Daiki pikir tempat bolos itu miliknya seorang sampai gadis norak macam Satsuki muncul.

.

how navy met magenta: when they try to skip class

GinevraPutri

.

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini

.

Daiki stres.

Bukan salahnya dia stres, ini semua salah Sensei kejam itu. Daiki sudah bilang dia nggak bisa matematika, jadi kenapa masih dikasih PR juga? Ya, dia tahu katanya matematika itu penting, tapi paling-paling juga dia nangkring di toko roti Kaa-san setelah lulus. Dan di sana nggak ada yang perlu dihitung kecuali Daiki jadi kasir.

Makanya dia mau jadi kuli angkut karung tepung saja.

Lagipula, memang benar bukan salahnya dia stres, ini semua salah semesta karena tidak menghiraukan cita-citanya. Memangnya semua orang harus punya mimpi jadi dokter atau pengacara dan sebangsanya? Hei, dokter juga nggak bakal bisa makan roti kalau nggak ada kuli angkut karung tepung.

Intinya, sama seperti cita-cita lainnya, cita-cita Daiki juga mulia. Toh Kaa-san jadi nggak perlu bayar kuli lagi, kan?

Poin plusnya: pintar membahagiakan orang tua.

Daiki nyengir pada dirinya sendiri, sembari meneruskan langkahnya yang kelewat santai di koridor Touou siang ini. Sepi, tentu. Semua murid lain (sejauh yang Daiki tahu) sedang berada di dalam kelas, mengikuti pelajaran dengan mata setengah terpejam. Cowok itu bersiul sedikit, supaya suasana tidak terlalu hening.

Sayap barat gedung yang sedang ditujunya saat ini memang agak-agak seram. Penerangannya kurang. Mungkin karena tidak banyak ruangan aktif di bagian situ. Cuma ada gudang alat kebersihan, gudang peralatan ekstrakurikuler, gudang olahraga, dan segala macam gudang lainnya. Tidak banyak juga murid yang berkunjung kalau tidak terpaksa. Paling-paling hanya petugas kebersihan saja.

Tapi Daiki bisa dibilang sering mengunjungi sayap barat gedung sekolah ini. Bukan apa-apa, gudang olahraga di situ adalah tempat favoritnya untuk membolos. Selain terpencil, gudang yang satu itu juga memiliki dua pintu. Jadi kalau Daiki melihat ada Sensei yang datang dari salah satu pintu, dia bisa menyelinap keluar lewat pintu lainnya tanpa ketahuan. Singkat kata, tempat itu strategis- untuk membolos.

Sudah berkali-kali Daiki melewatkan pelajaran membosankan di sana. Misalnya matematika, seperti hari ini. Dia bahkan sudah mengantongi majalah Mai-chan edisi terbaru untuk dibaca selama menunggu bel berbunyi.

Pokoknya dia sudah siap untuk duduk tenang menghabiskan waktu, ketika dilihatnya warna merah muda mencolok dari balik jendela gudang olahraga.

Daiki merengut. Si kurang ajar mana yang berani merebut tempat bolos favoritnya?

Cowok itu buru-buru menggeser pintu sampai terbuka dan memasang tampang tergarangnya. Si tersangka ada di dalam, menguap sekali sambil melepas earphone, kemudian menoleh ke arah Daiki dengan kerut di keningnya.

Daiki tidak pernah suka basa-basi, dia selalu nyolot ke setiap orang yang mengganggu hak asasinya.

"NGAPAIN LO DI SINI, HAH?!"

Dan, kayaknya, si cewek nggak suka minum jahe, soalnya suaranya nyakitin kuping.

"APAAN, SIH?"

Daiki memelototinya. Gadis itu memelototinya balik.

"Gue tau siapa lo." dengus Daiki. "Anak kelas sebelah yang suka nyinyir gosipin Senpai cantik, kan?"

"Cuih, cantik kata lo?" Si cewek pura-pura ngeludah. "Senpai-nya aja yang sok kecakepan. Ngaku-ngaku pacarnya Abang Kise gue, lagi."

Daiki menyembur tawa. "Abang Kise lo?"

Si cewek menyipitkan mata. "Lo kenal?"

"Kenal lah, bego. Gue satu tim sama dia." Daiki mendengus.

"Masa?" Mata gadis merah muda itu membulat. "Lo anak basket? Tim inti?"

Daiki mengangguk. "Iya, nggak tau?"

"Nggak," dia menggeleng polos. "Padahal gue sering nonton kalo tanding, loh."

Daiki memutar mata. "Lo nontonin Kise doang, kali."

Dia balik nyengir. "Iya, sih. Abisnya ganteng. Nggak kucel kayak lo."

"Eh, kurang ajar!" Daiki kembali nyolot. Emosi. "Mulut pedes kok dipelihara. Mana mau Kise sama sambel kayak lo? Mending sama si Senpai!"

"Idih, ogah. Masa iya Abang Kise mau sama begituan?"

"Begituan?" cibir Daiki. "Ya daripada sama begundal nggak jelas kayak lo."

"Eh, sialan! Kok lo ngeselin, sih?"

"Lo yang ngatain gue kucel duluan!"

"Gue kan ngomong fakta!"

"Ya gue juga ngomong fakta!"

Si cewek bangkit berdiri. Emosi. "Udah deh, mending lo pergi aja! Ngapain sih, pake ke sini segala?"

"Lah, kok lo yang ngusir? Harusnya gue yang bilang gitu!" bantah Daiki. "Gue duluan kali yang nemuin tempat ini buat bolos!"

"Lo pikir ini gudang punya nenek moyang lo, apa?!" Si cewek naik darah. "Kalo lo nggak pergi, gue laporin ke BK!

"YA GUE LAPORIN LO JUGA LAH, AMPAS GULALI!" Daiki ikut sewot parah. "Lo kan juga bolos! Dasar nggak tau aturan!"

"NGGAK USAH CERAMAH DEH, KAOS KAKI! LO LEBIH NGGAK TAU ATURAN DARI GUE!" gertak si merah muda. "Bolos udah persiapan, pake bawa-bawa majalah! MAI-CHAN LAGI! EMANG DASAR DARI MUKA LO TUH UDAH KELIATAN MESUM-"

"SSSSTTTTT!" Daiki buru-buru menyeberang ruangan dan membungkam mulut si cewek dengan tangannya.

"..kemarin ada yang protes karena tidak bisa menonton pertandingannya Ryouta."

Suara langkah sepatu mendadak terdengar begitu jelas di antara percakapan.

"Ah, Momoi Satsuki, bukan? Kemarin dia ngotot minta saya mengizinkan Ryouta keluar lapangan untuk menerima kue buatannya."

Tawa terdengar. "Ah, gadis muda."

Kedua murid di gudang itu membeku. Rupanya dua orang Sensei lewat di koridor depan.

Si gadis menarik tangan Daiki lepas dari mulutnya. Pipinya menggembung ke volume maksimal. "Bisa-bisanya gosipin murid."

Daiki memutar mata. "Jadi Momoi Satsuki itu lo?""

"Emangnya kenapa?" Satsuki memicingkan mata.

"Jelek banget nama lo."

Gadis itu mengembus napas kesal. "Biasa aja kalo brengsek."

Daiki mengangkat bahu tak acuh. Mendudukkan dirinya di lantai, menyandar tembok, siap membaca majalah.

Satsuki ikut duduk di sebelahnya, memasang kembali earphone-nya, bersenandung pelan.

Keduanya baru keluar saat bel berbunyi.

.

..dan begitulah cara semesta mempertemukan mereka.

.

fin