Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: AU, gaje, OOC, dll…

Hehehe… ini adalah lanjutan dari fic one shot Luna yang 'EVE' dan 'NEW'. Ini two shot lho!

Mudah-mudahan kalian suka…

Sebelumnya, terima kasih untuk kalian yang udah, membaca, me-riview dan mem-fave fic Luna ini, ya!

Terima kasiiihh banyaaaakk!

.

Happy Reading

.

Chapter 1: PRE

.

.

Sakura's POV

.

8 Februari 2011

Pertama kali aku bertemu dengan Sasuke kira-kira dua tahun yang lalu. Pada hari bunga Sakura bertiup di tahun pertamaku di sekolah ini, aku melihatnya. Rambut ravennya yang tertiup angin dan mata onyx-nya yang dingin begitu memikatku.

Dia tidak pernah melihatku, berbanding terbalik dengan aku yang selalu melihatnya.

Dia pendiam, berbeda denganku yang selalu ingin menyapanya.

Dia begitu kuat, tak terkalahkan, tak sama denganku yang lemah dan selalu berharap.

Perasaan itu selalu ada dalam diriku. Jujur, aku tertarik padanya, mataku selalu mencari keberadaannya. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Aku terlalu ragu untuk menyebutnya cinta, karena kami tidak saling mengenal dan pertemuan kami belum terlalu lama.

Tapi, saat aku melihat pandangan matanya pada Hinata, hatiku langsung menjerit. Air mataku langsung jatuh saat itu juga. Dadaku sesak, bahkan walaupun aku mencoba menarik nafas berkali-kali ataupun menepuk dadaku terus-menerus, rasa sesaknya tidak juga menghilang.

Ada yang salah. Dan saat itu aku tahu, bahwa aku telah jatuh cinta pada Sasuke.

Kebodohanku yang lainnya adalah tetap mempertahankan cinta ini, walau akal sehatku tahu ini semua tidak akan terbalas. Sasuke menyukai Hinata, mungkin sama besarnya dengan aku menyukai Sasuke.

Kata orang, cinta bisa mengubah orang, membuatnya jadi orang paling bodoh sedunia. Kala itu aku hanya bisa mencibir orang yang mengatakannya, tapi saat aku sudah merasakan cinta, aku sepaham dengan kata-kata orang itu.

Entah apa yang merubahku. Cinta ataukah Sasuke… Aku tidak tahu.

Aku yang dulu tegar, kini selalu menangis.

Aku yang benci menunggu, kini selalu menanti dia.

Dan semua itu karena Sasuke. Hanya karena dia. Entah sejak kapan duniaku berputar ke arahnya. Tapi yang jelas saat itu aku tidak peduli apapun, sebesar apapun perubahanku, aku tidak peduli, asalkan Sasuke berpaling padaku, dan hanya melihatku. Sama seperti aku yang hanya melihatnya.

Lalu waktu memberikan jawaban atas penantianku. Saat aku selalu melihat ke depan, ke arah Sasuke, aku tidak menyadari bahwa selalu ada orang yang berada di sampingku, melindungiku dengan caranya sendiri, menghiburku agar aku bisa bangkit lagi, dan saat aku melihat ke matanya, hanya aku yang terpantul di sana.

Dia selalu ada, tanpa kutahu dia ada. Naruto…

.

mmmoooonnn

.

Udara masih terasa dingin dan menusuk tulang. Aku memasukkan tanganku ke saku jaket mencari kehangatan. Warna senja terlukis indah di langit. Ah… betapa menenangkan warna itu. Aku suka warna oranye yang terlihat saat matahari terbenam. Warna itu memantul di awan menjadi goresan memanjang yang entah kenapa membuat hatiku terasa hangat.

Aku suka pemandangan di sore hari. Bayangan memanjang orang-orang yang berlalu di jalanan juga terlihat menenangkan. Bayangan itu seolah-olah mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. Mungkin terdengar aneh, tapi ada perasaan yang lain yang sulit kujelaskan saat aku melihat bayangan hitam yang tercetak di jalanan saat terbiaskan senja oranye ini.

Aku suka itu. Tidak perlu alasan, bukan?

Suara ribut tertangkap olehku. Aku memandang sekumpulan gadis yang mungkin lebih muda dariku. Mereka pasti membicarakan hari Valentine yang tinggal beberapa hari lagi. Tepatnya enam hari lagi.

Mereka pasti sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat cokelat dan membicarakan tentang pria yang diberikan cokelat itu. Entah kenapa terasa membahagiakan.

Valentine.

Hari di mana anak perempuan menyatakan cintanya dengan cokelat. Aku tidak terlalu ambil pusing dengan hari Valentine itu ataupun cokelat. Dulu pun aku juga tidak terlalu ambil pusing dengan hari kasih sayang karena agak aneh bagiku jika perempuan yang menyatakan cinta terlebih dahulu.

Daaann… kenapa juga harus cokelat? Bukankah rata-rata para laki-laki itu kurang menyukai makanan manis seperti cokelat? Seperti Sasuke misalnya. Yah, itu juga alasanku mengapa aku tidak memberikan cokelat kepada Sasuke, karena dia benci makanan manis. Lebih baik aku tidak memberikannya, dibandingkan jika aku memberikannya tapi dia tidak memakannya. Dan lebih parah lagi, mungkin Sasuke memberikan cokelatnya kepada orang lain atau membuangnya ke tong sampah.

Tapi, sekarang aku tidak ingin memberikannya kepada Sasuke. Mungkin… ehm… Naruto.

Pipiku terasa panas. Ugh… aku teringat peristiwa sebulan yang lalu. Saat… saat Naruto menyatakan perasaannya padaku dan… menciumku. Itu ciuman pertamaku. Dan dengan Naruto yang alih-alih bukan pacarku.

Jantungku lantas bertalu-talu seketika dan bukan hanya pipiku, tapi wajahku terasa memanas. Ya, ampun… hanya dengan mengingatnya saja sudah membuatku seperti ini, apalagi jika bertemu Naruto nanti?

Dipikir-pikir juga, hubungan kami tidak ada mengalami peningkatan setelah itu. Naruto tetap bersikap seperti biasa, ah, mungkin akulah yang berubah. Karena sekarang aku bisa melihat Naruto sejelas-jelasnya, tidak seperti dulu.

Kami bukan sepasang kekasih, bukan juga sahabat ataupun teman, apalagi keluarga atau kenalan. Hubungan kami ada di antara kekasih dan sahabat, mungkin? Apa namanya ya, ehm… pendekatan? Ah, entahlah. Aku nyaman seperti ini.

