T I M E

Disclaimer : J.K Rowling

Pair : Draco Malfoy – Harry Potter

Rate : M

Genre : Romance/Drama/Hurt/Comfort

Setting : Setelah perang besar, ga ada yang mati kecuali Voldemort dan Nagini XD

WARNING : MODIFIED CANON, OOC, LEMON

"Well, Harry… senang mendengarmu bisa memenuhi undanganku untuk menjadi pengajar tamu selama seminggu kedepan di pelajaran pertahanan terhadap ilmu hitam," terdengar suara kepala sekolah 'Albus Dumbledore' memecah kesunyian di kantornya. Didepannya duduk seorang pria dewasa berumur sekitar awal 40 tahunan, berkaca mata bundar dengan rambut hitam yang berantakan, mata hijaunya bersinar ramah dan hangat.

Disisinya duduk seorang wanita yang cukup tua, Minerva McGonagall, guru transfigurasi sekaligus kepala asrama Gryffindor."Tak menyangka kalau seorang Auror handal sepertimu masih mau meluangkan waktu untuk kami," kata McGonagall memujinya.

"Ayolah Minerva…bisa kembali kesini adalah sesuatu yang akan sangat sulit aku tolak," pria itu tersenyum dan menepuk halus tangan McGonagall. Lalu dia memandang pria tua berjanggut perak didepannya, "terima kasih untuk kepercayaanmu, Albus."

"Sampai saat ini tak ada yang meragukan kemampuanmu, Harry Potter," kata Dumbledore tertawa.

Ya, pria dewasa yang duduk di depan Albus Dumbledore adalah Harry Potter, anak yang bertahan hidup dari penguasa kegelapan yang membunuh kedua orang tuanya saat dia masih bayi dan mengalahkannya pada usia 17 tahun.

Harry tersenyum kecil mendengar pujian dari mantan kepala sekolahnya itu, "beberapa waktu yang lalu Remus sempat mengatakan padaku kalau dia dan Severus akan pergi ke jerman, menghadiri undangan khusus dari Igor Karkaroff untuk datang ke sekolah sihir Durmstrang. Katanya mungkin sebentar lagi kau akan mengundangku ke Hogward untuk menggantikan dia. Jadi aku tak kaget saat surat darimu benar-benar datang, Albus," jelas Harry.

"Tetap percaya diri seperti biasanya, Harry," kata Dumbledore terkekeh.

"Dulu Minerva mengajarkanku untuk selalu yakin pada diri sendiri," kata Harry lagi sambil tertawa memandang wanita tua disisinya.

"Dan kau mempelajarinya dengan sangat baik," jawab McGonagall ikut tertawa.

"Lalu siapa yang akan menggantikan Severus di kelas ramuannya?" tanya Harry.

Tak lama perapian di belakang mereka menyala hijau, "ah...dia sudah datang," kata Dumbledore.

Harry dan Minerva menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya Harry melihat siapa yang keluar dari jaringan Floo di perapian, "Draco?" katanya tercekat.

Melihat Albus Dumbledore dan Minerva McGonagall di situ Draco tidak heran, tapi hadirnya seorang Harry Potter jelas sekali membuat dia mengerutkan keningnya.

"Selamat datang Draco, senang kau juga bisa memenuhi undanganku," kata Dumbledore memecah kesunyian.

Draco tersadar dari rasa herannya, dia menghampiri Dumbledore untuk menjabat tangannya. "Terima kasih atas kepercayaanmu, Albus."

Dumbledore terkekeh dan matanya berkilat jenaka, "siapa lagi murid unggulan Severus sepanjang masa kalau bukan kau, Draco?"

Draco tersenyum kecil, lalu dia menghampiri Minerva McGonagall dan mencium pipinya singkat, "apa kabar, Minerva?" tanyanya sopan.

"Baik, Draco," jawabnya singkat masih terkejut. "Merlin...melihat kalian berdua disini aku seperti melihat sosok James dan Lucius yang sedang menghadap kepala sekolah karena membuat keributan."

Dumbledore kembali terkekeh mendengar kata-kata koleganya itu, dan dia setuju kalau sosok Harry dan Draco dewasa ini mengingatkan mereka akan sosok James Potter dan Lucius Malfoy.

Draco menoleh ke arah Harry, mengulurkan tangannya, "apa kabar, Harry?" sapanya.

Harry menyambut tangan Draco, "baik Draco, terima kasih."

"ayo duduklah," kata Dumbledore lalu menyihir satu kursi lagi didepannya untuk Draco. "Well, Harry...Draco...terima kasih sekali lagi untuk kesediaan kalian menjadi pengajar pengganti selama seminggu disini. Semoga pekerjaan kalian di kementrian tidak terganggu karena aku," kata Dumbledore setelah mereka duduk.

"Aku rasa tidak akan terganggu, Albus. Kingsley sudah memberi ijin pada ku untuk berada disini selama seminggu. Kupikir Draco pun sudah mendapat ijin, bukan begitu Draco?" tanya Harry.

"Mana mungkin aku berada disini kalau Kingsley tak mengijinkanku, pikir itu, Potter," kata Draco dingin tapi nadanya tidak menyiratkan kebencian seperti dulu.

"Hey...kau mau mengajakku ribut ya? Boleh juga, sudah berapa puluh tahun kita tidak saling melemparkan mantra?" kata Harry bercanda.

Draco hanya menyeringai, tapi tidak dengan Dumbledore dan McGonagall, mereka tertawa mengingat betapa dulu Harry dan Draco benar-benar tak bisa berada dalam jarak yang dekat.

"Kalian sepertinya terkejut? Apa kau tidak tahu Draco juga akan disini, Harry?" tanya McGonagall.

"Tidak tahu, kami jarang sekali bertemu di kementrian. Aku di lantai dua di Departemen Auror dan dia di lantai lima di Departemen hubungan sihir internasional," terang Harry.

"Well, setidaknya kalau kalian berjauhan maka tidak akan ada kekacauan disana," canda Dumbledore.

Dan Harry hanya membalas gurauan itu dengan cengiran lebar khasnya.

"Saat makan malam nanti aku akan mengumumkan pada para murid," kata Dumbledore.

"Aku yakin anak-anakku akan terkejut dan mereka akan 'menyerangku' setelah makan malam," kata Harry tertawa.

"Kurasa putra tunggalku juga akan mengomeliku," sambung Draco.

"Kalian tidak memberitahu mereka?" tanya McGonagall.

"Tidak," jawab Draco dan Harry bersamaan.

Ketiga anak Harry -setelah menikah dengan adik sahabatnya, Ginny Weasley- sekarang ada di Hogward, James Sirius Potter di kelas tujuh Gryffindor, Albus Severus Potter di kelas lima Slytherin, dan Lili Luna Potter di kelas empat Gryffindor. Masuknya Albus di Slytherin sempat menjadi berita heboh mengingat semua keturunan Potter berada di Gryffindor, tapi setelah perang besar berakhir 24 tahun yang lalu tak ada lagi perbedaan mencolok antar asrama. Albus Severus satu asrama dengan Scorpius Hyperion Malfoy, putra tunggal Draco Malfoy dengan Astoria Greengrass, dan hebatnya mereka berdua bersahabat sejak pertama masuk sekolah. Anak-anak dua sahabat dekatnya sejak dulu -Ron dengan Hermione- pun ada disini, Rose Weasley di kelas lima Gryffindor dan Hugo Weasley di kelas empat Gryffindor.

