Best Mistake

.

By : Arlian Lee

.

Main Cast

Cha Hakyeon (GS) / Kim Wonshik (Ravi)

.

Other Cast

Kim Jiyeon (Kei) / Han Sanghyuk / Yoon Dujun / Lee Hongbin

..and others..

.

Genre(s)

Romance, family, hurt/comfort, drama, genderswitch, alternative universe, out of character

.

Length

Multichapter

.

Rate

T, T+, PG (16)

.

Navi! WonshikxHakyeon!

Slight! Rabin, HakyeonxDujun

.

Don't like don't read, don't do other bad thing.

.

Summary

Meninggalkan sesuatu yang sudah digariskan apakah sebuah kesalahan? Jika itu memang kesalahan, kenapa Hakyeon malah bahagia dengan kesalahan itu? Masih bisakah disebut dengan kesalahan? Dan mungkin Hakyeon akan tetap mengatakan itu sebuah kesalahan, namun kesalahan terbaik dan hidupnya.

.

.

.

Happy Reading

.

01

.

.

Rumah tangga? Apa yang kalian pikirkan tentang rumah tangga? Sebuah keluarga yang bahagia? Saling berbagi kasih sayang? Atau saling memberikan perhatian satu sama lain? Tapi bagaimana jika semua itu karena perjodohan? Salah satu pihak menerima dan pihak lainnya terpaksa melakukan itu. Masihkan bisa dikatakan rumah tangga? Keluarga bahagia? Atau semacamnya? Apalagi saat satu pihak telah menjalin hubungan dengan orang lain secara terang-terangan namun enggan untuk menceraikannya. Bagaimana menjelaskan perasaan pihak lain itu? sakit? Kecewa? Kesal? Atau bahagia? Entahlah.. hanya dia yang merasakannya.

Berulang kali hembusan nafas berat lolos begitu saja ketika bola mata coklatnya menangkap dua sosok tengah saling bermesraan di ruang tengah ditemani suara dari TV. Air mata perlahan mengalir hangat dari pelupuk matanya. Sakit ia harus merasakan sakit itu lagi. Tak pernah bosan sosok itu menyakiti hatinya.

Dengan segala beban yang ada di hati, ia menutup kembali pintu kamarnya. Berharap suara gelak tawa itu tak terdengar di gendang telinganya. Namun sayang, lembaran tipis kayu itu tak mampu menangkis suara-suara yang semakin membuat hatinya mencelos pilu.

Tubuhnya yang tak setegar dulu berbaring di atas tempat tidur. Masih air mata itu mengalir deras dari sumbernya. Ia bingung, ia tak tahu harus bagaimana lagi membendung rasa sakit yang tak berkesudahan. Niat untuk bercerai dengannya selalu saja ditolak mentah-mentah dengan alasan ia tak mau menyakiti kedua orang tuanya. Tapi apa dia tak pernah berfikir? Bahwa apa yang selama ini ia lakukan telah mengiris dan menghancurkan satu-satunya hati yang ia punya.

Matanya perlahan menutup, menenangkan pikirannya yang terus berkecambuk memaksa hatinya menahan sakit sekian lama dan membiarkan lelehan benda bening itu menghujam turun. Deru nafasnya terdengar tak teratur di dalam tidur yang ia paksakan.

"Cha Hakyeon! Bangun, sampai kapan kau akan tidur?" suara itu mengalun di telinganya. Apa ia sedang mimpi atau kenyataan?

"Yaa! Cha Hakyeon! Ayo bangun, aku lapar! Buatkan aku makan!" seruannya meninggi. Pelan ia membuka mata melihat sosok itu duduk di tepi ranjangnya.

"Ahh, maaf. Kakak lapar? Baiklah aku akan buatkan makan. Tunggu sebentar ya?!" Segera ia bangkit dari tidurnya. Geraknya cepat, tak mau membuat sosok itu menunggu lebih lama.

Di dapur yang lumayan luas ini, tangannya cekatan memotong sayur-sayuran untuk membuat sebuah hidangan makan siang. Ia melirik sekilas jam yang bertengger manis diatas lemari es. Jam dua siang, pantas ia membangunkannya. Ia baru sadar bahwa sosok lainnya telah pergi dari kediamannya. Meninggalkan sosok itu dengan perut lapar.

Beberapa menit dibutuhkan untuk menghidangkan sebuah makanan yang mampu menggugah selera siapa saja. Ia memang mahir dalam hal tersebut. Memasak bukanlah hal yang sulit baginya. Dengan makanan itu juga ia bisa sedikit menyenangkan sosok itu.

"Waahhh, lihat-lihat! Makanan sudah datang." Serunya antusias seperti anak kecil mendapatkan sebuah ice cream.