Aku selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Naruto. Salah satu dari kami akan saling menunggu saat yang lainnya terlambat pulang. Seperti saat aku terlambat pulang karena mengikuti klub karate. Naruto menungguiku dengan cara ikut berlatih di klub. Hasilnya, Naruto dibabat habis oleh Lee yang selalu penuh dengan semangat masa muda.

Naruto bahkan bilang dia tidak akan bisa sekolah selama seminggu karena itu. Dan aku akan mengejeknya dengan bilang bahwa dia terlalu berlebihan menanggapinya.

Hubungan kami tidak terlalu sama dengan dulu lagi. Ada perasaan canggung yang membuat kami terkadang terbentur saat bersikap ataupun berbicara. Waktu yang kami habiskan lebih sering dalam hening, diam yang penuh senyuman.

Naruto tidak pernah kehilangan senyumnya. Dan aku suka itu.

Terkadang saat hujan turun –entah kenapa kami berdua selalu lupa membawa payung- , kami pasti akan menunggu di kelas sambil menikmati hujan. Waktu berjalan cepat saat itu, aku bahkan lupa apa saja yang kubicarakan dengan Naruto. Yang kuingat hanya senyumnya dan terkadang rona tipis di pipinya walaupun mungkin akulah yang lebih sering tersipu malu.

Saat akhirnya hujan berhenti dan pelangi muncul di langit, kami akan pulang berdua sambil tertawa-tawa. Dan beberapa menit kemudian, kami akan kehabisan bahan obrolan dan terdiam, lalu Naruto akan menggandeng tanganku dengan ekspresi malu-malu. Dasar! Apa dia tahu kalau aku malah lebih malu?

Kemudian kami berdua akan bersenandung kecil sambil mengayunkan tangan kami yang bertautan.

Begitu hidup, begitu penuh. Hari-hariku terus berjalan dan aku menikmatinya. Tentu saja bersama Naruto.

Inikah rasanya dicintai? Diperhatikan dan dilimpahi kasih sayang? Ahh… aku benar-benar tergiur dengan itu. Tapi, rasa takut juga menyelip di hatiku. Sampai saat ini aku belum membalas perasaan Naruto. Dan aku takut dia akan lelah menanti jawabanku dan pergi meninggalkanku.

Tidak.

Tiba-tiba aku merasa takut untuk memikirkannya. Bagaimana sebenarnya perasaanku terhadap Naruto? Apakah perasaanku cukup pantas untuk diterima Naruto?

Naruto bukanlah tempat pelarian bagiku. Karena aku tahu aku sudah menyerah mengenai Sasuke dan Naruto berbeda dengan Sasuke. Aku tidak akan pernah membandingkan mereka berdua.

Naruto membuatku tertarik dengan caranya sendiri. Sudah lama rasanya sejak peristiwa itu berlalu. Peristiwa di mana mataku mulai meliriknya dan otakku mengingat namanya.

Kira-kira beberapa bulan sejak tahun ajaran baru, saat itu aku-

"Sakura-chan!"

Aku langsung berbalik. Alisku terangkat sebelah saat melihat Naruto berdiri di depanku, tangan kirinya membawa tas plastik berwarna hitam yang berukuran sedang. Nafasnya terburu-buru, karena dia berlari ke arahku.

"Kau kan tidak perlu sampai berlari seperti itu," kataku bingung.

"Habis, aku takut kau terlanjur menghilang."

Aku melihat bawaannya, "Kau bawa apa?"

Naruto menyengir lebar sambil mengangkat bawaannya dan mendekatkannya ke wajahku, "Cokelat."

Aku berjengit, "Untuk Valentine?"

Naruto mengangguk bangga.

"Sejak kapan kau jadi kecewekan kaya gini?" kataku heran. "Lagipula, bukannya tugas memberi cokelat itu adalah para gadis ya?"

"Oh ya? Aku kok tidak tahu, sih…" katanya menggaruk kepalanya.

"Itu karena kau bodoh," kataku seraya mendengus geli. "Lagipula, para pria punya hari tersendiri untuk mengungkapkan perasaannya."

"Kapan?" tanya antusias.

Aku berbalik sambil tersenyum dan melanjutkan perjalananku. Naruto mengikuti langkahku, dia berjalan di sampingku sambil menanyakan pertanyaan tadi.

"Aku boleh minta cokelatnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Kelihatannya kau beli banyak."

"Ini untukmu semua, Sakura-chan…" Naruto menyodorkan tas berisi cokelat itu kepadaku. Aku memandangnya tak percaya sedangkan dia hanya mengangkat bahunya sekali. "Toh sejak awal aku berniat memberikan buatanku ini padamu."

Aliran darahku naik ke pipiku.

"Jadi karena itu kau membeli banyak? Kenapa tidak membeli yang langsung jadi saja sih?" tanyaku berusaha menyingkir rasa malu dan canggungku karena perkataan Naruto yang terlalu blak-blakan.

"Lebih bagus buatan sendiri!" Naruto bersikeras yang menurutku aneh. "Lagipula, cokelat buatan sendiri itu, lebih…"

"Lebih?" Kepalaku miring ke kiri.

Naruto berhenti melangkah. Aku menunggunya berbicara. Dia menatap wajahku dengan canggung dan sikapnya langsung aneh, seolah-olah seluruh badannya gatal semua.

Tiba-tiba dia jadi gelagapan, "Lebih enak."

"Setahuku keahlianmu memasak sama buruknya sepertiku," kataku. Kalimat barusan bukan hanya menusuk hati Naruto, tetapi juga aku. Aku memang sangat payah dalam hal memasak. Aku pandai dalam hal menghancurkan, bukannya membuat sesuatu.

Naruto kikuk, "Tapi kan jika dibuat sepenuh hati, pasti akan terasa enak!"

Aku mendengus geli, menahan tawaku yang hampir keluar, "Kau terlalu banyak baca komik," Hanya itu komentar yang keluar dari mulutku.

Pada akhirnya, aku membatalkan niatku untuk meminta cokelat itu. Dan saat itu, aku jadi berpikir, mungkin ada baiknya aku membuat cokelat untuk Naruto.

.

mmmoooonnn

.

9 Februari 2011

Esoknya, saat sore hari, tekadku sudah bulat untuk membuatkan cokelat Valentine untuk Naruto. Yang perlu aku lakukan ialah membeli buku resep dan juga bahan-bahannya. Sempurna!

Sampai titik itu, aku masih belum tahu jika memasak itu membutuhkan bakat atau jika tidak membutuhkan slogan 'Ala bisa karena biasa'.