"Baiklah, kalau kalian tidak keberatan aku akan menempatkan kalian di menara Head. Kebetulan ketua murid saat ini tidak memakai menara itu." kata Dumbledore.

Menara Head, menara yang terletak tidak begitu jauh dari aula besar, pemandangnnya langsung mengarah ke danau dan hutan terlarang. Menara itu disediakan khusus untuk ketua murid laki-laki dan perempuan, tapi kalau kedua ketua murid tidak menggunakannya maka menara itu kosong. Tersedia dua kamar besar beserta kamar mandi di dalamnya, satu ruang tamu dan dapur.

"Aku sih tidak masalah," jawab Draco melirik ke arah Harry.

"Aku setuju saja, Albus," kata Harry.

Dumbledore berdiri dan beranjak ke pintu, "baiklah tuan-tuan, saatnya mengenalkan kalian pada para murid," ajak Dumbledore.

Dan mereka pun berjalan menuju aula besar dimana para murid sudah berkumpul untuk makan malam.

Suara dentingan gelas terdengar nyaring, membius suara berisik di aula besar itu. Semua mata tertuju ke podium kepala sekolah dimana Albus Dumbledore sudah berdiri disana. "Seperti yang kita ketahui, saat ini Profesor Remus Lupin dan Profesor Severus Snape sedang berada di luar negeri. Dan untuk itu mulai besok akan ada dua guru pengganti yang akan menggantikan mereka selama seminggu ini. aku perkenalkan Mr. Draco Malfoy menggantikan Profesor Snape di ramuan dan Mr. Harry Potter menggantikan Profesor Lupin di pertahanan terhadap ilmu hitam,"

Setelah perkenalan dari kepala sekolah kedua orang yang disebut pun memasuki aula.

Aula besar seperti meledak mendengar nama-nama yang tak asing lagi di telinga mereka, terutama Harry Potter, pahlawan dunia sihir yang ceritanya melegenda dari masa ke masa. Dua anak di meja Gryffindor dan dua anak di meja Slytherin melongo melihat ayah-ayah mereka berdiri di samping kepala sekolah.

"Kau tahu tentang ini, Al?" tanya Scorpius pada Albus.

"Tidak, kau sendiri?" tanya Al.

"Tidak," jawab Scorpius masih terkejut. "kita akan minta penjelasan mereka setelah ini."

Di meja Gryffindor pun James memandang adik bungsunya yang duduk disebelahnya dengan curiga, "yakin kau tidak lupa menyampaikan ini padaku, Lil?"

"Tidak Jimmy, aku tak tahu apa-apa tentang ini. aku juga heran." jawab Lily, tapi wajahnya terlihat begitu bahagia mendengar ayahnya akan ada disini selama seminggu. Berbeda dengan James yang menggerutu karena merasa kenakalannya akan diawasi ayahnya terus.

Ruang tamu di menara head mendadak begitu ramai, tiga Potter junior, satu Malfoy junior dan dua Weasley junior berkumpul disana.

"Daddy, aku senang kau disini," kata Lily duduk sambil memeluk ayahnya manja.

"Daddy pun senang bisa bersamamu, Sweetheart," jawab Harry memeluk pundak putrinya lalu mencium puncak kepalanya.

"Kenapa kau tak memberi tahu ku, Dad? Aku terkejut sekali melihat kalian disini," kata Scorpius pada Draco.

"Seharusnya kalian senang melihat kami disini, nak," jawab Draco singkat pada putra tunggalnya itu -yang kata Harry adalah duplikat Draco saat sekolah dulu-. "Lihat Lily, dia begitu bahagia bisa bertemu ayahnya."

"Dasar manja," kata James menggoda adiknya.

"Biar saja, aku rindu pada Daddy," jawab Lily sambil menjulurkan lidahnya.

Harry tertawa dan mengacak rambut putri satu-satunya itu.

"Uncle tidak mengatakannya padaku kemarin saat aku main ke Manor," tuntut Albus pada Draco. Persahabatannya dengan Scorpius menjadikan hubungan dua keluarga ini menjadi dekat. Albus sering menghabiskan liburannya di Malfoy Manor dan Scorpius pun sering main kerumah keluarga Potter.

"Saat itu aku belum mendapat kabar dari Hogward, baru beberapa hari yang lalu. Tanya ayahmu," jawab Draco pada anak laki-laki yang mewarisi bentuk fisik ayahnya dengan rambut hitam dan mata hijaunya. Lain dengan kakak dan adiknya yang lebih mirip keluarga ibunya.

"Selamat datang di Hogward, Uncle Harry...Ucle Draco," sapa Rose gadis berambut merah itu ramah. Sekilas memandang Rose dan Hugo orang akan tahu kalau mereka masih keturunan Weasley, dengan rambut merah menyala dan warna mata coklat sama seperti James dan Lily. Tapi sinar mata Rose begitu mirip dengan mata Hermione. "Aku tak sabar menanti kelas kalian besok," katanya lagi mengingatkan Harry akan sahabat perempuannya yang gila belajar itu.

"Sudah hampir jam malam, sebaiknya kalian kembali ke asrama masing-masing. Sudah lama aku ingin mencoba memberikan detensi," kata Draco menyeringai.

Keenam anak itu langsung ribut dan bergegas berdiri, "Uncle Draco selalu begitu," gerutu James. Lalu mereka bergantian berpamitan, Lily dan Rose mencium pipi Harry dan Draco singkat lalu meninggalkan ruangan itu.

Setelah para junior pergi ruangan itu mendadak menjadi sunyi, hanya terdengar suara kayu yang terbakar di perapian.

"Aku akan tidur sekarang," kata Draco sambil berdiri dan berjalan menuju kamarnya di sebelah kanan dapur.

"G'nite Draco," kata Harry pelan.

Draco terdiam sebentar di depan pintu lalu berbalik menatap Harry yang juga sedang memandangnya. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya pandangan mata menyiratkan arti yang dalam, tak ada seorang pun yang tahu akan itu. Kemudian Draco masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Harry sendiri.

Harry menyandarkan punggungnya dengan nyaman di sofa, kakinya terjulur lurus diatas meja, matanya memandang perapian di depannya. Sungguh tak menyangka kalau saat ini dia bisa berdua 'lagi' dengan Draco Malfoy. Pikirannya melayang kembali ke masa 24 tahun silam, saat perang besar berakhir.

...

TAHUN 1998

Voldemort berhasil dikalahkan dengan mantranya sendiri yang dibalikkan oleh Harry, para pelahap maut dijebloskan ke azkaban. Kesaksian Harry atas pertolongan Narcissa Malfoy yang telah menyelamatkannya karena memberikan keterangan palsu pada Voldemort yang mengatakan kalau dia telah mati menghapuskan hukuman untuk keluarga Malfoy, dan otomatis hubungannya dengan Draco pun tidak sedingin dulu.

Harry berjalan di halaman kastil dan sekelebat dia melihat bayangan Draco menaiki menara astronomi yang jarang dikunjungi orang, 'untuk apa dia kesana?' pikir Harry lalu dia mengikuti Draco ke menara itu.

