Disclaimer

Naruto © Masashi Kishimoto

Pain © ZoJu

Warning: First fic, Violence, Hurt, Gaje, OOC, Hancur, Typo bertebaran dan sebagainya.

Pair: SasuSaku

.

.

.

Hari ini bukanlah hari libur, tapi Konoha high school terlihat begitu sepi. Lebih tepatnya dalam situasi yang tenang.

Beginilah keadaan saat ujian akhir sekolah sedang berlangsung. Test yang menentukan seorang siswa dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Melepas masa remaja yang mendebarkan, penuh dengan cerita juga kenakalan khas remaja. Menyongsong ke tahap yang lebih dewasa.

Perasaan antusias, semangat, resah dan gelisah bercampur jadi satu. Menekan otak setiap siswa untuk bekerja lebih keras dari biasanya, tapi ada juga yang mengandalkan otak orang lain untuk menyelesaikan setiap butir soal. Seperti yang satu ini, "Pssst…pssst...Uchi…ha...," Panggil seorang siswa yang tidak pantas disebut siswa. Suara yang diusahakan untuk tidak bervolume itu terdengar putus asa, akan tetapi sang empunya nama tak merenspon.

"Hey, Uchiha…" panggil bocah itu sekali lagi. Nihil. Yang dipanggil sepertinya tidak mendengar.

Bocah berambut cepak itu hanya bisa menatap nanar punggung orang yang duduk tepat di hadapannya, "Chh, dasar sombong." Umpat bocah tidak tahu diri itu yang kemudian beralih mencari pertolongan dari yang lain.

Sasuke Uchiha. Nama keluarganya Uchiha, namanya Sasuke. Menyandang marga yang disegani, sudah dipastikan kekayaan yang dimilki keluarga Uchiha tidak akan pernah habis tujuh turunan sekalipun, pintar…ah tidak, ia jenius, memiliki postur tubuh yang ideal, parasnya? Tidak perlu diragukan lagi, wanita manapun pasti akan terbius melihat wajah tampannya yang selalu terlihat pucat itu. Tidakkah ia terlihat seperti Edward Cullen?

Tapi lihatlah sekarang apa yang dilakukan sang jenius duplikatnya Edward Cullen? Ini bukanlah waktu yang tepat untuk bersantai.

Di saat teman-temannya dengan susah payah mengerjakan setiap soal yang bagaikan sebuah kutukan itu, ia malah hanya menatap lembaran-lembaran soal itu tanpa ekspresi. Menatap jauh entah kemana. Bukannya ia tak mampu menyelesaikanya, tapi ada sesuatu yang lebih penting yang dipikirkannya saat ini. Sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya.

.

.

.

"Bagaimana dengan sekolah mu Sasuke? Apa semua berjalan dengan baik?" Suara bariton yang terdengar khas itu memecah keheningan di ruang makan pagi itu.

Sasuke menghentikan aktifitasnya sejenak, ia menatap wajah lelaki paruh baya itu sendu. Lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan walaupun ada beberapa garis kerutan yang menghiasi wajahnya itu, balas menatap putera keduanya sembari menunggu jawaban.

"Semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Ka-san." Jawab Sasuke kemudian, ia mengambil segelas air dan diminumnya seteguk lalu melanjutkan kembali sarapannya yang sempat tertunda.

Lelaki tua itu tersenyum simpul. Keheningan pun kembali menyelimuti meja makan, sampai akhirnya…

Pluk.

Selembar kertas mendarat dengan nyaman di atas kepala Sasuke, diikuti dengan beberapa lembar kertas yang kemudian berserakan di mana-mana .

Sang pemilik kertas dengan cepat berlari menuruni tangga dengan menenteng sebuah tas dan map kosong sembari menundukan kepalanya berkali-kali memohon maaf atas kecerobohan yang dilakukannya.

" Ma-maaf Ka-san, a - aku -".

"Hinata, sampai kapan kau akan terus seceroboh ini?" Tegur lelaki yang dipanggil Ka-san itu sedikit marah. Membuat guratan di dahinya yang berjajar rapi semakin jelas terlihat .