Dan tentu saja, aku tidak memenuhi dua kriteria itu. Mengetahui hal itu, semangatku menjadi turun seketika. Tiba-tiba, suara Naruto terngiang-ngiang di benakku.

Tapi kan jika dibuat sepenuh hati, pasti akan terasa enak!

Benar juga! Aku harus berusaha! Masih ada lima hari lagi sebelum hari Valentine. Aku pasti bisaa!

.

mmmoooonnn

.

Saat aku sampai di tempat tujuan, semangatku yang telah berkobar tadi langsung padam seketika saat melihat berbagai macam cokelat cantik yang terpajang di sana. Untuk membuat yang terasa enak saja, susahnya setengah hati, apalagi membuat variasi atau bentuknya yang indah.

Ugh… aku jadi ingin beli yang sudah jadi saja deh.

"A-ano…"

Aku menoleh ke belakang, "Oh, Hinata. Sore…" sapaku ramah.

Hinata tersenyum, "Sore. Ano… apa Sakura juga ingin membeli bahan-bahan cokelat?"

"Iya, begitulah. Tapi aku bingung menentukan apa saja yang harus kubeli…"

Hinata mengangguk mengerti, "Ka-kalau begitu, bagaimana jika pergi bersamaku? Aku juga ingin membeli bahan untuk membuat cokelat."

Mataku berbinar seketika, "Benarkah? Terima kasih, Hinata!"

Pada akhirnya, kami berdua memilih bahan-bahan untuk membuat cokelat sambil sesekali mengobrol ringan.

Ahh… entah apa Hinata memang terlalu baik atau bodoh, apa dia tidak tahu bahwa kemungkinan aku pun ingin membuat cokelat untuk Naruto, pria yang disukainya?

Apa Hinata membuat cokelat untuk Naruto juga?

"Hinata…"

"Emm?"

Aku diam sejenak, berusaha memikirkan kalimat yang tepat, "Ehm, kau membuat cokelat untuk siapa?"

Hinata tiba-tiba membeku, wajahnya memerah, dan dia langsung memainkan jari-jarinya, "Eh, ano… a-aku ingin membuat cokelat untuk Na-na-naruto…"

Aku tahu itu. Aku sudah tahu. Yang ingin aku tahu adalah apakah Hinata tahu bahwa Naruto menyukaiku?

Aku jadi teringat saat malam Tahun Baru. Hinata yang seharusnya berkencan dengan Naruto, malah di tinggal pergi oleh pria blonde itu sehingga dia terpaksa terjebak dengan Sasuke –pria yang menyukai Hinata.

Bagaimana perasaannya saat itu ya? Aku tidak pernah menanyakannya. Aku tidak terlalu akrab dengan Hinata, lagipula aku tidak tahu bagaimana cara menanyakannya tanpa melukai hatinya.

Sebab akulah alasan mengapa Naruto meninggalkan Hinata saat itu. Karena aku. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling buruk sedunia.

"Oh, begitu," kataku dengan wajah yang kuusahakan tetap datar, "jadi tahun lalu kau juga memberikannya cokelat?"

"A-aku belum pernah memberikan cokelat untuknya. Setiap tahun aku selalu membuat cokelat, tapi aku terlalu takut untuk menyerahkannya."

"Kenapa takut? Naruto pasti senang menerimanya," kataku dengan nada lirih. Dan aku terluka karena perasaanku sendiri.

Ya. Sama seperti Hinata, Naruto pun orang yang sangat baik. Terlalu baik hingga membuatmu merasa bersalah karenanya.

"Anoo… aku takut jika Na-naruto menolakku." Hinata memandangku tepat ke emerald-ku. "Kar-kkarena aku tahu, Na-naruto menyukaimu, Sakura."

Dia tahu. Dia tahu. Dia tahu.

Aku berubah kikuk. Tiba-tiba sepatuku terasa enak dipandang, "Maaf, Hinata."

Kami terdiam beberapa menit. Atmosfer di sekitar kami terasa canggung dan menyesakkan.

"Ano…" kata Hinata pada akhirnya. Aku mendongak tanpa berkata apapun.

"Lebih baik kita ke kasir. Bahannya sudah lengkap semua," kata Hinata.

Aku mengangguk, mengikuti langkah Hinata di belakang.

Semuanya terasa di awang-awang. Aku tidak merasakan apapun saat kami mengantri di kasir dan membayarnya. Momen itu terlewat begitu saja. Yang kuingat hanyalah aku berdiri di pinggir jalan, membawa belanjaan sementara Hinata berjalan pelan di depanku.

"Aku tahu saat itu Naruto pergi mencarimu," kata Hinata tanpa membalikkan badannya. Suara jelas dan tidak tersendat-sendat seperti biasanya. Sepertinya dia sudah tahu akan terjadi pembicaraan ini dan berlatih untuk itu.

"Hinata…" Aku tak sanggup berkata-kata. Aku harus mengatakan apa?

"Naruto melakukan semuanya untukmu. Karenamu. Dia mengajakku pergi juga karenamu, bahkan dia meninggalkanku sendiri saat itu semata hanya karenamu, Sakura."

Kepalanya yang selalu menunduk, kini terangkat. Matanya terlihat kuat dan tegar, entah mengapa hal itu malah membuatku goyah.

Aku terdiam, menunggunya melanjutkan.

"Bagiku yang tidak percaya diri, kikuk, dan hanya bisa bersembunyi, sosok Naruto begitu menyilaukan. Karena itu aku takut, jika aku menyatakan perasaanku, Naruto akan semakin menjauh dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kujadikan pegangan."

Seperti itukah arti Naruto baginya? Aku pun begitu. Hanya saja, aku baru menyadarinya saat aku sudah tak melihat Sasuke lagi. Bodoh sekali aku.

"Aku tidak punya harapan sama sekali, aku tahu itu. Tapi…" Hinata menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku, menatapku dengan tatapan tajam yang tidak pernah dia tunjukan. Tidak ada ragu sedikit pun di sana. Dia tidak seperti Hinata yang biasanya. "Aku tidak bisa menyerah sekarang. Karena itu, aku akan menyerahkan cokelat terakhir ini dan merelakan perasaanku."

Aku tercengang. Apa maksudnya berkata seperti itu padaku?

Lalu dia berbalik dan menjauh dariku. Langkah Hinata tertelan bayangan dan aku terpaku sendirian di jalanan.

Aku sulit memastikan apa sebenarnya yang kurasakan saat mendengar pengakuan Hinata tadi. Aku tidak rela. Sama sekali tidak.

.

mmmoooonnn

.

10 Februari 2011

Resepnya sudah ada. Bahannya juga sudah terkumpul semua. Aku hanya perlu mengutak-atik sedikit, dan jadilah cokelat Valentine!

