PART 1

Kerlapan lampu taman yang indah tak mampu menyaingi sunggingan senyum seorang gadis muda yang tampak sedang berdiri di salah satu sudut taman, menunggu seseorang yang bisa dibilang istimewa dalam kehidupannya. Meskipun kehadiran dua setan kecil disekitarnya beberapa menit yang lalu membuatnya ingin mengirim setan-setan itu ke Elysium—tempat dimana Sang Raja Kematian berkuasa. Biner coklat terangnya menelurusi setiap inchi dari jalanan yang ada di depannya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya dia lakukan—menunggu. Menunggu tanpa sebuah kepastian, menunggu tanpa sebuah harapan, menunggu untuk disakiti? Perlahan senyum cerah gadis itu luntur dan digantikan oleh sebuah seringai dan dengusan pelan. Mengutuki betapa bodohnya dia hari ini—hanya karena sebuah kertas yang bertuliskan; Temui aku di West Hoover Dam, pukul 7 malam nanti. Kertas itu, tanpa perlu menyewa anjing pelacak nomor satu di dunia ini, tanpa perlu menyewa tim investigasi dan tanpa perlu menyewa para detektif yang dapat mendeteksi kebohongan, dia sudah tahu siapa pengirim kertas tersebut. Bahkan dari caranya menorehkan setiap tinta, menjadi huruf dan sebuah kalimat padu, bahkan dari wangi musk ringan yang tertinggal di kertas tersebut—pertanda kertas itu sudah lama disimpan di saku jaket pengirimnya. Dia sudah tahu pengirim kertas itu.

Dia yang namanya tak boleh disebutkan.

Dia yang telah membuat harinya penuh dengan angan-angan palsu, dia yang telah membuat seorang gadis merasakan apa yang biasa disebut 'rindu', dia yang telah mencapakkan gadis itu sendiri berbulan-bulan yang lalu dan dia yang dengan mudahnya kembali dengan mengirimkan sebuah kertas tadi. Oh, mungkin saja dirinya yang terlalu bodoh, percaya dengan sebuah kertas, bisa saja dua setan kecil yang sedang cekikan tidak jelas di sekitarnya. Biner coklatnya yang sedari tadi memancarkan harapan, lemah lembut dan sisi kewanitaan, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi tatapan penuh kebencian dan dendam yang turun temurun. Melihat perubahan sikap gadis tersebut, kedua laki-laki itu segera diam—membeku, tak bergerak, membisu dengan cepat seperti ketika Sang Malaikat pengambil nyawa mencabut nyawa seseorang.

Dengan berkacak pinggang, gadis tersebut mengangkat suaranya dengan geram, "Kalian berbohong kan?" Matanya tak henti-henti menyiratkan rasa amarah kepada para setan kecil tersebut.

"A..ah, ti…tidak kok!" ujar salah satu setan kecil tersebut, "Untuk apa kami berbohong, kami tak mau merasakan digantung-terbalik-di-atas-gedung olehmu." Setan kecil lainnya melanjutkan omongan temannya. Hah, begitulah setan, selalu mendukung dan selalu bekerja sama sampai manusia tergoda oleh mereka, tapi itu bukan dirinya. Dirinya tak semudah itu tergoda dengan godaan macam kertas-undangan-aneh itu.

"Cih, tidak berguna."—tidak ada gunanya ia menyiapkan semua ini, berendam dengan wewangian yang memabukkan umat manusia (Hei, ingat dirinya sendiri tidak sepenuhnya manusia), berdandan—menorehkan lipstick berwarna Fuchsia dengan lembut di bibirnya, mempoles kedua kelopak matanya dengan eyeshadow berwarna pink senada dengan gaun selutut yang ia kenakan sekarang, menyemprotkan parfum mawar Channel Limited Edition tahun ini. Semua itu hanya ia lakukan untuk saat-saat seperti ini, saat-saat dimana ia akan bertemu dengan orang yang bisa dibilang 'segala'-nya dalam kehidupannya. Sekarang? Dia mencampakannya lagi—dan lagi. Terus saja seperti ini.

"…"

Hening. Sesuatu atau bahkan bisa disebut seseorang mendekap tubuhnya lembut dari belakang, memeluknya seakan itulah pelukan terakhir yang akan ia berikan. Musk. Sebuah kurva tipis terlukis di wajah gadis tersebut. Ia memang tak mempunyai pengelihatan tiga ratus eman puluh derajat, tapi hanya dengan sentuhan, wangi dan hembusan nafasnya, gadis itu sudah tahu siapa yang memeluknya sekarang.

Dia yang namanya tak boleh disebutkan.

Dia datang.