Bibirnya mengembang, meski sakit masih mendominasi namun ia tak menampik bahwa ia juga merasa senang saat sosok itu senang dengan makanannya.

"Makan yang banyak, kak."

Sosok itu mengangguk pasti dengan mulut penuh makanan. Kedua mata lembutnya tak berhenti menyorot wajahnya yang tak begitu garang. Bila diperhatikan dengan seksama, imut itulah yang akan dikatakan.

"Oh ya, besok aku akan pergi ke Busan."

Hakyeon menautkan kedua alis cokelatnya, "Kenapa?"

"Aku ingin liburan dengan Heo Gayoon."

Deg...

Satu kalimat yang berhasil membuatnya semakin sakit lagi. Selama sosok itu secara terang-terangan bercinta di depannya, ia belum pernah mendengar kata liburan bersama. Alhasil, luka itu semakin melebar dan perih bagaikan ditaburi garam atasnya.

Tak tahu harus berekspresi apa, ia hanya mengulas senyum. Menutupi semua luka yang selama ini ia tahan. Bibirnya serasa keluh untuk mengatakan kata-kata walaupun hanya sepatah saja. Lantas ia membuang pandangan ketika ia merasakan hangat dimatanya.

"Hakyeon!? apa kau mau ikut?" tanyanya yang berhasil membuat lamunannya terpecah.

"Ah..tidak. Aku akan di rumah saja, aku tidak ingin mengganggu kalian." Jawabnya sedikit tercekat. Mana mungkin ia akan meng'iya'kan ajakan itu. Hal itu akan semakin membuatnya jatuh tersungkur lebih dalam.

"Hahaha, kau bisa pulang ke rumah orangtuamu saat aku berlibur disana. Bagaimana? apa kau mau ikut? Aku akan mengantarkanku ke Changwon." tanya lagi memastikan.

Hakyeon menggeleng, "Tidak, aku bisa ke sana sendiri. Aku belum ada keinginan untuk pulang." Jawabnya lirih.

Sejenak ia menghentikan kunyahannya, "Bukannya kau sering meminta ingin cerai lalu pulang ke rumah orang tuamu?"

"Memang." Jawabnya singkat.

"Lalu kenapa kau menolak ajakanku? Ah aku tahu, kau takut dengan kedua orang tuamu?" matanya menyipit seketika.

Hembusan nafas berat mengalun dari bibirnya, "Kalau begitu ceraikan aku, agar aku bisa pulang."

Mendengar itu sontak membuat sosok di depan Hakyeon tertawa keras. Hakyeon hanya menatap bingung sosok itu. Pandangannya perlahan memudar seiring lelehan air hangat yang mengalir pelan dari sudut matanya.

"Berapa kali aku bilang kalau aku tidak bisa menceraikanmu," ucapnya dengan nada santai.

Hakyeon mencelos mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang selalu terucap dari bibir tipisnya. Apa alasannya hingga ia sangat sulit menceraikannya? Apa? Hakyeon tak tahu pastinya. Apa sosok itu mencintainya? Namun itu mustahil! Kalau memang sosok itu mencintainya, harusnya ia tak akan tersakiti seperti ini? Lalu apa alasannya? Apa karena orangtua Hakyeon juga melarang Hakyeon untuk mengakhiri hubungan keluarga yang ia bangun dengan lelaki itu?

"Kenapa? Jelaskan padaku alasannya apa sehingga kau tidak mau menceraikanku?" tanya Hakyeon dengan sesenggukan. Ia telah menangis.

"Hey! Kenapa kau selalu menangis sih?" alih-alih menjawab ia malah bertanya dengan nada kesal.

Hakyeon mengusap kasar air mata yang tak mau menurutinya untuk tidak turun lebih deras.

"Jawab kak! apa alasanmu sehingga aku harus tertahan seperti ini? Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini. Aku sakit."

Sosok itu mendekati Hakyeon lalu menyentuh pundak Hakyeon. Menenangkan tubuh Hakyeon yang bergetar.

"Hsttt, jangan menangis lagi Cha Hakyeon! oke oke, aku akan jawab alasannya." Tukasnya yang berhasil membuat Hakyeon memandang kearahnya.

"Kita akan kena marah orangtua kita kalau kita bercerai. Kita baru saja menikah satu tahun. Apa salahnya kalau kau bertahan lebih lama? Aku juga merasa kasihan kepadamu nanti." lagi, tanpa rasa bersalah ia berucap sesuka hati.

Hakyeon menahan tangisnya agar tak jatuh lagi lantas ia berkata, "Apa kau bilang? Bertahan? Kau tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Dengan mudahnya kau bilang bertahan? Aku lelah kak! aku lelah! Sampai kapan aku harus menahan sakit ini?"

Sosok itu memandang aneh wajah Hakyeon. Lantas kedua tangannya memegang pundak Hakyeon lagi. Bibirnya tersenyum miring.