Sesampainya diatas ingatan Harry langsung melayang pada peristiwa beberapa waktu lalu disaat Snape berperan dalam sandiwara pembunuhan Dumbledore. Kutukannya sengaja tidak mengenai Dumbledore, para pelahap maut yang mengetahui itu marah dan menyerang Snape, beruntung Sirius Black dan Remus Lupin ada di dekat situ, mereka langsung menyerang para pelahap maut sebelum kutukan mereka mengenai Snape. Harry yang saat itu bersembunyi dibalik jubah gaibnya terkejut menyadari kalau Severus Snape yang selama ini membencinya dan dikenal sebagai pengikut Voldemort ternyata ada di pihak Dumbledore. Sirius Black, yang kalau saja dulu Dumbledore tidak segera datang pasti sudah terbunuh oleh Bellatrix Lastrange -pengikut setia Voldemort- saat penyerangan di kantor kementrian, menyuruh Snape menyingkir dari situ dan mencari Voldemort. Snape begegas menyingkir dan berlari ke arah Shrieking Shack, harry mengikuti dibelakangnya masih memakai jubah gaibnya.

Sesampainya di gubuk tua itu Snape tidak menemukan Voldemort yang sebelumnya memerintahkan Snape supaya menemuinya disana. Yang terlihat hanyalah ular besar peliharaan pangeran kegelapan itu. Tanpa persiapan ular itu langsung mengigit Snape dan Snape terjatuh ke lantai kayu yang berdebu. Setelah itu ular yang bernama Nagini itu pun pergi meninggalkan Snape yang terbaring kaku. Setelah yakin ular itu sudah tidak ada Harry pun menghampiri Snape dan dia terkejut mengetahui Snape masih hidup dan memandangnya. Tangan Snape yang lemah menarik jubahnya supaya mendekat, lalu dari mulut, mata dan telinganya keluar sesuatu berwarna biru keperakan, dan Harry tahu kalau itu adalah ingatan Snape.

"Ambil...ini, ambillah..." kata Snape kepada Harry dengan serak dan lemah.

Lalu Harry mengayunkan tongkatnya menciptakan sebuah botol kecil dan menyimpan ingatan itu di dalamnya.

"Tatap aku..." pinta Snape lagi.

Harry memandang mata Snape, hitam bertemu hijau, lalu mata hitam pun tertutup rapat dan tangannya terkulai disinya. Harry terpaku tak mampu berbuat apa-apa. Tiba-tiba pintu dibelakangnya terbuka, Harry melompat berdiri bersiap menghadapi siapapun yang datang. Tampaklah Dumbledore, Sirius dan Remus disana.

"Harry...?" kata Sirius kaget lalu langsung menghampiri anak baptisnya tersebut. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya lagi.

Harry hanya mampu mengangguk dan menunduk, tangannya menggenggam erat botol kecil yang berisi ingatan Snape.

Ketiga orang dewasa itu memandang tubuh Snape yang terbujur kaku dilantai. Lalu Sirius dan Remus membungkuk diatasnya. Remus memegang nadi dan lehernya mencari tanda kehidupan.

"Apa yang terjadi, Harry?" tanya Dumbledore.

Harry menjawab dengan serak, "ular itu, Profesor Snape digigit oleh ular Voldemort. Dan aku tak sempat menolongnya."

Dumbledore menepuk pundak Harry menenangkan, "bukan salahmu, nak."

Harry hanya diam dan tetap menunduk.

"Ada..." teriak Remus tiba-tiba.

Dumbledore dan Harry pun segera mendekati Remus.

"Dia masih hidup, Albus," terang Remus, "Racun ular itu Belum menyebar. Kita harus segera mengeluarkan racunnya."

"Kita ke Hospital Wing sekarang, aku yakin Poppy akan mampu menyembuhkannya." Kata Dumledore.

Lalu mereka semua berapparate ke Hogwards dan langsung menuju rumah sakit sekolah.

"Beruntung Severus segera kalian temukan, aku tak tahu bagaimana kalau terlambat sedikit saja." kata Poppy, perawat di rumah sakit sekolah tersebut. "aku bisa mengeluarkan racun ini karena aku yakin kalau sebelumnya Severus pasti sudah menciptakan dan meminum ramuan yang akan dapat menghambat penyebaran racun apapun yang masuk di tubuhnya. Dia selalu berpikir selangkah ke depan." jelasnya lagi.

Semua yang ada disana langsung bernafas lega, termasuk Harry.

Dumbledore menghampiri Harry dan berbisik, "kau bisa memakai pensieve ku untuk melihat ingatan itu, Harry." katanya sambil melirik botol kecil yang dari tadi masih ada di genggamannya.

Harry mengangguk dan langsung keluar menuju kantor Dumbledore. Betapa terkejutnya Harry mengetahui kalau selama ini Severus Snape yang sangat membencinya ternyata begitu melindunginya. Harry juga terkejut kalau ternyata selama ini guru ramuannya yang dingin itu memiliki cinta yang sangat besar untuk ibunya. Tak terasa air mata mengalir di pipinya dan dia pun bertekad mengalahkan Voldemort demi orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Dan pemuda bermata hijau itupun menembus malam melangkahkan kakinya ke dalam hutan terlarang.

"Mengikutiku, Potter?" suara dingin memecah lamunannya.

Harry mencari si pemilik suara dan mendapatinya sedang duduk di jendela di sudut menara. "Tidak, hanya kebetulan saja ingin kesini," elak Harry lalu mendekati pemuda jangkung berambut pirang itu dan berdiri di sampingnya.

Lama mereka terdiam dan memandang lurus kearah danau. Pikiran mereka melayang entah kemana, dan mereka seakan menikmati saat-saat bisu itu.

"Kemana para pengawal setiamu itu?" tanya Draco dingin.

Harry menghela nafas panjang, "mereka ada urusan sendiri."

"Bagaimana mungkin mereka meninggalkan pahlawan sepertimu sendirian, tega sekali." sindir Draco.

Tiba-tiba tubuh Draco terdorong ke belakang menempel pada bingkai jendela. Tubuh Harry menekannya dan Draco merasakan bibir Harry telah menciumnya, menekannya kuat. Tangan Harry memegang sisi samping wajahnya. Draco berusaha memberontak tapi tak disangkalnya kalau saat itupun dia merasa nyaman dan hangat. Akhirnya Draco hanya diam memejamkan matanya, mencoba menikmati sentuhan Harry lebih dalam.

Harry yang merasa Draco tak melawannya memperlembut ciumannya, mencecap bibir Draco setiap incinya, lalu melepaskannya perlahan. Mata hijaunya itu menatap mata abu-abu milik Draco, "cukup Draco, jangan menyerangku lagi dengan sindiran-sindiran tak jelasmu, karena aku sudah cukup lelah dengan semua ini," katanya pelan. Tangannya yang masih memegang pipi Draco mengusap pipi pucat itu dengan halus. Lalu Harry meninggalkan Draco yang masih setengah sock dengan kejadian tadi sendirian.

