Kuroko No BasukeFujimaki Tadatoshi

Hikari Monogatari — ReRaibu

Fanfic ini mengandung kadar OOC tingkat tinggi, TYPO yang bertebaran dimana-mana, NO EYD, AU/AT, PLOT amburadul, serta berbagai kekurangan-kekurangan lain yang tidak manusiawi :v


Chapter 1 : Geisha dan Daimyo


Matahari sudah terbenam kala mereka berkumpul. Ruang luas diterangi pencahayaan lampu minyak terasa mencekam. Alas lantainya begitu dingin, mungkin juga dikarenakan pintu geser menuju tanam yang terbuka lebar.

Yang berkulit coklat gelap mendecih "Apa masih lama?" tanyanya tidak sabaran. Cawan mungilnya kembali ia isi, sementara mata birunya berkeliaran kepenjuru ruang.

Pemilik rumah hiburan duduk bersimpuh disamping pintu sembari berkomat-kamit. Wajahnya antara takut dan marah.

"Mau sampai jam berapa-ssu~~~" yang pirang merengek, bibirnya maju beberapa senti.

"Sabar, nanodayo. Mereka mungkin sedang merias diri," jawab yang bersurai hijau kalem sembari membawa jemari lentiknya membenarkan kacamatanya. Meski ia berkata seperti itu, ia sendiri sebenarnya juga tidak sabaran.

Yang memiliki iris berbeda warna akhirnya angkat bicara, "Kagetora-san, sampai kapan kami harus menunggu?"

Yang diajak bicara menelan ludah "A—a … i—itu … saya rasa sebentar lagi Shogun-sama,"jawabnya terbata. Tak lama kemudian pintu geser disebelahnya terbuka lebar, dan membuat puluhan pemuda-pemuda cantik masuk secara berjubel kedalam ruangan.

"Jadi~~ bisa segera dipilih? Aku sudah ngantuk,"komentar yang paling tinggi. Disampingnya sosok cantik dengan surai sekelam malam memamerkan senyum tipis.

Keringat dingin meluncur bebas dari dahi Kagetora "Te-tentu saja, silahkan,"jawabnya sembari mempersilahkan para Daimyo muda.


"Bajingan kau Kise!"teriakan mengelegar membuat ruang luas itu menjadi riuh seketika.

Yang diteriaki hanya diam sembari mengerjap bingung. "Kenapa?" tanyanya polos.

Yang bersurai biru tua mengacak rambut kesetanan. "Kenapa kau menariknya?! Kan aku yang pertama melihatnya!"

"Melihat dan mengambil itu beda soal, Aomine,"tegur yang tinggi dengan jemari diperban.

Yang bernama Aomine mendengus "Kau bicara seperti itu, tapi nyatanya yang mau aku pilih kau ambil duluan."

Midorima yang kena semprot Aomine diam, pura-pura tidak dengar. Toh yang dikatakan Aomine benar, pria yang dia pilih sebenarnya sudah dilirik Aomine saat masuk kedalam ruangan, hanya saja karena jarak ia bisa mengambilnya duluan. Lagi pula semua orang tau, Aomine pintar memilih, Shogun-sama pun mengakuinya dalam beberapa kesempatan.

"Sudahlah, Daiki," tegur sang Shogun pelan, "Coba pilih yang lain."

"Tapi yang lain takut padaku!"

Teriakan Aomine membuat yang menjadi pendamping raksasa bersurai ungu terkikik, untunglah ia sempat menyembunyikan tawanya dengan menggunakan kipas. Jika tidak, sudah pasti ia akan dihukum karena menertawakan sang kepala keluarga muda Aomine.

"Kagetora-cin, apa tidak ada yang lain lagi?" yang sedari tadi hanya memperhatikan sembari memakan cemilan kini bersua. Sebagai yang satu tahun lebih tua, ia yang pemalas merasa terpanggil jiwanya jika melihat kekacauan yang dibuat teman-teman sedari kecilnya itu.

Kagetora hanya diam, tapi kepalanya mengeleng keras.

"Aku yakin ada yang belum kau tunjukkan,"tuding Aomine dengan wajah murka. "Cepat bawa mereka kemari!"

"Ta—tapi … sudah tidak ada yang lain, Aomine-sama."

Aomine menyeringai "Kau bisa pilih, bawakan aku yang lain atau kututup tempat ini."

Kagetora menelan ludah pahit. "Ta—tapi, Aomin—"

"Bukankah dulu Tatsuya adalah seorang Geisha, menagap tidak kau ambilkan dari Geisha saja, siapa tau ada yang akan membuat Daiki tertarik." Perintah mutlak dari sang Shogun membuat Kagetora bungkam. Dengan wajah pucat dia pamit keluar ruangan.


"Muro-chin, kenapa?" suara dengan nada malas menembus gendang telinganya, membuat pria cantik itu kembali dari lamunnya.