Itu adalah pemikiranku kira-kira sejam yang lalu.

Yang sekarang ada di depan mataku hanyalah dapur yang kotor, cokelat cair yang bercipratan di mana-mana, dan beberapa cokelat hangus yang warnanya jauh dari kata 'cokelat' melainkan lebih kepada 'hitam'.

Haha…

Padahal aku sudah melakukan sesuai yang tertulis di resep, kenapa hasilnya malah amburadul seperti ini?

Aku melirik cokelatku lagi dan menghela nafas. Hah… mungkin ada baiknya jika aku beli cokelat jadi saja. Setidaknya Naruto tidak perlu sampai mati keracunan karena memakannya.

"Sakura?"

Aku berbalik dan mendapati Ibuku sedang berdiri di depan pintu, memandang dapur yang mengalami musibah tsunami, mulutnya ternganga lebar, beberapa detik kemudian, tangannya mengepal dan bahunya bergetar. Dan aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"APA SAJA YANG KAU LAKUKAN SAMPAI BERANTAKAN SEPERTI INI, HAH?" teriak Ibuku selantang-lantangnya.

Aku menutup kupingku dan gemetaran hebat, "Mem-mem-membuat c-cokelat…"

Ibuku melongo mendengarnya lalu melanjutkan ceramahnya dengan suara tinggi sambil menunjukku untuk membersihkan kekacauanku.

Ibuku mengomel tentang anak perempuan, cokelat, hari Valentine yang bodoh, kemampuan memasakku yang mengenaskan, dan berandai-andai bagaimana nantinya suamiku bisa bertahan hidup dengan masakan yang kubuat serta pengeluaran sia-sia untuk membeli cokelat sampai menyangkut bahwa hari Valentine itu bukanlah tentang cokelat dan anak-anak perempuan tapi lebih ke blablabla… yang blablabla… yang intinya aku tidak diperbolehkan untuk memakai dapur lagi untuk membuat apapun walaupun hanya memasak air sekalipun.

Oke. Aku bisa terima. Haah… setiap melihat Ibuku, aku langsung teringat Ino. Mereka sama-sama cerewet. Aku benar-benar kagum pada Shikamaru yang tahan pacaran dengan Ino. Ino memang temanku, tapi bukan berarti kupingku tidak pernah panas jika mendengarnya mengoceh lama-lama di telepon.

Tapi aku iri padanya. Valentine tahun ini pun dia tidak sendirian. Aku sudah delapan belas kali merayakan Valentine tanpa ada yang menemani. Mudah-mudahan tahun ini aku tidak perlu merayakannya sendirian.

Tiba-tiba aku jadi teringat Naruto dan aku pun langsung tersenyum.

.

mmmoooonnn

.

11 Februari 2011

"Jidat, kau kenapa?"

Aku mengangkat wajahku yang semula tertempel di meja. Membuat cokelat itu melelahkan, apalagi jika hasilnya tidak pernah memuaskan. Capek lahir batin.

"Berisik kau, Ino-pig!" celetukku kesal.

Mataku terasa berat dan sesekali aku pasti menguap. Aku mengusap mataku sekali lalu meregangkan otot tanganku yang kaku.

Ino mendekatkan telunjuknya di depan mataku, "Kantung matamu semakin tebal. Kau begadang?"

"Yah, begitulah..." jawabku sekenanya.

Ino mengangguk, "Kenapa?"

Ketahuilah, saat Ino bertanya kenapa, dia tidak akan puas bertanya sebelum mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Aku terdiam sebentar berusaha mencari topik pengalihan, "Kau akan buat cokelat untuk Shikamaru, Ino?"

Pipi Ino seketika memerah. Sial! di saat seperti ini aku benar-benar iri denganya. Kenapa dia bisa lebih laku dariku sih? Dan yang lebih menyebalkannya adalah gosip yang beredar bahwa Sai, kakak kelas kami, ternyata menyukai Ino.

Sai. Pria murah senyum yang sekilas mirip dengan Sasuke.

Diam-diam aku mendengus kesal. Bukannya apa, tapi Ino memiliki pacar yang paling pintar di sekolah, dan dia masih diperebutkan oleh calon pelukis terkenal di masa depan? Hah! Sedangkan kisah cintaku...

"Ya, aku membuat cokelat, kok! Akhir-akhir ini aku merasa Shika agak gimanaaa gitu..." perkataan Ino menyentakkanku dari lamunanku tadi.

"Hah? Maksudmu apa?" ucapku bingung. Aku melirik Shikamaru sepintas, "Aku rasa dia tetap pemalas seperti biasanya."

"Bukan itu! Menurutku sih ya," Ino mendekatkan dirinya denganku, berusaha agar percakapan ini tak terdengar oleh Shikamaru, "Shika sedang cemburu dengan Sai."

"Sai? Pria yang menyukaimu itu? Yang memberikan bunga dan lukisan setiap pagi kepadamu?" Alisku mengkerut menyadari jika Shikamaru bisa cemburu sementara orang yang dibicarakan masih asyik tertidur.

Jujur, selain pemalas, pintar, dan suka berkata 'merepotkan', aku tidak tahu apa-apa lagi tentang Shikamaru. Habis, dia bukan tipe orang yang suka menonjol. Berbanding terbalik dengan Sasuke yang memang mau tak mau pasti menonjol.

Saat itu juga aku melihat warna pirang yang akrab bagiku sedang berjalan di lorong sekolah. Naruto. Dia menonjol dengan caranya sendiri. Baik dengan kebodohannya, kebaikannya, ataupun senyumannya.

Aih... Naruto...

"Memangnya ada orang lain yang bernama Sai di sekolah ini? Dan apa sih maksudmu dengan bertanya panjang lebar seperti itu?" kata Ino sebal, tapi aku tahu bahwa dia juga merasa bangga karena tingkah Sai itu. Siapa sih, perempuan yang tidak suka diperebutkan oleh para pria berkualitas tinggi?

Berbanding terbalik dengan Shikamaru, Sai itu romantis sekali. Ah, dia juga murah senyum, ehm, dan pintar memuji. Jauh sekali dengan Shikamaru yang selalu berbicara 'merepotkan' untuk semua hal yang ada di depan matanya. Itu termasuk juga Ino.

"Yah, aku kan cuma ingin memastikan apa gosip itu benar atau tidak. Jadi itu benar?" tanyaku antusias.

Ino mengangguk semangat. "Ya! Mungkin karena itu Shika jadi marah padaku. Sai memang agresif sih. Padahal dia tahu kalau aku sudah punya pacar," keluh Ino. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum. "Tapi setidaknya ada hal baik yang kusadari karena Sai."