Setelah Harry tak tampak lagi, Draco mengusap wajahnya dan mengacak rambut pirangnya dengan kesal, punggungnya disandarkan pada bingkai jendela yang dari tadi dia duduki. 'Brengsek kau Potter, kau mendahului seorang Malfoy..., aku akan membalasmu,' batinnya sambil menyeringai.

Beberapa hari setelah kejadian di menara Astronomi itu murid-murid Hogward tak lagi disuguhi perang mantra antara Draco Malfoy dan Harry Potter. Biasanya setiap mereka berpapasan selalu saja terjadi keributan, tapi kali ini Draco yang biasanya selalu memancing amarah Harry dan kedua sahabatnya itu hanya melewatinya saja. Hal ini tentu saja membuat Ron dan Hermione heran.

"Tumben tuan muda itu tak mengganggu kita beberapa hari ini, apa kepalanya terbentur ya sampai dia lupa dengan rutinitasnya?" kata Ron heran.

"Sudahlah Ron, bukannya begini lebih baik?" jawab Hermione santai.

Harry diam saja mendengar ocehan kedua sahabatnya itu. Dia pun tak habis pikir, padahal kemarin setelah kejadian itu dia akan mendengar gosip kalau dia adalah seorang gay. Gay? Entahlah dia juga tak tahu kenapa bisa seperti ini. sejak Draco menolongnya dulu waktu dia disekap di Malfoy Manor Harrry merasakan sesuatu yang yang janggal di hatinya. Kenapa saat itu Draco tak mengatakan pada Death Eather yang menyekapnya kalau dia adalah Harry Potter? Sejak itu Harry tak pernah berhenti memikirkan Draco. Dan sekarang disaat Draco tak menghiraukannya, dia merasa sangat kehilangan. Dia ingin Draco memakinya lagi, membentaknya dan menyindirnya lagi seperti yang selalu dia lakukan, karena hanya dengan cara seperti itulah mereka bisa berkomunikasi. Harry jadi menyesal dengan kejadian di menara astronomi.

"Hei Draco, yakin kau baik-baik saja?" tanya Theodore Nott pada malam hari di ruang rekreasi Slytherin. Setelah perang berakhir dia lebih sering menemani Draco bersama Blaise Zabini.

"Maksudmu?" tanya Draco heran.

"Kau sekarang tak pernah mencari keributan lagi dengan pahlawan kecil itu, biasanya kau selalu membuat dia kesal" kata Theo lagi.

Draco mendengus dan tertawa kecil, ada seringaian di bibirnya, "aku masih melakukannya."

"Hah...?" theo tak mengerti maksud Draco.

"Sudahlah, aku mau tidur." jawab Draco singkat beranjak dari sofa dan melangkah menuju kamarnya.

"Hei Draco, apa maksudmu?" teriak Theo yang masih penasaran.

Draco hanya terkekeh pelan tak menghiraukan pertanyaan Theo.

Blaise yang dari tadi hanya membaca buku menatap punggung Draco dengan penuh curiga.

"Dia kenapa sih? Dasar aneh." gerutu Theo. "Blaise, kau selalu bisa membaca pikiran Draco kan?"

Blaise hanya mengangkat bahunya dan tersenyum samar, "kita lihat saja nanti."

Di kamar, Draco belum juga bisa memejamkan matanya, kejadian di menara itu terus menghantui malam-malamnya. Dan jujur saja saat ini pun dia sangat merindukan pemuda bermata hijau itu. Sikap acuhnya selama ini juga karena dia ingin melihat reaksi Harry, apakah dia juga kehilangan? "Brengsek kau, Potter," makinya pelan.

"Harry, kau dengar tidak?" tanya Ginny Weasley yang berjalan di sisi Harry. Mereka sedang menuju ke aula besar untuk makan pagi.

"Oh, maaf Gin. Kau bicara apa?" tanya Harry gugup sambil memandang ke arah kekasihnya itu. Mereka berpacaran sejak tahun kemarin. Ginny dan keluarganya begitu mencintai Harry dan bahagia melihat mereka bersama.

"Kau sekarang sering melamun, ada apa?" tanya gadis berambut merah itu pelan.

Harry tersenyum menenangkan Ginny yang terlihat cemas, "tidak Gin, tidak ada apa-apa. Hanya kadang merasa lelah saja."

Ginny tersenyum lega dan menggandeng tangan Harry menuju meja Gryffindor.

Begitu melewati meja Slytherin Harry melihat tatapan Draco yang sangat mematikan, mata abu-abunya bersinar tajam, begitu marah. Tatapan sadis yang hampir tak pernah dilihat lagi di wajah Draco kini kembali ada bahkan semakin dingin dari biasanya. Entah kenapa saat itu Harry langsung melepaskan genggaman Ginny.

Ginny memandang heran pada Harry.

"Maaf Gin, tidak enak dilihat banyak orang," elak Harry menjelaskan pandangan Ginny.

Ginny mengangguk dan tersenyum kecil, lalu mereka berdua duduk di meja Gryffindor, di depan Ron dan Hermione yang sudah menyisakan tempat duduk untuk mereka.

Harry memandang meja Slytherin di depannya dan mendapati Draco masih menatapnya tajam. Harry merasa jengah dan salah tingkah. 'Kenapa aku jadi merasa bersalah seperti ini? Nanti aku akan menjelaskannya pada Draco. Menjelaskan? Memangnya dia siapaku? Apa yang harus aku jelaskan?' Harry berperang dengan batinnya.

"Mate, kau kenapa?" tanya Ron. Ginny dan Hermione ikut memandang Harry.

Harry tersadar dari lamunannya, "t-tidak," jawabnya gugup sambil menggeleng.

"Setelah ini kita langsung ke Hogsmeade ya?" kata Hermione.

Ron dan Ginny mengangguk.

"Mmmh..., keberatan tidak kalau kali ini aku tak ikut? Aku lelah sekali." kata Harry.

Kekasih dan dua sahabatnya memandang heran pada Harry, "kau baik-baik saja kan, Harry?" tanya Hermione cemas.

Ginny memegang tangan Harry, juga tampak cemas.

Harry menepuk tangan Ginny lembut lalu tersenyum, "ya, aku hanya lelah. Kalian pergilah."

"Aku temani ya?" tawar Ginny pada sahabat kakaknya itu yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak pertama bertemu.

Harry menggenggam tangan Ginny erat, "tidak Gin, kau sudah berjanji pada teman-temanmu kan? Jadi pergilah."

Ginny mengangguk pelan, dan dua sahabatnya hanya mengangkat bahu.

Setelah semua pergi Harry naik ke menara astronomi, dia sedang ingin sendiri. Dia ingin mencari jawaban atas semua yang terjadi pada hatinya. Dia duduk di bingkai jendela yang dulu pernah diduduki Draco, pandangannya menerawang jauh melewati danau dan hutan terlarang.

Tak seberapa lama pintu ruangan bundar itu terbuka dengan sangat keras, Harry terkejut tapi sudah bisa menebak siapa yang datang, dia pun berdiri.

Dengan langkah cepat Draco Malfoy menghampiri Harry dan mencengkeram jubahnya. "Brengsek kau, Potter," kata Draco dingin. "Jangan harap kau bisa mempermainkan seorang Malfoy."

Harry hanya diam dan memandang amarah yang terlihat di mata abu-abu itu, "maafkan aku," katanya lirih.