"Sampai aku bersedia cerai denganmu." Balasnya santai lalu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi.

Kali ini apa yang harus ia pertahankan? Rumah tangga yang benar-benar membuatnya tersiksa. Sebenarnya ada ketakutan dalam diri Hakyeon jika ia meminta cerai kepada suaminya. Apa? Orang tuanya! Orang tua Cha Hakyeon terlalu mencintai menantunya dan tak menginginkan Hakyeon untuk berpisah dengan Hakyeon.

Aneh memang, Hakyeon tak tahu sekarang ia berada di dalam kehidupan apa. Ia bingung, ia merasa bahwa ia tidak sedang di kehidupan nyata. Seolah ia berada dalam dunia hitam yang siap menghempaskannya sampai jauh. Kehidupan yang sama sekali tak ia inginkan. Sama sekali tak ia harapkan. Namun apa? Ia tak sanggup untuk menolak keinginan orangtuanya yang menjodohkan dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya.

Lelaki itu, lelaki yang semula ia anggap sebagai lelaki baik-baik dan penyayang kenyataannya berbanding terbalik. Tak sama seperti apa yang ada di bayangannya. Sikapnya yang ditunjukkan kepada kedua orang tuanya maupun orang tua Hakyeon sangat bertolak belakang dengan sikap yang ditunjukkan kepada Hakyeon. Memang ia tak kasar, tak menggunakan kekesaran. Namun kebiasaannya membawa wanita lain ke dalam rumah dan bercinta di depan mata Hakyeon membuatnya semakin membenci lelaki itu.

Berulang kali Hakyeon meminta kedua orangtuanya untuk mengijinkannya bercerai dengan lelaki itu namun ditolak mentah-mentah. Orangtuanya selalu mengatakan bahwa bercerai dengan lelaki itu bukan jalan yang benar dan Hakyeon akan menyesalinya nanti. Tetapi orangtuanya tak pernah tahu apa yang Hakyeon rasakan. Lebih dari sekali juga Hakyeon bercerita jika suaminya memiliki hubungan dengan wanita lain. Namun mereka seakan tuli tak mendengarkan keluh kesah buah hati. Mereka tetap memaksa Hakyeon untuk mempertahankan rumah tangganya.

Jika bisa dan mampu, Hakyeon akan memilih untuk mengakhiri hidupnya saja. Percuma, harus hidup di bawah tekanan batin tanpa ada harapan bahagia. Buat apa? Terus hidup seperti ini? Yang ada hanya pesakitan yang akan semakin melebar setiap bertambahnya detik, menit, jam dan hari. Sekali lagi, Hakyeon berpikir bahwa mengakhiri hidupnya bukan pilihan yang tepat. Ia akan mengecewakan kedua orangtuanya. Hakyeon bukan tipe anak yang bisa membuat orang tuanya kecewa.

Masih setia dengan tangisannya, Hakyeon berusaha bangkit dari tubuh lemahnya. Menggerakkan kakinya malas masuk ke kamar. Setidaknya, di dalam ruang pribadinya itu dia mampu meluapkan semua kekesalan yang ada.

.

.

.

.

.

.

Cetoleh riang unggas-unggas mungil telah mengudara sedari tadi. Nyanyiannya memberikan keceriaan dipagi yang tak terlalu dingin. Hangatnya mentari telah menyapa makhluk dibumi. Semburat-semburat kekuningan berhasil menerobos pori-pori kain korden putih tulang itu. Membelai lembut kulit mulus yang tengah terlelap dalam mimpinya.

Sedikit mengerjab ia terbangun, kristal indahnya melirik sekilas benda kotak yang tergantung diatas dinding.

"Ahh, aku harus cepat bangun." gumamnya pelan. Lantas ia bangkit dari tempat tidur dan melakukan rutinintas seperti biasa.

Saat ini, tangannya sibuk menyiapkan makanan untuk sang suami. Tak perlu waktu lama semua makanan telah tersedia diatas meja. Cukup dan bahkan terlalu banyak jika hanya dinikmati dua orang saja. Setelah ia merasa semuanya sudah siap, ia kembali kedalam kamar. Bersiap-siap karena ia berencana untuk meninggalkan rumah besar ini dan kembali ke Changwon.

Cha Hakyeon telah memutuskan untuk meninggalkan semua yang ada di Seoul ini dan kembali pulang. Ia tak mampu lagi bertahan lebih lama dalam kondisi keluarga yang menurutnya hanya akan menambah daftar pesakitan dihidupnya. Butuh pemikiran yang keras dan kuat untuk memutuskan ini. Banyak sekali pertimbangan yang harus dipikirkan matang-matang sebelum benar-benar melangkahkan kakinya keluar dari Keluarga Yoon.