Dahiku mengkerut. "Hah? Apa?"

"Aku jadi tahu kalau Shika memang benar-benar menyukaiku! Dia itu tidak pernah mengucapkan kata cinta sih! Aku kan kadang-kadang jadi sebal! Setiap kencan juga, dia selaaaluuu saja tidur! Dia juga selalu bilang aku ini gadis yang merepotkan!"

"Kalau begitu, kenapa kau tidak memilih Sai yang selalu memujimu cantik?" tanyaku heran.

Lagi-lagi pipi Ino memerah, "Habis, aku maunya hanya dengan Shika sih... dia beda. Padahal hanya dengan memandangnya saja, kakiku bisa langsung lemas. Ampun deh, Saku! Cuma Shika yang bisa membuatku nelangsa seperti ini! Kau pasti mengerti perasaanku kan?" tanya Ino.

"Yah, begitulah," Aku lantas memalingkan muka.

"Sakura... kau... masih menyukai Sasuke?"

Aku berbalik, "Masih, tapi tidak sama seperti dulu..." bisikku pelan.

"Begitu..." Ino tersenyum. "Aku rasa masih ada kesempatan untuk Naruto."

Naruto... ah, aku jadi teringat dengan cokelat.

"Ino!"

"Hm?"

"Kita buat cokelat sama-sama yuk?" ajakku penuh harap.

Ino memiringkan kepalanya, "Tumben. Biasanya kau tidak pernah buat cokelat. Untuk Sasuke?"

"Gak penting untuk siapa," aku mengibaskan tanganku, "mau gak?"

Ino mengangguk, "Tapi aku yang pegang kendali, kau kan payah soal memasakku."

"Apa pun deh, Sensei..."

.

mmmoooonnn

.

12 Februari 2011

"chan..."

Aku ngantuk.

"Kura-chan..."

Bisa pergi gak sih? Ngantuk nih...

Aku merasa benar-benar terganggu saat ada yang menggoyangkan badanku.

"Sakura-chan, sampai kapan kau mau tidur?"

Sampai aku tidak mengantuk lagi...

Kesadaran semakin terkumpul saat suara itu semakin jelas terdengar.

Aku mengusap-ngusap mataku. Warna pirang dan safir menyambutku saat mataku terbuka.

"Eng... Naruto?"

Orang itu tersenyum, "Sekolah sudah selesai dari tadi. Kau tidak mau pulang apa?"

Aku tersentak kaget, mataku menerawang ke penjuru kelas. Kosong. Hanya tinggal kami berdua. "Kok bisa?"

"Tidurmu terlalu pulas sih, akhir-akhir ini kau begadang ya?" tanya Naruto.

Aku memasukkan bukuku ke dalam tas dengan malas, "Ehm... iya." Aku menguap sekali.

"Kenapa?"

"Yah, aku membuat-," perkataanku terhenti sambil memandang Naruto. Aku menggigit bibirku cemas.

Apa aku harus bilang yang sebenarnya? Sampai saat ini, aku belum bisa membuat cokelat yang enak, mungkin ada baiknya aku tidak mengatakannya. Aku tidak tahu apa aku akan berhasil membuat cokelat nantinya.

"Membuat?" beo Naruto.

"Membuat... anyaman jerami," jawab asal.

Naruto tercengang, "Hah? Untuk apa?"

"Untuk Luffy si Topi Jerami. Topinya rusak kemarin, jadi aku membantunya untuk membuat yang baru," jawabku tambah asal.

"Haha. Lucu sekali," kata Naruto tak percaya. "Memangnya sejak kapan Luffy bisa keluar dari buku komik? Kalau mau berbohong, kau harus lebih kreatif sedikit, Sakura-chan."

"Iya, deh. Nanti aku cari alasan yang lebih kreatif dan inovatif." aku mengambil tasku, "Pulang yuk!"

Naruto tersenyum, "Ya!"

"Haah... kau itu suka sekali tersenyum ya?" kataku sambil membuka pintu kelas. Kami berjalan di lorong sekolah yang sepi. Udara yang berhembus semakin dingin dan warna senja mulai terlihat.

Aku tak pernah sadar bagaimana waktu bisa begitu cepat mengalir. Terkadang itu terasa menakutkan, apalagi jika aku menghabiskan waktu dengan tidak melakukan apapun. Aku kekurangan waktu, tapi di lain pihak, aku malah berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa.

Miris sekali rasanya.

"Yah, begitulah," jawab Naruto, "hei! Kita pergi ke taman dulu, yuk!"

"Hah? Maaf Naruto, tapi aku ada urusan, jadi-"

"Urusan apa?" potong Naruto.

Latihan membuat cokelat. Lagi. Hari Valentine tinggal dua hari lagi, itu berarti aku harus berusaha lebih keras lagi. Cokelat yang terakhir kubuat masih gagal. Konohamaru –anak tetangga sebelah-, kemarin mencoba cokelatku daaan... satu giginya tanggal karena saking kerasnya cokelat buatanku, padahal hasilnya lumayan.

Haaah... untung itu gigi susu...

"Eng... tidur?" jawabku lagi asal. Otakku agak sulit dipakai karena rasa ngantuk yang masih bertengger di kepalaku.

Naruto menggandeng tanganku dan menariknya pelan, "Sudahlah, kita pergi ke taman saja. Ya, Sakura-chan?" pintanya penuh harap.

Aduuh... mana mungkin aku bisa menolak jika raut wajahnya seperti itu.

Dan... selama perjalanan, tangan kami tetap bertautan. Sensasi itu mengalir ke sekujur tubuhku dan membuatku merasa ingin lebih. Aku ingin... memeluk Naruto, menyentuhnya, dan... ya ampun! Apa sih, yang kupikirkan?

"Sakura-chan?"

"Ya?" aku berpaling ke arah Naruto. "Ada apa?"

"Duduk di ayunan itu, yuk!" ajak Naruto.

Aku mengangguk.

Ada dua buah ayunan dan kami duduk di sana. Naruto menggoyangkan ayunannya pelan, sementara aku berusaha tetap terjaga. Uuh... aku ngantuk sekali.

"Kau ngantuk sekali ya?" tanya Naruto.

"Gak juga sih..."

"Kau sering menguap akhir-akhir ini, apa... ada masalah, Sakura-chan?"

"Hah? Masalah? Gak ada kok!" jawabku cepat. Aku tidak ingin membuat Naruto khawatir. Tapi aku senang, karena dia begitu peduli padaku. Bodoh sekali aku, kenapa aku tidak pernah melihatmu dulu ya?