"A-ku….ma - "

"Sudalah, Ayah bosan mendengar kata maaf. Bereskan semua dan cepatlah sarapan," Potong lelaki paruh baya itu tanpa menatap putri tunggalnya.

"Ayah sudah selesai. Ayah berangkat dulu." Ujar kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Wanita muda dengan rambut indigo itu hanya bisa menundukan kepalanya, tak berani menatap lelaki paruh yang sudah berlalu pergi.

Jemari nan lentiknya kemudian bergerak cepat mengumpulkan lembaran-lembaran kertas yang berserakan, sembari tersenyum menahan pedih yang dirasakannya. Lembaran kertas yang tadinya berserakan, kini sudah tersusun rapi di tempatnya seperti sedia kala.

"Ini," Tangan Sasuke terulur ke depan menyodorkan selembar kertas yang sempat mendarat di kepalanya. Tepat saat wanita muda itu duduk di hadapanya "tadi…,"

"Ah, ini dia, arigatou Sasu-chan!" Potong wanita yang lebih tua tujuh tahun darinya itu, lalu dengan cepat di ambilnya kertas tersebut sembari membalasnya dengan tersenyum manis.

"Mmm…, bukankah ini hari terakhir final test mu ya, Sasu-chan?" Tanya puteri tunggal Uchiha itu antusias.

"Hn, begitulah," Jawab Sasuke tidak seantusias wanita yang dipanggil Hinata itu "tapi bisakah kau berhenti memanggil ku seperti itu?"

"A-apa?" Hinata sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Tetapi ia tidak sebodoh itu. Otaknya bekerja dengan cepat mencerna pertanyaan itu.

"Kenapa? Apa karena kita bukan…,"

"Bukan, aku hanya tidak suka." Seakan mengerti apa yang akan dikatakan Hinata, langsung ditampiknya dan tidak ingin memperumit keadaan.

"Hmm, hanya tidak suka ya..." Hanya itu yang bisa terlontar dari bibirnya. Hinata tersenyum miris.

"Aku sudah selesai." Sasuke mulai beranjak dari tempatnya namun kemudian tertahan saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut wanita yang seharusnya dipanggilnya kakak itu.

"Tanggal dan hari sudah ditentukan, apa kau tidak apa-apa Sasuke?" Hinata menatap adiknya itu perihatin. Tatapan cemas seorang kakak pada adiknya.

Jantung Sasuke berdetak dengan cepat. Ucapan sang kakak menyulut amarah anak lelaki yang baru menginjak usia delapan belas tahun itu. Amarah yang selama ini disembunyikanya, dan kini harus tetap disembunyikan.

Dicengkramnya erat tas ransel yang menempel di pundaknya, berusaha keras untuk mengusai dirinya. Mengatur setiap tarikan nafas yang menderu, dan perlahan mulai kembali normal.

"Aku sudah tahu. Aku tidak apa-apa." jawab Sasuke kemudian.

"Aku berangkat."

"Ya, seperti itulah dirimu." Gumam Hinata menatap kepergian sang adik.

.

.

.

"Waaa…hari ini pun dia terlihat cantik. Ah, aku rasa dari hari ke hari dia bertambah cantik. Lihat rambut indigo yang tergerai itu. Haah…, begitu indah pemandangan di pagi hari ini. Aku-"

Kalimat yang sudah dirangkai dengan indah itu harus terpotong dengan suara sumbang yang sangat tidak menyenangkan. Berhasil memporak-porandakan tatanan kata yang sudah tertata rapi di benak bocah kasmaran itu.

"Berhentilah membual. Tidak tahu malu. Sampai kapan kau akan bertingkah aneh seperti ini? Dan sampai kapan aku harus terus menemani mu menguntit saudara ku sendiri? Aku mau pergi." Tidak lain, tidak bukan kata-kata tidak sopan itu terlontar begitu saja dari sang sahabat yang masih ada hubungan darah dengan yang di kuntit.