Ia sudah cukup siap dengan apa yang terjadi nanti atas keputusannya. Pasti, akan ada konsekuensi yang ia terima. Dan ia cukup tahu, keputusannya ini akan menimbulkan amarah yang besar dari kedua orangtuanya. Namun tidak ada salahnya bukan untuk mencoba? Mungkin saja, kedua orangtuanya akan memiliki pemikiran yang berbeda.

Satu buah koper telah berada di tangan. Pakaiannya juga telah rapi dan ia rasa sudah saatnya untuk pergi. Sebelumnya, ia menulis sebuah memo untuk sang suami yang kemungkinan besar masih tertidur. Sengaja ia tak membangunkannya, karena ia tak mau kepergiannya dilihat oleh sang suami.

"Selamat Tinggal Yoon Dujun... Semoga kau akan bahagia dengannya.. Dan semoga kita tidak dipertemukan lagi..." gumamnya lirih sebelum menyeret koper melangkah keluar dari pintu.

.

Beberapa jam ditempuh Hakyeon untuk sampai di Kota kelahirannya. Saat ini Hakyeon telah berada di depan rumah kedua orang tuanya. Wanita manis bersurai kelam itu memandang nanar dan tersenyum getir. Ia tengah mempersiapkan mentalnya sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah itu.

Hakyeon menarik nafas dalam lalu memencet tombol bel rumah itu. Detik demi detik berlalu belum ada sahutan dari dalam rumah. Lantas ia kembali menekan bel itu. Hakyeon masih menunggu, ia tak mencoba menelpon kerumah. Setidaknya itu akan membantu.

Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu.

"Ahh, Nyonya Muda Cha... Maaf Nyonya Muda.. Saya tidak mendengar bel berbunyi..." ucap pelayan itu dengan penuh penyesalan seraya berbungkuk.

Hakyeon tersenyum manis. "Tidak apa-apa bibi..." pandangannya beredar sejenak. "Ahh, mana ayah dan ibu?"

"Beliau masih ada urusan di kantor. Oh, ya bibi siapkan kamar untuk nyonya muda dulu.. Atau nyonya muda ingin makan terlebih dahulu?"

Hakyeon menggeleng. "Tidak, aku langsung istirahat saja bi." jawabnya seraya meninggalkan pelayan menuju kamar yang telah lama tak ia tinggali.

Hakyeon sangat merindukan tempat ini. Sebuah kamar yang selalu menjadi peraduannya sebelum kata-kata perjodohan merenggut semuanya. Hakyeon ingin kembali tenang di dalam kamar ini. Namun Hakyeon tahu bahwa nasib hidupnya masih belum menentu. Apa yang akan ia katakan saat orangtuanya bertanya tentang kehidupan rumah tangganya? Apa yang akan ia lakukan nanti jika kedua orangtuanya murka dengan keputusan yang telah ia buat.

Apapun itu, Hakyeon akan melakukannya. Asal keinginannya untuk berpisah dengan lelaki itu bisa terpenuhi. Sekalipun ia harus angkat kaki dari rumah besar ini.

.

.

.

"Kau bilang apa? Kau ingin bercerai dengan Dujun? Jangan bercanda! Ayah sama sekali tidak akan mengijinkan hal itu terjadi."

Hakyeon menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Hal yang seharusnya sudah ia antisipasi. Ini bukan kali pertama Hakyeon memohon. Hanya saja selama ini Hakyeon tidak mengutarakannya secara langsung; berhadapan seperti ini. Melainkan melalui telepon yang pasti akan mendapatkan pemutusan telepon secara sepihak.

Tuan Cha menyeringai senang melihat Hakyeon hanya diam tak melawan. Bukan karena Hakyeon takut, bukan. Hakyeon masih menyusun kalimat apa yang akan ia keluarkan untuk melawan sang ayah.

Ia sudah lelah dengan ini semua, sungguh.

"Kalau aku memaksa, bagaimana ayah?"

Oh, rupanya keberanian Hakyeon sudah mulai muncul. Setelah beberapa saat terdiam, ia mampu melontarkan bait-bait kata itu.

Lagi dan lagi Tuan Cha tertawa. Menertawakan sikap sok berani dari sang anak sulung.

"Kau mencoba untuk melawan ayah? Kalau kau mau, silahkan angkat kaki dari sini dan ayah tidak akan mengakuimu sebagai anak lagi."

Ancaman yang mampu membuat hati Hakyeon bergejolak. Separah itu kah keserakahan ayahnya? Hakyeon tahu, sang ayah tidak ingin ia bercerai dari Dujun karena perusahaan Dujun memiliki andil yang besar dalam perusahaan ayahnya. Tapi apa benar yang dilakukan sang ayah dengan memaksanya? Ia sama sekali tidak bahagia hidup bersama Dujun. Siapa juga yang akan bahagia hidup dengan lelaki macam Dujun?