"Oh, begitu. Syukurlah..." kata Naruto sembari tersenyum, tapi aku masih bisa melihat kilatan rasa cemas di matanya.

Seharusnya kau tidak usah khawatir seperti itu. Aku hanya ingin membuat cokelat saja kok, untukmu...

"Yah, dibilang begitu sih... sebenarnya ada yang kupikirkan juga akhir-akhir ini..."

"Apa?"

Aku memandang Naruto, "Kau... jika ada yang memberikanmu cokelat dan menyatakan perasaannya padamu, apa yang akan kau lakukan? Apa yang kau rasakan?"

"Eh, kalau ditanya seperti itu," Naruto terlihat bingung. "Mungkin aku akan menolaknya, karena aku sudah punya orang yang kusuka."

Pipiku memerah saat mendengar jawabannya.

Aku menghela nafas, "Bagaimana kalau orang itu adalah Hinata, apa kau juga akan melakukan hal yang sama?"

"Tentu saja jawabannya sama, aku akan menolaknya. Kasihan sih Hinata, tapi," Naruto bangkit dan berdiri di depanku, kedua tangannya memegang tali ayunan, kepalanya ditundukkan dan mata kami saling bertemu, "aku hanya menyukaimu. Aku tidak ingin mempermainkan perasaan Hinata."

"Kau tidak menyukainya? Sedikit pun?"

"Mungkin rasa suka itu ada, tapi berbeda dengan rasa suka yang kurasakan padamu. Dan terkadang, aku juga merasa bersalah pada Hinata," jawab Naruto. "Tapi Hinata punya Sasuke."

"Oh..." Hatiku terasa berdenyut mendengarnya.

"Maaf! Harusnya aku-"

"Tidak apa-apa," selaku. "Lagipula mereka berdua cocok kok!"

Naruto tersenyum sumringah, "Kita berdua juga cocok kok!"

Aliran darahku naik dengan cepat ke kepala. Aku menundukkan kepalaku.

Dasar Naruto! Kenapa dia bisa begitu gamblang berbicara seperti itu!

"Sakura-chan, kau tidak apa-apa?" panggil Naruto.

Aku mengangkat kepalaku dan memandangnya. Wajahku pasti amat merah, "Tidak, tapi rasanya susah untuk bernafas."

Pipi Naruto terlihat merona, "Eh, wajahmu merah sekali... kau malu ya, Sakura-chan?"

Aku menendang kaki kanannya pelan sampai dia mengaduh, "Memangnya tidak boleh?"

Naruto hanya tersenyum menanggapinya.

"Kau ini... tidak capek apa tersenyum terus?" kataku agak sedikit kesal.

"Tersenyum kan bagus."

"Tapi melelahkan," jawabku acuh. Kalau terlalu lama tersenyum, entah kenapa malah bikin capek. Sudut bibir juga jadi kaku. Lagi pula, tak semua hal di dunia ini bisa membuat tersenyum.

"Lebih melelahkan lagi kalau tidak tersenyum," jawab Naruto.

"Itu sih karena kau sudah terbiasa tersenyum." aku menoleh ke arah langit. "Sudah sore..."

"Mau pulang?"

Aku mengangguk lalu berdiri.

Kali ini tangan kami tidak saling bertautan, tapi bayangan kami berdua menyatu.

Warna jingga terlihat berkilau di langit. Dan aku menikmati warna itu. Hawa dingin memang lebih sering berhembus, tapi aku tidak merasa terlalu dingin.

Jalanan terasa sepi saat ini. Apa karena sudah sore?

"Kau suka senja ya?" tanya Naruto membuka percakapan.

"Yah, warnanya jingganya menenangkan. Dibandingkan dengan langit biru yang menyilaukan ataupun malam yang menakutkan, aku lebih suka langit senja. Mataku tidak sakit melihatnya," jawabku tanpa mengalihkan pandanganku.

"Dan lagi, saat senja, langit terasa begitu dekat untuk digapai," tambahku.

"Begitu ya?"

"Ya, kalau kau?"

"Hmm... senja itu membuatku kesepian. Habis itu waktunya untuk pulang ke rumah kan? Berpisah dengan teman-teman, padahal sedang asyik bermain," jawabnya polos.

"Itu saja ya, yang ada di pikiranmu? Tapi benar juga sih ya?" Alisku terangkat sebelah. "Eh, tapi kan kita sudah bukan anak-anak lagi. Sore itu bukan patokan lagi untuk pulang ke rumah."

Aku jadi teringat dengan kejadian saat hari Natal dan Tahun Baru. Kami bahkan pulang lebih dari jam dua belas malam.

"Iya juga ya?" Naruto terkekeh geli.

"Warna senja itu..." aku menerawang.

"Kenapa?"

Saat aku ingin menggeleng, aku merasa bibir Naruto menyentuh pipi kananku. Aku berbalik karena terkejut dan sedetik kemudian, bibirku sudah teraih oleh bibirnya.

.

mmmoooonnn

.

13 Februari 2011

Besok adalah hari Valentine dan sampai saat ini aku belum berhasil membuat cokelat. Di saat pikiranku dilanda kebingungan, aku pun menyadari satu hal. Untuk apa aku membuat cokelat?

Jawabannya memang untuk Naruto. Tapi... apa yang kulakukan ini benar? Aku belum membalas perasaannya dan yang kulakukan hanya akan memberinya harapan kosong.

Aku tidak ingin Naruto terluka. Aku tidak ingin Naruto menjauh dariku. Aku membutuhkannya lebih dari pada yang kutahu.

Sebenarnya, bagaimana perasaanku padanya?

"Hei! Sakura!"

Aku berbalik, "Ada apa Ino?"

"Sebaiknya kau beli cokelat lagi, yang ini sudah habis. Heran deh, kau itu benar-benar tidak berbakat ya?"

"Aku kan baru belajar," jawabku kesal.

Saat ini aku berada di rumah Ino. Kami sedang membuat cokelat, sebenarnya cokelat Ino sudah selesai, hanya cokelatku yang belum.

"Oke deh, aku ke supermarket sekarang," kataku sambil melepas celemek yang kupakai.

"Ya, ya. Tapi jangan tergoda dengan cokelat yang sudah jadi di sana ya!" kata Ino sambil membalik halaman majalah yang dibacanya. Karena cokelatnya sudah selesai, kerjaan Ino hanya mengawasiku sambil bergosip dan membaca majalah.

Benar-benar menyenangkan!

"Apa sih maksudmu?" kataku sewot.