Draco menarik kasar jubah Harry membuat Harry jatuh ke pelukannya lalu mencium keras bibir Harry, melumatnya penuh amarah. Harry mengerang, bukan erangan nikmat tapi seperti menahan rasa sakit. Draco melepaskan ciumannya dan terkejut melihat bibir harry yang berdarah, ciuman dan amarahnya telah melukai pemuda bermata emerald yang sejak lama telah menyita perhatiannya itu. Pemuda yang membuatnya mampu membohongi para Death Eather yang menyekapnya dulu karena tak ingin membuatnya terluka, saat itu yang dipikirkan pewaris tahta Malfoy itu adalah keselamatan Harry.

"Draco..." bisik Harry.

Tatapan Draco tak lagi dingin, lebih mendekati rasa sakit dan sedih, "Aku tak akan meminta maaf karena inilah pembalasanku, Harry." kata Draco –yang akhirnya memanggil Harry dengan nama depannya- pelan sambil mengusap lembut darah di bibir Harry.

Harry mendekatkan wajahnya ke Draco, tangannya menangkup sisi wajah pemuda pirang itu lalu mengecup bibir Draco dengan lembut, "maafkan aku." sekali lagi bibir mereka bertemu dalam ciuman panjang yang manis.

Tangan Draco memeluk pinggang Harry. Bibirnya menjelajah setiap inci bibir harry, mengusapnya lembut dengan lidahnya seakan tak ingin menyakiti dia lagi.

Harry mengalungkan tangannya di leher Draco, menyusupkan jemarinya ke dalam rambut pirang yang selalu tertata rapi itu, membuka bibirnya dan membiarkan lidah mereka bertemu dalam tarian erotis yang diiringai irama nafas yang memburu dan dentuman jantung yang berpacu. Harry mengerang, kali ini dia benar-benar menikmati sentuhan Draco.

Draco yang telah terperangkap dalam gairahnya mulai membuka jubah Harry, melepaskan seluruh kancing kemejanya dan mengelus lembut dada yang terbuka itu. Erangan halus terus terdengar dari bibir Harry. Ciuman Draco beralih turun menjelajah leher Harry, mengecupnya dan membelai setiap incinya dengan lidahnya.

Ciuman itu semakin turun menuju dadanya, mencium titik sensitif yang membuatnya tersentak dan mendorong kepalanya ke belakang. "D-Draco..." teriak Harry tertahan.

Draco mendongak menatap wajah Harry yang memerah terbakar gairah, seringaian muncul di bibirnya, "kau ingin aku berhenti?"

Harry menatap mata Draco lalu mencium bibirnya lembut, "apapun itu, maafkan aku... karena aku... terlalu menginginkanmu," kata Harry tersengal.

Draco tersenyum lalu kembali menciumi Harry. Dia membaringkan pemuda itu di lantai menara yang dingin.

Entah bagaimana caranya Harry tak sadar kalau tubuhnya sekarang sama sekali tanpa perlindungan. Draco terus mencumbunya, membimbing akalnya melewati batas kesadaran. Sekali lagi Harry tersentak dan membelalakkan matanya saat Draco menyentuh pusat gairahnya dan memanjanya lembut, "D-Draco please..." pintanya parau.

"Yes, Harry..., my Harry," bisik Draco lembut dan mencium bibir Harry. Tangannya terus membuai Harry yang semakin kehilangan kesadarannya. Satu tangannya mengayunkan tongkatnya dan melenyapkan pakaian di tubuhnya sendiri.

"D-Dracoooo…." teriak harry tertahan saat merasakan tubuhnya seperti terkoyak dan terbakar ketika Draco memasukinya, berusaha memilikinya utuh.

Draco menghentikan aktifitasnya, menatap mata hijau itu dengan lembut, bibirnya tersenyum dan mengecup bibir Harry singkat, "kau milikku, Harry, hanya milikku,"

Harry bergerak gelisah di bawah Draco, rasa sakit yang tadi dirasanya sudah tak terasa lagi karena tangan Draco terus membuainya dan memanjanya, "D-Draco…" pinta Harry lagi.

"Apapun keinginanmu, harry," jawab Draco. Lalu dia menggerakkan tubuhnya, membawa Harry semakin menjauh dari ambang kesadarannya. Desahan dan erangan mereka menjadi irama bersatunya dua jiwa yang terus melayang menggapai surga yang mereka ciptakan sendiri.

Cahaya putih berpendar dalam kepala Harry, meledak menjadi jutaan warna mengiringi terlepasnya hasrat yang terpendam. Erangannya keras terdengar saat merasakan Draco pun membaur dalam dirinya.

Mereka berbaring dalam diam, mengontrol detak jantung yang tadi berpacu kencang. Harry terbaring di lengan Draco, tumpukan jubah menjadi selimut mereka. Mata mereka menerawang ke langit-langit menara yang gelap.

"Kau mencintainya?" tanya Draco memecah kesunyian.

Harry tahu siapa yang dimaksud Draco, "aku menyayanginya."

"Berarti kau bisa melepasnya." kali ini bukan pertanyaan, tapi sebuah tuntutan.

Harry menghela nafasnya lalu bergerak duduk menekuk lututnya, "aku tak ingin menyakitinya, Draco."

"Tapi kau menginginkan ku," kata Draco yakin.

Harry menoleh ke belakang, ke arah Draco yang masih berbaring, dia tersenyum lemah "ya Draco, aku menginginkan mu."

"Lalu dimana masalahnya?" tanya Draco memandang mata hijau yang teduh itu.

Harry memalingkan wajahnya, menatap lurus jendela di depannya, "tak ada yang menyayangiku sebesar yang diberikan keluarganya untukku, draco." Harry memberi jeda sejenak pada kata-katanya, "kau tak pernah merasakan ini, karena kau mengenal baik kedua orang tuamu. Sedangkan aku? Aku tak pernah mengenal orang tuaku. Tak ada yang melindungiku seperti keluarga Weasley."

"Hanya karena hutang budi?" tanya Draco ketus.

Harry memeluk kedua lututnya, "terserah apa katamu, Draco. Aku ingin membahagiakannya."

"Dan membuang kebahagiaanmu sendiri?" tanya Draco gusar. Kali ini dia duduk di samping Harry. Melihat keadaan mereka yang acak-acakan tanpa pakaian membuat Draco mengayunkan tongkatnya, merapikan semua termasuk tubuh mereka.

"Ya..." jawab Harry pelan.

"Lalu bagaimana dengan aku? Kau tak memikirkan perasaanku?" sentak Draco menarik bahu Harry supaya memandangnya. Betapa terkejutnya Draco melihat mata hijau yang dia puja itu basah, mata itu menyiratkan duka dan kesedihan yang dalam. Tahu lah Draco saat itu kalau yang terluka bukan hanya dia, tetapi juga Harry. Mereka saling memandang dalam diam. Perlahan Draco mengusap pipi Harry, "kau yakin itu keputusanmu?"

Satu aliran bening jatuh di tangan Draco, "maafkan aku," bisik Harry.

"Berhentilah meminta maaf, itu tak akan menutup sakit hati ku," teriak Draco sambil menyentakkan tangannya dan berdiri di depan jendela besar.

"Dan sakit hati ku juga," sambung Harry pelan.