Hakyeon menarik dalam nafasnya. Sempat ia menoleh pada ibu dan adik laki-lakinya. Ia tidak tahu apakah jawaban yang ia lemparkan nanti akan menyakiti sang ibu atau tidak. Ia kembali menarik dalam nafasnya begitu melihat raut gelisah di wajah cantik sang ibu yang tak lagi muda.

Mungkin sang ibu mendukung keputusan ayahnya, namun sang ibu juga takut jika hal yang tidak-tidak menimpa sang anak.

"Menjadi anak ayah bukan hal yang membanggakan."

Nyonya Cha terbelalak dengan ucapan berani dari Hakyeon. Ia menoleh pada Hakyeon dan akan mendekatinya. Tetapi urung, ketika tatapan membunuh tersorot dari mata sang suami.

"Aku sama sekali tidak bahagia menjadi anak ayah. Jadi tidak masalah jika aku keluar. Asal aku bahagia."

Tuan Cha kembali menggelegarkan tawanya yang angkuh. Tangannya bersedekap di depan dada dan sorot tajam jatuh pada sosok Hakyeon yang tampak sok tegar. Ia mendekati Hakyeon. Menelengkan kepala sebelum membalas ucapan Hakyeon.

"Kau anak yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, dua puluh tujuh tahun! Hidupmu siapa yang menjamin? Siapa yang menafkahi? Kalau bukan uang dari ayah, siapa lagi?" Lalu ia mengangkat dagu Hakyeon; Hakyeon sempat mengelak. "Dan sekarang kau melunjak ingin keluar dari rumah ini?"

Hakyeon menyingkirkan tangan sang ayah. "Aku lelah menjadi anak yang baik di mata ayah! Sama sekali tidak ada gunanya. Apa ayah pikir aku bahagia dengan Dujun? Tidak! Ayah tidak tahu sifat aslinya Kak Dujun. Yang ayah tahu hanya harta, harta, harta saja dan aku muak dengan itu semua. Hakyeon ingin pergi dari sini, ayah!" Sahutnya tegas.

"Baiklah! Kalau kau menginginkan itu! Silahkan kemasi barang-barangmu dan keluar!"

Tuan Cha tak mendebat lagi ucapan Hakyeon. Ia menuruti apa inginnya Hakyeon. Buat apa terus ditahan kalau Hakyeon tetap demikian. Sama halnya dengan Hakyeon. Buat apa terus bertahan kalau akhirnya ia jatuh juga. Lebih baik akhiri semua dan ia yakin akan bahagia dengan pilihannya.

"Jangan cegah dia, Sojin! Biarkan dia menjadi gelandangan. Kita masih punya Eunwoo yang akan memberikan keuntungan pada kita. Biarkan saja Hakyeon keluar dari daftar Keluarga Cha!" Ucapan Tuan Cha menghentikan langkah Nyonya Cha yang akan mendekat pada Hakyeon.

Hakyeon hanya menahan kepalan di tangan dan menggigit bibir dalamnya. Rasa kesal begitu besar memuncak dalam diri. Jika saja Tuan Cha bukan ayahnya, ia akan mencakar lelaki tua itu. Tapi sayang, bagaimanapun Tuan Cha adalah ayahnya.

Tak ingin terus sakit hati, Hakyeon memilih untuk pergi ke kemar mengemasi barang-barangnya dan keluar dari rumah neraka ini.

.

.

.

Cha Eunwoo, adik laki-laki Hakyeon menyusul sang kakak masuk ke dalam kamar. Jelas, ia terkejut dengan sikap sang kakak. Selama ini ia tidak pernah tahu bagaimana kehidupan rumah tangga Hakyeon. Yang ia tahu, Hakyeon dan Dujun hidup bahagia.

Tetapi nyatanya tidak seperti apa yang ia pikirkan. Sang kakak malah ingin rumah tangganya berakhir dan ia lepas dari jeratan Yoon Dujun.

Sebenarnya kenapa? Ada apa?

"Kakak!" Eunwoo menghentikan tangan Hakyeon yang sedang memasukkan pakaiannya secara asal ke dalam koper. "Apa yang terjadi dengan rumah tangga kakak? Kenapa kakak tiba-tiba pulang dan ingin bercerai?"

Hakyeon berhenti. Sorot mata yang semula terpaku pada kopernya beralih haluan. Ia menatap sang adik yang tampak khawatir padanya. "Kau akan tahu nanti sayang! Sekarang kakak ingin beres-beres lalu pergi." Jawabnya.

"Kak! Kakak tidak serius kan ingin meninggalkan rumah ini?"

"Kenapa tidak?" Hakyeon menutup kasar kopernya. "Kakak sudah lelah hidup di rumah ini."