"Cokelat jadi yang dijual di sana, cantik-cantik sih. Aku yang ngeliat aja ngiler!"

Aku hanya mendengus sambil keluar melewati Ino.

"Titip puding cokelat ya, Sakuraa!" teriak Ino lantang.

"Iya!" balasku tak kalah lantang.

Aku memakai sepatu dan jaket lalu beranjak keluar. Sudah hampir malam. Warna senja sudah mulai memudar.

Ahh... aku jadi teringat kejadian kemarin.

Serta merta aku langsung berhenti dan berjongkok di tepi jalan. Wajahku kusembunyikan di kedua lututku. Dadaku bertalu-talu dan aku merasa kesulitan mengingat apa yang harus kulakukan saat ini.

"Bodoh, kenapa dia menciumku seenaknya?" gumamku sendiri. Dan yang lebih bodohnya adalah aku yang membalas ciumannya.

Wajahku memerah lagi. Dadaku sesak, susah bernafas lagi.

Aku menarik nafas, menghembuskannya. Hal itu kulakukan berkali-kali sampai aku tenang dan ingat bahwa ada yang harus kulakukan.

"Beli cokelat dan puding," kataku pelan.

Aku berjalan pelan di jalan sepi yang mulai dipenuhi bayangan malam.

.

.

Saat aku sampai di supermarket, aku terkejut luar biasa. Memang benar kata Ino. Banyak cokelat jadi yang cantik berjejer di rak kaca. Berbagai macam cokelat dan bentuk ada di sana.

Rasanya begitu membius. Cokelat itu begitu cantik dan mudah diraih. Aku tinggal membeli dan aku tidak perlu bersusah payah untuk membuat cokelat lagi.

Apa aku beli saja ya? Rasa percaya diriku sudah menipis. Aku tidak yakin bisa membuat cokelat yang enak. Lagipula, hanya memberi cokelat kan?

Semenit kemudian, cokelat jadi itu ada ditanganku. Cokelat itu dibungkus warna biru. Bukan bentuk hati dan tidak bertuliskan apapun. Hanya cokelat persegi yang beraksenkan mawar.

Yang jelas aku tahu cokelat ini layak dimakan.

"Kau beli cokelat, Sakura-chan?"

Aku tersentak kaget dan menoleh ke samping kiriku, "Naruto. Kau mengagetkanku!" kataku kesal.

"Maaf..." dia melirik cokelat di tanganku lagi. "Kau beli cokelat?"

"Iya. Habis, susah buatnya sih. Jadi aku beli saja," jawabku pura-pura tenang.

"Oh, begitu. Iya ya, yang penting perasaannya," Naruto tampak tengah berpikir dan entah kenapa ada nada tak suka terselip diperkataannya.

"Kau sendiri sedang apa?" tanyaku pada Naruto.

"Na-na-naruto..." panggil seseorang di belakang Naruto. Aku menoleh sedikit dan mataku langsung membulat.

"Hinata?" kataku kaget. Kenapa mereka bisa bersama?

"Hai, Sakura..." jawab Hinata tersenyum teduh.

"Hai," kataku pelan tanpa tersenyum. Rasanya sulit untuk saat ini.

"Oh, kau sudah selesai, Hinata?" tanya Naruto. Dahiku mengerut saat ini.

"I-iya..." Wajah Hinata memerah, tapi dia terlihat bahagia. Hatiku terasa berdenyut saat itu juga. Aku menoleh ke Naruto yang tengah berbicara pada Hinata. Matanya polos sekali.

Pemandangan ini membuatku sesak. Sesak yang menyakitkan.

"Kalian pergi berdua?" tanyaku kelu. Tenggorakanku terasa kering dan aku berusaha keras agar ekspresiku tetap datar.

"Yah, aku tidak sengaja menginjak cokelat milik Hinata. Karena itu aku menemaninya untuk membeli yang baru," jawab Naruto datar tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya hanya tertuju pada Hinata dan itu terasa menyesakkan.

Aku terdiam, tak sanggup berkata-kata.

"It-itu bu-bukan salahmu, Na-naruto..." Hinata menunduk lalu memandang Naruto lagi. Kali ini mata keduanya bertemu, mengacuhkanku yang berada di depan mereka. "Ak-aku yang salah karena terjatuh dan membuat co-cokelatnya bertebaran di mana-mana."

"Tidak, aku tetap yang salah. Kau sudah memilih? Sekarang biar aku yang membayarnya," ajak Naruto.

Tidak.

Tidak.

"Ano, Naruto..." panggilku.

Naruto menoleh, "Maaf Sakura, aku harus menemani Hinata. Kau pulang saja."

Wajahku langsung memucat. Pasti karena aku begitu terkejut. Lidahku kembali kelu dan mataku terasa perih.

"Ka-kami pergi dulu, Sakura..." ucap Hinata sambil berbalik dan berjalan bersisian dengan Naruto.

Aku terpaku di tempat dan melihat mereka berdua menjauh. Melihat Naruto pergi dengan pandangan dingin yang pertama kalinya ditujukan kepadaku.

Saat tersadar, aku sudah berlari dan berlari. Melupakan pesanan Ino dan berusaha melupakan tatapan dingin itu.

Dan entah mengapa, sepertinya aku sudah mendapat jawaban mengenai perasaanku pada Naruto.

Tidak mungkin, tapi ternyata aku...

.

mmmoooonnn

.

14 Februari 2011

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Ya, ini hari spesial.

Hari Valentine.

Aku berjalan memasuki gerbang sekolah yang mulai terasa hirup pikuk di sana-sini. Banyak gadis yang bergerombolan yang mengincar satu laki-laki yang mereka idolakan. Sasuke pasti menerima banyak sekali cokelat hari ini.

Aku memasuki kelas dan langsung duduk di bangkuku. Suara langkah kaki yang kukenal menghampiriku.

"Jidat! Kapan kau akan memberikan cokelatmu?" tanya Ino dengan suara yang lumayan keras.

"Ssst! Ino! Kecilkan suaramu!" kataku geram.

"Ups! Maaf!" jawabnya terkekeh.

"Kau sendiri bagaimana?" tanyaku balik.

"Aku akan menyerahkannya nanti saat kami berdua kencan," jawab Ino tersipu.

"Kalian akan kencan?"

Ino mengangguk.

Aku mengedarkan pandanganku, "Lho? Di mana Shikamaru?"

Ino mengangkat bahunya, "Mungkin dia belum datang," jawab Ino sambil menghela nafasnya. Sesaat kemudian Ino terdiam, alih-alih berbicara panjang lebar seperti biasanya.

Itu aneh.

"Kalian bertengkar?" tanyaku kemudian.