"Eh-eh, tunggu Sasuke! Apa kau bilang, aneh? Menguntit? Yang kulakukan ini hal yang wajar, mengagumi ciptaan Tuhan bukanlah tindakan kriminal. Beginilah bila kau sedang jatuh cinta. Aku hanya bisa melihatnya saja dari jauh, sungguh tidak adil. Kenapa manusia sedingin kau yang harus tinggal serumah dengannya." Protes bocah dengan warna rambut yang teramat mencolok itu panjang lebar.

"Lalu, kenapa tidak kau saja yang tinggal di rumah ku?" Balas Sasuke dengan tatapan sinis. Tersenyum mengejek.

"Ah, tidak! Aku hanya bercanda sobat. Kau taukan, aku tidak mampu. Entah mengapa lututku serasa lemas tiap berdeketan dengannya." Jawab remaja dengan mata sebiru langit itu polos, sembari memasang wajah memelas. Kedua bola mata itu terlihat berkaca-kaca.

Entah mengapa perut Sasuke serasa nyeri saat di tatap seperti itu. Aneh.

"Menyedihkan," Ujar Sasuke dengan wajah muak "kalau begitu lakukanlah sendiri. Aku tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk melihat kisah cinta mu yang kampungan."

"Sasuke, tunggu sebentar lagi…" Rengek remaja kasmaran itu. Tangan kanannya dengan cepat merangkul pundak bocah berambut raven itu, menahan langkah Sasuke. Namun tak bertahan lama saat Naruto melihat tatapan yang mengerikan itu seakan berkata – Ingin mati tanpa penderitaan? Kemarilah –

Naruto bergidik ngeri. Dan dengan gerakan teratur bocah berambut blondie menurunkan tangannya, kembali pada posisi semula.

Tapi dasar bocah berisik, selalu saja ada yang tak henti-hentinya keluar dari mulutnya.

"Eh, kenapa hari ini dia naik taksi? Bukankah kalian sangat kaya? Kemana mobil-mobil mewah itu? Ah, aku tidak suka. Bagaimana kalau sopir taxi itu menggoda Hinata-ku?" Rentetan pertanyaan keluar begitu saja tanpa bisa dikendalikan.

"Kau-"

"Ah, taxinya sudah pergi. Ayo kita jalan." Dengan cepat remaja bernama Naruto itu mengalihkan pembicaran sebelum dirinya betul-betul dibuat tak berbicara lagi.

"Sasuke! Bukankah lebih baik kau bawa mobil saja?"

"Hn? Kenapa? Apa kau tidak ingin meminjamkan sepeda mu lagi?"

"Bukan, hanya saja…."

"Dari rumah ke sekolah jaraknya hanya 100 m, jadi untuk apa aku harus naik mobil. Selain agar tidak terlihat semakin mencolok, aku juga tidak ingin membuang-buang uang untuk membeli bensin." Potong Sasuke. Ia melepas sadel sepeda yang tentu saja bukan miliknya itu, siap menungganginya.

Naruto dengan sigap menaiki boncengan, sembari berdiri memegangi pundak sang sahabat.

"Oh…," Mulut Naruto membentuk bulatan sempurna mengisyratkan kalau remaja dengan warna kulit sedikit gelap itu mengerti " ternyata selain cara bicaramu yang tidak sopan, kau juga sangat perhitungan." Naruto memperjelas.

Sepeda melaju dengan cepat. Angin di pagi hari yang sejuk menerpa wajah kedua remaja itu. Membelai dengan lembut.

Sesaat senyum simpul disunggingkan Sasuke saat mendengar perkataan sang sahabat.

"Tapi hanya dengan seperti inilah aku bisa terlihat seperti manusia biasa. Aku lebih merasa nyaman."

"Sasuke…," Panggil Naruto

"Hn,"

"Ada yang kau sembunyikan Sasuke?"

"Apa maksud mu?" Sasuke balik bertanya.