Eunwoo diam. Ia menunggu sang kakak untuk berbicara lagi. Sementara Hakyeon mulai menyingkirkan koper itu dari hadapannya. Ia tersenyum; memegang pundak Eunwoo. Ada yang ingin ia sampaikan pada sang adik tercinta.

"Cha Eunwoo, kalau nanti ayah menjodohkanmu dengan seseorang dan kau tidak menginginkan itu, lebih baik kau bilang. Kau berontak saja." Eunwoo mengerutkan keningnya. "Hidup dengan seseorang yang tidak kau harapkan itu menyakitkan. Kakak sudah merasakannya. Kakak tidak ingin kau juga seperti itu, sayang."

"Kak.."

"Kau harus percaya. Bahwa kau bisa melawan ayah jika seandainya nanti beliau membuatmu tidak nyaman."

"Kak.."

"Kakak akan menghubungimu jika kakak nanti sukses dengan hidup kakak sendiri." Hakyeon mengecup pipi Eunwoo. "Kakak sayang Eunwoo."

Alih-alih menjawab, Eunwoo malah memeluk Hakyeon dengan erat. Kepergian Hakyeon bukan hal yang baik untuk dirinya. Ia sangat menyayangi satu-satunya kakak yang ia punya. Hakyeon adalah kakak terbaik dalam hidup Eunwoo. Jika sebelumnya ia harus terpisah karena Hakyeon menikah Eunwoo tidak masalah. Tapi ini?

Hakyeon memilih keluar dari daftar keluarga Cha.

Bukan hal yang sama sekali Eunwoo inginkan.

"Kakak jangan lupa mengabari Eunwoo yaa? Eunwoo pasti akan sangat merindukan kakak."

"Tentu saja, sayang."

Selanjutnya, Hakyeon melepaskan pelukan Eunwoo. Ia bangkit dari ranjang dan mengangkat ganggang koper untuk diseret menuju pintu. Sebelum ia meninggalkan kamarnya, lebih dulu Hakyeon mengenakan jaket dan menyimpan ponsel dalam saku. Baiklah, ini adalah hari terakhir ia menginjakkan kakinya di rumah mewah milik Tuan Cha di Changwon.

.

.

.

Pukul enam sore dan mentari senja masih betah menyinari.

Kota Seoul, masih berada dalam zona cerahnya di sore hari. Meski sudah memasuki pukul enam sore, nampaknya hari enggan berganti dengan malam. Dan di sore ini, Flower's Caffe masih menunjukkan keramaiannya.

Menyediakan menu yang ramah dengan kantong dan disukai oleh anak remaja, menjadikan Flower's Caffe gampang ramai. Apalagi jam-jam makan siang dan pulang kerja. Juga, saat libur ataupun malam minggu.

"Jiyeon, aku ke kampus dulu ya? Tiba-tiba Taehyung manggil. Katanya ada perlu." Sanghyuk meminta ijin kepada Jiyeon yang sedang melayani pelanggan.

Kim Jiyeon adalah adik pemilik kafe ini, sedangkan Sanghyuk adalah teman Jiyeon yang bekerja disana.

"Ya sudah, berangkat sana! Eh, telepon Myungeun dulu dong! Kalau kau tinggal, nanti siapa yang bantu aku?"

"Ck, dasar!" Sanghyuk mengeluarkan ponselnya. "Iya-iya, aku telepon Myungeun dulu!"

Jiyeon mencubit pipi Sanghyuk; sedikit berjinjit, mengingat Sanghyuk jauh lebih tinggi darinya. "Terima kasih, Han Sanghyuk yang super tampan!" Tukasnya dengan eye smile yang meluluhkan.

Sanghyuk menampik tangan Jiyeon seraya memutar bola matanya.

"Oh, selamat sore! Ada yang ingin dipesan? Pesan apa kak?"

Segera Jiyeon menyapa seorang wanita yang berdiri di depan kasir. Wanita itu tampak memperhatikan deretan menu yang terpampang di atas mereka. Ada sedikit gurat ragu-ragu disana.

Jiyeon tersenyum. "Kakak ingin pesan apa?" Tanyanya lagi setelah kurang lebih dua menit ia menunggu.

"Eumm, tolong beri aku satu potong Chocolate Cake dan segelas Mango Ice."

Jiyeon mengangguk. "Baiklah, semuanya sepuluh ribu won." Tanggapnya sembari memberikan struk pesanan wanita itu.

Wanita itu mengulurkan lembaran won pada Jiyeon. Ia berdiri di depan kasir, menunggu pesanannya siap untuk dibawa duduk. Sementara Jiyeon kembali mengalihkan atensinya pada Sanghyuk yang baru saja menelpon Myungeun.

"Bagaimana? Myungeun bisa kan?"