"Sedikit," jawabnya pelan.

Lalu aku melihat Naruto memasuki kelas. Aku sontak tersenyum dan memanggil namanya. Tapi dia hanya diam dan langsung menaruh tasnya dan pergi keluar tanpa melirikku sekalipun.

Rasa sedih langsung melanda hatiku.

"Kalian bertengkar?" kali ini Ino yang bertanya padaku.

"Entahlah. Mungkin," jawabku lesu.

Secara bersamaan, kami menghela nafas. "Kenapa saat Hari Valentine ya?" kata Ino.

Aku hanya mengangguk.

"Ooii! Ino! Sai-senpai mencarimu!" teriak Kiba di luar kelas.

"Aduuhh... kenapa dia malah datang mencariku sih?" rewel Ino. "Aku pergi dulu ya!"

"Ya."

.

.

Naruto tetap tidak mau memandangku. Dia bersikap seolah-olah aku berbuat salah dan dia marah karenanya. Tapi aku bingung, sebenarnya apa salahku?

Saat aku ingin mendekatinya, dia akan menjauh dan mendekat ke arah Hinata.

Aku bingung, sedih, dan marah. Apa salahku?

Sementara Ino, nasibnya sama menyedihkannya denganku. Shikamaru tidak masuk sekolah. Dia bolos dan berulang kali Ino menghubunginya, handphone Shikamaru tidak pernah aktif.

Bahkan sampai bel pulang berbunyi, keadaan kami berdua tetap buruk.

"Kurasa dia benar-benar marah padaku," keluh Ino.

"Ya, aku rasa Naruto memang marah padaku," jawabku pelan.

Kami menghela nafas lagi.

Ino beranjak pergi, "Aku pergi dulu."

"Kemana?"

"Kemana saja, yang jelas aku butuh menyendiri."

Kemudian Ino pergi, meninggalkanku sendiri di kelas. Naruto telah pergi lebih dulu dariku. Dan yang menyakitkannya, dia pergi dengan Hinata.

Aku mengusap mataku yang mulai sembab.

Apakah ini artinya Naruto akan meninggalkanku? Apakah dia akan benar-benar meninggalkanku di saat aku sudah menyadari seberapa besar perasaanku padanya?

"Sakura?"

Aku menoleh dan mendapati Sasuke berdiri di depanku. "Oh, Sasuke. Kau belum pulang?"

"Tadi ada urusan."

"Pasti para gadis yang menyerahkan cokelat ya?" tanyaku sambil tersenyum.

"Hn." Raut wajahnya tetap datar dan itu membuatku merindukan senyum Naruto. Aku rindu sekali.

"Sudah dapat cokelat dari Hinata?"

Sasuke menghentikan kegiatannya memasukkan buku pelajaran ke tasnya, "Belum."

Aku terdiam lalu mengacak-ngacak isi tasku, "Kau mau?"

Sasuke menoleh dan memandangi apa yang kujulurkan padanya. Cokelat dengan bungkus warna biru. Dia mengambilnya dan mengucapkan terima kasih.

"Harusnya aku yang mengatakan hal itu," kataku tersenyum.

Alis Sasuke terangkat.

Aku mengibaskan tangan kananku, "Bukan apa-apa. Hei, jika Hinata menyatakan perasaannya pada Naruto, apa kau akan menyerah?"

Aku terkejut pada diriku sendiri yang bisa berbicara selancar ini dengan Sasuke.

"Tidak."

"Jika Naruto menerimanya? Kau akan menyerah?" tanyaku lagi.

"Tidak." Nada suaranya terdengar tegas tanpa keraguan.

"Kau tegar sekali..." Sementara aku merasa perasaan iri terselip di perkataanku.

.

.

Senjalah yang menyambutku saat aku keluar dari sekolah. Sekali lagi, selalu hanya senja yang menemaniku saat hatiku dilanda dilema. Selalu. Dan kenyataan itu terkadang menyakitkan.

Senja kali ini terasa dingin, tidak seperti yang dulu, yang mampu memelukku dengan hangat sinarnya. Detik ini, aku merasa benar-benar kesepian. Benar-benar sendirian.

Aku berjalan pulang dengan lesu. Aku menghela nafas lagi. Sasuke begitu tegar, Naruto begitu berani, dan Hinata begitu baik.

Sedangkan aku... aku bukan apa-apa. Hanya gadis cengeng yang lemah, yang selalu terluka sendirian.

Aku mengusap mataku lagi, saat mengangkat wajah, aku melihat Naruto. Dia ada di depanku padahal aku kira dia sudah pulang dari tadi.

"Naruto..." bisikku lemah.

Dan semuanya begitu cepat berlalu. Tiba-tiba saja aku sudah terbaring di jalanan bersimbah darah. Pandangan mataku terasa mengabur dan badanku terasa kebas, tak bisa digerakkan. Sedetik kemudian, rasa sakit mengecup setiap inci di seluruh tubuhku.

Sakit.

Sakit.

Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat, hanya darah, darah, dan darah yang mengucur deras. Lalu aku teringat saat mobil itu menghantam tubuhku dari samping dan membuatku terlempar.

Kepalaku semakin pening. Mataku susah untuk terbuka walau aku berusaha keras untuk membukanya. Rasa sakit itu semakin lama semakin menghilang, bersamaan dengan kesadaranku yang kian menipis.

Aku mencoba bertahan sekuat tenaga.

Lalu saat aku membuka mataku sekali lagi dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku melihat Naruto dan mata safirnya, tapi sayangnya tak ada senyum di sana.

Apa itu artinya kau memang tak ingin tersenyum padaku lagi?

Aah... sayang... pada akhirnya, cokelat itu tidak bisa kuserahkan, padahal aku sudah bersusah payah membuatnya.

Aku merasa susah bernafas, susah berbicara, padahal ada hal yang ingin kuucapkan padanya. Apakah ini berarti aku akan mati? Tidak, tolong jangan! Aku harus mengatakan sesuatu pada Naruto.

Tapi, kata itu tidak terucap meski kuinginkan...

Cinta. Aku mencintaimu... dan maaf karena aku terlambat menyadarinya.

Sedetik kemudian, dengan satu helaan nafas, semuanya menghitam.

.

T*B*C

.

.

A/N

Chap terpanjang yang pernah luna buat. Ada yang gak ngerti? Itu... si sakura ketabrak mobil. Makanya kalo nyebrang, liat kiri-kanan ya!

Luna lagi suka ama sad ending nihh...

Chap depan, chap terakhir... enakan si saku dibuat mati aja gak ya?*plak

Mohon ripiu-nya ya... *sujud-sujud