"Sa—saya tidak kenapa-kenapa, Atsushi-sama,"jawabnya gugup.

Bahkan meski dia berkata dia baik-baik saja, mata tajam sang Daimyo Yosen itu dapat melihat bagaimana resahnya sosok yang menjadi pendampingnya kini. Pemuda cantik dengan kimono indah berwarna ungu tua itu tampak menatap pintu dengan raut wajah yang sangat khawatir.


"Apa maksudmu bajingan?!" teriakan keras dari wanita cantik berkacamata membuat nyali Kagetora sedikit menciut.

"Dengar, Alex," katanya mencoba membuat wanita cantik dengan iris emerald didepannya memperhatikannya, " Ini bukanlah keinginanku, Shogun-sama yang memberi titah,"bantahnya kemudian.

Alex menatap pemilik rumah hiburan terbesar didistrik lampu merah itu dengan wajah garang. "Kau tak bisa mengambilnya!"teriaknya sekuat tenaga. "Kau sudah mengambil Tatsuya dariku, dan sekarang kau mau mengambil Taigaku juga?!"teriaknya lebih keras. Air mata mulai menggenag diujung matanya yang lebar.

Kagetora menatap wanita yang sudah ia anggap seperti saudarinya itu. Wajah wanita keturunan Spanyol itu begitu merah, menunjukkan bertapa marahnya dia.

Kagetora pun masih ingat, baagimana Alex mengadopsi dua bocah yatim-piatu lusuh yang ia temukan meringkuk dibawah jembatan, saat itu keadaan mereka begitu kurus. Kagetora juga ingat, bagaimana Alex merawat mereka dengan penuh kasih sayang, seolah-olah mereka adalah bagian dari keluarga yang tak pernah ia miliki. Seolah mereka adalah keluarganya yang kembali pulang, setelah hilang selama perang berlangsung.

Dengan diiringi derai air mata Kagetora mencium lantai "Kumohon, Alex,"pintanya sepenuh hati. "Kita tak bisa membiarkan tempat ini hancur, ada ribuan orang yang mengantungkan hidupnya di tempat ini."

Alex menggeram, tangannya mengepal. Hampir saja ia akan memukul Kagetora jika anak gadisnya tidak datang.

"Alex-san, kita tidak punya waktu banyak,"terang Riko sembari membangunkan ayahnya. "Aomine-sama sudah begitu lama bersabar, kami tidak bisa menahannya lebih lama lagi."

"Dan siapa yang akan perduli dengan itu!"bentakan Alex lah menjadi balasan dari ucapan Riko.

Gadis dengan surai sewarna tanah itu menatap Alex penuh mohon. "Kita tidak punya pilihan lain."

Alex menggeram jengkel.

"Lagi pula kehidupannya disana akan jauh lebih terjamin dari pada disini,"ujar Kagetora.

Alex mendengus "Dari mana kau tau? Sedang kau berada disini dan tidak disana,"balasnya.

"Itu sudah jelas, Alex-san,"bela Riko. "Tidakkah kau lihat diberita bagaimana keadaan Tatsuya-san."

"Bagaimana aku tau dia baik-baik saja atau tidak?! Dia bahkan tidak mengirimku surat atau kartu pos! bagaimana aku tau jika yang kulihat dikoran bukanlah sebuah kebohongan!" air mata berjatuhan dari kelereng indahnya sesaat setelah ia mengungkapkan semua kesedihannya.

Pintu geser diruang itu dibuka perlahan, menunjukkan sosok tinggi dengan surai merah-hitam. Rambutnya panjang digelung dan diberi hiasan, sementara kimononya panjang, lebar, dan berat, dihiasi oleh payet emas. Wajah tampannya masih terlihat maskulin, bahkan dengan makeup putih tebal dan lipstick merah mungil menghias bibirnya. Sosok itu menatap yanng sudah ia anggap ibunya dengan mata berkaca-kaca.

"Aku … akan pergi,"ujarnya dengan lirih, hampir seperti ditelan angin. Tubuhnya bergetar halus, antara takut, kecewa, dan marah.

Alex menjerit sebelum berlari dan menubrukkan diri kearah sosok itu.

"Tidak, Taiga! Tidak! Kau tidak boleh pergi"teriaknya. Yang dipanggil Taiga hanya diam sembari menatap lantai, tak mau melihat wajah terluka sang ibu angkat.

"Kagetora-san~~~ kita dapat masalah!"Koganei menerobos masuk ruangan dengan wajah pucat. "Aomine-sama benar-benar marah, beliau bahkan sudah berkeliaran kemana-mana."

Kagetora hampir serangan jantung saat mendengar kabar dari pria berwajah kucing tersebut.

Taiga menelpaskan pelukan Alex kepadanya. "Kita harus melakukan sesuatu,"ucapnya kemudian—meski dari suaranya benar-benar terdengar nada tidak yakin didalamnya.