Sanghyuk mendengus. "Kau ini kenapa sih, Yeon? Disini kan banyak pegawai juga? Ada Kak Jooheon dan Kak Jinhwan juga. Kenapa malah minta Myungeun datang? Dia sedang ada urusan sama dosennya." Jawab Sanghyuk agak ketus.

Jiyeon mengerucutkan bibirnya kesal. Sanghyuk benar-benar mengesalkan. Apa salahnya sih minta tolong Myungeun? Toh, Myungeun pegawai kafe ini juga. Hanya saja kebetulan ia dapat shift pagi tadi. Dan memang benar juga, ada Jooheon dan Jinhwan. Tapi tetap saja, Jiyeon kurang akrab dengan mereka. Mereka terlalu sibuk dengan dapur dan pelanggannya. Kalau ada Myungeun kan, Jiyeon bisa mengobrol di kasir.

"Kak Jooheon sama Kak Jinhwan sibuk! Lagian aku kurang suka sama pegawai cowok!" Jiyeon menatap tajam Sanghyuk yang tak acuh padanya. "Kalau begitu telepon Jimin dong!"

"Lah, aku kan juga cowok Yeon! Juga, Jimin kan pacarmu! Telepon sendiri kenapa sih? Sudah ah, aku mau jalan! Kasihan Taehyung nunggu lama."

Jiyeon hanya mendengus keras melihat Sanghyuk yang menyelonong pergi dari hadapannya. Jika saja Wonshik tidak begitu menyayangi Sanghyuk, Jiyeon pasti sudah memecat temannya itu. Meski Sanghyuk adalah teman baiknya Jiyeon tidak peduli.

Pertengkaran keduanya ternyata diperhatikan oleh wanita yang masih berdiri disana. Wanita itu berdehem dan menatap Jiyeon yang masih diliputi rasa kesal.

"Eum, kakak boleh bertanya tidak?"

Jiyeon mengangkat pandangannya. Ia menatap bingung pada wanita itu. Lalu detik berikutnya, senyuman cantik mengembang dari bibir tipisnya yang sewarna senja.

"Tanya apa kak? Pesanan kakak sebentar lagi jadi, kok!"

"Bukan-bukan itu." Oh, Jiyeon suka sekali melihat senyum dari wanita ini. Cantik dan manis sekali kalau diperhatikan. "Kakak mau tanya, kira-kira disini ada lowongan kerja tidak? Kakak ingin sekali bekerja."

Beberapa detik Jiyeon sempat bengong; kaget dengan ucapan wanita itu. Namun ia lamat-lamat menarik ujung bibirnya. "Kerja? Kakak mau bekerja disini? Sebenarnya disini sudah ada beberapa pegawai, tapi kalau kakak mau, tidak apa-apa! Jiyeon ijinin kerja disini." Jawabnya.

"Benarkah?"

Jiyeon mengangguk antusias. Entah mengapa rasanya senang sekali melihat wanita itu. Jiyeon pun menjulurkan tangannya. Ia ingin berkenalan dengan wanita itu lebih dulu.

"Kakak namanya siapa? Aku Kim Jiyeon, adik dari pemilik kafe ini."

Wanita itu menjabat tangan Jiyeon dengan senyuman manis terulas. "Hakyeon, Cha Hakyeon. Benarkah boleh kakak bekerja disini? Kakak tidak tahu harus bekerja dimana."

"Oh? Tentu saja! Untuk urusan dengan Kak Wonshik nanti, biar Jiyeon yang mengatasinya."

"Terima kasih banyak, Jiyeon! Terima kasih!"

Jiyeon mengangguk. Lalu ia memberikan pesanan Hakyeon dan membiarkan wanita itu untuk menikmati pesanannya. Masalah kerjaan yang akan dilakukan Hakyeon dan juga tentang latar belakang bisa dibicarakan nanti. Sekarang Jiyeon juga ingin melanjutkan pekerjaannya dulu.

.

.

.

.

Hakyeon perlu berterima kasih banyak pada Kim Jiyeon. Gadis cantik yang memiliki kebaikan hati luar biasa. Gadis itu langsung menerimanya bekerja. Hakyeon perlu bersyukur hari ini. Ia tidak hanya diterima bekerja, namun Jiyeon juga menawarinya tempat tinggal setelah menceritakan apa yang terjadi.

Tentu saja, Hakyeon menceritakan bahwa ia keluar dari keluarganya namun tidak mengatakan jika ia bermasalah dengan suaminya. Hakyeon hanya mengatakan jika keluarganya bukan tempat yang nyaman untuknya. Dan beruntung, Jiyeon tidak mempermasalahkan itu.

"Kakak! Kita pulang sekarang yuk?" Jiyeon yang sudah selesai membereskan masalah kasir menghampiri Hakyeon. Wanita itu sedang membersihkan beberapa meja; membantu Jooheon yang kebetulan dapat tugas bersih-bersih.