Draco berbalik memandang Harry, "itu salah mu sendiri kan? Dasar pengecut..." teriak Draco.

Harry berdiri dan memandang tajam Draco, "ya, aku pengecut. Aku terlalu takut membuat mereka yang melindungiku kecewa. Ini memang salahku, Draco..." balas Harry keras. "Hukum aku, kau bisa membunuhku sekarang," teriak Harry kalap.

Draco menarik Harry dan memeluknya erat, mendekap tubuh yang gemetar karena marah dan sakit itu.

Harry berusaha memberontak, tapi tubuh Draco menekannya ke dinding batu yang dingin. Merasa sia-sia melawan Harry pun akhirnya pasrah dalam pelukan Draco.

Setelah yakin Harry tenang Draco pun berbisik pelan di telinga Harry, "apa kau yakin kau akan bahagia dengan keputusanmu ini, Harry?"

Harry mengangguk pelan di dada Draco, "asal Ginny bahagia itu sudah cukup untukku, Draco."

Draco menghela nafasnya yang berat, "I love you, Harry," bisik Draco lagi.

Harry melingkarkan tangannya di pinggang Draco, menyamankan dirinya dalam pelukan pemuda berambut pirang itu, "I love you too, Draco."

Lama mereka terdiam, menikmati kesunyian yang menyelimuti. Irama detak jantung Draco memberikan rasa yang begitu nyaman untuk Harry. Lengan yang memeluknya memberikan sejuta kedamaian.

Perlahan Draco menengadahkan wajah Harry, mencium bibirnya dengan begitu lembut, mengusap luka dibibirnya tadi dengan lidahnya lalu melepaskannya perlahan. "Kalau begitu aku juga sudah membuat keputusan untuk hidupku sendiri."

"Apa maksudmu?" tanya Harry heran.

Draco menatap ke dalam mata hijau itu, mengecupnya pelan lalu memeluk Harry dengan lembut, melindunginya. "Aku akan menyetujui perjodohanku dengan Astoria Greengrass."

Kata-kata Draco bagaikan sambaran kilat di telinga Harry, tubuhnya tersentak dalam pelukan Draco, tangannya mencengkeram erat jubah Slytherin yang mendekapnya. Tiba-tiba rasa takut menyergapnya, tubuhnya bergetar lagi, kakinya terasa lemas, dunianya seakan berputar dalam gelap.

"Harry...?" panggil Draco pelan, pelukannya semakin erat. Dia ingin melindungi pemuda berambut hitam ini, meredakan getaran tubuhnya.

Harry melepaskan diri perlahan dari pelukan Draco, "ya Draco, ini hukuman untukku. Aku pantas mendapatkan ini." Dada Harry begitu bergemuruh, nafasnya terasa berat dan sesak.

"Tak ada niat ku untuk menghukummu," kata Draco pelan. "Beberapa hari yang lalu Dad menyampaikan padaku tentang hal ini. Mum pun terlihat senang sekali. Seperti katamu, kita ingin orang-orang yang menyayangi kita bahagia, bukan begitu Harry?"

Harry masih termenung, punggungnya merosot lemas dan terduduk di lantai. Tangannya meremas rambutnya kuat. "Ya Draco, aku mengerti," katanya lirih.

"Aku hanya mengikuti keputusanmu," kata Draco serak.

Harry mengangguk pelan.

Draco menarik lengan Harry agar berdiri, mendudukkannya di bingkai jendela favorit mereka, memeluk kepala Harry di dadanya dan mengusap rambut hitamnya yang berantakan. "Berarti ini yang terakhir untuk kita, Harry?" tanya Draco pelan.

"Siapa dia?" tanya Harry menatap kemilau abu-abu di mata Draco, tak menghiraukan pertanyaannya.

"Juniorku di Slytherin," jelas Draco. "Keluarganya nyaris sama terpandangnya dengan keluargaku," kata Draco sambil mengangkat bahu.

"Dia baik?" tanya Harry singkat.

"Setidaknya jauh lebih baik dibandingkan Pansy Parkinson yang cerewet itu," jawab Draco mencoba bercanda.

Harry terkekeh pelan menganggukkan kepalanya, "berarti ini memang yang terakhir untuk kita, Draco."

Draco menghela nafas panjang dan menatap mata hijau yang tak pernah membosankan untuk di pandang itu, "setidaknya aku sudah mendapatkan mu, Harry. Yang pertama kan?"

Harry melihat kilat menggoda di mata abu-abu itu, "diam kau, Draco," katanya panik.

Draco tertawa pelan melihat reaksi Harry, "kau menyesali kejadian tadi, Harry?" Tanya Draco bersungguh-sungguh.

"Tidak…" jawab Harry tegas.

Tanpa meminta ijin Draco mendekatkan wajahnya pada Harry dan mencium bibir Harry dengan rakus seakan ingin melepaskan semua beban yang menghimpit dadanya. Harry membalas ciuman itu dengan sama laparnya. Ciuman itu berlangsung lama, seakan masing-masing dari mereka tak ingin ini semua berakhir. Kemilau matahari senja yang terpantul di kaca jendela menyadarkan mereka, Draco melepaskan ciumannya dengan nafas tersengal-sengal, begitu juga dengan Harry. Mata keduanya saling menatap, mencoba mengukir bentuk satu sama lain dalam benak masing-masing.

"Selamat tinggal, Potter," bisik Draco pelan di bibir Harry.

Harry mencengkeram jubah Draco, "Harry..., tetap jadikan aku Harry, Draco," kata Harry meminta.

"Harry…my Harry," bisik Draco lagi dan mencium bibir itu lembut untuk terakhir kalinya. Setelah itu dia melangkahkan kakinya meninggalkan Harry sendiri.

"Harry…" terdengar panggilan Ginny menggema di koridor menuju aula besar.

Harry menoleh dan menunggu gadis itu menjejeri langkahnya, "hai Gin, kau baru pulang?"

"Aku sudah pulang dari tadi, aku mencarimu di asrama tapi kau tak ada," jawab gadis itu.

"Oh...aku ada di halaman belakang, bosan di asrama terus," jawab Harry berusaha menutupi kegugupannya.

"Kau sudah lebih baik?" tanya Ginny lagi.

Harry menggandeng tangan Ginny mengajaknya ke aula besar untuk makan malam, "sudah, aku hanya lelah saja."

Ginny agak terkejut dengan inisiatif Harry menggandengnya duluan, tapi hatinya juga senang sekali. Senyum pun mengembang di bibirnya begitu sadar kalau sebagian besar anak perempuan yang ada di koridor itu melihat dia dengan pandangan iri.

Mereka berdua duduk ditempat biasa, didepan Ron dan Hermione.

"Harry, aku membelikanmu coklat dari Honeydukes, ini," kata Ginny sambil mengambil sebatang coklat dari kantong jubahnya.

Harry tersenyum dan menerima coklat dari Ginny, "thanks, Gin,"

Ginny tersipu malu melihat senyum Harry, pipinya yang merah semakin merah.

"Hentikan, kalian berdua membuatku malu," kata Ron jengah.

Hermione terkikik geli, "bilang saja kau iri, Ron."

"Tentu saja aku iri, kau jarang bersikap mesra padaku," jawab Ron pada Hermione, sahabat yang telah menjadi kekasihnya itu.