Alex mengeleng "Tidak, Taiga! Kau tidak perlu melakukan hal yang tidak perlu, sudah cukup Tatsuya yang pergi, kau tidak boleh pergi juga."

"Tapi … jika tidak … banyak orang yang akan menderita."Taiga menggigit bibir, wajahnya tertekuk serta tampak mura, dan tangannya berkeringat, bahkan meski ia mencitai pekerjaanya sebagai seorang seniman ia tak bisa melupakan semua orang yang tertawa di rumah hiburan tersebut. Dibesarkan dilingkungan ini saja sudah cukup bagi Taiga. Hari-hari yang ia habiskan bersama dengan orang-orang disini tentunya akan menjadi sesuatu yang akan ia ingat selamanya.

"Jangan khawatir, Alex. Aku akan baik-baik saja," terang Taiga sembari mengangkat wajah dan memamerkan senyum terbaiknya. Tapi, yang ia lihat bukanlah iris hijau tua dan surai pirang pucat, melainkan sepasang kelereng biru tua yang menatapnya aneh.

"Ho~~~ jadi ini calonku,"gumamnya sembari memandang Taiga dari ujung rmbut sampai ujung kaki. "Tidak buruk," komentarnya sembari mengendikkan bahu, "Lakukan sesuatu dengannya, akan kutunggu diruanganku."

Taiga masih diam sembari berkedip polos, otaknya masih memproses apa yang baru saja terjadi.

"E-eeh?!"

"Bukan 'E-eeh?!', bodoh!"teriak Riko sembari mengeplak kepala Taiga.

"Sa-sakit~"Taiga mengosok belakang kepalanya sambil cemberut.

"Kau tidak benar-benar akan membawa anakku pada orang seperti dia kan!"Alex kembali berteriak. Kini wajahnya menjadi pucat pasih, ia bukan hanya marah, tapi juga tertekan.

"Tolong jangan marah padaku,"pinta Kagetora yang menjadi target pukul Alex.

"Taiga!"seruan kencang kembali terdengar, kini yang datang ialah sosok bersurai sekelam malam dengan rambut pendek.

"Uh? Siapa?"tanya Taiga bingung, mewakili Alex yang juga menatap sosok yang baru tiba dengan nafas ngos-ngosan itu dengan wajah bingung.

Pemuda dengan surai hitam pekat itu hanya melempar senyum—terbaiknya. "Ini aku, Tetsuya,"ujarnya kemudian.

Alex menutup mulut, sementara Taiga menjatuhkan rahang.

Bagaiamana bisa satu tahun merubah seorang pemuda lembut menjadi bidadari?


Banyak yang berubah dari sosok yang tengah bersimpuh (dengan mata berkeliaran kemana-mana) didepannya. Pemuda yang kini tampak jauh lebih manis tanpa riasan wajah berlebihan itu dibalut hakama polos berwarna abu tua.

"Jadi?"pertanyaan yang terlontar tiba-tiba dari Daimyo muda Too membuat sosok didepannya berjingkat kaget.

"Ya-ya … Tuanku?"

Aomine beringsut mendekat sebelum bertanya, "Siapa namamu?" pada sosok yang bertingkah mengemaskan didepannya.

"Taiga."

Kening Aomine berkerut "Margamu?" tanyanya lagi.

Pipi pemilik kulit coklat hangat itu merona tipis. "Tidak ada,"jawabnya sembari menundukkan kepala.

"Hoo~~~" komentar Aomine sebelum menjatuhkan diri kebelakang. Membuat tubuhnya bersentuhan dengan futon tebal.

Taiga hanya diam sembari menatap Daimyo muda Too dengan wajah bingung. Taiga tidak dididik sebagai pemuas nafsu tapi sebagai seorang seniman, membuat orang tertawa, mnyanyikan sebuah lagu sembari memetik sitar, dan mendengarkan keluhan klaien. Itulah mengapa ia hanya diam ditempat sembari berkedip polos.

Lagi pula apa yang bisa dia lakukan? Memikirkan tentang sesuatu seperti R-18 saja sudah membuat wajahnya panas, ia tak yakin ia bisa melakukannya. Bahkan meski Alex dan Tetsuya sudah memberinya kuliah singkat mengenai status barunya sebagai pendamping Daimyo.

"Mau sampai kapan kau disitu?" tegur Aomine sembari membuka sebelah matanya untuk memandang Taiga.

"Uh … itu … apa ada yang bisa saya lakukan untuk anda?"

Aomine menatap tepat kedua bola mata Taiga lama, membuat Taiga merinding sendiri.

"Tak bisakah kau menghisapku atau melakukan sesuatu hingga aku keluar?"

Mendengar pertayaan sang Daimyo membuat wajah Taiga kembali memerah.

Sembari meneguk ludah pahit Taiga menganggukan kepala "Bi … bisa,"jawabnya mengambang.


fin