Hakyeon melipat lap mejanya. "Jiyeon, benarkah kakak boleh tinggal denganmu? Kakak tidak enak kalau harus tinggal denganmu. Lebih baik kakak mencari kos sendiri saja." Tukas Hakyeon. Mana mungkin ia merasa nyaman diberikan tempat tinggal secara cuma-cuma oleh Jiyeon?

"Kenapa sih kak? Ayolah, Jiyeon malah senang bisa tinggal sama kakak. Kakak orangnya menyenangkan dan kakak juga baik."

"Tapi, Ji—"

"Siapa yang akan tinggal denganmu?"

Suara seseorang dari belakang menuntun Jiyeon dan Hakyeon menoleh. Jiyeon sedikit terkejut dengan kemunculan tiba-tiba sang kakak. Bukankah kakaknya sibuk sekali? Lalu kenapa tiba-tiba ada di kafe? Sementara Hakyeon hanya memandang bingung Jiyeon dan lelaki itu. Siapa lelaki itu?

Jiyeon berdehem. Ia membenarkan tali tas yang jatuh dari pundaknya sebelum memeluk lengan lelaki itu.

"Kakak!"

Oh, lelaki ini kah kakak Jiyeon?

"Kakak, kenalkan! Dia adalah Kak Hakyeon. Dia bekerja disini mulai hari ini dan dia juga akan tinggal di apartemen kita."

Lelaki itu melepas kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Tatapan terkejut bercampur dengan tak suka tampak jelas di kedua mata sipitnya. Lelaki itu menoleh pada Jiyeon dan Hakyeon secara bergantian.

"Kau tidak bisa membawa orang asing masuk ke dalam kehidupan kita, Kim Jiyeon!"

"Dia-"

"Bukan orang asing? Kau itu bodoh atau bagaimana? Jelas dia adalah orang asing! Kapan kau kenal dengannya?"

"Kakak!"

"Tidak bisa Kim Jiyeon! Kakak memaafkanmu karena kau mengijinkannya bekerja di kafe." Jiyeon menahan nafasnya. Dadanya sedikit perih mendengar tutur kata yang cukup menyakitkan di telinganya. "Tapi untuk tinggal bersama, tidak!"

Jiyeon membalas tatapan tak suka milik Wonshik dengan tatapan marah. Ia melepaskan pelukannya dan melipat tangan di depan dada. "Oke! Jiyeon tidak akan mengajak Kak Hakyeon tinggal di apartemen kita. Tapi kami akan tinggal di apartemenku."

"Kim Jiyeon!"

"Kak-"

Hakyeon yang melihat pertengkaran kakak adik itu langsung memegang tangan Jiyeon. Bukan apa-apa. Ia terlalu kaget dengan sikap Jiyeon kepada kakaknya. Yang diucapkan Wonshik sama sekali tidak ada yang salah. Jiyeon belum mengenalnya dengan baik dan Jiyeon percaya begitu saja padanya.

Kepalanya menggeleng dan tatapannya mengisyaratkan pada Jiyeon untuk tidak melawan pada sang kakak.

"Pokoknya Kak Hakyeon tinggal sama aku! Titik!"

Wonshik hanya berdecak. Ia meninggalkan Jiyeon dan Hakyeon. Mungkin ia tak peduli dengan keputusan sang adik. Sementara Jiyeon menoleh pada Hakyeon dengan senyum yang kembali muncul.

"Kakak jangan khawatir! Kak Wonshik memang seperti itu orangnya. Sekarang yuk pulang ke apartemenku saja. Biarkan Kak Wonshik tinggal sendiri."

Hakyeon tak bisa menolak. Tangannya sudah digandeng begitu saja oleh Jiyeon. Pada akhirnya ia memutuskan untuk ikut dengan Jiyeon saja.

Dan Hakyeon tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya nanti. Apakah ini semua menjadi hal baik dalam dirinya atau malah membawanya kepada hal buruk? Hakyeon tidak tahu. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdo'a. Semoga pilihannya adalah pilihan yang benar.

Ya, semoga Kim Jiyeon memang menjadi jalannya untuk bisa mendapatkan hidup lebih baik.

.

.

.

.

TBC

.

.

Akhirnya publish juga...

Ini itu request dari Phee Anee nih, yang nodong minta navi mulu.. wkwkwk

Gimana? Semoga suka yaa?

Untuk Navi shippers lainnya, bolehnya angkat tangan. Pengen tahu siapa yang juga navi shippers..

Wkwkwkw

Oke, ditunggu reviewnya demi kelancaran update selanjutnya. :p

.

.

Terima kasih ^^,

.

.

Salam Hangat

.

.

~Arlian Lee~