"Huft, tidak. Hanya saja, kau ini…betul-betul harus dihibur…" Ujar Naruto perihatin melihat sang sahabat yang sudah dianggapnya saudara sendiri. Dirangkulnya sang sahabat erat-erat.

"Hey, Baka! Apa yang kau lakukan? Lepaskan! Aku tidak bisa mengendarai sepeda ini dengan ba-"

"Woaa…!"

BRUK!

.

.

.

Suara riuh menggema memenuhi gelanggang yang dipenuhi dengan penonton yang berasal dari berbagai macam lapisan masyarakat. Bau arak serta asap rokok memenuhi ruangan. Mereka datang untuk mengadu nasib dengan cara yang instan, berharap Dewi Fortuna tengah memihak mereka. Dan bisa menjadi kaya-raya secepat mungkin. Akan tetapi di tempat ini pula mereka akan terpuruk dan terjatuh ke jurang yang lebih dalam.

"Ayo! Pukul dia! Buat dia tidak berkutik."

"Hajar dia!"

"Apa yang kau lakukan? Kau harus membunuhnya bila perlu!

"RISE!"

"R.I.S.E!"

Teriakan para penonton bagaikan serigala yang melolong sambung menyambung tak terhentikan. Dukungan maupun makian terdengar seperti nyanyian yang indah di tempat ini. Tak menghiraukan apa yang dirasakan mereka yang bertaruh nyawa untuk mempertahankan hidup. Demi sesuap nasi. Demi melanjutkan masa depan.

.

.

.

BUAGH!

Sebuah tinjuan dengan telak menghantam wajah sang petinju yang dielu-elukan.

"RISE!" Teriakan sebagian penonton terdengar panik.

Darah segar mengucur dari pelipis sang petinju, menghiasi wajah putih bak porselen itu. Sang petinju terhuyung namun tetap mempertahankan kesadarannya, melakukan perlawanan sebisa mungkin.

Sang lawan terlihat puas. Semakin membabi buta menyerang petinju yang dipanggil Rise itu tanpa ampun. Namun serangan demi serangan ditangkis Rise. Tangan mungil yang sudah terlatih itu bergerak dengan cepat menghalau serangan lawan. Mencoba membangun serangan.

Satu, dua pukulan mengenai lawan tapi tidak begitu bertenaga.

Pertahanan yang dibangunnya pun mulai goyah, langkah kakinya terus diseret sampai ia harus tersudut pada tiang ring. Ia mulai menjadi lengah. Membuat beberapa bagian tubuhnya dengan mudah diserang. Kini rasa sakit mulai menggerogoti tubuh mungil itu.

Dan ini adalah kesempatan besar bagi sang lawan untuk menaklukan juara bertahan. Jackpot.

BUGH! BUGH!

Dua kali tinjuan dengan cepat dan akurat tepat mengenai perut sang petinju. Mendorong beberapa cairan yang bercampur darah keluar dari perutnya. Warna merah menghiasi arena ring. Bagaikan lukisan abstrak.

Tatapannya menjadi kabur, samar-samar ia melihat sang lawan tersenyum sinis. Ia tak dapat menopang tubuhnya lagi.

BRUK!

Tanpa pertahanan tubuh sang juara bertahan ambruk, terlentang begitu saja di arena tinju. Para penonton berteriak histeris. Teriakan kecewa menggema. Memenuhi ruang yang syarat akan kerasnya dunia ini.

"Tamatlah kau perempuan jalang!" Ucap wanita yang menjadi lawannya itu lantang sembari meludah ke arah sang bintang yang sudah tidak berdaya itu.

.

.

**** To Be Continue****

.

.

.

m (_ _) m* membungkuk* salam kenal smuanya….

Haii, aku author baru di sini…, mohon bantuannya ya….* pak Tarno mood: On*

Hmmm…Bagaimana? Hancur? Membosankan? Banyak Keganjilan or aneh?

Ehm, ini karya pertama ku yang kurasa tidak meyakinkan.

Tapi aku membutuhkan kritikan, saran dan sebagainya.

Karena itu sangat memebantu ku.

Arigatou...