangis, nanti Izaya juga menangis," bisiknya pelan sambil mengelus kepala 'kakak kedua'-nya itu. "Jangan buat dia menangis. Aku tidak mau melihatnya menangis lagi."
"Shizuka? Kau masih belum juga memikirkan—"
"Ayolah, aku punya hidup selain memikirkan lamaranmu. Adikku baru saja diserang orang dan kau masih berharap aku bisa menjawabmu sekarang?"
Tidak pernah dia lihat Shizuka segusar ini. Gadis itu sampai lupa menyuguhkan teh yang biasanya dia buat.
"Shizu-nee," Roppi menghampiri Shizuka. Matanya sembab karena menangis seharian.
"Sini, Roppi," panggil Shizuka sambil merentangkan kedua tangannya dan menggendong anak berambut hitam yang mulai menangis lagi.
"Harue-san, kalau mau teh, buat sendiri saja, ya."
"Tidak, tidak. Aku pulang sekarang, kok."
"Oh? Hati-hati di jalan."
"Ya."
Kedua tangannya juga bukan untuk jadi milikku? Apa sebaiknya kuambil milikmu?
Roppi tidak bisa melawan ketika dua tangan menahannya ditempat tidur dan menutup hidungnya dengan sebuah sapu tangan berbau aneh. Kepalanya pusing dan matanya terasa berat. Dia tertidur.
Dalam mimpinya, lengan kanannya dicabik oleh seekor monster mengerikan yang tidak berbentuk jelas. Lengannya tertarik dan lepas dengan darah mengucur deras dari lukanya.
Ketika dia terbangun, dia berada di ruangan serba putih di atas tempat tidur dengan seprai dan bantal putih. Izaya berada di samping tempat tidur dengan mata sembab. "Izaya… tanganku sakit."
Kakaknya tidak menjawab apa-apa dan hanya mengelus keningnya sedikit. Terdengar isakan dari sisi lain tempat tidurnya. Shizuka menangis sambil terus-menerus berbisik 'maaf', tanpa henti.
"Izaya…? Shizu-nee…?"
Dia baru mengerti ketika melihat bahwa dia sudah tidak lagi mempunyai tangan kanannya.
Dia tidak harus menangis juga, kan?
"Ayolah, kalian berdua. Berhenti menangis. Kalian tahu sendiri aku tidak butuh tangan kananku untuk menuntun Tsukishima berjalan karena dia lebih muda dariku. Dia akan selalu berjalan di sebelah kiriku."
Sebuah isakan terdengar lagi dari arah Shizuka.
Apa dia salah bicara, ya?
"Shizuka, menikahlah denganku."
"Ha?"
"Menikahlah denganku."
"Eh, ah… ma-maaf, Harue-san. Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Aku suka orang lain."
"Lupakan dia."
"Tidak bisa. Aku menyukainya dari dulu."
"Coba kau pikirkan lagi lamaranku, Shizuka."
End of Chapter 1
Hauh? Ngapain saia bikin cerita baru lagi? *merasa bodoh*
Aduh. Ya, seenggaknya cerita kali ini bakalan hanya tiga chapter kali. Ga bakal banyak-banyak. =v=
Plus, fic ini bakalan jadi crossover. Ada yang bisa tebak crossover sama apa? (di chapter satu nggak keliatan, hehe…)
Okeh, saia bingung mau curcol ato nggak, jadi saia minta ripiunya aja sebelum saia bunuh diri karena stress, muehehehe…
Minta ripiunya biar saia tahu mana yang kurang~! XD