Hermione memberikan pelototan kesal pada Ron

Kali ini Harry dan Ginny lah yang tertawa geli.

Tak sengaja pandangan Harry tertuju ke meja Slytherin, disana ada Draco yang sedang memandangnya. Jantung Harry seakan berhenti berdetak, ingin rasanya dia berlari dan memeluk Draco saat itu juga, baru beberapa jam berpisah tapi dia sudah sangat merindukannya. Dan pandangannya terpaku pada gadis cantik yang duduk dengan anggun disebelahnya, gadis berkulit putih dan berambut hitam panjang.

"Harry, kau melihat apa?" tanya Ginny mengejutkannya.

"Tidak," jawab Harry masih terpaku pada gadis disebelah Draco.

"Oh...Astoria Greengrass?" kata Ginny menjelaskan.

"Astoria Greengrass?" tanya Harry meyakinkan pendengarannya.

Ron dan Hermione mau tak mau mengikuti arah pandang Harry dan Ginny.

"Iya, aku dengar gosip kalau dialah yang akan menjadi Mrs. Malfoy junior," kata Ginny enteng.

Harry menahan nafasnya mendengar jawaban Ginny.

"Maksudmu dia calon istri si ular kecil itu?" kata Ron pedas.

"Ron, cukup...jangan menyulut pertengkaran lagi. Perang sudah usai jadi aku ingin semua benar-benar damai," kata Harry cepat, entah kenapa dia agak tersinggung dengan sebutan Ron untuk Draco.

Ron ingin membantah kata-kata Harry tapi Hermione terlanjur menyela, "Harry benar, aku juga sudah capek ribut terus selama tujuh tahun ini. Sebentar lagi kita lulus jadi setidaknya tinggalkan kenangan manis, jangan yang buruk."

"Aku juga setuju," Ginny ikut bicara.

Ron hanya melongo melihat sikap dua sahabatnya itu dan adiknya. Lalu mereka melanjutkan makan malam mereka yang tertunda.

Bulan semakin cepat berganti, upacara kelulusan sudah di depan mata. Beberapa hari lagi Harry dan teman-teman seangkatannya akan meninggalkan Hogwards. Siang hari yang terik ini dimanfaatkan Harry untuk berjalan-jalan sendiri, menikmati sisa waktunya di sekolah yang telah menyelamatkan hidupnya ini, sekolah yang sudah seperti rumah kedua untuknya. Karena melamun dia menabrak seseorang di belokan koridor yang menuju halaman belakang.

"Harry...," terdengar suara yang sudah terekam jelas di kepalanya.

"Draco..." kata Harry terkejut.

"Selalu melamun, dasar ceroboh," gerutu Draco.

Harry hanya nyengir saja menjawab kata-kata Draco. Dadanya berdesir hangat. "K-kau mau kemana?" tanya Harry gugup.

"Hanya ingin jalan-jalan saja. Kau sendiri," tanya Draco balik.

"Sama," jawab Harry singkat. Banyak yang ingin dia bicarakan pada Draco mengingat waktu mereka bertemu tinggal sebentar lagi. Harry ingin mengajaknya bertemu di menara astronomi tapi bingung bagaimana caranya mengatakan pada Draco. "Mmmh...Draco, aku..."

"Harry...," kata-kata Harry terhenti melihat Ron, Hermione dan Ginny memanggilnya dari belakang. Harry mengeluh pelan, lalu dia mendengar bisikan Draco sebelum ketiganya mendekat, "dua jam lagi di menara astronomi," Harry memandang pemuda berambut pirang itu dan mengangguk pelan.

"Kau disini? Kami mencarimu." kata Hermione setelah mereka lebih dekat. "Hai, Draco..." sapanya saat melihat Draco disamping Harry.

"Hai...," jawab Draco singkat.

Sejak terakhir bersama Harry di menara astronomi itu, sudah tidak ada lagi keributan antara asrama Gryffindor dan Slytherin. Hubungan mereka pun membaik. Seluruh sekolah dibuat heboh saat Harry Potter menyapa Draco Malfoy dengan nama kecilnya, hal itu pun membuat Draco berani menyapa Harry di depan umum. Seisi sekolah menyambut gembira kabar ini, hanya beberapa anak Slytherin saja yang masih menjaga jarak.

"Tak bersama Astoria?" tanya Ginny ramah.

"Tidak, dia sedang bersama teman-temannya," jawab Draco datar.

"Sebentar lagi aku dan Astoria akan kesepian kalau kalian lulus," kata Ginny setengah cemberut. Entah bagaimana kejadiannya semenjak Harry dan Draco 'berdamai' hubungan Ginny dan Astoria pun menjadi lebih akrab, bahkan mereka sering terlihat berbincang berdua.

"Kalau begitu untuk setahun kedepan ku titipkan dia padamu," kata Draco pada Ginny. "Aku kembali ke asrama dulu." pamit Draco pada semua dan berlalu dari tempat itu.

"Dasar Malfoy, selalu saja pelit bicara," gerutu Ron.

"Rooon...." sergah tiga orang lainnya.

"Iya...iya maaf," kata Ron kesal.

"Kami mau ke gubuk Hagrid, kau mau ikut?" tanya Ginny.

'Dua jam, aku harus ada di menara dalam dua jam, batin Harry, "Baiklah," putus Harry.

Setelah dari gubuk Hagrid Harry berpamitan pada Ginny dan kedua sahabatnya dengan alasan ingin berbincang dengan Dumbledore di kantor kepala sekolah. Ketiganya memaklumi mungkin Harry butuh waktu sebentar untuk berbincang dengan kepala sekolah sebelum waktu kelulusan. Dan ketiganya pun berpisah di halaman belakang.

Harry membuka pintu menara itu pelan, ada rasa rindu yang begitu kuat menyusup masuk ke dalam dadanya.

"Merindukanku, Harry?" terdengar suara Draco dari dalam.

Pemuda yang masih tertinggal di hatinya itu duduk dengan nyamannya di jendela tempat biasa mereka duduk. "Draco..." kata Harry pelan lalu menghampirinya, berdiri disisi Draco.

Draco memandang kilau emerald yang selalu dia rindukan itu, lalu berdiri dan memeluk Harry erat.

Harry langsung menyamankan posisinya, melingkarkan lengannya di pinggang Draco dan menyusupkan kepalanya di leher putih itu. "Ini tidak salah kan?" bisiknya pelan.

"Tidak ada yang salah, Harry," bisik Draco ditelinga Harry.

"Kalau begitu...cium aku, Draco," pinta Harry.

Tak perlu menunggu perintah dua kali, Draco meraih wajah harry dan mencium bibirnya penuh kerinduan. Bibirnya melumat apa saja yang bisa dia raih.

Harry pun membalas ciuman Draco dengan sama panasnya, membuka bibirnya dan membiarkan lidah Draco menyentuh lidahnya, menyapu rongga mulutnya dengan liar. "Aku merindukanmu," kata Harry terengah disaat bibir Draco melepas ciumannya.

Draco menatap mata hijau itu tajam, "sebesar rasa ku, Harry." kata Draco sambil membawa Harry ke dalam pelukannya.

Harry menikmati hangat tubuh Draco dengan serakah, dipeluknya lagi pinggang itu dengan erat seakan tak ingin melepasnya.

"Hanya tinggal beberapa hari lagi, dan semuanya akan benar-benar berakhir," kata Draco parau.

"Tak akan berakhir, Draco. Tidak selama aku masih memikirkanmu," jawab Harry pelan.

"Sampai kapan?" tanya Draco.

Harry menghela nafas panjang dan semakin menyusupkan kepalanya ke leher Draco, "sampai aku benar-benar tak mampu berpikir lagi."

Draco mencium rambut hitam Harry yang berantakan. Mereka berpelukan dalam diam, lama sekali tanpa kata-kata, hanya detak jantung yang bersuara.

Waktu berlalu dengan cepat, matahari telah mundur dari singgasananya. Draco semakin mempererat pelukannya, "saatnya berpisah, Harry," suara Draco bergetar menahan perasaan.

Harry memandang bola mata abu-abu itu dengan hangat, menarik wajah Draco mendekat dan mencium bibirnya dengan lembut. Menikmati getaran yang selalu membuatnya lupa untuk menahan diri. "I love you, Draco," bisiknya mengalir bersama butiran kristal bening yang jatuh dari mata hijaunya.

Draco mengecup butiran bening itu lalu sekali lagi mencium bibir Harry dalam dan lembut, "I love you too, Harry," bisik Draco. Kali ini pun butiran bening mengalir dari mata abu-abunya. Lalu pemuda berambut pirang itu kembali meninggalkan Harry dalam kesendiriannya.

Setelah lulus Harry langsung mengikuti pendidikan Auror bersama dengan Ron, dan dalam jangka waktu yang singkat mereka berhasil lulus dengan hasil yang memuaskan, bahkan Harry langsung diangkat sebagai anggota elite muda pasukan khusus auror untuk kementrian sihir Inggris Raya, Draco juga bekerja di kantor kementrian, tepatnya di departemen hubungan sihir internasional. Lantai kantor mereka berbeda dan juga karena kesibukan masing-masing mereka jarang sekali bertemu, kalaupun kebetulan bertemu mereka hanya saling sapa singkat saja, walau getaran halus itu belum hilang dari benak mereka.

Lima tahun setelah kelulusan dari Hogward Draco mendengar kabar kalau Harry sudah menikah dengan Ginny, tahun berikutnya 'James Sirius Potter' lahir.

Pada tahun 2005 Draco Malfoy menikahi Astoria Greengrass, Ron Weasley menikahi Hermione Granger.

Tahun 2006 'Scorpius Hyperion Malfoy' lahir bersamaan dengan tahun lahirnya putra kedua Harry, 'Albus Severus Potter' dan putri pertama Ron 'Rose Weasley'. Dan dua tahun kemudian 'Lily Luna Potter' lahir bersama dengan putra kedua Ron 'Hugo Weasley'.

TAHUN 2017

Di stasiun King's Cross peron 9 ¾ suasana begitu ramai, para penyihir dewasa mengantar anak-anak mereka yang akan berangkat ke Hogwards.

Harry dan Ginny bersama Ron dan Hermione mengantar Albus dan Rose yang akan memulai tahun ini di Hogwards. Dua tahun yang lalu James sudah masuk lebih dulu.

"Ginny…," terdengar panggilan halus dari belakang mereka dan mereka menoleh ke asal suara itu.

Betapa terkejutnya Harry melihat siapa yang menyapa istrinya.

"Astoria…," pekik Ginny tertahan melihat sahabat lamanya yang sudah lama sekali tidak dijumpainya. Mereka berbagi pelukan dan ciuman di pipi. Begitu juga dengan Hermione.

Draco yang mendampingi istrinya mengulurkan tangan pada Harry, "Apa kabar, Harry?"

"Baik, draco," jawab Harry sambil menyambut uluran tangan Draco. Satu hal yang tak dapat ditahan Harry saat bertemu Malfoy muda itu adalah getaran di dadanya, dan parahnya kali ini getaran itu mengalir di tangannya.

Sepertinya Draco bisa merasakan getaran itu, dia mempererat genggamannya sebelum melepaskan tangan Harry dan menjabat tangan Ron.

"Lama sekali tak bertemu ya?" kata Ginny pada Astoria dan Draco.

"Lama sekali," sambung Astoria.

"Itu kan kalian, kalau kami berempat sih kadang-kadang masih bertemu di kantor, walaupun tidak sering," kata Hermione yang juga bekerja di kantor kementrian di departemen hukum.

"Itu anak-anak kalian?" tanya Astoria menunjuk kelima anak di belakang mereka.

"Oh, iya," lalu Ginny memperkenalkan mereka satu persatu pada Astoria dan Draco.

"Senang bertemu anda, Sir...Madam," sapa mereka sopan.

"Owh kalian bisa memanggil kami uncle Draco dan aunt Astoria," kata Astoria ramah. "Dan ini adalah putra tunggal kami, Scorpius Hyperion Maalfoy,"

Semua mata memandang sosok pemuda jangkung berkulit pucat, berambut pirang rapi dan memiliki bola mata abu-abu.

"Halo semua..." katanya ramah. Lalu pemuda itu menghampiri teman-teman barunya dan menjabat tangan mereka. "Kita satu angkatan kan?" tanyanya pada Al dan Rose.

Kedua anak itu mengangguk mantap.

Tiba-tiba Ron, Hermione, Ginny dan Astoria tertawa terbahak-bahak. Harry, anak-anak dan Draco memandang mereka heran.

"Kenapa kalian?" tanya Harry.

"Lihat itu Scorpius dan Al, apa mereka tidak mengingatkan kalian akan sesuatu?," kata Ron masih terbahak.

Harry dan Draco bertukar pandang, sepertinya mereka mengerti apa yang di maksud Ron.

"Memangnya kami kenapa, uncle Ron?" tanya Albus.

Ron dan yang lainnya berusaha menghentikan tawa mereka, "Kalian tahu tidak, kalian berdua mengingatkan kami akan Harry dan Draco muda dulu. Kalian ini mirip sekali dengan ayah-ayah kalian. Dan kuharapkan padamu, Scorpius, mudah-mudahan sifat ayahmu dulu tidak menurun padamu," kata Ron bercanda.

Lagi-lagi para orang dewasa tertawa terbaha-bahak, kecuali Draco yang menatap tajam pada Ron, "hentikan Ron, jangan memulai pertengkaran puluhan tahun yang lalu," ancam Draco pada Ron yang masih tertawa.

Peluit kereta terdengar nyaring menandakan kereta harus segera berangkat. Para Orang dewasa melepas anak-anak mereka. James, Al, Rose dan Scorpius memutuskan untuk duduk dalam satu kompartemen. Setelah kereta berangkat mereka semua berpamitan, Astoria dan Ginny berjanji untuk saling mengunjungi.

Dan empat tahun kemudian disinilah Harry, kembali ke Hogwards sebagai guru pengganti untuk Remus Lupin, bersama Draco.

-TO BE CONTINUED –

Niatnya sih OneShot... tapi kok jadinya sepanjang ini, ya? Ga tau deh ini ntar jadi berapa chap^^ Mohon bantuan dan masukannya supaya chap kedua ga mandeg :p

Thank You =)